KONSEP SESAJI DALAM SPIRITUAL KEJAWEN
Sebuah Refleksi
Oleh Yus Wong Banyumas
Hari ini kita membahas persoalan yang sedang sangat rentan. Tentang sesaji atau sajen, yang oleh salah satu kelompok keyakinan dianggap sebagai sesuatu kuno, bodoh, dan dosa besar. Saya yakin terjadinya anggapan semacam itu karena mereka tidak tahu, tidak paham, hanya melihat kulitnya, tanpa tahu makna yang lebih dalam. Sebagian dari mereka mungkin mengerti, tapi karena nuraninya telah tertutup oleh pemahaman dogma yang membabi-buta maka mereka tidak segan membenturkannya dengan ajaran yang mereka yakini. Ditambahkan pula bumbu penyedap berupa kepentingan politik kekuasaan, sehingga tampak semakin sangar. Sesuatu yang semestinya biasa-biasa saja kemudian jadi luar biasa.
Sesaji yang sudah dikenal masyarakat nusantara sejak ribuan tahun yang lalu, sekarang dibahas dalam orasi-orasi, dikaitkan dengan fenomena bencana alam, bahkan fluktuasi ekonomi pasar dan perkembangan geo-politik global dikaitkan sebagai dampak sesaji. Sesaji yang dalam kehidupan komunitas kejawen dimaknai sebagai tindakan luhur berupa laku pemujaan, persembahan, caos pisungsum, mbekeni, dan atau mbekteni leluhur telah dimaknai secara serampangan. Lalu menjadi alasan pembeda untuk sekedar meneguhkan legitimasi seolah “punyaku lebih baik dari punyamu”. Ini sungguh mal-praktek dalam bertuhan!
Sesaji: Magi dan Filosofi
Sesaji dalam pandangan para spiritualis kejawen memiliki dua elemen penting yaitu elemen magi dan elemen filosofi. Kedua elemen tersebut terkait dengan perwujudan sesaji dan tujuan sesaji.
1. Magi
Elemen magi terdapat dalam wujud kebendaan atau fisik sesaji. Magi berasal dari kata magicus (bahasa Latin) atau mageia (bahasa Yunani) yang berarti ritus atau cara tertentu yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib dan dapat menguasai alam sekitar, termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia. Kalangan spiritualis kejawen meyakini bahwa di dalam wujud kebendaan tertentu terdapat kekuatan-kekuatan tertentu yang mampu menghubungkan manusia dengan berbagai kekuatan alam semesta.
Elemen magi pada sesaji hadir sebagai laku dalam berkontemplasi dengan alam semesta guna berkomunikasi dengan leluhur. Siapa itu leluhur? Yaitu kakek moyang yang telah sumare. Sukma mereka diyakini tidak pernah mati. Berada di alam kelanggengan (keabadian) dan jiwanya masih mampu melakukan sesuatu sesuai dengan perilaku selama hidup di dunia. Mereka yang semasa hidupnya berbuat kebajikan, mengayomi kluarga dan lingkungannya, maka setelah meninggal jiwa mereka masih terus berbuat kebajikan dan mengayomi anak cucu. Sebaliknya mereka yang semasa hidupnya suka berbuat kerusakan dan kejahatan, maka sukma mereka tinggal di batu kayu dan jiwa mereka menjadi hantu-hantu gentayangan.
Ajaran budi luhur yang merupakan dasar piwulang para spiritualis kejawen telah menjadi kekuatan kesadaran para spiritualis kejawen senantiasa berperilaku hormat kepada leluhur ingkang sampun sumare. Untuk itulah pada waktu-waktu tertentu mereka melakukan ritual yang bertujuan untuk menghormati leluhur. Mereka melakukan tindakan pemujaan, persembahan, caos pisungsum, mbekeni, dan atau mbekteni melalui sesaji. Wujud-wujud kebendaan tertentu seperti kukus menyan, bunga, bubur panca warna, nasi tumpeng, dan sejenisnya diyakini memiliki kekuatan magis sebagai sajian bagi leluhur.
Di sisi lain para spiritualis kejawen meyakini bahwa sukma dan jiwa leluhur ingkang sampun sumare telah berada pada posisi lebih dekat dengan Tuhan di alam kelanggengan. Untuk itulah pada momentum-momentum tertentu mereka caos sesaji dengan tujuan ngayom dan nyuwun pitulungan bagi tercapainya tujuan dan cita-cita. Bagi mereka, yang mati adalah wujud fisiknya. Sukma dan jiwanya masih hidup di alam kelanggengan sebagai bagian dari kuasa Tuhan dan masih berkemampuan paring pitulungan kepada anak-cucu.
Tindakan ini didasari oleh kesadaran akan kekurangan atau ketikdak-sempurnaan pada diri manusia Jawa. Ibarat seseorang yang klilipan maka ia akan minta bantuan orang lain untuk meniup matanya sehingga klilip segera hilang. Seseorang yang sakit minta bantuan dokter didasari oleh keyakinan bahwa dengan ilmu yang dimiliki maka seorang dokter dapat menyembuhkan penyakitnya. Seseorang yang akan membangun rumah minta bantuan ahli bangunan untuk mendirikan rumah yang diinginkan. Seseorang yang ingin selamat dan rejekinya lancar meminta bantuan leluhur dengan harapan mendapat keselamatan dan kelancaran rejeki. Dokter dan ahli bangunan bukan Tuhan. Demikian pula leluhur juga bukan Tuhan. Tetapi dengan didasari oleh keyakinan akan keahlian yang dimiliki maka dokter, ahli bangunan dan leluhur dapat menjadi lantaran tercapainya tujuan dan cita-cita.
Orang Jawa yakin betul betapa manusia lahir di dunia dibekali kemampuan yang berbeda-beda dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Setiap orang memungkinkan memiliki bakat dan minat serta tingkat kesuksesan yang berbeda-beda. Dengan bakat dan minat yang sama pun belum tentu menjangkau pencapaian dengan kualitas dan kuantitas yang sama. Ibarat manuk ana ing sajroning kurungan, maka jenis bahan dasar, bentuk dan kekuatan kurungan berpengaruh pada jenis burung di dalamnya. Kurungan kecil terbuat dari bambu lebih cocok untuk tempat tinggal burung emprit, gelatik, parkit dan sejenisnya. Sedangkan kurungan besar dengan ruang yang luas cocok untuk cucak rawa, rajawali, elang, dan sejenisnya. Ini merupakan kesadaran kaum spiritualis kejawen tentang adanya perbedaan dan ketidak-sempurnaan titahing Gusti.
Dan tindakan ngayom terhadap leluhur adalah bentuk effort atau usaha menutup celah kekurangan atau ketikdak-sempurnaan pada diri seseorang. Melalui cara ning dan neng mereka berkontemplasi, menyambungkan setiap getaran dan frekuensi alam semesta untuk berkomunikasi dengan leluhur, mengabarkan tentang keluh kesah dan gegayuhan, lalu mengharap leluhur akan meluluskan segala yang diminta.
Pada kesempatan yang berbeda, bahkan para spiritualis kejawen dapat mengundang leluhur untuk hadir pada sebuah perhelatan yang dilakukan dalam kehidupan sosio-kultural. Salah satu contoh yang dijumpai pada pertunjukan ebeg. Para pelaku pertunjukan ebeg menyiapkan berbagai macam sesaji untuk nggayuh datangnya leluhur yang mereka sebut dengan istilah indhang untuk merasuk ke dalam diri pemain sehingga para pemain ebeg mengalami trance atau wuru/mendem.
2. Filosofi
Sesaji memiliki makna filosofi yang terletak pada simbol-simbol. Sebagai homo-symbolicum orang Jawa paling pandai menciptakan simbol dan memaknainya selaras dengan kontinuitas kehidupan di jagat sesrawungan. Kukus menyan yang dari tinjauan magi bermakna sebagai sekul pethak ganda arum sebagai suguhan bagi leluhur, memiliki makna simbolis sebagai tangga pencapaian ngudag kusumaning Hyang Jati (nengkaji dan menghayati seta menelusuri hakekat dari nilai-nilai ketuhanan). Demikian pula bubur manca warna dengan warna merah, putih, kuning, hitam dan hijau memiliki makna simbolis empat unsur alam dalam diri manusia yaitu api, air, angin dan tanah sebagai asal badan sekojur dan bubur warna hijau melambangkan inel-ineling menungsa.
Melalui jembatan keledai berupa simbol, manusia memaknai setiap wujud kebendaan dan suasana dengan makna yang lebih dalam dan semakin dalam guna mengenali lebih jauh tentang ketuhanan. Penganut spiritual kejawen berpegang teguh pada ajaran leluhur, “Weruh marang Pangeran iku ateges wis weruh marang awake dhewe, lamun durung weruh awake dhewe tangeh lamun weruh marang Pangeran.” Ajaran tersebut menegaskan bahwa mengenali Tuhan sama dengan mengenali diri sendiri. Sebagai sosok utuh dalam kediriannya yang kasat mata dan tangan kasat mata. Artinya ketika kita ingin mengenali Tuhan maka kita harus memulai dari mengenali diri sendiri. Yang dimulai dari tidak ada, menjadi ada, dan kelak kembali tidak ada. Mbiyen ora ana, siki dadi ana, mbesuk bakal ora ana. Gusti tan kena kinayangapa. Kahanan lan wahananing Gusti mutlak menjadi rahasia alam yang titah tidak berwenang mengetahuinya.
Karsaning Gusti baru dapat dirasakan kehadirannya ketika sudah sagelar sapapan kanyatan lan kasunyataning urip. Menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap wewujudan lengkap dengan segenap eksistensinya. Karsaning Gusti kawedhar melalui alam pikir, alam rasa, alam batin, alam kehendak hingga tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Apabila alam pikir, rasa lan batin sudah manunggal atau nyawiji dengan kahanan lan wahananing Gusti maka Gusti kasarira pada diri manusia. Dan saat itulah seorang manusia menjadi panjalmanjng Gusti.
Sebagaimana tergambar pada nasi tumpeng, konsep ketuhanan versi spiritualis kejawen adalah tunggal dan manunggal. Manusia Jawa sejak ribuan tahun yang lalu mengenal Tuhan dalam konsep monotheisme. Bukan polytheisme. Konsep polytheisme baru dikenalkan kepada bangsa Jawa sejak agama Hindu masuk ke nusantara kurang lebih dua abad sebelum masehi. Tuhan dengan berbagai sebutannya seperti Hong, Hyang, Pangeran dan lain-lain diyakini manunggal atau nyawiji menjadi satu-kesatuan eksistensi setiap makhluk atau titah di dunia ini.
Dalam perwujudannya, Gusti (Tuhan) manunggal atau nyawiji di dalam setiap bentuk atau wewujudan yang ada di jagat raya seperti bintang, bulan, matahari, batu, pohon, air, gegremetan, dan tidak terkecuali manusia. Kahanan lan wahananing Gusti menjadi satu-kesatuan yang utuh dalam konteks kanyatan dan kasunyatan, fisik dan nir-fisik, kasat mata dan tan kasat mata.
Sesaji sebagai Kesadaran Sosial
Spiritualis kejawen memiliki dua kitab yang tidak akan tamat dibaca seumur hidup sampai akhir jaman berupa kitab tan tinulis yang disebut Kitab Jagat Gumelar (macro cosmos) dan Kitab Jagat Gumulung (micro cosmos). Wujudnya tertuang dalam sastra cetha dan sastra lampah. Jagat gumelar tidak lain adalah jagat seisinya berupa bintang, bulan, matahari bumi, mega, hujan, laut, batu, kayu, api dan sebagainya baik yang kasat mata maupun tan kasat mata. Sedangkan jagat gumulung adalah badan sekojur pada diri manusia meliputi wujud fisik, sukma, jiwa, pikir, rasa, batin, swasana, nasib dan seterusnya. Untuk memahami hal ihwal tentang hidup maka manusia harus membaca setiap fenomena yang dijumpai pada jagat gumelar maupun jagat gumulung. Penuangan melalui sastra cetha maksudnya adalah segala bentuk atau wujud kebendaan hingga makna, sifat dan fungsinya yang harus dimengerti dan dipahami secara lebih dalam dan lebih dalam lagi. Adapun yang dimaksud dengan sastra lampah adalah pemahaman tentang alam rasa, alam pikir, alam batin, krenteg, karep (kehendak) hingga perwujudan dalam omong sekecap laku setindak dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu pun harus dipahami sedalam-dalamnya tanpa pretensi.
Caos sesaji dalam berbagai perwujudannya didasari oleh kesadaran manusia sebagai makhluk dependen yang tidak dapat hidup sendiri. Faktanya, di dalam sesaji selain terkandung elemen magi dan elemen filosofi, juga terkandung kesadaran sosial dalam konteks hubungan dengan sesama manusia, dengan sesama hidup, dengan alam semesta, dengan Tuhan. Seberapa jauh seseorang berkemampuan membaca Kitab Jagat Gumelar dan Kitab Jagat Gumulung berbanding searah dengan kemampuan seseorang memaknai setiap sisi hubungan tersebut. Dan semua itu terangkum di dalam macam-macam sesaji yang dipersembahkan.
Kesadaran manusia sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk bertuhan secara nyata tergambar pada nasi tumpeng beserta lauk-pauknya. Nasi tumpeng sendiri merupakan symbol hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara itu lauk-pauknya menggambarkan kebhinekaan dalam kehidupan sosial. Lauk pauk terdiri dari berbagai jenis olahan dari bahan dasar sayuran dan daging yang memiliki aneka rasa manis, asin, asam, pahit dan pedas menggambarkan berbagai jenis manusia lengkap dengan segala sifat dan perilakunya. Kluban yang berupa perpaduan sayuran dan ampas kelapa menggambarkan bahwa setiap orang harus mampu hidup berbaur dengan siapa saja di lingkungannya dengan saling mengisi untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tenteram dan damai.
Masih banyak lagi ragam sesaji yang memiliki makna kesadaran sosial. Alas tikar menggambarkan betapa dalam kehidupan sosial setiap individu harus satu maksud satu tujuan yang didasari oleh nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan. Lawon (kain mori putih) memiliki makna hendaknya dalam ucapan dan tindakan harus dilandasi oleh perasaan dan pikiran yang bersih. Sementara itu bunga-bungaan diartikan bahwa dalam hidup ini harus mampu berbuat hal terbaik yang menebarkan keharuman nama diri dan kelompok sosialnya.
Wedang kopi memiliki makna bahwa manusia dalam hidupnya harus senantiasa siap menghadapi manis-pahitnya kehidupan. Bekakak atau ingkung menggambarkan bahwa hidup harus senantiasa pasrah sumarah mring purbaning Gusti. Sedangkan jajanan pasar menggambarkan kerukunan dalam perbedaan yang harus senantiasa tenggang rasa. Dan ikan teri yang merupakan jenis ikan kecil yang suka bergerombol melambangkan manusia dalam hidupnya harus senantiasa hidup rukun saling menghargai, saling menghormati dan saling tolong-menolong.
Kesimpulan
Sesaji sebagai sebuah prosesi ritual tradisional bukanlah sesuatu hal yang bersifat gugon tuhon. Sebagai wujud persembahan, sesaji didasari oleh alu pikir logis dan rasional sesuai dengan konsep alam pikir, alam rasa dan pengalaman hidup masyarakat pendukungnya. Di dalamnya terkandung kaya makna yang harus digoleki (dicari) sejauh mungkin dalam koridor positif thinking dan kesadaran diri sebagai makhluk bertuhan sekaliguis sosial. Melalui berbagai perwujudannya, sesaji adalah wujud doa. Di sini kita dapat melihat betapa doa tidak selalu harus berwujud kata-kata. Wujud kebendaan atau suasana dapat dimaknai secara simbolis yang arahnya adalah sebagai bentuk panyuwunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di dalam sesaji terkandung pula simbol-simbol terkait dengan kehidupan sosial manusia yang bersifat dependen, saling membutuhkan. Untuk itulah melalui pemaknaan sesaji yang santun dan beradab maka akan dijumpai nilai-nilai luhur yang dapat digunakan sebagai media pemersatu bangsa.