PERTUNJUKAN EBEG DI BANYUMAS


Kesenian ebeg di wilayah kultural Banyumas seperti tak lekang dimakan usia tak lapuk dimakan umur. Berbagai tawaran estetis melalui produk-produk seni masa kini boleh jadi melanda ke seluruh pelosok negeri bagai banjir bandang, tetapi ebeg tetap saja ebeg. Media ekspresi estetis masyarakat pedesaan di wilayah Banyumas yang penuh gairah, tanpa kamuflase, sederhana, jujur, apa adanya, namun setiap pementasannya selalu mampu menyedot animo penonton untuk menyaksikan.

Hingga saat ini hampir di setiap desa di wilayah kebudayaan Banyumas terdapat kelompok-kelompok seni ebeg, sebagai media hiburan, sebagai media ekspresi estetis, sebagai representasi pengalaman-pengalaman mistis-religius, sebagai media aktualisasi diri, bagi masyarakat pendukungnya. Merebaknya ragam budaya massa, seni pop atau seni instan melalui berbagai ekspresi, ternyata bukan halangan bagi ebeg untuk tetap menjadi tontonan yang digemari oleh masyarakat.   Boleh jadi, ada sebagian kalangan masyarakat yang menganggap bahwa ebeg merupakan jenis kesenian kelas bawah, sehingga kalangan masyarakat ini merasa malu  nanggap ebeg pada perhelatan atau khajatan yang diselenggarakannya. Tetapi ketika ebeg hadir dalam pertunjukan, tetap saja menjadi salah satu pilihan tontonan yang masih banyak diminati masyarakat. Semua ini membuktikan kebenaran pendapat Ernst Cassirer (1987:240) bahwa seni merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling hakiki yang menjadikan manusia merasa lebih hidup. Oleh karena itu karya cipta seni sebagai perwujudan gagasan dan pengalaman estetis tidak dapat dibendung oleh kekuatan politik, tirani kekuasan, ekonomi maupun keadaan fisik pelakunya.

Ebeg yang di berbagai tempat hadir dengan nama yang berbeda-beda seperti kuda lumping, jathilan, jaran dhor, barongan dan sejenisnya merupakan  ragam kesenian yang sudah sangat tua. Konon ebeg merupakan penggambaran prajurit Prabu Klanasewandaya yang akan bertempur melawan prajurit Raden Panji dalam legenda Jenggala. Jika memang demikian benar adanya, maka ebeg mungkin sudah ada sejak jaman Majapahit. Ini terbukti wilayah persebarannya yang begitu luas, meliputi hampir seluruh kultur Jawa.

Perkembangan ebeg di Banyumas tidak lepas dari ajaran animisme-dinamisme dan totemisme. Dalam pertunjukan ebeg selalu dipercaya hadir indhang yang merupakan roh leluhur yang merasuk ke dalam diri para pemain, sehingga pemain ebeg mengalami intrance atau disebut juga mendem atau wuru. Malam sebelum pertunjukan adalah saatnya bagi ketua rombongan dan penimbul alias pawang melakukan semedi di rumah masing-masing. Malam itu, selain memanggil indhang, mereka juga minta izin serta perlindungan agar pertunjukan berjalan lancar. Tidak hanya itu, pada hari pertunjukkan, mereka menyiapkan komaran alias sesaji komplet, yang variasinya mencapai berpuluh-puluh macam, baik berupa makanan matang, mentah, hewan, dedaunan, maupun benda-benda tertentu kesukaan indhang. Sesaji ini untuk persembahan kepada indang, yang disantap melalui wayang atau anggota kuda lumping saat kesurupan. Sesaji merupakan bagian dari ritual utama dalam acara penyembuhan wayang (sebutan bagi pemain ebeg) yang kerasukan indhang. Konon, bila sesaji kurang komplet, maka sang indhang akan murka, yang bisa mengakibatkan pemain ebeg sulit disembuhkan dari pengaruh indhang.

Sebelum pertunjukan dimulai, penimbul biasanya terlebih dahulu membuat pagar gaib, di lima penjuru. Pagar gaib yang ditanam di empat arah mata angin memiliki peran sebagai penjaga, bersiaga mencegah mereka yang ingin menjahili pertunjukan. Sedangkan yang satu lagi diletakkan di tengah arena pertunjukan, berfungsi untuk memanggil indang. Setiap kelompok kesenian kuda lumping biasanya memiliki indhang yang berbeda-beda. Indhang tersebut digayuh (dipanggil) dari tempat-tempat makam tua yang disebut panembahan. Untuk menjaga indhang tetap betah, setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon, para penimbul menyediakan sesaji makanan rutin sesuai dengan kareman (kegemaran) para indhang.

Pertunjukan ebeg tidak ubahnya pesta para arwah atau indhang. Para indhang yang sengaja dihadirkan dalam pertunjukan selalu meminta suguhan layaknya manusia sesuai selera berupa makanan kesukaannya. Asap kemenyan yang diumpamakan sebagai nasi dan bunga sebagai sayuran. Para penikmat ebeg biasanya sudah memahami benar, pada sesi janturan  dengan ditandai alunan suara gamelan yang mengumandangkan gendhing tertentu, maka sudah pasti para indhang akan segera datang dan merasuki para pemain. Sulit mempercayainya, tetapi itulah ebeg, kesenian warisan leluhur yang khas dan mengakar, yang tidak dapat dipisahkan antara standar estetika dan mitos alam gaib. Jumlah pemain pertunjukan yang tidak kurang dari 20 orang, meliputi penabuh gamelan, sinden, wayang atau pemain ebeg, pawang atau penimbul menjadi satu-kesatuan kekuatan yang secara bersama-sama menjadi media hadirnya para indhang. Setelah para indhang itu hadir, selanjutnya akan merasuk ke dalam setiap pemain sehingga pemain yang kerasukan mengalami intrance.

Pertunjukan ebeg semakin seru jika penonton turut intrance, kerasukan indhang dan ikut mendem bersama-sama para pemain yang sedang mengikuti pementasan. Para indhang ini dibawa dari panembahan asalnya ke lokasi pertunjukan, dengan dimasukkan ke dalam ebeg, barongan, kendhang, atau ke dalam properti lainnya. Percaya tidak percaya, unsur magis dalam pertunjukan kesenian kuda lumping, atau yang dikenal masyarakat Banyumas sebagai ebeg ini memang menjadi bagian penting pertunjukan. Sepinya penanggap kesenian ini sekarang, tidak membuat hubungan sang penimbul dan para indhang terganggu. Mereka yakin, di manapun kesenian ini hadir, akan membius para penontonnya, untuk menyaksikan kehadiran para  indhang yang menambah atraktif  arena pertunjukan.

Para pemain ebeg biasanya diharuskan untuk melaksanakan laku batin tertentu melalui cara mengurangi makan dan tidur. Ada berbagai cara melaksanakan laku batin, di antaranya melalui cara puasa, ngebleng, mutih,  pati geni, adus sumur pitu, tapa kungkum, dan lain-lain. Melalui cara seperti inilah menjadikan badan wadhag pemain ebeg siap untuk dirasuki para indhang yang dihadirkan dalam pertunjukan. Selain itu ada kepercayaan-kepercayaan tertentu di masyarakat Banyumas, bahwa pertunjukan ebeg dapat dijadikan sebagai ogan. Para pemain ebeg dan penimbul-nya dianggap mampu berdialog dengan alam. sehingga melalui pertunjukan ebeg dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai kejadian yang akan menimpa masyarakat Banyumas dan sekitarnya, baik kejadian yang bersifat positif maupun negatif.

Pertunjukan ebeg di Banyumas dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Pada komunitas masyarakat tradsional, pertunjukan ebeg digunakan untuk keperluan perhelatan keluarga seperti pada acara pernikahan, khitanan, kaulan, atau keperluan lainnya. Pertunjukan ebeg pun lazim digunakan untuk keperluan ritual yang melibatkan masyarakat banyak, seperti sedhekah bumi, ruwat bumi, bresih kubur, baritan, dan lain-lain. Semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan tradisi masyarakat Banyumas yang hidup selaras dengan alam.

Oleh : Yus Wong Banyumas

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

PRODUKSI BATIK BANYUMASAN