MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN
Martawireja (wawancara:12-12-2001) menerangkan bahwa brenong kepang yang dibawa oleh peraga begalan utusan pihak pengantin pria memiliki makna simbolis yang sangat berguna bagi kedua mempelai dalam menjalani hidup berumah tangga. Makna simbolis masing-masing alat atau properti adalah sebagai berikut:
a. Ian
Ian adalah alas untuk mendinginkan nasi (angi) terbuat dari bambu berbentuk bujur sangkar. Di dalam begalan alat ini menggambarkan jagad gumelar (makro kosmos) yang memiliki padon papat (empat arah mata angin) yaitu timur, barat, utara, dan selatan. Manusia yang diberi karunia cipta, rasa, dan karsa harus mampu memelihara jagad gumelar, yaitu alam semesta beserta isinya agar kehidupan di dunia dapat lestari, aman, tenteram dan damai. Bagi masyarakat Banyumas alam semesta merupakan bagian dari kuasa Gusti kang asipat tan kena kinayangapa (tidak dapat digambarkan) yang memiliki kuasa anglimputi alam sakalir (meliputi dunia seisinya). Memelihara dunia dan seisinya merupakan salah satu manifestasi dari rasa tunduk dan patuh terhadap Sang Penguasa Alam.
Pemeliharaan jagad gumelar (makro kosmos) juga harus diimbangi dengan pemeliharaan jagad gumulung (mikro kosmos) yaitu batining manungsa (batin manusia). Memelihara jagad gumulung tidak berbeda dengan memelihara jagad gumelar. Apabila batin manusia tidak dipelihara niscaya akan menjadi rusak yang pada akhirnya akan berdampak pada kerusakan dunia. Cara merawat jagad gumulung adalah dengan merawat sedulur tuwa sedulur nom (saudara tua dan saudara muda) yang senantiasa sejalan seiring dengan setiap diri manusia, yaitu kakang kawah adhi ari-ari. Yang dimaksud dengan kakang kawah adalah air ketuban, sedangkan adhi ari-ari adalah plasenta.
b. Ilir
Ilir adalah alat dapur semacam kipas untuk mendinginkan nasi (angi). Alat ini merupakan simbolisasi dari susuhing angin (sarang angin atau sumber angun). Dalam hidup manusia angin memiliki manfaat yang sangat penting. Tanpa angin niscaya tidak mungkin ada kehidupan di dunia ini. Dalam diri manusia untuk dapat hidup di dunia fana sampai dengan menyatu kembali dengan Gusti ada tiga hal penting, yaitu napas, nupus dan tanapas yang tidak lain merupakan bagian dari kodrat Illahi.
c. Kukusan
Kukusan adalah wadah untuk menanak nasi yang berbentuk kerucut. Pada bagian pangkal terdiri atas empat pojok dan bagian ujung (pucuk) satu pokok. Ini melambangkan kadang papat lima pancer (saudara empat lima pusat). Yang dimaksud dengan kadang papat adalah nafsu empat macam yaitu amarah, luamah, supiah, dan mutmainah. Keempat nafsu itu apabila tidak dikendalikan akan dapat merusak tatanan kehidupan dunia. Pengendalinya tidak lain adalah hati nurani yang disebut dengan istilah pancer. Dalam falsafah Jawa keberadaan manusia diibaratkan kreta jaran sakusire. Jasad manusia diibaratkan kereta. Nafsu manusia diibaratkan empat kuda dengan warna merah (amarah), hitam (luamah), kuning (sufiah), dan putih (mutmainah).
d. Kekeb
Bagi masyarakat di wilayah sebaran budaya Banyumas, kekeb adalah sejenis alat dapur berupa tembikar yang digunakan sebagai alat penutup pada saat menanak nasi. Alat ini menggambarkan bahwa dalam hidup bersuami istri masing-masing harus mampu menutup aib pasangannya. Istri harus mampu menutupi aib suami, demikian pula suami harus mampu menutupi aib istri. Hal senada diungkapkan pula oleh Sidam (wawancara:12-10-2001) bahwa kata “kekeb” diambil “keb”-nya yang berarti baik suami maupun istri harus mampu ngrungkebi (menerima dengan tulus) kelebihan dan kekurangan pasangannya. Apapun adanya apabila sudah menjadi suami atau istri maka harus dikukup diraup (disadari sebagai milik dengan penuh tulus dan ikhlas).
e. Pedaringan
Pedaringan adalah alat untuk menyimpan beras yang terbuat dari tembikar. Alat ini mengandung ajaran bahwa wanita sebagai istri harus mampu menjadi pedaringan, yaitu mampu menjadi tempat menyimpan segala macam rejeki yang diperoleh suami. Artinya istri harus mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan agar dapat menyimpan penghasilan suami dan mampu nanjakna (membelanjakan) untuk hal-hal positif dan berguna bagi kebutuhan rumah tangga dengan penuh kontrol; tidak terkesan boros. Dalam pandangan masyarakat Banyumas, istri yang berlaku boros sering diibaratkan dengan ungkapan kaya pedaringan bolong (seperti pedaringan bocor) yang berarti wanita yang boros, tidak dapat menyimpan harta benda atau rejeki yang diperoleh suami. Istri yang boros tidak dapat menjadi tempat bersemayam rejeki dari suaminya, karena seberapapun penghasilan yang didapatkan akan “bocor” (habis) untuk hal-hal yang kurang perlu.
f. Layah atau ciri
Layah atau ciri adalah wadah untuk menggerus sambal. Ini memiliki ajaran bahwa seorang yang sudah berkeluarga harus mampu menjadi wadah bagi datangnya berbagai macam omongan orang baik perkataan yang bersifat baik maupun buruk mengenai pasangannya, seperti halnya layah yang mampu mewadahi berbagai macam rasa; ada pedas, asin, manis, dan lain-lain. Apabila mampu mewadahi maka percampuran berbagai macam rasa itu justru akan menjadi rasa yang enak.
g. Muthu
Muthu adalah alat yang lazim digunakan sebagai penggerus untuk membuat sambal. Alat ini terbuat dari batu sehingga mampu memecah beraneka bahan makanan yang keras-keras. Dalam begalan alat ini memiliki makna bahwa seseorang yang menjalani hidup berumah tangga harus senantiasa mampu memecahkan segala macam persoalan yang menghadang. Sekeras atau sebesar apapun permasalahan yang menimpa, maka ia harus mampu memecahkannya sehingga akan terselesaikan dan menjadi kenikmatan hidup tersendiri.
h. Irus
Irus yaitu gayung kecil untuk memasak. Ini menggambarkan bahwa orang yang hidup berumah tangga harus mampu mengolah rasa seperti rasa cinta, bahagia, menderita, sedih, dan lain-lain. Semua rasa itu merupakan sandanganing urip (pakaian dalam hidup) yang senantiasa menimpa setiap orang. Oleh karena itu setiap orang yang berkeluarga harus senantiasa mersdi (berupaya) agar berbagai macam rasa itu dapat menjadi pelajaran untuk tumbuhnya kedewasaan dalam sikap, tutur kata dan perbuatan.
i. Siwur
Siwur atau gayung) memiliki makna bahwa dalam hidup berkeluarga maupun hidup bermasyarakat orang tidak ngawur. Dalam setiap sesi kehidupan selalu ada aturan main (rule of the game) yang harus dipatuhi agar mampu hidup berdampingan dengan orang lain di lingkungannya. Orang harus tepa slira atau nepak awak (bercermin pada diri sendiri), apabila dicubit merasa sakit maka hendaknya jangan mencubit, kalau difitnah merasa sakit hati maka janganlah memfitnah orang lain, dan seterusnya.
j. Pala gumantung
Pala gumantung atau buah-buahan yang tergantung memiliki makna agar dalam hidup di lingkungan sosial jangan menggantungkan nasib kepada orang lain. Tuhan telah memberi karunia akal dan pikiran adalah untuk berupaya atau ikhtiar dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup pribadi maupun keluarga. Oleh karena itu setiap orang harus rela dan mau bekerja keras membanting tulang demi tercukupinya beraneka macam kebutuhan hidup.
k. Pala kependhem
Pala kapendhem atau umbi-imbian yang terpendam di dalam tanah memiliki makna bahwa dalam hidup seseorang harus mampu memendam dalam-dalam rasa sakit hati kepada orang lain di lingkungannya. Rasa dendam tidak akan ada gunanya. Hal terbaik adalah saling memaafkan segala kesalahan atau kekhilafan orang lain kepada dirinya sehingga dapat hidup rukun, tenteram dan damai.
l. Padi
Padi adalah penjelmaan Dewi Sri, yaitu dewi kemakmuran. Agar hidup manusia mencapai kemakmuran maka setiap orang harus mampu ngreksa (merawat) Dewi Sri dalam arti harus bersedia mengolah lahan pertanian hingga dapat menghasilkan bahan makanan pokok untuk kebutuhan sehari-hari. Secara filsafati padi memiliki sifat semakin tua semakin merunduk. Sama halnya dengan manusia, sudah semestinya semakin tua semakin mengolah batin untuk menundukkan diri terhadap Sang Pencipta dan memiliki sifat rendah hati terhadap sesama hidup.
m. Beras kuning
Beras kuning adalah beras dicampur dengan air perasan kunyit. Ini menggambarkan kemakmuran yang diharapkan dapat dicapai melalui hidup berumah tangga.
n. Sambetan
Sambetan adalah ramuan tradisional yang berguna untuk pengusir roh jahat. Manusia dalam hidupnya jangan sampai dirasuki roh jahat yang dapat mencelakakan baik secara lahir maupun secara batin. Celaka secara lahir bisa dalam bentuk penyakit fisik yang mengakibatkan seseorang tidak dapat mengerjakan tugas dan fungsinya dalam keluarga maupun masyarakat. Adapun sakit secara batin berupa penyakit psikologis yang mengakibatkan ia tidak mampu berbuat kebajikan yang merupakan jalan menuju kehidupan abadi (urip sampurna).
o. Uang logam (koin)
Uang logam menggambarkan rejeki yang harus dicari oleh setiap orang dalam hidup berumah tangga. Seperti dalam Serat Wulangreh pupuh Sinom karya Paku Buana IV sebagai berikut:
Bonggan kang tan mrelokena
Mungguh ugering aurip
Uripe lan tri prakara
Wirya arta tri winasis
Kalamun kongsi sepi
Marang wilangan tetelu
Telas tilasing janma
Aji godhong jati aking
Temah papa papariman ngulandara
Terjemahan bebas:
Tidak berguna bagi orang yang tidak mencari
Pada aturan hidup
Hidup itu sendiri dan tiga hal
Ketrampilan, harta benda dan kepandaian
Kalau sampai tidak memiliki
Ketiga hal tersebut
Habislah maknanya sebagai manusia
Lebih berharga daun jati yang kering
Akan hidup sengsara di mana-mana
Dalam tembang tersebut, selain hidup itu sendiri masih ada tiga hal yang harus disiasati, yaitu ketrampilan, harta benda dan kepandaian. Oleh karena itu setiap manusia harus mencari sebanyak-banyaknya ketiga hal tersebut dengan tidak meninggalkan tujuan utama dalam hidup di dunia.
p. Wangkring
Wangkring adalah alat pemikul yang terbuat dari jenis bambu tali. Ini adalah ajar bagi laki-laki yang dalam membina rumah tangga harus mampu bersikap dan berbuat seperti sifat bambu tali. Bambu ini apabila dibuat menjadi tali sangat kuat, tidak mudah putus. Demikian pula bila dibuat menjadi pikulan (alat pemikul) sangat lentur sehingga tidak mudah patah. Dalam kehidupan orang Banyumas ada ungkapan lemesa kaya tali kakua kaya pikulan yang berarti bahwa seorang pria dalam membina rumah tangga harus mampu bersikap toleran terhadap segala keadaan. Dengan demikian tidak akan sampai terjadi terputusnya hubungan antara suami dan istri.
2. Ajaran Kebaikan dan Pepali
Keseluruhan makna simbolis yang terkandung di dalam pertunjukan begalan di atas pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga macam ajaran dan pepali (larangan) yang diarahkan pada kehidupan yang lebih baik bahkan lebih sempurna yang meliputi: (1) hidup berumah tangga, (2) untuk penetrasi dalam kehidupan sosial, dan (3) pemahaman adanya Tuhan.
Dalam rangka hidup berumah tangga, baik suami maupun istri sebagai generasi muda yang diharapkan dapat hidup aman, tenteram dan bahagia, dibekali sangu (bekal) oleh generasi tua. Dalam pandangan generasi muda dikenal ungkapan belilu tau pinter urung nglakoni (bodoh tapi pernah mengalami, pintar belum melakukan) yang berarti sepandai-pandai generasi muda masih harus tetap mendapat bekal dari generasi muda yang sudah lebih kenyang pengalaman dengan harapan dalam perjalanan hidupnya jangan sampai terhempas ke jalan yang salah. Adapun bekal tersebut antara lain:
1. Suami maupun istri harus mampu menutup aib pasangannya.
2. Istri harus mampu menjadi pedaringan, yaitu mampu menjadi tempat bersemayamnya segala macam rejeki yang diperoleh suami.
3. Mampu menjadi wadah bagi datangnya berbagai macam omongan orang baik perkataan yang bersifat baik maupun buruk mengenai pasangannya.
4. Mampu memecahkan segala macam persoalan yang menghadang.
5. Mampu mengolah berbagai macam rasa (cinta, bahagia, menderita, sedih, dan lain-lain) sebagai sandanganing urip (pakaian dalam hidup) yang senantiasa menimpa setiap orang.
6. Mencari sumber penghidupan untuk kemakmuran hidup berumah tangga.
7. Mampu bersikap toleran terhadap segala keadaan agar tidak sampai terjadi terputusnya hubungan antara suami dan istri.
Dalam rangka hidup bermasyarakat di lingkungan sosial, kedua mempelai diberi sangu (bekal) sebagai berikut:
1. Dalam hidup berkeluarga maupun bermasyarakat orang tidak boleh ngawur. Dalam setiap sesi kehidupan selalu ada aturan main (rule of the game) yang harus dipatuhi agar mampu hidup berdampingan dengan orang lain di lingkungannya. Orang harus tepa slira atau nepak awak (bercermin pada diri sendiri).
2. Dalam hidup dalam lingkungan sosial orang jangan menggantungkan nasib kepada orang lain.
3. Dalam hidup orang harus mampu memendam dalam-dalam rasa sakit hati kepada orang lain di lingkungannya. Rasa dendam tidak akan ada gunanya. Hal terbaik adalah saling memaafkan segala kesalahan atau kekhilafan orang lain kepada dirinya sehingga dapat hidup rukun, tenteram dan damai.
4. Untuk mencapai kemakmuran hidup setiap orang harus mampu ngreksa (merawat) Dewi Sri dalam arti harus bersedia mengolah lahan pertanian hingga dapat menghasilkan bahan makanan pokok untuk kebutuhan sehari-hari. Secara filsafati padi memiliki sifat semakin tua semakin merunduk. Sama halnya dengan manusia, sudah semestinya semakin tua semakin mengolah batin untuk menundukkan diri terhadap Sang Pencipta dan memiliki sifat rendah hati terhadap sesama hidup.
5. Orang harus mampu mencari nafkah untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Ajaran ketiga adalah tentang pemahaman adanya Tuhan dan alam semesta (ontologi), kedua mempelai diberi sangu sebagai berikut:
1. Jagad gumelar (makro kosmos) yang memiliki padon papat (empat arah mata angin) yaitu timur, barat, utara, dan selatan yang digambarkan melalui ian. Pemeliharaan jagad gumelar (makro kosmos) juga harus diimbangi dengan pemeliharaan jagad gumulung (mikro kosmos) yaitu batining manungsa (batin manusia).
2. Susuhing angin (sarang angin atau sumber angun) yang merupakan ajaran tentang kekuatan alam yang dapat menghidupi manusia yang mengimbas pada tiga hal penting, yaitu napas, nupus dan tanapas yang tidak lain merupakan bagian dari kodrat Illahi.
3. Kadang papat lima pancer yang merupakan nafsu empat macam yaitu amarah, luamah, supiah, dan mutmainah.
4. Adanya kekuatan roh jahat yang memungkinkan menjadi gangguan dalam kehidupan yang dapat mengakibatkan celaka lahir dan batin.
a. Ian
Ian adalah alas untuk mendinginkan nasi (angi) terbuat dari bambu berbentuk bujur sangkar. Di dalam begalan alat ini menggambarkan jagad gumelar (makro kosmos) yang memiliki padon papat (empat arah mata angin) yaitu timur, barat, utara, dan selatan. Manusia yang diberi karunia cipta, rasa, dan karsa harus mampu memelihara jagad gumelar, yaitu alam semesta beserta isinya agar kehidupan di dunia dapat lestari, aman, tenteram dan damai. Bagi masyarakat Banyumas alam semesta merupakan bagian dari kuasa Gusti kang asipat tan kena kinayangapa (tidak dapat digambarkan) yang memiliki kuasa anglimputi alam sakalir (meliputi dunia seisinya). Memelihara dunia dan seisinya merupakan salah satu manifestasi dari rasa tunduk dan patuh terhadap Sang Penguasa Alam.
Pemeliharaan jagad gumelar (makro kosmos) juga harus diimbangi dengan pemeliharaan jagad gumulung (mikro kosmos) yaitu batining manungsa (batin manusia). Memelihara jagad gumulung tidak berbeda dengan memelihara jagad gumelar. Apabila batin manusia tidak dipelihara niscaya akan menjadi rusak yang pada akhirnya akan berdampak pada kerusakan dunia. Cara merawat jagad gumulung adalah dengan merawat sedulur tuwa sedulur nom (saudara tua dan saudara muda) yang senantiasa sejalan seiring dengan setiap diri manusia, yaitu kakang kawah adhi ari-ari. Yang dimaksud dengan kakang kawah adalah air ketuban, sedangkan adhi ari-ari adalah plasenta.
b. Ilir
Ilir adalah alat dapur semacam kipas untuk mendinginkan nasi (angi). Alat ini merupakan simbolisasi dari susuhing angin (sarang angin atau sumber angun). Dalam hidup manusia angin memiliki manfaat yang sangat penting. Tanpa angin niscaya tidak mungkin ada kehidupan di dunia ini. Dalam diri manusia untuk dapat hidup di dunia fana sampai dengan menyatu kembali dengan Gusti ada tiga hal penting, yaitu napas, nupus dan tanapas yang tidak lain merupakan bagian dari kodrat Illahi.
c. Kukusan
Kukusan adalah wadah untuk menanak nasi yang berbentuk kerucut. Pada bagian pangkal terdiri atas empat pojok dan bagian ujung (pucuk) satu pokok. Ini melambangkan kadang papat lima pancer (saudara empat lima pusat). Yang dimaksud dengan kadang papat adalah nafsu empat macam yaitu amarah, luamah, supiah, dan mutmainah. Keempat nafsu itu apabila tidak dikendalikan akan dapat merusak tatanan kehidupan dunia. Pengendalinya tidak lain adalah hati nurani yang disebut dengan istilah pancer. Dalam falsafah Jawa keberadaan manusia diibaratkan kreta jaran sakusire. Jasad manusia diibaratkan kereta. Nafsu manusia diibaratkan empat kuda dengan warna merah (amarah), hitam (luamah), kuning (sufiah), dan putih (mutmainah).
d. Kekeb
Bagi masyarakat di wilayah sebaran budaya Banyumas, kekeb adalah sejenis alat dapur berupa tembikar yang digunakan sebagai alat penutup pada saat menanak nasi. Alat ini menggambarkan bahwa dalam hidup bersuami istri masing-masing harus mampu menutup aib pasangannya. Istri harus mampu menutupi aib suami, demikian pula suami harus mampu menutupi aib istri. Hal senada diungkapkan pula oleh Sidam (wawancara:12-10-2001) bahwa kata “kekeb” diambil “keb”-nya yang berarti baik suami maupun istri harus mampu ngrungkebi (menerima dengan tulus) kelebihan dan kekurangan pasangannya. Apapun adanya apabila sudah menjadi suami atau istri maka harus dikukup diraup (disadari sebagai milik dengan penuh tulus dan ikhlas).
e. Pedaringan
Pedaringan adalah alat untuk menyimpan beras yang terbuat dari tembikar. Alat ini mengandung ajaran bahwa wanita sebagai istri harus mampu menjadi pedaringan, yaitu mampu menjadi tempat menyimpan segala macam rejeki yang diperoleh suami. Artinya istri harus mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan agar dapat menyimpan penghasilan suami dan mampu nanjakna (membelanjakan) untuk hal-hal positif dan berguna bagi kebutuhan rumah tangga dengan penuh kontrol; tidak terkesan boros. Dalam pandangan masyarakat Banyumas, istri yang berlaku boros sering diibaratkan dengan ungkapan kaya pedaringan bolong (seperti pedaringan bocor) yang berarti wanita yang boros, tidak dapat menyimpan harta benda atau rejeki yang diperoleh suami. Istri yang boros tidak dapat menjadi tempat bersemayam rejeki dari suaminya, karena seberapapun penghasilan yang didapatkan akan “bocor” (habis) untuk hal-hal yang kurang perlu.
f. Layah atau ciri
Layah atau ciri adalah wadah untuk menggerus sambal. Ini memiliki ajaran bahwa seorang yang sudah berkeluarga harus mampu menjadi wadah bagi datangnya berbagai macam omongan orang baik perkataan yang bersifat baik maupun buruk mengenai pasangannya, seperti halnya layah yang mampu mewadahi berbagai macam rasa; ada pedas, asin, manis, dan lain-lain. Apabila mampu mewadahi maka percampuran berbagai macam rasa itu justru akan menjadi rasa yang enak.
g. Muthu
Muthu adalah alat yang lazim digunakan sebagai penggerus untuk membuat sambal. Alat ini terbuat dari batu sehingga mampu memecah beraneka bahan makanan yang keras-keras. Dalam begalan alat ini memiliki makna bahwa seseorang yang menjalani hidup berumah tangga harus senantiasa mampu memecahkan segala macam persoalan yang menghadang. Sekeras atau sebesar apapun permasalahan yang menimpa, maka ia harus mampu memecahkannya sehingga akan terselesaikan dan menjadi kenikmatan hidup tersendiri.
h. Irus
Irus yaitu gayung kecil untuk memasak. Ini menggambarkan bahwa orang yang hidup berumah tangga harus mampu mengolah rasa seperti rasa cinta, bahagia, menderita, sedih, dan lain-lain. Semua rasa itu merupakan sandanganing urip (pakaian dalam hidup) yang senantiasa menimpa setiap orang. Oleh karena itu setiap orang yang berkeluarga harus senantiasa mersdi (berupaya) agar berbagai macam rasa itu dapat menjadi pelajaran untuk tumbuhnya kedewasaan dalam sikap, tutur kata dan perbuatan.
i. Siwur
Siwur atau gayung) memiliki makna bahwa dalam hidup berkeluarga maupun hidup bermasyarakat orang tidak ngawur. Dalam setiap sesi kehidupan selalu ada aturan main (rule of the game) yang harus dipatuhi agar mampu hidup berdampingan dengan orang lain di lingkungannya. Orang harus tepa slira atau nepak awak (bercermin pada diri sendiri), apabila dicubit merasa sakit maka hendaknya jangan mencubit, kalau difitnah merasa sakit hati maka janganlah memfitnah orang lain, dan seterusnya.
j. Pala gumantung
Pala gumantung atau buah-buahan yang tergantung memiliki makna agar dalam hidup di lingkungan sosial jangan menggantungkan nasib kepada orang lain. Tuhan telah memberi karunia akal dan pikiran adalah untuk berupaya atau ikhtiar dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup pribadi maupun keluarga. Oleh karena itu setiap orang harus rela dan mau bekerja keras membanting tulang demi tercukupinya beraneka macam kebutuhan hidup.
k. Pala kependhem
Pala kapendhem atau umbi-imbian yang terpendam di dalam tanah memiliki makna bahwa dalam hidup seseorang harus mampu memendam dalam-dalam rasa sakit hati kepada orang lain di lingkungannya. Rasa dendam tidak akan ada gunanya. Hal terbaik adalah saling memaafkan segala kesalahan atau kekhilafan orang lain kepada dirinya sehingga dapat hidup rukun, tenteram dan damai.
l. Padi
Padi adalah penjelmaan Dewi Sri, yaitu dewi kemakmuran. Agar hidup manusia mencapai kemakmuran maka setiap orang harus mampu ngreksa (merawat) Dewi Sri dalam arti harus bersedia mengolah lahan pertanian hingga dapat menghasilkan bahan makanan pokok untuk kebutuhan sehari-hari. Secara filsafati padi memiliki sifat semakin tua semakin merunduk. Sama halnya dengan manusia, sudah semestinya semakin tua semakin mengolah batin untuk menundukkan diri terhadap Sang Pencipta dan memiliki sifat rendah hati terhadap sesama hidup.
m. Beras kuning
Beras kuning adalah beras dicampur dengan air perasan kunyit. Ini menggambarkan kemakmuran yang diharapkan dapat dicapai melalui hidup berumah tangga.
n. Sambetan
Sambetan adalah ramuan tradisional yang berguna untuk pengusir roh jahat. Manusia dalam hidupnya jangan sampai dirasuki roh jahat yang dapat mencelakakan baik secara lahir maupun secara batin. Celaka secara lahir bisa dalam bentuk penyakit fisik yang mengakibatkan seseorang tidak dapat mengerjakan tugas dan fungsinya dalam keluarga maupun masyarakat. Adapun sakit secara batin berupa penyakit psikologis yang mengakibatkan ia tidak mampu berbuat kebajikan yang merupakan jalan menuju kehidupan abadi (urip sampurna).
o. Uang logam (koin)
Uang logam menggambarkan rejeki yang harus dicari oleh setiap orang dalam hidup berumah tangga. Seperti dalam Serat Wulangreh pupuh Sinom karya Paku Buana IV sebagai berikut:
Bonggan kang tan mrelokena
Mungguh ugering aurip
Uripe lan tri prakara
Wirya arta tri winasis
Kalamun kongsi sepi
Marang wilangan tetelu
Telas tilasing janma
Aji godhong jati aking
Temah papa papariman ngulandara
Terjemahan bebas:
Tidak berguna bagi orang yang tidak mencari
Pada aturan hidup
Hidup itu sendiri dan tiga hal
Ketrampilan, harta benda dan kepandaian
Kalau sampai tidak memiliki
Ketiga hal tersebut
Habislah maknanya sebagai manusia
Lebih berharga daun jati yang kering
Akan hidup sengsara di mana-mana
Dalam tembang tersebut, selain hidup itu sendiri masih ada tiga hal yang harus disiasati, yaitu ketrampilan, harta benda dan kepandaian. Oleh karena itu setiap manusia harus mencari sebanyak-banyaknya ketiga hal tersebut dengan tidak meninggalkan tujuan utama dalam hidup di dunia.
p. Wangkring
Wangkring adalah alat pemikul yang terbuat dari jenis bambu tali. Ini adalah ajar bagi laki-laki yang dalam membina rumah tangga harus mampu bersikap dan berbuat seperti sifat bambu tali. Bambu ini apabila dibuat menjadi tali sangat kuat, tidak mudah putus. Demikian pula bila dibuat menjadi pikulan (alat pemikul) sangat lentur sehingga tidak mudah patah. Dalam kehidupan orang Banyumas ada ungkapan lemesa kaya tali kakua kaya pikulan yang berarti bahwa seorang pria dalam membina rumah tangga harus mampu bersikap toleran terhadap segala keadaan. Dengan demikian tidak akan sampai terjadi terputusnya hubungan antara suami dan istri.
2. Ajaran Kebaikan dan Pepali
Keseluruhan makna simbolis yang terkandung di dalam pertunjukan begalan di atas pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga macam ajaran dan pepali (larangan) yang diarahkan pada kehidupan yang lebih baik bahkan lebih sempurna yang meliputi: (1) hidup berumah tangga, (2) untuk penetrasi dalam kehidupan sosial, dan (3) pemahaman adanya Tuhan.
Dalam rangka hidup berumah tangga, baik suami maupun istri sebagai generasi muda yang diharapkan dapat hidup aman, tenteram dan bahagia, dibekali sangu (bekal) oleh generasi tua. Dalam pandangan generasi muda dikenal ungkapan belilu tau pinter urung nglakoni (bodoh tapi pernah mengalami, pintar belum melakukan) yang berarti sepandai-pandai generasi muda masih harus tetap mendapat bekal dari generasi muda yang sudah lebih kenyang pengalaman dengan harapan dalam perjalanan hidupnya jangan sampai terhempas ke jalan yang salah. Adapun bekal tersebut antara lain:
1. Suami maupun istri harus mampu menutup aib pasangannya.
2. Istri harus mampu menjadi pedaringan, yaitu mampu menjadi tempat bersemayamnya segala macam rejeki yang diperoleh suami.
3. Mampu menjadi wadah bagi datangnya berbagai macam omongan orang baik perkataan yang bersifat baik maupun buruk mengenai pasangannya.
4. Mampu memecahkan segala macam persoalan yang menghadang.
5. Mampu mengolah berbagai macam rasa (cinta, bahagia, menderita, sedih, dan lain-lain) sebagai sandanganing urip (pakaian dalam hidup) yang senantiasa menimpa setiap orang.
6. Mencari sumber penghidupan untuk kemakmuran hidup berumah tangga.
7. Mampu bersikap toleran terhadap segala keadaan agar tidak sampai terjadi terputusnya hubungan antara suami dan istri.
Dalam rangka hidup bermasyarakat di lingkungan sosial, kedua mempelai diberi sangu (bekal) sebagai berikut:
1. Dalam hidup berkeluarga maupun bermasyarakat orang tidak boleh ngawur. Dalam setiap sesi kehidupan selalu ada aturan main (rule of the game) yang harus dipatuhi agar mampu hidup berdampingan dengan orang lain di lingkungannya. Orang harus tepa slira atau nepak awak (bercermin pada diri sendiri).
2. Dalam hidup dalam lingkungan sosial orang jangan menggantungkan nasib kepada orang lain.
3. Dalam hidup orang harus mampu memendam dalam-dalam rasa sakit hati kepada orang lain di lingkungannya. Rasa dendam tidak akan ada gunanya. Hal terbaik adalah saling memaafkan segala kesalahan atau kekhilafan orang lain kepada dirinya sehingga dapat hidup rukun, tenteram dan damai.
4. Untuk mencapai kemakmuran hidup setiap orang harus mampu ngreksa (merawat) Dewi Sri dalam arti harus bersedia mengolah lahan pertanian hingga dapat menghasilkan bahan makanan pokok untuk kebutuhan sehari-hari. Secara filsafati padi memiliki sifat semakin tua semakin merunduk. Sama halnya dengan manusia, sudah semestinya semakin tua semakin mengolah batin untuk menundukkan diri terhadap Sang Pencipta dan memiliki sifat rendah hati terhadap sesama hidup.
5. Orang harus mampu mencari nafkah untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Ajaran ketiga adalah tentang pemahaman adanya Tuhan dan alam semesta (ontologi), kedua mempelai diberi sangu sebagai berikut:
1. Jagad gumelar (makro kosmos) yang memiliki padon papat (empat arah mata angin) yaitu timur, barat, utara, dan selatan yang digambarkan melalui ian. Pemeliharaan jagad gumelar (makro kosmos) juga harus diimbangi dengan pemeliharaan jagad gumulung (mikro kosmos) yaitu batining manungsa (batin manusia).
2. Susuhing angin (sarang angin atau sumber angun) yang merupakan ajaran tentang kekuatan alam yang dapat menghidupi manusia yang mengimbas pada tiga hal penting, yaitu napas, nupus dan tanapas yang tidak lain merupakan bagian dari kodrat Illahi.
3. Kadang papat lima pancer yang merupakan nafsu empat macam yaitu amarah, luamah, supiah, dan mutmainah.
4. Adanya kekuatan roh jahat yang memungkinkan menjadi gangguan dalam kehidupan yang dapat mengakibatkan celaka lahir dan batin.
Comments
Post a Comment