KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING
A. Tema/Judul/Nama
1. Tema : Permainan Anak pada saat Bulan Purnama
2. Judul Karya : Seliring Genting
B. Gagasan Dasar Penciptaan
Seliring Genting adalah jenis permainan anak di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas yang dilakukan pada saat bulan purnama. Permainan ini dilakukan oleh sekelompok anak-anak yang membentuk barisan mirip ular-ularan dan berhadapan dengan satu orang anak yang berperan sebagai Maling Aguna. Seorang anak yang berada dalam posisi paling depan disebut Nini-nini Sing Tunggu Wulan dan yang paling belakang disebut pitik trondhol. Permainan didahului dengan tembang yang dinyanyikan secara bersama-sama. Di dalam permainan, Maling Aguna berhadapan langsung dengan Nini-nini Sing Tunggu Wulan. Pada pertemuan itu diceritakan Maling Aguna bermaksud akan meminta api kepada Nini-nini Sing Tunggu Wulan. Dipertanyakan, apakah tidak panas, karena Maling Aguna meminta api tanpa membawa wadah apapun. Lalu Maling Aguna meminta dengan paksa seekor pitik trondhol yang akan digunakan untuk cémpal (alas tangan agar tidak panas). Permintaan itu tidak dipenuhi, maka kemudian Maling Aguna pun memaksa dengan cara mengejar ekor dari barisan yang menyerupai ular-ularan itu dengan tujuan untuk menangkap anak yang berada di urutan paling belakang dari barisan (pitik trondhol). Apabila peran pitik trondhol berhasil ditangkap, maka permainan selesai dan dimulai lagi dengan berganti peran; pitik trondhol berperan sebagai Maling Aguna. Demikian seterusnya.
Pada saat kehidupan masyarakat di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas masih berlangsung dalam pola tradisional-agraris, Seliring Genting menjadi salah satu permainan yang sangat digemari anak-anak pada saat bulan purnama. Sekelompok anak biasanya berkumpul di halaman yang luas untuk jonjang (bermain bersuka-ria) dengan berbagai macam permainan yang salah satunya adalah seliring genting. Di dalam permainan ini sarat dengan ajaran yang sangat berguna sebagai sarana mendapatkan pengalaman empirik yang berguna bagi masa depan mereka. Seliring Genting selain berisi permainan olahraga adu ketangkasan, juga terdapat tembang dan tarian. Melalui permainan ini anak-anak dapat belajar tentang strategi merebut dan menghindar, kemampuan berkompetisi, ketahanan mental, kekuatan fisik, rasa kebersamaan dan jiwa korsa, kedekatan dengan alam lingkungan, kemampuan olah vokal, dan kemampuan gerak tarian. Semua itu merupakan representasi dari nilai-nilai dasar dalam kehidupan yang sangat penting bagi perkembangan jiwa anak-anak.
Berbagai macam kekuatan yang terdapat dalam performa permainan seliring genting sebagaimana tersebut di atas, sangat mungkin digarap atau dikembangkan ke dalam suatu bentuk karya tari yang diperuntukkan bagi anak-anak. Penggarapan atau pengembangan dapat dilakukan melalui cara membesut, menstilisasi, mengubah, membuang, mengambil, menambah kekuatan-kekuatan yang ada ke dalam karya baru dirasa cocok untuk dunia anak-anak. Dengan cara demikian diharapkan akan terwujud sebuah karya tari anak-anak yang membumi dan mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan jiwa anak ke arah yang positif dan konstruktif.
C. Konsep Penciptaan
Konsep dasar penciptaan karya tari Seliring Genting adalah dalam rangka menambah khasanah tarian anak-anak gaya Banyumasan. Pengambilan sumber garapan dari permainan anak seliring genting yang berkembang di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas tidak lain sebagai usaha pendekatan kultural antara gagasan dasar atau gagasan isi dan rancangan wujud hasil ciptaan. Dengan sumber garapan berupa permainan anak yang berkembang di Banyumas, maka pengungkapan gagasan ke dalam wujud karya berlangsung mengalir sesuai dengan ragam budaya yang melatarbelakanginya.
Wujud garapan adalah karya tari tradisi yang dirancang untuk anak-anak usia antara 10-15 tahun. Anak-anak yang berada pada tataran usia ini, memungkinkan melakukan gerak-gerak tari yang variatif tanpa menghilangkan jatidiri dan dunianya. Pola dasar permainan seliring genting sengaja tidak dihilangkan dengan harapan nuansa permainan yang menjadi sumber garapan tidak hilang. Namun demikian, di dalamnya dilakukan penambahan-penambahan gerak tarian yang disesuaikan dengan pola ritme dan irama musik pengiringnya. Ragam gerak tarian dipilih ragam gerak tari Banyumasan sebagaimana yang dapat ditemukan pada berbagai ragam kesenian lokal setempat, seperti lengger, ebeg, aplang, cowongan, ujungan dan aksimudha. Dengan demikian di dalam perwujudannya terdapat berbagai nuansa sajian kesenian yang menjadi sumber inspirasi dalam penciptaan gerak tarian. Langkah ini dimaksudkan untuk mewujudkan bentuk tarian yang variatif dan inovatif, sehingga selain diharapkan mampu menghadirkan kualitas sajian yang memenuhi standar estetik, juga memiliki dinamika sajian yang enak ditonton dengan tanpa meninggalkan pola-pola yang umum berlaku dalam dunia kanak-kanak yang sederhana, lugu, gembira, ceria, dan apa adanya.
Ragam gerak tari Banyumasan yang umumnya dinamis memang sangat memungkinkan dijadikan sebagai media representasi bagi kehadiran dunia kanak-kanak dalam sajian karya tari ini. Citra kanak-kanak yang gembira dan ceria diwakili oleh ragam gerak tarian yang dinamis dan dalam tempo yang cenderung cepat. Sebagai penghubung antara pola permainan anak dengan gerak tarian tradisi dalam karya ini digunakan ragam gerak non-tradisi atau non-konvensional yang tetap bersumber dari ragam gerak Banyumasan yang ada. Cara yang dilakukan adalah melalui penambahan volume, aliran garis gerak, hingga pada bangunan gerak tarian yang ditampilkan.
D. Tahap Penggarapan/Penyusunan
Dalam proses kreatif penciptaan karya tari ini terlebih dahulu dilakukan observasi atau pengamatan langsung terhadap bentuk permainan seliring genting yang menjadi sumber garapan. Hasil dari pengamatan langsung selanjutnya dijadikan sebagai bahan dasar penciptaan sesuai dengan kerangka dasar bentuk bangunan karya yang ingin diwujudkan. Di sini akan terlihat bahwa antara permainan yang menjadi sumber garapan belum sesuai dengan kerangka dasar karya yang ingin diwujudkan. Untuk itu kemudian pada bagian-bagian tertentu dari alur sajian memungkinkan diisi dengan gerak-gerak tarian konvensional maupun non-konvensional yang bersumber dari ragam tarian yang hidup dan berkembang di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. dalam hal ini permainan seliring genting diposisikan sebagai materi dasar, sedangkan ragam gerak tarian diposisikan sebagai isian dan penghubung agar menjadi satu-kesatuan karya yang utuh.
Guna mewujudkan sebuah karya tari yang sesuai dengan gagasan dasar maupun konsep penciptaan, maka dari keseluruhan sajian diwujudkan ke dalam plot-plot sajian yang dapat dibedakan menjadi:
1. Plot awal. Pada plot awal disajikan sekelompok anak-anak yang masuk ke dalam panggung dalam permainan seliring genting. Di sini permainan seliring genting disajikan secara utuh. Namun demikian untuk memenuhi standar kualitas estetik yang ingin diungkapkan, di sini dimasukkan pula ragam gerak tarian yang diselaraskan dengan pola permainan sesungguhnya.
2. Plot tengah. Plot tengah diawali dengan sajian tetembangan yang dilakukan bersama-sama oleh semua penari. Mereka melakukan tetembangan sambil menari dengan pola tarian non-konvenasional sebagai jembatan menuju tarian konvensional yang bersumber dari ragam gerak tarian Banyumasan. Secara tiba-tiba musik mengubah tempo permainan ke arah irama yang sedemikian rancak. Di sini penari mulai menari Banyumasan yang menggambarkan hasrat dan kekuatan diri pada anak-anak untuk senantiasa bersemangat menyongsong masa depan.
3. Plot akhir. Pada plot akhir yang merupakan ending dari keseluruhan sajian didahului oleh penampilan ragam gerak tarian non-konvensional dalam tempo yang cenderung lambat. Pada kesempatan berikutnya, sesuai dengan tempo permainan musik sajian beranjak ke tempo cepat dengan sajian ragam gerak tradisi Banyumasan.
E. Medium/Elemen
Beberapa elemen penting di luar ragam gerak tarian dalam sajian karya ini antara lain:
1. Iringan. Musik pengiring karya tari ini adalah calung Banyumasan dan genjringan dengan sajian berupa gendhing-gendhing tradisi Banyumasan dan lagu yang lazim dijumpai pada pertunjukan aplang. Sebagai penghubung antara satu aransemen gendhing dengan aransemen gendhing yang lain disertai pula ragam aransemen musikal non-tradisi. Sebagai bahan dasar dari keseluruhan sajian, dipilih beberapa gendhing antara lain: (1) lagu dolanan Seliring Genting, (2) gendhing Tlutur Banyumasan, (3) Jonjang Jolio, (4) lagu dolanan Buta Cakil, (5) gendhing Ilo Gondhang, (6) gendhing Cowet-cowetan, dan (7) lagu Tunggak Jati Mati.
2. Rias dan Busana. Tata rias untuk penampilan karya tari ini adalah jenis rias ayu, yaitu rias wajah dengan tujuan agar wajah kelihatan lebih cantik. Untuk keperluan rias ayu diperlukan bahan-bahan sebagai berikut: (1) Cucumber/Milk Clenser, (2) Astrengen/Face Tonic, (3) Pelembab, (4) Bedak dasar, (5) Bedak tabur, (6) Bedak padat, (7) Eye shadow, (7) Pensil alis, (8) Lip stick, (9) Rouge, (10) Pensil alis, (11) Bulu mata, dan (12) Eye liner. Penampilan karya tari ini mengacu pada busana penari tradisional anak-anak di Banyumas yang dikembangkan untuk keperluan sajian. Penari mengenakan kain yang lazim digunakan untuk penampilan busana tari putri tetapi memungkinkan untuk jangkah lebar pada tari gagahan. Untuk keperluan tata rambut dibutuhkan alat-alat antara lain: (1) gelung unthil dan (2) jamang terbuat dari daun. Tata busana untuk bagian badan dibutuhkan jenis-jenis busana antara lain: (1) Kain, (2) Mekak, (3) Ilat-ilatan, (4) Slepe, (5) Sampur, (6) Rampek, (7) Stagen, dan (8) Cancut. Adapun accecories yang dibutuhkan antara lain: (1) kalung, (2) gelang, (3) giwang, dan (4) Sari melati (keket).
3. Tata Lampu. Di dalam sajian karya tari ini digunakan lighting dengan warna bulan. Untuk keperluan itu lebih dibutuhkan lampu netral dengan sorot cenderung redup yang dipadu dengan lampu warna kuning dan biru. Untuk penggambaran wujud bulan, pada awal sajian dipakai lampu hollow yang dishot ke arah belakang panggung dengan wujud menyerupai bulan purnama.
4. Tata Panggung. Tata panggung pada sajian karya ini menyesuaikan dengan tempat yang tersedia.
5. Durasi Sajian. Sajian karya tari ini berdurasi 10 menit.
6. Jumlah Penari. Jumlah penari yang dibutuhkan dalam sajian karya tari ini adalah 5 – 7 anak yang berusia 10 – 15 tahun.
F. Sinopsis
Seliring Genting adalah jenis permainan anak di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas yang dilakukan pada saat bulan purnama. Permainan ini dilakukan oleh sekelompok anak-anak yang membentuk barisan mirip ular-ularan dan berhadapan dengan satu orang anak yang berperan sebagai Maling Aguna. Seorang anak yang berada dalam posisi paling depan disebut Nini-nini Sing Tunggu Wulan dan yang paling belakang disebut pitik trondhol. Di dalam permainan, Maling Aguna berhadapan langsung dengan Nini-nini Sing Tunggu Wulan. Pada pertemuan itu diceritakan Maling Aguna bermaksud akan meminta api kepada Nini-nini Sing Tunggu Wulan. Dipertanyakan, apakah tidak panas, karena Maling Aguna meminta api tanpa membawa wadah apapun. Lalu Maling Aguna meminta dengan paksa seekor pitik trondhol yang akan digunakan untuk cémpal (alas tangan agar tidak panas). Permintaan itu tidak dipenuhi, maka kemudian Maling Aguna pun memaksa dengan cara mengejar ekor dari barisan yang menyerupai ular-ularan itu dengan tujuan untuk menangkap anak yang berada di urutan paling belakang dari barisan (pitik trondhol). Karya ini digubah dalam bentuk karya tari anak-anak dengan ragam gerak tari bersumber dari berbagai ragam kesenian tradisional di Banyumas seperti lengger, ebeg, aplang, cowongan, ujungan dan aksimudha.
G. Penutup
Demikian konsep karya tari berjudul Seliring Genting ini disusun sebagai salah satu prasyarat mengikuti Lomba Cipta Tari Anak-anak 2008 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Sebagai akhir tulisan disertai harapan semoga rancangan karya ini mampu memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait dengan usaha penggalian, pelestarian dan pengembangan seni tari. Amin.
1. Tema : Permainan Anak pada saat Bulan Purnama
2. Judul Karya : Seliring Genting
B. Gagasan Dasar Penciptaan
Seliring Genting adalah jenis permainan anak di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas yang dilakukan pada saat bulan purnama. Permainan ini dilakukan oleh sekelompok anak-anak yang membentuk barisan mirip ular-ularan dan berhadapan dengan satu orang anak yang berperan sebagai Maling Aguna. Seorang anak yang berada dalam posisi paling depan disebut Nini-nini Sing Tunggu Wulan dan yang paling belakang disebut pitik trondhol. Permainan didahului dengan tembang yang dinyanyikan secara bersama-sama. Di dalam permainan, Maling Aguna berhadapan langsung dengan Nini-nini Sing Tunggu Wulan. Pada pertemuan itu diceritakan Maling Aguna bermaksud akan meminta api kepada Nini-nini Sing Tunggu Wulan. Dipertanyakan, apakah tidak panas, karena Maling Aguna meminta api tanpa membawa wadah apapun. Lalu Maling Aguna meminta dengan paksa seekor pitik trondhol yang akan digunakan untuk cémpal (alas tangan agar tidak panas). Permintaan itu tidak dipenuhi, maka kemudian Maling Aguna pun memaksa dengan cara mengejar ekor dari barisan yang menyerupai ular-ularan itu dengan tujuan untuk menangkap anak yang berada di urutan paling belakang dari barisan (pitik trondhol). Apabila peran pitik trondhol berhasil ditangkap, maka permainan selesai dan dimulai lagi dengan berganti peran; pitik trondhol berperan sebagai Maling Aguna. Demikian seterusnya.
Pada saat kehidupan masyarakat di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas masih berlangsung dalam pola tradisional-agraris, Seliring Genting menjadi salah satu permainan yang sangat digemari anak-anak pada saat bulan purnama. Sekelompok anak biasanya berkumpul di halaman yang luas untuk jonjang (bermain bersuka-ria) dengan berbagai macam permainan yang salah satunya adalah seliring genting. Di dalam permainan ini sarat dengan ajaran yang sangat berguna sebagai sarana mendapatkan pengalaman empirik yang berguna bagi masa depan mereka. Seliring Genting selain berisi permainan olahraga adu ketangkasan, juga terdapat tembang dan tarian. Melalui permainan ini anak-anak dapat belajar tentang strategi merebut dan menghindar, kemampuan berkompetisi, ketahanan mental, kekuatan fisik, rasa kebersamaan dan jiwa korsa, kedekatan dengan alam lingkungan, kemampuan olah vokal, dan kemampuan gerak tarian. Semua itu merupakan representasi dari nilai-nilai dasar dalam kehidupan yang sangat penting bagi perkembangan jiwa anak-anak.
Berbagai macam kekuatan yang terdapat dalam performa permainan seliring genting sebagaimana tersebut di atas, sangat mungkin digarap atau dikembangkan ke dalam suatu bentuk karya tari yang diperuntukkan bagi anak-anak. Penggarapan atau pengembangan dapat dilakukan melalui cara membesut, menstilisasi, mengubah, membuang, mengambil, menambah kekuatan-kekuatan yang ada ke dalam karya baru dirasa cocok untuk dunia anak-anak. Dengan cara demikian diharapkan akan terwujud sebuah karya tari anak-anak yang membumi dan mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan jiwa anak ke arah yang positif dan konstruktif.
C. Konsep Penciptaan
Konsep dasar penciptaan karya tari Seliring Genting adalah dalam rangka menambah khasanah tarian anak-anak gaya Banyumasan. Pengambilan sumber garapan dari permainan anak seliring genting yang berkembang di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas tidak lain sebagai usaha pendekatan kultural antara gagasan dasar atau gagasan isi dan rancangan wujud hasil ciptaan. Dengan sumber garapan berupa permainan anak yang berkembang di Banyumas, maka pengungkapan gagasan ke dalam wujud karya berlangsung mengalir sesuai dengan ragam budaya yang melatarbelakanginya.
Wujud garapan adalah karya tari tradisi yang dirancang untuk anak-anak usia antara 10-15 tahun. Anak-anak yang berada pada tataran usia ini, memungkinkan melakukan gerak-gerak tari yang variatif tanpa menghilangkan jatidiri dan dunianya. Pola dasar permainan seliring genting sengaja tidak dihilangkan dengan harapan nuansa permainan yang menjadi sumber garapan tidak hilang. Namun demikian, di dalamnya dilakukan penambahan-penambahan gerak tarian yang disesuaikan dengan pola ritme dan irama musik pengiringnya. Ragam gerak tarian dipilih ragam gerak tari Banyumasan sebagaimana yang dapat ditemukan pada berbagai ragam kesenian lokal setempat, seperti lengger, ebeg, aplang, cowongan, ujungan dan aksimudha. Dengan demikian di dalam perwujudannya terdapat berbagai nuansa sajian kesenian yang menjadi sumber inspirasi dalam penciptaan gerak tarian. Langkah ini dimaksudkan untuk mewujudkan bentuk tarian yang variatif dan inovatif, sehingga selain diharapkan mampu menghadirkan kualitas sajian yang memenuhi standar estetik, juga memiliki dinamika sajian yang enak ditonton dengan tanpa meninggalkan pola-pola yang umum berlaku dalam dunia kanak-kanak yang sederhana, lugu, gembira, ceria, dan apa adanya.
Ragam gerak tari Banyumasan yang umumnya dinamis memang sangat memungkinkan dijadikan sebagai media representasi bagi kehadiran dunia kanak-kanak dalam sajian karya tari ini. Citra kanak-kanak yang gembira dan ceria diwakili oleh ragam gerak tarian yang dinamis dan dalam tempo yang cenderung cepat. Sebagai penghubung antara pola permainan anak dengan gerak tarian tradisi dalam karya ini digunakan ragam gerak non-tradisi atau non-konvensional yang tetap bersumber dari ragam gerak Banyumasan yang ada. Cara yang dilakukan adalah melalui penambahan volume, aliran garis gerak, hingga pada bangunan gerak tarian yang ditampilkan.
D. Tahap Penggarapan/Penyusunan
Dalam proses kreatif penciptaan karya tari ini terlebih dahulu dilakukan observasi atau pengamatan langsung terhadap bentuk permainan seliring genting yang menjadi sumber garapan. Hasil dari pengamatan langsung selanjutnya dijadikan sebagai bahan dasar penciptaan sesuai dengan kerangka dasar bentuk bangunan karya yang ingin diwujudkan. Di sini akan terlihat bahwa antara permainan yang menjadi sumber garapan belum sesuai dengan kerangka dasar karya yang ingin diwujudkan. Untuk itu kemudian pada bagian-bagian tertentu dari alur sajian memungkinkan diisi dengan gerak-gerak tarian konvensional maupun non-konvensional yang bersumber dari ragam tarian yang hidup dan berkembang di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. dalam hal ini permainan seliring genting diposisikan sebagai materi dasar, sedangkan ragam gerak tarian diposisikan sebagai isian dan penghubung agar menjadi satu-kesatuan karya yang utuh.
Guna mewujudkan sebuah karya tari yang sesuai dengan gagasan dasar maupun konsep penciptaan, maka dari keseluruhan sajian diwujudkan ke dalam plot-plot sajian yang dapat dibedakan menjadi:
1. Plot awal. Pada plot awal disajikan sekelompok anak-anak yang masuk ke dalam panggung dalam permainan seliring genting. Di sini permainan seliring genting disajikan secara utuh. Namun demikian untuk memenuhi standar kualitas estetik yang ingin diungkapkan, di sini dimasukkan pula ragam gerak tarian yang diselaraskan dengan pola permainan sesungguhnya.
2. Plot tengah. Plot tengah diawali dengan sajian tetembangan yang dilakukan bersama-sama oleh semua penari. Mereka melakukan tetembangan sambil menari dengan pola tarian non-konvenasional sebagai jembatan menuju tarian konvensional yang bersumber dari ragam gerak tarian Banyumasan. Secara tiba-tiba musik mengubah tempo permainan ke arah irama yang sedemikian rancak. Di sini penari mulai menari Banyumasan yang menggambarkan hasrat dan kekuatan diri pada anak-anak untuk senantiasa bersemangat menyongsong masa depan.
3. Plot akhir. Pada plot akhir yang merupakan ending dari keseluruhan sajian didahului oleh penampilan ragam gerak tarian non-konvensional dalam tempo yang cenderung lambat. Pada kesempatan berikutnya, sesuai dengan tempo permainan musik sajian beranjak ke tempo cepat dengan sajian ragam gerak tradisi Banyumasan.
E. Medium/Elemen
Beberapa elemen penting di luar ragam gerak tarian dalam sajian karya ini antara lain:
1. Iringan. Musik pengiring karya tari ini adalah calung Banyumasan dan genjringan dengan sajian berupa gendhing-gendhing tradisi Banyumasan dan lagu yang lazim dijumpai pada pertunjukan aplang. Sebagai penghubung antara satu aransemen gendhing dengan aransemen gendhing yang lain disertai pula ragam aransemen musikal non-tradisi. Sebagai bahan dasar dari keseluruhan sajian, dipilih beberapa gendhing antara lain: (1) lagu dolanan Seliring Genting, (2) gendhing Tlutur Banyumasan, (3) Jonjang Jolio, (4) lagu dolanan Buta Cakil, (5) gendhing Ilo Gondhang, (6) gendhing Cowet-cowetan, dan (7) lagu Tunggak Jati Mati.
2. Rias dan Busana. Tata rias untuk penampilan karya tari ini adalah jenis rias ayu, yaitu rias wajah dengan tujuan agar wajah kelihatan lebih cantik. Untuk keperluan rias ayu diperlukan bahan-bahan sebagai berikut: (1) Cucumber/Milk Clenser, (2) Astrengen/Face Tonic, (3) Pelembab, (4) Bedak dasar, (5) Bedak tabur, (6) Bedak padat, (7) Eye shadow, (7) Pensil alis, (8) Lip stick, (9) Rouge, (10) Pensil alis, (11) Bulu mata, dan (12) Eye liner. Penampilan karya tari ini mengacu pada busana penari tradisional anak-anak di Banyumas yang dikembangkan untuk keperluan sajian. Penari mengenakan kain yang lazim digunakan untuk penampilan busana tari putri tetapi memungkinkan untuk jangkah lebar pada tari gagahan. Untuk keperluan tata rambut dibutuhkan alat-alat antara lain: (1) gelung unthil dan (2) jamang terbuat dari daun. Tata busana untuk bagian badan dibutuhkan jenis-jenis busana antara lain: (1) Kain, (2) Mekak, (3) Ilat-ilatan, (4) Slepe, (5) Sampur, (6) Rampek, (7) Stagen, dan (8) Cancut. Adapun accecories yang dibutuhkan antara lain: (1) kalung, (2) gelang, (3) giwang, dan (4) Sari melati (keket).
3. Tata Lampu. Di dalam sajian karya tari ini digunakan lighting dengan warna bulan. Untuk keperluan itu lebih dibutuhkan lampu netral dengan sorot cenderung redup yang dipadu dengan lampu warna kuning dan biru. Untuk penggambaran wujud bulan, pada awal sajian dipakai lampu hollow yang dishot ke arah belakang panggung dengan wujud menyerupai bulan purnama.
4. Tata Panggung. Tata panggung pada sajian karya ini menyesuaikan dengan tempat yang tersedia.
5. Durasi Sajian. Sajian karya tari ini berdurasi 10 menit.
6. Jumlah Penari. Jumlah penari yang dibutuhkan dalam sajian karya tari ini adalah 5 – 7 anak yang berusia 10 – 15 tahun.
F. Sinopsis
Seliring Genting adalah jenis permainan anak di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas yang dilakukan pada saat bulan purnama. Permainan ini dilakukan oleh sekelompok anak-anak yang membentuk barisan mirip ular-ularan dan berhadapan dengan satu orang anak yang berperan sebagai Maling Aguna. Seorang anak yang berada dalam posisi paling depan disebut Nini-nini Sing Tunggu Wulan dan yang paling belakang disebut pitik trondhol. Di dalam permainan, Maling Aguna berhadapan langsung dengan Nini-nini Sing Tunggu Wulan. Pada pertemuan itu diceritakan Maling Aguna bermaksud akan meminta api kepada Nini-nini Sing Tunggu Wulan. Dipertanyakan, apakah tidak panas, karena Maling Aguna meminta api tanpa membawa wadah apapun. Lalu Maling Aguna meminta dengan paksa seekor pitik trondhol yang akan digunakan untuk cémpal (alas tangan agar tidak panas). Permintaan itu tidak dipenuhi, maka kemudian Maling Aguna pun memaksa dengan cara mengejar ekor dari barisan yang menyerupai ular-ularan itu dengan tujuan untuk menangkap anak yang berada di urutan paling belakang dari barisan (pitik trondhol). Karya ini digubah dalam bentuk karya tari anak-anak dengan ragam gerak tari bersumber dari berbagai ragam kesenian tradisional di Banyumas seperti lengger, ebeg, aplang, cowongan, ujungan dan aksimudha.
G. Penutup
Demikian konsep karya tari berjudul Seliring Genting ini disusun sebagai salah satu prasyarat mengikuti Lomba Cipta Tari Anak-anak 2008 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Sebagai akhir tulisan disertai harapan semoga rancangan karya ini mampu memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait dengan usaha penggalian, pelestarian dan pengembangan seni tari. Amin.
Trimakasih Mas Yusmanto, saya sangat terbantu untuk menambah wawasan saya mengenai Banyumas. Saya sangat tertarik dengan Bahasa BAnyumas,sampai calungnya, lenggernya dan akhirnya TA saya juga BAnyumasan.
ReplyDeleteSemoga lebih banyk lagi penulis ttg kebudayaan dan seni2 tradisi yang sadar akan manfaat internet,sehingga jangkauan informas yang mereka berikan juga dapat dinikmati masyarakat yang lebih luas