KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS SEBAGAI KEKUATAN PARIWISATA
Pemberdayaan kebudayaan lokal sebagai kekuatan dalam pembangunan kepariwisataan merupakan salah satu trend yang sedang marak dalam pengelolaan kepariwisataan dewasa ini. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas selaku lembaga teknis yang memiliki tugas pokok melaksanakan pembangunan kepariwisataan, juga tidak ketinggalan telah menerapkan kebijakan tersebut. Konsep yang digunakan dalam pelaksanaan kerja adalah konsep pemberdayaan. Melalui pemberdayaan aspek-aspek kebudayaan lokal, diharapkan aneka kekayaan budaya yang ada di masyarakat dapat diarahkan pada pola industri budaya. Dengan kata lain, ragam kebudayaan yang ada di masyarakat merupakan sebuah produksi yang melibatkan tenaga manusia, infra struktur dan supra struktur masyarakat pendukungnya. Hasil produksi tersebut selanjutnya dijadikan sebagai aset yang dijadikan sebagai atraksi dan daya tarik wisata yang diharapkan dapat semakin menarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk datang ke Banyumas.
Secara filosofis, aspek-aspek kebudayaan itu berupa nilai-nilai lokal yang dianut bersama-sama oleh keseluruhan masyarakat Banyumas dan menjadi mainstream dalam kehidupan mereka. Ini merupakan daya hidup yang menjadi penopang utama keberlangsungan kebudayaan Banyumas di tengah percaturan budaya dalam skala yang lebih luas. Sebagai bentuk kearifan lokal, aneka ragam aspek kebudayaan Banyumas itu hanya tumbuh berkembang dalam wilayah terbatas, yaitu di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. Aspek-aspek kebudayaan yang dijual dituntut memiliki nilai dan sifat yang spesifik, khas dan unik. Hal inilah yang dalam rangka usaha pariwisata dapat dianggap sebagai keunggulan yang memiliki nilai jual dan mampu mengundang daya tarik wisatawan.
Bagi wisatawan yang tertarik pada kebudayaan sebagai obyek kunjungan wisata, Kabupaten Banyumas adalah salah satu sentra budaya di Jawa Tengah. Budaya Banyumas adalah bentuk kebudayaan yang berbasis kerakyatan. Ragam budaya di daerah ini berlangsung secara grass root yang berbasis pada kehidupan masyarakat wong cilik. Budaya Banyumas bukanlah tipikal budaya Jawa (kraton) yang bercirikan adiluhung (high culture). Sebagai ragam budaya yang berkembang di daerah pinggiran, kebudayaan Banyumas adalah tipikal kebudayaan yang berkembang di daerah marginal survival dengan ciri khusus kesederhanaan, egaliter, terbuka (Banyumas: cablaka) dan keakraban.
Berdasarkan keterangan tersebut maka dapat diuraikan keenam aspek kebudayaan yang menarik sebagai obyek kunjungan wisata antara lain:
1. Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Beberapa peninggalan sejarah dan purbakala di Kabupaten Banyumas yang potensial dijadikan sebagai daya tarik wisata antara lain: (a) Peninggalan Kabupaten Banyumas tempo dulu berupa kompleks Pendopo Duplikat Si Panji yang berlokasi di Kota Banyumas, (b) Museum Wayang Sendang Mas yang berlokasi di kompleks Pendopo Duplikat Si Panji Banyumas, (c) Makam Adipati Mrapat (Bupati Banyumas I) di Desa Dawuhan, Banyumas, (d) Makam Kyai Tolih di Banyumas, (e) Situs Baseh di Kedungbanteng, (f) Situs Carangandul di Karanglewas, (g) Situs Watu Gathel di Baturraden, (h) Situs Candi Ronggeng Sumbang, dan (i) Situs Datar Sumbang.
2. Sistem Religi. Sistem religi masyarakat di wilayah Kabupaten Banyumas juga memiliki tingkat keunikan tersendiri yang dapat dijadikan sebagai aset kepariwisataan. Beberapa di antaranya adalah: (a) Upacara Unggah-unggahan, Ritus tradisional yang bertujuan mengungkap-kan rasa syukur men-jelang bulan datangnya Puasa, dilaksanakan pada bulan Ruwah (Sadran) dalam perhi-tungan kalender Hijriyah (tahun Jawa), bertempat di Makam Bonokeling, Pekuncen, Jatilawang, (b) Upacara Udhun-udhunan, Ritus tradisional yang bertujuan mengungkap-kan rasa syukur setelah selesai melaksanakan ibadah Puasa pada bulan Ramadhan, dilaksanakan pada bulan Syawal dalam perhitungan kalender Hijriyah (tahun Jawa), bertempat di Makam Bonokeling, Pekuncen, Jatilawang, (c) Ziarah di Makam Makdum Wali, Ngalap berkah pada hari-hari baik, dilakukan orang dari berbagai daerah untuk tujuan-tujuan tertentu, bertempat di Makam Makdum Wali, Karanglewas, (d) Ziarah di Makam Raja Jembrana Banyumas, Makam seorang raja dari Bali yang mening-gal dalam pengasingan di Banyumas pada saat berperang melawan penjajah Belanda, bertempat di Banyumas, (e) Masjid Saka Tunggal Cikakak, Masjid Saka Tunggal Cikakak, masjid yang memiliki saka guru satu buah, bertempat di Desa Cikakak, Wangon, (f) Upacara Jaro Rojap, ritus tradisional berupa penggantian pager jaro yang mengelilingi kompleks Masjid Saka Tunggal Cikakak, bertempat di Desa Cikakak, Wangon, (g) Upacara Baritan, Upacara inta hujan yang dilakukan pada saat terjadinya kemarau panjang dengan cara mementaskan kesenian lengger dengan menghadirkan para pemilik ternak (bocah pangon), bertempat di Ajibarang, (h) Cowongan, Upacara minta hujan dengan cara melagukan nyanyian-nyanyian doa untuk mengiringi tarian siwur (gayung) atau irus (alat memasak) yang dirasuki roh leluhur, bertempat di Desa Plana, Kecamatan Somagede, dan (i) Ujungan Upacara minta hujan dengan cara adu kekuatan, saling memukul dengan menggunakan rotan, bertempat di Desa Plana, Kecamatan Somagede
3. Kesenian Khas. Banyumas menyimpan aneka ragam kesenian khas yang tumbuh berkembang sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pendukungnya. Beberapa di antaranya adalah: (a) Aksimudha, Atraksi silat diiringi musik islami dengan instrumen utama berupa terbang Jawa, lokasi Tambak, (b) Angguk, Seni tari islami yang disajikan oleh delapan penari putra dengan iringan musik terbang, lokasi sebaran Desa Somakaton, Somagede, (c) Aplang atau dhaeng, Seni tari islami yang disajikan oleh delapan penari putri dengan iringan musik terbang, lokasi Desa Kanding, Somagede, (d) Batik Banyumasan, Kerajinan batik dengan motif khas Banyumas, lokasi Banyumas, (e) Begalan, Dramatari tradisional yang digunakan untuk sarana ajaran bagi pengantin pada saat pelaksanaan upacara pernikahan, lokasi di Seantero Banyumas, (f) Bongkel, Musik tunggal dengan instrumen terbuat dari bambu yang memiliki empat nada dalam tangga nada pentatonik (slendro), Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, (g) Buncis, Tari rakyat yang disajikan oleh delapan penari putra. Penari dalam pementasan sekaligus menjadi pemusik dan vokalis dengan instrumen berupa perangkat angklung laras slendro, lokasi Desa Tanggeran, Somagede, (h) Calung, Seni musik sejenis gamelan bambu dari bahan baku bambu wulung berlaras slendro dan pelog yang menyajikan aransemen musikal berupa gendhing-gendhing, warna-warna musik pop, dangdut dan campursari, lokasi di Seantero Banyumas, (i) Ebeg, Tari rakyat yang disajikan oleh penari-penari putra yang menggunakan properti ebeg (kuda-kudaan terbuat dari anyaman bambu/ kepang). Dalam pertunjukannya pemain ebeg mengalami intrance, lokasi di Seantero Banyumas, (j) Gumbeng, Permainan musik tradisional terbuat dari babu wulung yang dipecah, diletakkan di atas kedua kaki yang bersejajar ke depan dalam posisi duduk, lokasi di Seantero Banyumas, (k) Jemblung, Teater tutur tradisional yang dilakukan oleh empat pemain. Iringan sajian berupa musik mulut yang dilakukan oleh para pemain. Sehingga pemain berlaku sebagai dalang, wayang, sekaligus pemusik, lokasi Kecamatan Tambak dan Sumpiuh, (l) Karawitan gagrag Banyumas, Seni karawitan dengan gendhing-gendhing yang sajian dalam pola-pola tabuhan gaya Banyumas yang dipengaruhi oleh budaya kerakyatan, lokasi di Seantero Banyumas, (m) Kaster, Permainan musik tradisional dengan instrumen berupa siter dan kendhang dari kotak sabun, menyajikan beraneka ragam gendhing, lokasi Karangtalun Kidul, Purwojati, (n) Lengger, Seni tari tradisional khas Banyumas yang disajikan oleh penari-penari wanita. Di tengah pertunjukan hadir pula penari laki-laki yang disebut badhud. Iringan sajian perangkat gamelan calung, lokasi di Seantero Banyumas, (o) Lukis Sokaraja, Seni lukis khas gambar-gambar pemandangan yang dilakukan oleh seniman lukis Sokaraja, lokasi Sokaraja, (p) Slawatan Jawa, Musik islami bersumber dari kitab Barzanji dengan instrumen terbang Jawa, lokasi di Seantero Banyumas, dan (q) Wayang kulit gagrag Banyumasan, Sajian wayang kulit yang menggunakan idiom-idiom Banyumasan dalam sajiannya yang bercampur dengan gaya Surakarta, gaya Yogyakarta dan gaya Pesisiran, , lokasi di Seantero Banyumas.
4. Makanan Khas. Aneka ragam makanan khas yang terdapat di Kabupaten Banyumas memiliki potensi sebagai daya tarik wisata, antara lain: Mendhoan, Gethuk goreng Sokaraja, Soto Sokaraja, Tempe kripik, Nopia, Jenang Jaket, Klanting/canthir, Tahu Gecot, dan Buntil.
5. Museum dan Bangunan Kuno. Di Banyumas terdapat beberapa museum dan bangunan kuno bersejarah yang potensial sebagai suguhan wisata. Beberapa diantaranya adalah: Museum Wayang Sendang Mas, dan Museum BRI, Museum Ki Diso, Museum Panglima Besar Soedirman, Pendopo Duplikat Si Panji Banyumas
6. Minat Khusus. Bagi wisatawan yang tertarik pada jenis wisata minat khusus, di Kabupaten Banyumas dapat dijumpai berbagai pernik kehidupan masyarakat yang khas, spesifik dan unik sehingga menarik minat wisatawan. Geliat kehidupan tradisional masyarakat Banyumas yang masih berkembang hingga saat ini seperti dalam bidang agrikultur, sistem mata pencaharian bahasa, dan pakaian tradisional, merupakan kegiatan masyarakat yang memiliki nilai jual dalam kepariwisataan, khususnya bagi wisatawan mancanegara. Beberapa hal tersebut dapat diuraikan antara lain:
a. Agrikultur. Dalam bidang agrikultur di Banyumas sebagian besar berupa pola pengadaan tanaman pangan dengan sistem tradisional seperti sistem terasering, tumpang sari, dan sejenisnya. Pada sistem mata pencaharian tradisional dapat dijumpai pola penanaman padi secara tradisional mulai dari menyebar benih (nyebar winih), ndhaut, tandur, matun, mimiti, hingga panen. Dalam penggarapan lahan dapat dijumpai sistem liuran yaitu penggarapan lahan secara bersama-sama secara bergantian dari pemilik lahan yang satu ke pemilik lahan yang lain. Disamping itu masyarakat Banyumas juga memiliki cara unik menangkap ikan, yaitu dengan cara marak (membendung sebagian sungai untuk mengambil ikan) dan rogoh iwak (mengambil ikan secara langsung dengan tangan telanjang/tanpa alat di tempat persembunyian ikan). Nderes (mengambil nira untuk guola kelapa) adalah salah satu mata pencaharian tradisional yang secara turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang. Penderes mengambil nira setiap pagi dan sore untuk dijadikan sebagai bahan baku pemuatan gula kelapa.
b. Kebahasaan. Dalam bidang kebahasaan, masyarakat Banyumas memiliki bahasa khas, yaitu bahasa Jawa dialek Banyumasan. Jenis bahasa yang satu ini diyakini merupakan bahasa Jawa yang sudah tua, lebih tua dari bahasa Jawa yang berkembag di daerah Surakarta dan Yogyakarta sebagai bekas pusat kekuasaan raja.
c. Pakaian Adat. Dalam hal pakaian adat, masyarakat Banyumas memiliki berbagai macam jenis pakaian adat antara lain model bebed wala, lancingan, sikepan, beskapan dan nempean. Model bebed wala umumnya dipakai oleh wanita di daerah-daerah pedesaan, demikian pula lancingan yang dipakai oleh kaum pria juga hanya terjadi di desa-desa. Lain halnya dengan sikepan, beskapan dan nempean. Ketiganya merupakan jenis pakaian tradisional resmi yang dikenakan para priyayi baik di desa maupun di kota.
Rencana terbaru yang saat ini tengah menjadi pemikiran bersama antara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas adalah upaya menjadikan kota Banyumas sebagai pusat pengembangan kebudayaan Banyumas yang berorientasi pada kepariwisataan. Penggarapan sektor kebudayaan sebagai salah satu andalan pembangunan kepariwisataan sangat mungkin dilaksanakan di Kabupaten Banyumas, mengingat daerah ini memiliki khasanah atau kekayaan budaya yang beraneka ragam. Pada prinsipnya budaya Banyumas merupakan sub kultur dari budaya Jawa. Di sisi lain letak geografis Banyumas yang berada di daerah perbatasan antara wilayah sebaran budaya Jawa dan Sunda telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan budaya Banyumas. Oleh karena itu pada berbagai aspek dapat dilihat dengan jelas lekatnya percampuran antara kedua kutub budaya tersebut di dalam budaya Banyumas.
Wilayah sebaran budaya Banyumas meliputi wilayah administratif Kabupaten Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga serta sebagian wilayah Kabupaten Kebumen (daerah Karanganyar dan sekitarnya). Di wilayah ini hidup dan berkembang berbagai aspek kebudayaan khas yang dipengaruhi oleh pola kehidupan tradisional-agraris antara lain: bahasa, kesenian, kesusastraan, kesejarahan, sistem mata pencaharian, pandangan hidup, sistem religi, sistem nilai, dan lain-lain.
Berbagai aspek budaya yang tumbuh dan berkembang di daerah Banyumas dewasa ini secara berangsur-angsur terkikis oleh derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang merambah berbagai bidang kehidupan. Berbagai khasanah budaya Banyumas terasa sekali makin tergeser ke tepi, berkembang namun dalam kondisi yang pucat pasi, atau terpaksa harus merelakan dirinya mengalami kepunahan. Hal tersebut sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan suatu masyarakat. Apabila kondisi demikian terus berlanjut, bukan tidak mungkin pada suatu saat masyarakat Banyumas akan mengalami keterasingan di negeri sendiri.
Kenyataan di atas telah dijadikan sebagai dasar bagi upaya menyelamatkan berbagai khasanah budaya Banyumas melalui bentuk-bentuk usaha penggalian, pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan berbagai aspek budaya yang ada di masyarakat. Melalui upaya ini akan dapat dilakukan langkah-langkah revitalisasi, redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi aspek-aspek budaya yang ada sehingga mampu tumbuh dan berkembang wajar dalam iklim yang kondusif.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh dalam rangka merealisasikan kerangka berpikir di atas adalah dengan mewujudkan sebuah pusat kebudayaan Banyumas. Perlunya didirikan pusat kebudayaan di Banyumas, terutama hangat dibicarakan di dinas teknis yang mengurusi bidang yang satu ini, yaitu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Sejak itu langkah-langkah persiapan bagi berdirinya pusat kebudayan Banyumas mulai dilakukan, antara lain dengan pemetaan lokasi pada tahun 2001 dan kegiatan seminar dengan tema “Perlunya Preservasi Kota Lama Banyumas dalam Penggarapan Kebudayaan Banyumas” pada tahun 2002. Sejak itu pembicaraan tentang pusat kebudayaan Banyumas semakin meluas di lingkungan pemerintahan, legislatif, hingga seniman dan budayawan di daerah ini. Ada beberapa usulan nama yang bergulir, antara lain: Pusat Kebudayaan Banyumas, Banyumas Culture Cenre dan Sentra Budaya Banyumas.
Berdirinya Sentra Budaya Banyumas diharapkan dapat memberikan beberapa keuntungan. Pertama, keberadaan lembaga kebudayaan ini merupakan langkah konkret preservasi bangunan-bangunan bernilai sejarah sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Kota Banyumas memang sering disebut sebagai kota lama yang menyimpan aneka bangunan peninggalan kolonial Belanda dan Kadipaten Banyumas sebelum pindah ke Purwokerto pada masa pemerintahan Soedjiman S. Gandasoebrata pada tahun 1936. Berbagai bangunan bersejarah tersebut saat ini banyak diantaranya yang dihuni penduduk dan dikelola Pemerintah Kabupaten Banyumas. Sedangkan sebagian lainnya sudah mulai hancur dimakan usia.
Kedua, Sentra Budaya Banyumas dapat menjadi sasana untuk pelaksanaan kegiatan konservasi aneka ragam kebudayaan lokal dalam lingkup kebudayaan Banyumas. Dalam konteks cultur area, Banyumas merupakan sebuah “provinsi” budaya yang terbentuk di lingkungan masyarakat yang berpola kehidupan agraris, berada di wilayah perbatasan sebaran kebudayaan Jawa dan kebudayaan Sunda. Selama ini kebudayaan di daerah ini berada dalam posisi tersub-ordinasi oleh kebudayaan Jawa. Meminjam istilah Ahmad Tohari, kebudayaan Banyumas berada dalam posisi disub-kulturkan oleh kebudayaan Jawa (Ahmad Tohari, 2005). Pemberlakuan UU Otonomi Daerah telah menggugah semangat lokal bahwa kebudayaan Banyumas perlu diakui sebagai kebudayaan tersendiri, yang dibedakan dengan kebudayaan Jawa.
Ketiga, keberhasilan mewujudkan Sentra Budaya Banyumas oleh banyak pihak diharapkan dapat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan penggarapan kebudayaan sebagaimana diamanatkan di dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kabupaten Banyumas tahun 2002-2006. Dalam istilah Banyumasan, hal tersebut diharapkan dapat menjadi puthon (suatu karya yang berharga) selama rentang waktu tahun 2002 hingga tahun 2006. Pemanfaatan kompleks Pendopo duplikat Kadipaten Banyumas yang bernama Pendopo Si Panji yang merupakan peninggalan Kadipaten Banyumas tempo dulu dapat menjadi museum budaya, wahana kegiatan kebudayaan serta memungkinkan dijadikan sebagai salah satu sajian wisata di Kabupaten Banyumas.
Secara filosofis, aspek-aspek kebudayaan itu berupa nilai-nilai lokal yang dianut bersama-sama oleh keseluruhan masyarakat Banyumas dan menjadi mainstream dalam kehidupan mereka. Ini merupakan daya hidup yang menjadi penopang utama keberlangsungan kebudayaan Banyumas di tengah percaturan budaya dalam skala yang lebih luas. Sebagai bentuk kearifan lokal, aneka ragam aspek kebudayaan Banyumas itu hanya tumbuh berkembang dalam wilayah terbatas, yaitu di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. Aspek-aspek kebudayaan yang dijual dituntut memiliki nilai dan sifat yang spesifik, khas dan unik. Hal inilah yang dalam rangka usaha pariwisata dapat dianggap sebagai keunggulan yang memiliki nilai jual dan mampu mengundang daya tarik wisatawan.
Bagi wisatawan yang tertarik pada kebudayaan sebagai obyek kunjungan wisata, Kabupaten Banyumas adalah salah satu sentra budaya di Jawa Tengah. Budaya Banyumas adalah bentuk kebudayaan yang berbasis kerakyatan. Ragam budaya di daerah ini berlangsung secara grass root yang berbasis pada kehidupan masyarakat wong cilik. Budaya Banyumas bukanlah tipikal budaya Jawa (kraton) yang bercirikan adiluhung (high culture). Sebagai ragam budaya yang berkembang di daerah pinggiran, kebudayaan Banyumas adalah tipikal kebudayaan yang berkembang di daerah marginal survival dengan ciri khusus kesederhanaan, egaliter, terbuka (Banyumas: cablaka) dan keakraban.
Berdasarkan keterangan tersebut maka dapat diuraikan keenam aspek kebudayaan yang menarik sebagai obyek kunjungan wisata antara lain:
1. Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Beberapa peninggalan sejarah dan purbakala di Kabupaten Banyumas yang potensial dijadikan sebagai daya tarik wisata antara lain: (a) Peninggalan Kabupaten Banyumas tempo dulu berupa kompleks Pendopo Duplikat Si Panji yang berlokasi di Kota Banyumas, (b) Museum Wayang Sendang Mas yang berlokasi di kompleks Pendopo Duplikat Si Panji Banyumas, (c) Makam Adipati Mrapat (Bupati Banyumas I) di Desa Dawuhan, Banyumas, (d) Makam Kyai Tolih di Banyumas, (e) Situs Baseh di Kedungbanteng, (f) Situs Carangandul di Karanglewas, (g) Situs Watu Gathel di Baturraden, (h) Situs Candi Ronggeng Sumbang, dan (i) Situs Datar Sumbang.
2. Sistem Religi. Sistem religi masyarakat di wilayah Kabupaten Banyumas juga memiliki tingkat keunikan tersendiri yang dapat dijadikan sebagai aset kepariwisataan. Beberapa di antaranya adalah: (a) Upacara Unggah-unggahan, Ritus tradisional yang bertujuan mengungkap-kan rasa syukur men-jelang bulan datangnya Puasa, dilaksanakan pada bulan Ruwah (Sadran) dalam perhi-tungan kalender Hijriyah (tahun Jawa), bertempat di Makam Bonokeling, Pekuncen, Jatilawang, (b) Upacara Udhun-udhunan, Ritus tradisional yang bertujuan mengungkap-kan rasa syukur setelah selesai melaksanakan ibadah Puasa pada bulan Ramadhan, dilaksanakan pada bulan Syawal dalam perhitungan kalender Hijriyah (tahun Jawa), bertempat di Makam Bonokeling, Pekuncen, Jatilawang, (c) Ziarah di Makam Makdum Wali, Ngalap berkah pada hari-hari baik, dilakukan orang dari berbagai daerah untuk tujuan-tujuan tertentu, bertempat di Makam Makdum Wali, Karanglewas, (d) Ziarah di Makam Raja Jembrana Banyumas, Makam seorang raja dari Bali yang mening-gal dalam pengasingan di Banyumas pada saat berperang melawan penjajah Belanda, bertempat di Banyumas, (e) Masjid Saka Tunggal Cikakak, Masjid Saka Tunggal Cikakak, masjid yang memiliki saka guru satu buah, bertempat di Desa Cikakak, Wangon, (f) Upacara Jaro Rojap, ritus tradisional berupa penggantian pager jaro yang mengelilingi kompleks Masjid Saka Tunggal Cikakak, bertempat di Desa Cikakak, Wangon, (g) Upacara Baritan, Upacara inta hujan yang dilakukan pada saat terjadinya kemarau panjang dengan cara mementaskan kesenian lengger dengan menghadirkan para pemilik ternak (bocah pangon), bertempat di Ajibarang, (h) Cowongan, Upacara minta hujan dengan cara melagukan nyanyian-nyanyian doa untuk mengiringi tarian siwur (gayung) atau irus (alat memasak) yang dirasuki roh leluhur, bertempat di Desa Plana, Kecamatan Somagede, dan (i) Ujungan Upacara minta hujan dengan cara adu kekuatan, saling memukul dengan menggunakan rotan, bertempat di Desa Plana, Kecamatan Somagede
3. Kesenian Khas. Banyumas menyimpan aneka ragam kesenian khas yang tumbuh berkembang sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pendukungnya. Beberapa di antaranya adalah: (a) Aksimudha, Atraksi silat diiringi musik islami dengan instrumen utama berupa terbang Jawa, lokasi Tambak, (b) Angguk, Seni tari islami yang disajikan oleh delapan penari putra dengan iringan musik terbang, lokasi sebaran Desa Somakaton, Somagede, (c) Aplang atau dhaeng, Seni tari islami yang disajikan oleh delapan penari putri dengan iringan musik terbang, lokasi Desa Kanding, Somagede, (d) Batik Banyumasan, Kerajinan batik dengan motif khas Banyumas, lokasi Banyumas, (e) Begalan, Dramatari tradisional yang digunakan untuk sarana ajaran bagi pengantin pada saat pelaksanaan upacara pernikahan, lokasi di Seantero Banyumas, (f) Bongkel, Musik tunggal dengan instrumen terbuat dari bambu yang memiliki empat nada dalam tangga nada pentatonik (slendro), Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, (g) Buncis, Tari rakyat yang disajikan oleh delapan penari putra. Penari dalam pementasan sekaligus menjadi pemusik dan vokalis dengan instrumen berupa perangkat angklung laras slendro, lokasi Desa Tanggeran, Somagede, (h) Calung, Seni musik sejenis gamelan bambu dari bahan baku bambu wulung berlaras slendro dan pelog yang menyajikan aransemen musikal berupa gendhing-gendhing, warna-warna musik pop, dangdut dan campursari, lokasi di Seantero Banyumas, (i) Ebeg, Tari rakyat yang disajikan oleh penari-penari putra yang menggunakan properti ebeg (kuda-kudaan terbuat dari anyaman bambu/ kepang). Dalam pertunjukannya pemain ebeg mengalami intrance, lokasi di Seantero Banyumas, (j) Gumbeng, Permainan musik tradisional terbuat dari babu wulung yang dipecah, diletakkan di atas kedua kaki yang bersejajar ke depan dalam posisi duduk, lokasi di Seantero Banyumas, (k) Jemblung, Teater tutur tradisional yang dilakukan oleh empat pemain. Iringan sajian berupa musik mulut yang dilakukan oleh para pemain. Sehingga pemain berlaku sebagai dalang, wayang, sekaligus pemusik, lokasi Kecamatan Tambak dan Sumpiuh, (l) Karawitan gagrag Banyumas, Seni karawitan dengan gendhing-gendhing yang sajian dalam pola-pola tabuhan gaya Banyumas yang dipengaruhi oleh budaya kerakyatan, lokasi di Seantero Banyumas, (m) Kaster, Permainan musik tradisional dengan instrumen berupa siter dan kendhang dari kotak sabun, menyajikan beraneka ragam gendhing, lokasi Karangtalun Kidul, Purwojati, (n) Lengger, Seni tari tradisional khas Banyumas yang disajikan oleh penari-penari wanita. Di tengah pertunjukan hadir pula penari laki-laki yang disebut badhud. Iringan sajian perangkat gamelan calung, lokasi di Seantero Banyumas, (o) Lukis Sokaraja, Seni lukis khas gambar-gambar pemandangan yang dilakukan oleh seniman lukis Sokaraja, lokasi Sokaraja, (p) Slawatan Jawa, Musik islami bersumber dari kitab Barzanji dengan instrumen terbang Jawa, lokasi di Seantero Banyumas, dan (q) Wayang kulit gagrag Banyumasan, Sajian wayang kulit yang menggunakan idiom-idiom Banyumasan dalam sajiannya yang bercampur dengan gaya Surakarta, gaya Yogyakarta dan gaya Pesisiran, , lokasi di Seantero Banyumas.
4. Makanan Khas. Aneka ragam makanan khas yang terdapat di Kabupaten Banyumas memiliki potensi sebagai daya tarik wisata, antara lain: Mendhoan, Gethuk goreng Sokaraja, Soto Sokaraja, Tempe kripik, Nopia, Jenang Jaket, Klanting/canthir, Tahu Gecot, dan Buntil.
5. Museum dan Bangunan Kuno. Di Banyumas terdapat beberapa museum dan bangunan kuno bersejarah yang potensial sebagai suguhan wisata. Beberapa diantaranya adalah: Museum Wayang Sendang Mas, dan Museum BRI, Museum Ki Diso, Museum Panglima Besar Soedirman, Pendopo Duplikat Si Panji Banyumas
6. Minat Khusus. Bagi wisatawan yang tertarik pada jenis wisata minat khusus, di Kabupaten Banyumas dapat dijumpai berbagai pernik kehidupan masyarakat yang khas, spesifik dan unik sehingga menarik minat wisatawan. Geliat kehidupan tradisional masyarakat Banyumas yang masih berkembang hingga saat ini seperti dalam bidang agrikultur, sistem mata pencaharian bahasa, dan pakaian tradisional, merupakan kegiatan masyarakat yang memiliki nilai jual dalam kepariwisataan, khususnya bagi wisatawan mancanegara. Beberapa hal tersebut dapat diuraikan antara lain:
a. Agrikultur. Dalam bidang agrikultur di Banyumas sebagian besar berupa pola pengadaan tanaman pangan dengan sistem tradisional seperti sistem terasering, tumpang sari, dan sejenisnya. Pada sistem mata pencaharian tradisional dapat dijumpai pola penanaman padi secara tradisional mulai dari menyebar benih (nyebar winih), ndhaut, tandur, matun, mimiti, hingga panen. Dalam penggarapan lahan dapat dijumpai sistem liuran yaitu penggarapan lahan secara bersama-sama secara bergantian dari pemilik lahan yang satu ke pemilik lahan yang lain. Disamping itu masyarakat Banyumas juga memiliki cara unik menangkap ikan, yaitu dengan cara marak (membendung sebagian sungai untuk mengambil ikan) dan rogoh iwak (mengambil ikan secara langsung dengan tangan telanjang/tanpa alat di tempat persembunyian ikan). Nderes (mengambil nira untuk guola kelapa) adalah salah satu mata pencaharian tradisional yang secara turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang. Penderes mengambil nira setiap pagi dan sore untuk dijadikan sebagai bahan baku pemuatan gula kelapa.
b. Kebahasaan. Dalam bidang kebahasaan, masyarakat Banyumas memiliki bahasa khas, yaitu bahasa Jawa dialek Banyumasan. Jenis bahasa yang satu ini diyakini merupakan bahasa Jawa yang sudah tua, lebih tua dari bahasa Jawa yang berkembag di daerah Surakarta dan Yogyakarta sebagai bekas pusat kekuasaan raja.
c. Pakaian Adat. Dalam hal pakaian adat, masyarakat Banyumas memiliki berbagai macam jenis pakaian adat antara lain model bebed wala, lancingan, sikepan, beskapan dan nempean. Model bebed wala umumnya dipakai oleh wanita di daerah-daerah pedesaan, demikian pula lancingan yang dipakai oleh kaum pria juga hanya terjadi di desa-desa. Lain halnya dengan sikepan, beskapan dan nempean. Ketiganya merupakan jenis pakaian tradisional resmi yang dikenakan para priyayi baik di desa maupun di kota.
Rencana terbaru yang saat ini tengah menjadi pemikiran bersama antara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas adalah upaya menjadikan kota Banyumas sebagai pusat pengembangan kebudayaan Banyumas yang berorientasi pada kepariwisataan. Penggarapan sektor kebudayaan sebagai salah satu andalan pembangunan kepariwisataan sangat mungkin dilaksanakan di Kabupaten Banyumas, mengingat daerah ini memiliki khasanah atau kekayaan budaya yang beraneka ragam. Pada prinsipnya budaya Banyumas merupakan sub kultur dari budaya Jawa. Di sisi lain letak geografis Banyumas yang berada di daerah perbatasan antara wilayah sebaran budaya Jawa dan Sunda telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan budaya Banyumas. Oleh karena itu pada berbagai aspek dapat dilihat dengan jelas lekatnya percampuran antara kedua kutub budaya tersebut di dalam budaya Banyumas.
Wilayah sebaran budaya Banyumas meliputi wilayah administratif Kabupaten Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga serta sebagian wilayah Kabupaten Kebumen (daerah Karanganyar dan sekitarnya). Di wilayah ini hidup dan berkembang berbagai aspek kebudayaan khas yang dipengaruhi oleh pola kehidupan tradisional-agraris antara lain: bahasa, kesenian, kesusastraan, kesejarahan, sistem mata pencaharian, pandangan hidup, sistem religi, sistem nilai, dan lain-lain.
Berbagai aspek budaya yang tumbuh dan berkembang di daerah Banyumas dewasa ini secara berangsur-angsur terkikis oleh derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang merambah berbagai bidang kehidupan. Berbagai khasanah budaya Banyumas terasa sekali makin tergeser ke tepi, berkembang namun dalam kondisi yang pucat pasi, atau terpaksa harus merelakan dirinya mengalami kepunahan. Hal tersebut sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan suatu masyarakat. Apabila kondisi demikian terus berlanjut, bukan tidak mungkin pada suatu saat masyarakat Banyumas akan mengalami keterasingan di negeri sendiri.
Kenyataan di atas telah dijadikan sebagai dasar bagi upaya menyelamatkan berbagai khasanah budaya Banyumas melalui bentuk-bentuk usaha penggalian, pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan berbagai aspek budaya yang ada di masyarakat. Melalui upaya ini akan dapat dilakukan langkah-langkah revitalisasi, redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi aspek-aspek budaya yang ada sehingga mampu tumbuh dan berkembang wajar dalam iklim yang kondusif.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh dalam rangka merealisasikan kerangka berpikir di atas adalah dengan mewujudkan sebuah pusat kebudayaan Banyumas. Perlunya didirikan pusat kebudayaan di Banyumas, terutama hangat dibicarakan di dinas teknis yang mengurusi bidang yang satu ini, yaitu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Sejak itu langkah-langkah persiapan bagi berdirinya pusat kebudayan Banyumas mulai dilakukan, antara lain dengan pemetaan lokasi pada tahun 2001 dan kegiatan seminar dengan tema “Perlunya Preservasi Kota Lama Banyumas dalam Penggarapan Kebudayaan Banyumas” pada tahun 2002. Sejak itu pembicaraan tentang pusat kebudayaan Banyumas semakin meluas di lingkungan pemerintahan, legislatif, hingga seniman dan budayawan di daerah ini. Ada beberapa usulan nama yang bergulir, antara lain: Pusat Kebudayaan Banyumas, Banyumas Culture Cenre dan Sentra Budaya Banyumas.
Berdirinya Sentra Budaya Banyumas diharapkan dapat memberikan beberapa keuntungan. Pertama, keberadaan lembaga kebudayaan ini merupakan langkah konkret preservasi bangunan-bangunan bernilai sejarah sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Kota Banyumas memang sering disebut sebagai kota lama yang menyimpan aneka bangunan peninggalan kolonial Belanda dan Kadipaten Banyumas sebelum pindah ke Purwokerto pada masa pemerintahan Soedjiman S. Gandasoebrata pada tahun 1936. Berbagai bangunan bersejarah tersebut saat ini banyak diantaranya yang dihuni penduduk dan dikelola Pemerintah Kabupaten Banyumas. Sedangkan sebagian lainnya sudah mulai hancur dimakan usia.
Kedua, Sentra Budaya Banyumas dapat menjadi sasana untuk pelaksanaan kegiatan konservasi aneka ragam kebudayaan lokal dalam lingkup kebudayaan Banyumas. Dalam konteks cultur area, Banyumas merupakan sebuah “provinsi” budaya yang terbentuk di lingkungan masyarakat yang berpola kehidupan agraris, berada di wilayah perbatasan sebaran kebudayaan Jawa dan kebudayaan Sunda. Selama ini kebudayaan di daerah ini berada dalam posisi tersub-ordinasi oleh kebudayaan Jawa. Meminjam istilah Ahmad Tohari, kebudayaan Banyumas berada dalam posisi disub-kulturkan oleh kebudayaan Jawa (Ahmad Tohari, 2005). Pemberlakuan UU Otonomi Daerah telah menggugah semangat lokal bahwa kebudayaan Banyumas perlu diakui sebagai kebudayaan tersendiri, yang dibedakan dengan kebudayaan Jawa.
Ketiga, keberhasilan mewujudkan Sentra Budaya Banyumas oleh banyak pihak diharapkan dapat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan penggarapan kebudayaan sebagaimana diamanatkan di dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kabupaten Banyumas tahun 2002-2006. Dalam istilah Banyumasan, hal tersebut diharapkan dapat menjadi puthon (suatu karya yang berharga) selama rentang waktu tahun 2002 hingga tahun 2006. Pemanfaatan kompleks Pendopo duplikat Kadipaten Banyumas yang bernama Pendopo Si Panji yang merupakan peninggalan Kadipaten Banyumas tempo dulu dapat menjadi museum budaya, wahana kegiatan kebudayaan serta memungkinkan dijadikan sebagai salah satu sajian wisata di Kabupaten Banyumas.
Comments
Post a Comment