Posts

Showing posts from 2009

Gubrak Lesung, Seni Banyumasan yang Kian Surut

Kamis, 2 April 2009 | 02:01 WIB Oleh M Burhanudin Hari beranjak sore di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup musik tetabuhan bernada ritmik mengalun rancak dari arah Sanggar Plana yang terletak tak jauh dari pinggir Sungai Serayu. Setelah Kompas mendekat, rupanya di depan sanggar sederhana beratap ilalang itu lima nenek sedang memainkan seni gubrak lesung. Lima nenek itu adalah Aswi (75), Wasilah (71), Sati (70), Marpik (61), dan Srigiyatin (56). Mereka bertetangga. Memainkan musik gubrak lesung merupakan hal biasa bagi perempuan-perempuan lanjut usia di Desa Plana. Bukan untuk pertunjukan, tapi sekadar menghibur diri dan lingkungan sambil melewatkan senja. Aswi dan kawan-kawan mengaku terbiasa memainkan gubrak lesung sejak muda. Untuk nada yang dimainkan, mereka mewarisinya dari orangtua mereka. "Ini seni peninggalan nenek moyang. Walau tidak ada yang ditumbuk, kami bisa tetap main-main seperti ini untuk hiburan kalau kumpul s

MEREKA BERTAHAN DI TENGAH BUDAYA POP

Setiap pulang sekolah, bersama sejumlah temannya, Egi Darmawan (14), siswa SMP Negeri 1 Somagede, Kabupaten Banyumas, belajar tari dan karawitan di Padepokan Seni Banyubiru di Desa Plana, Kecamatan Somagede. Dia mengaku tidak malu dan tidak khawatir dikatakan kolot, belajar seni tradisional. Saya malah bangga bisa berkesenian tradisional. Bisa ke mana- mana. Sebenarnya saya juga suka seni modern, tetapi saya lebih bangga dengan seni tradisional," ujar Egi Darmawan. Di padepokan itu ada sekitar 20 anak dan remaja putri berusia 8- 15 tahun yang setiap Selasa dan Jumat pukul 14.00-17.00 berlatih tari banyumasan. Bahkan ada beberapa anak yang belajar tari di padepokan tersebut sejak usia tujuh tahun. Salah satunya adalah Dwi Retnoningsih (12), siswa Kelas VI SD Plana Satu. "Saya memang senang tari. Banyak teman-teman saya di sekolah yang ikut tari," kata Dwi yang menguasai paling tidak lima tari tradisional banyumasan seperti sonderan, tredel, merak, mrampak, dan manipuri.

SAJIAN CALUNG ANAK-ANAK BANYU BIRU PLANA

Image
Siapa bilang anak-anak muda tidak lagi menyenangi kesenian tradisonal? Kalau kita mau jujur, semua itu sangat bergantung seberapa jauh mereka berkesempatan untuk berapresiasi dengan ragam kesenian tradisional di lingkungan sekitar. Semakin besar apresiasi, maka kian besar pula kecintaan dan sense of belonging dalam diri mereka. Sebaliknya, jika mereka tidak memiliki media apresiasi yang cukup, rasa kecintaan mereka pun menjadi rendah. Lihat saja, anak-anak Padhepokan Seni Banyu Biru Plana yang sudah demikian terampil memainkan alat musik calung di saat usia mereka masih muda belia. Anak-anak Padhepokan Seni Banyu Biru Plana dalam sebuah sajian calung Banyumasan

APLANG ATAU DHAENG

Image
Pertunjukan seni aplang atau dhaeng yang sekarang masih hidup di Desa Kanding, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas

FOTO PERTUNJUKAN AKSIMUDHA

Image
Pertunjukan Aksimudha di Desa Purwadadi, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas

ANAK MASA DEPAN

Image
Main Ebeg di Teras Saat umur 2 thn Gading main ebeg di teras. Dia juga paling suka main ebeg sama teman-teman saat menjelang senja dan memaksa ayahnya main wayang di waktu senggang. Akankah dia masih mau menari dengan hati saat dia besar nanti???? Entahlah. Tapi dia adalah bagian dari masa depan. Main ebeg bersama teman-teman Menyaksikan ayah bermain wayang

HAPPY SALMA BELAJAR RONGGENG

Image
Happy Salma bersama penari dan pelatih di Padhepokan seni Banyu Biru Plana. Dari Kiri: Shanty, Izah, Happy Salma, Devi dan Ajeng. Keberadaan Padhepokan Seni Banyu Biru di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas kian dikenal meluas. Artis nasional yang sedang naik daun, Happy Salma pun datang ke padhepokan seni yang berada di bibir sungai Serayu ini hanya untuk belajar njoged ronggeng atau lengger. Happy Salma belajar menari dan nyindhen ala ronggeng atau lengger Banyumasan guna mendukung produksi monolog 'Ronggeng Dukuh Paruk' yang bersumber dari novel karya Ahmad Tohari dan akan dipentaskan di beberapa kota di Indonesia pada bulan Oktober 2009. Pada foto di atas tampak Happy Salma foto bersama Devi dan Ajeng, dua penari dari Padhepokan Seni Banyu Biru. Pada foto di bawah ini dapat dilihat Happy Salma bersama personal Padhepokan dan salah satu momentum saat Happy Salma mencoba njoged bersama para penari. Foto bersama personal Padhepokan Seni Banyu Biru Njoged bersama

KEBERADAAN SENI BEGALAN DI BANYUMAS DEWASA INI

Saya baru saja mendapat dua pertanyaan penting dari happy.tingkerbell@yahoo.co.id tentang keberadaan seni begalan di Banyumas: (1) Bagaimana keberadaan seni begalan dewasa ini, dan (2) Bagaimana peran Pemerintah untuk mengatasi persoalan yang terjadi pada perkembangan seni begalan. Di bawah ini saya paparkan beberapa persoalan mendasar. Semoga dapat membantu pemahaman tentang eksistensi seni begalan dalam kehidupan masyarakat Banyumas saat ini. Keberadaan Seni Begalan di Banyumas Dewasa ini Hampir sama dengan ragam seni tradisional yang lain, begalan di Banyumas juga terkena imbas perubahan sosial (social change) yang ditandai dengan perubahan cara hidup dari tradisional-agraris ke arah modern-teknologis. Perubahan tersebut bukan saja meliputi aspek-aspek fisik, tetapi juga mencakup tataran sosial-psikologis maupun psiko-sosial masyarakat yang bersangkutan. Salah satu aspek psikologis yang paling menonjol adalah terjadinya transformasi nilai berupa penggantian nilai-nilai tradision

KEBERADAAN SENI BEGALAN DI BANYUMAS DEWASA INI

Saya baru saja mendapat dua pertanyaan penting dari happy.tingkerbell@co.id tentang keberadaan seni begalan di Banyumas: (1) Bagaimana keberadaan seni begalan dewasa ini, dan (2) Bagaimana peran Pemerintah untuk mengatasi persoalan yang terjadi pada perkembangan seni begalan. Di bawah ini saya paparkan beberapa persoalan mendasar. Semoga dapat membantu pemahaman tentang eksistensi seni begalan dalam kehidupan masyarakat Banyumas saat ini. Keberadaan Seni Begalan di Banyumas Dewasa ini Hampir sama dengan ragam seni tradisional yang lain, begalan di Banyumas juga terkena imbas perubahan sosial (social change) yang ditandai dengan perubahan cara hidup dari tradisional-agraris ke arah modern-teknologis. Perubahan tersebut bukan saja meliputi aspek-aspek fisik, tetapi juga mencakup tataran sosial-psikologis maupun psiko-sosial masyarakat yang bersangkutan. Salah satu aspek psikologis yang paling menonjol adalah terjadinya transformasi nilai berupa penggantian nilai-nilai tradisional den

Riview Buku

EKSPRESI SENI ORANG MISKIN Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan Oleh: Tjetjep Rohendi Rohidi A. Pendahuluan Saya benar-benar tergelitik terhadap judul besar buku Tjetjep Rohendi Rohidi yang berjudul Ekspresi Seni Orang Miskin ini. Rabaan awal yang terbayang dalam pikiran saya adalah Tjetjep telah berhasil melakukan kajian teoritik tentang fenomena kesenian yang berkembang di kalangan orang-orang miskin. Ini penting, mengingat hingga saat ini belum banyak dijumpai tulisan ilmiah tentang kesenian dengan kajian teoritik yang mendalam. Seakan-akan berbagai fenomena yang terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangan kesenian bukan lahan kajian yang menarik dibanding fenomena lain di masyarakat. Kelangkaan tulisan yang berisi kajian teoritik tentang kesenian perlu segera diatasi karena searah dengan perkembangan ilmu pengetahuan, bidang kesenian tidak saja dipelajari melalui tuntutan kemampuan skill untuk mampu menyajikan karya-karya yang berkualitas. Bidang kesenian juga mulai dipandang

PROSES KREATIF RASITO DI TENGAH KEHIDUPAN KARAWITAN DI BANYUMAS: IDEALISME VS PASAR

Pendahuluan Keberadaan Rasito sebagai pengrawit populer telah menarik minat beberapa peneliti untuk menelaah tentang kehidupan seniman yang satu ini dalam bentuk-bentuk tulisan ilmiah, diantaranya adalah Rene T.A. Lisloff1 dan Supardi2. Lisloff sebenarnya tidak secara langsung menulis Rasito dalam kedudukannya sebagai seniman. Ia menulis tentang pakeliran dalang Ki Sugino Siswocarito, seorang dalang terkenal di Banyumas. Namun demikian karena Rasito menjadi salah saorang pengrawit dalang tersebut, langsung maupun tak langsung di dalam tulisan Lisloff tertuang berbagai hal tentang seniman ini, terutama berkaitan dengan garap gendhing iringan wayang gagrag Banyumas hasil karyanya. Sementara di dalam thesisnya, Supardi membahas tentang latar belakang kehidupan Rasito sebagai seniman, lingkungan keluarga, proses belajar hingga menjadi seniman pengrawit yang cukup memberikan peran bagi pertumbuhan dan perkembangan karawitan gaya Banyumas. Ringkasan dari thesis ini selanjutnya diterbitk