CATATAN KECIL TENTANG LENGGER LANANG DAN MASA DEPANNYA

Oleh: Yus Wong Banyumas

Catatan tentang keberadaan lengger dengan jelas terpapar di dalam Serat Centhini Jilid V pupuh 321-356 karya Adipati Anom (1814-1823). Di dalamnya tertuang pengalaman Mas Cebolang di Wirasaba yang mendapati Kanjeng Adipati jatuh cinta kepada ledhek Nurwitri. Meskipun Kiai Adipati mengetahui Nurwitri sejatinya seorang pria, tetapi hatinya sungguh-sungguh hanyut oleh ledhek yang dibawa oleh Mas Cebolang. Dalam pengaruh brem, tape dan tuak, ia mabuk bercampur asmara. Nurwitrilah yang menjadi sasaran asmaranya. Baru kali inilah ia berkehendak yang janggal. Nurwitri dibawa pulang ke rumah tembok bagian belakang. Kiai adipati berkata, “Nurwitri majulah sedikit, saya akan tidur karena itu selimutilah dan bersenandunglah. Nurwitri menjawab, ya, sambil mengerling dan mengatupkan bibirnya. Kiai Adipati segera memeluk leher Nurwitri. Ia gemas maka Nurwitri dicubit kemudian bibir dan pipinya dihisap dan dicium. Tingkahnya tidak berbeda dengan menghadapi wanita.

Pupuh Sinom:
57. Ki Dipati ris ngendika
Endi sabatmu kang dadi
Tandhak kang jebles wanodya
Mas Cebolang matur inggih
Punika kang prayogi
Pun Nurwitri namanipun
Pinundhut binusanan
Carestri ronggeng linuwih
Pinaringken kinen tumili lekasa

Pupuh Dhandhanggula:
14. Ki Dipati angendika aris
Esmu ngguyu marang Mas Cebolang
Panjakmu Nurwitri kuwe
Lah tilaren karuhun
Dimen kari nang njero becik
Suka tyas sun tumingal
Lir wong wadon lugu
Nora mantra-mantra lanang
Lan maninge manira akrya ringgit
Nurwitri kang muruka

22. Wuru kaworan alimpang brangti
Mring Nurwitri kang binrangti anyar
Katemben blero karsane
Nulya binekta kondur
Maring dalem gedhong kang wingking
Ki Dipati ngendika
Nurwitri dimaju
Sun sare singeben ingwang
Sembari rengeng-rengenga Lompong Keli
Montro Petung Wulungan



Catatan Thomas Stamford Raffles yang ditulis antara tahun 1811 hingga 1816 berjudul  The History of Java (1978), bahwa di Jawa ada perempuan penari tradisi yang disebut ronggeng.  Dalam tulisannya tersebut Raffles menceritakan bahwa  kesenian itu  oleh kalangan rakyat jelata hingga priyayi dan tampil dalam pertunjukan kesenian dari kota hingga pelosok desa. Raffles  menganggap penarinya  melakukan tindakan yang tidak terhormat yaitu tidur dengan banyak laki-laki hingga menurutnya seperti pelacur.

Kedua catatan tersebut membuktikan bahwa pada tarian rakyat di Banyumas, baik yang dilakukan oleh perempuan berdandan perempuan maupun laki-laki berdandan perempuan sudah menjadi pertunjukan popular di wilayah Banyumas dan sekitarnya. Namun demikian belum ada istilah “lengger” untuk menyebut ragam pertunjukan tersebut. Beberapa istilah yang digunakan adalah “ledhek”, “tandhak”, dan “ronggeng”. Istilah “ledhek” dan “tandhak” lebih popular di wilayah kebudayaan Jawa, sedangkan istilah “ronggeng” lebih berkembang di wilayah kebudayaan Sunda.

Istilah “lengger” diperkirakan baru muncul setelah pada abad ke-19 semakin banyak penari laki-laki berdandan perempuan seiring dengan mulai berkembangnya kethoprak tobong yang melakukan pentas keliling. Lengger dengan penari pria berdandan wanita berkembang sejajar dengan ronggeng dan ledhek atau tandhak (juga disebut tayub). Istilah “lengger” dikenal sebagai jarwo dhosok (kata bentukan) yang berarti diarani leng jebulane jengger. “Leng” adalah simbolisasi kelamin wanita, sedangkan “jengger” adalah simbolisasi kelamin pria. “Lengger” bermakna dikira wanita ternyata pria.


Konsep Subtelrn

Spivak (1994)  menggunakan konsep Gramsci tentang Subaltern, yang berarti ‘berasal dari tingkat bawahan’, adalah sebuah istilah yang digunakan Antonio Gramsci untuk merujuk pada kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berada di bawah hegemoni kelas yang berkuasa. Kelas subaltern bisa mencakup petani, buruh dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses ke kekuasaan ‘hegemonik’. Karena sejarah dari kelas yang berkuasa terwujud dalam negara, sehingga sejarah adalah sejarah dari negara dan kelompok-kelompok dominan. 


Konsep Male Gaze

Satu pandangan yang sangat dekat dengan isu perempuan seni tradisi adalah male gaze (Laura Mulvey, 1990). Mulvey menjelaskan konsep male gaze dalam industri sinematografi, yang menurutnya terlalu menggunakan pandangan laki-laki. Dalam sinema, gambar dan arahan dalam film sangat dipengaruhi oleh laki-laki. Pesan yang ada dalam film  dipengaruhi oleh laki-laki yang kemudian disampaikan  pada penonton, sementara perempuan hanya menjadi  tontonan. Male gaze juga dapat berarti  fantasi laki-laki tentang figur perempuan, perempuan juga diarahkan agar “to be look at ness”.  Agar perempuan “enak dipandang”,  maka perempuan ditampikan  untuk kekuatan visual dan erotis, digambarkan sebagai obyek seksual, menampilkan diri untuk kepuasan laki-laki. Film juga seringkali menampilkan laki-laki sebagai tokoh protagonis, perempuan hanyalah dijadikan material pasif untuk tatapan laki-laki (aktif).


Bagaimana dengan Lengger (Lanang)?

Lengger adalah seni pertunjukan tradisional yang berangkat dan berkembang dari kalangan masyarakat jelata yang jauh dari hegemoni kekuasaan kraton. Di sini penari lengger melebur diri dan menyerahkan diri secara total kepada tradisi leluhur dengan mengorbankan citra dirinya sebagai laki-laki. Seorang pria penari lengger telah menanggalkan maskulinitasnya dan menggantinya dengan femininitas untuk keperluan pertunjukan dan daya tarik penonton. Dan ini membuka peluang hingga perlakuan terhadap dirinya di luar pementasan. Ia merelakan dirinya dipandang berada di bawah hegemoni kaum pria sebagai “wanita”. Seorang lengger harus merelakan dirinya diposisikan layaknya seorang wanita seperti pada kasus ledhek Nurwitri pada Serat Centhini.

Keberadaan lengger merupakan geliat resistensi kalangan subaltern untuk mempertahankan eksistensinya. Secara cultural dapat dilihat adanya resistensi kultur rakyat Banyumas terhadap kultur kraton. Di sisi ekspresi diri telah terjadi resistensi kalangan rakyat jelata di antara para priyayi dan juragan di lingkungan sehari-hari. Seorang pria dari kalangan buruh tidaklah bermakna apa-apa di lingkungan high class di kampungnya. Tetapi ketika dia mampu hadir secara total sebagai lengger, maka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menjadi kembang panggung yang dikagumi laksana seorang bintang.

Dalam kultur Patriarkhis lelaki lebih bebas berekspresi dalam pertunjukan. Jika perempuan ronggeng tidak memiliki ruang ekspresi yang total di panggung, maka melalui lengger seorang pria dapat tampil lebih total dalam jogedan, tembangan, maupun ekspresi panggung lainnya. Hal ini diperkirakan telah menjadi titik penting kehadiiran lengger di Banyumas dan sekitarnya. Mereka yang memilih lengger sebagai media ekspresi estetis menimbang diperlukannya tampilan wanita di panggung pertunjukan telah menjadi peluang kebebasan ekspresi para pria melalui pertunjukan lengger. 

Tidak dapat dielakkan bahwa dalam setiap hiburan yang menampilkan perempuan sebagai primadona pertunjukannya, maka perempuan menjadi perhatian utama dalam kesenian tersebut. Kesadaran akan male gaze ini rupanya membangkitkan motivasi kaum laki-laki berkostum perempuan agar dirinya mampu menjadi obyek imajiner bagi penonton dengan memandangnya sebagai sosok perempuan. Hal ini dengan jelas digambarkan dalam Serat Centhini betapa Adipati Wirasaba dalam pengaruh brem dan tuak telah terlena oleh penampilan Nurwitri.

Tidak dapat dielakkan bahwa penari menggunakan tubuhnya sebagai alat utama dalam pekerjaan yang mereka jalani. Maka teori tentang tubuh diperlukan untuk menjelaskan bagaimana lengger dalam pandangan teori feminis. Moira Gatens (1999)  mengungkapkan  bahwa  arus utama pemikiran feminis telah mendikotomi   tubuh dan perempuan, yaitu pikiran versus tubuh, dan alami versus budaya.   Sejarah telah membuat dikotomi bahwa tubuh perempuan disamakan dengan ruang domestik dan tubuh laki-laki dengan ruang publik.  

Menurut Gatens, persoalan tentang tubuh perempuan  tidaklah sesederhana menjelaskan bagaimana laki-laki dan perempuan menjadi maskulin dan feminin, tetapi  bagaimana tubuh  ditandai menjadi laki-laki dan perempuan. Gatens mengutip pemikiran Foucault bahwa sejarah telah mengkonstruksi  tubuh laki-laki  yang tidak mendapat pertanyaan tentang  perbedaan seksual. Menggunakan pendekatan Foucault, bahwa tubuh imajiner merupakan efek dari sosial dan sejarah; dan dampaknya bukan pada genetis tetapi pada kekuasaan. Selanjutnya Gatens menganggap bahwa tubuh imajiner telah menjadi kerangka kerja yang dapat menjelaskan bagaimana kekuasaan,  dominasi dan perbedaan seksual saling terkait satu sama lain dalam pengalaman kehidupan laki-laki dan perempuan.

Dalam politik tubuh, telah menempatkan laki-laki dalam ruang publik yang merupakan kesewenangan sejarah. Politik tubuh itu sendiri akhirnya membuat tubuh laki-laki memiliki kekuasaan  dan kapasitas yang semakin berkembang. Oleh karena itu Gatens mengusulkan agar  pengejawantahan perempuan mampu untuk membawa perempuan memiliki posisi setara dalam partisipasi sosial politik. Dengan demikian politik tubuh  dapat dibentuk untuk perkembangan dan   memperbaiki sejarah dan  kehidupan saat ini. 


Pengembangan Lengger

Sejak kekuasaan Orde Baru telah terjadi kekacauan istilah antara ledhek atau tayub di sisi timur sungai Serayu dan ronggeng di sisi barat sungai Serayu dengan istilah “lengger” yang pada awalnya dilakukan oleh pria. Untuk kepentingan efeumisme, pertunjukan tayub, ronggeng, dan lengger, selanjutnya disebut lengger. Iringannya yang pada awalnya menggunakan ringgeng, gamelan dan calung, selanjutnya hanya dipilih calung. Sekarang kita hanya dapat melihat pertunjukan lengger dengan iringan calung.

Dewasa ini berbagai ragam pertunjukan tradisional mati suri atau bahkan punah tergerus oleh arus perubahan yang menempatkannya sebagai bagian masa lampau yang usang dan tidak popular. Namun demikian pertunjukan lengger (dengan penari perempuan) masih terus berlanjut. Meskipun sering kali masih dimaknai minir dan tampil dalam kondisi yang kurang bergairah, kenyataannya pertunjukan lengger masih digemari masyarakat.

Bagaimana dengan lengger lanang? Pertunjukan lengger adalah media ruang publik yang dapat diisi oleh penari pria maupun wanita. Persoalannya adalah penari pria yang berdandan wanita lebih sering dimaknai sebagai sosok banci dan kegagalan berekspresi dalam kesejatiannya. Namun demikian di setiap penampilannya selalu dilihat lebih seksama, dinilai lebih dalam, disbanding jika sosok penari itu dilakukan oleh wanita yang sesungguhnya. Hal ini sesungguhnya dapat menjadi kekuatan yang dapat dikembangkan lebih jauh menjadi pertunjukan tradisional Banyumas di masa yang akan datang.

Untuk pengembangan lengger dengan penari pria di masa sekarang dan masa yang akan datang saya mengusulkan agar kiranya seniman lebih kreatif mengangkat setiap potensi yang ada di dalamnya. Potensi gerak tarian adalah kekuatan utama. Tetapi potensi sosok penari yang berjenis kelamin laki-laki juga tidak kalah pentingnya. Kita bisa melihat sosok Tessy dalam Srimulat. Ia berdandan wanita. Tetapi melalui gesture maupun dialog di panggung tetep mencerminkan bahwa dia adalah seorang pria.

Dalam konteks pengembangan lengger, perlu kira menempatkan sosok pria sebagai pria, dengan tanpa menghilangkan tampilan, kebiasaan dan pola pertunjukan yang feminin dengan penari sebagai obyek imajiner perempuan. Hal serupa juga telah dilakukan oleh Didik Nini Thowok yang senantiasa hadir sebagai sosok perempuan di panggung pertunjukan tanpa meninggalkan kodrat kelaki-lakiannya.




Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS SEBAGAI KEKUATAN PARIWISATA