EBEG BANYUMASAN


Ebeg adalah jenis tarian tradisional yang sangat populer di Banyumas dengan properti berupa kuda-kudaan terbuat dari anyaman bambu. Dalam pertunjukannya para pemain ebeg menggambarkan prajurit berkuda di bawah pimpinan Prabu Klana dalam cerita Panji. Sajian tarian diiringi alat musik bendhe yang merupakan perangkat musik tradisional yang khusus digunakan untuk mengiringi pertunjukan Ebeg. Di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas masih bertebaran kelompok-kelompok atau grup-grup seni ebeg, khususnya di wilayah-wilayah pedesaan. Hampir di setiap desa terdapat seni ebeg, mulai dari sebelah barat aliran sungai Luk Ulo Kebumen di sisi timur, hingga wilayah perbatasan Pasundan di sisi barat.

Hingga sekarang ebeg masih hidup dan berkembang di berbagai daerah di wilayah sebaran kebudayaan Jawa dengan berbagai nama dan bentuk pertunjukan seperti kuda lumping, kuda kepang, embeg, embleg, emblek, jaran dor dan lain-lain. Pada masa lalu properti berupa kuda-kudaan selain terbuat dari bambu juga terbuat dari pelepah pinang (lumping) sehingga sering pula disebut dengan istilah kuda lumping. Cerita Panji yang menjadi latar belakang pertunjukan membuktikan bahwa keberadaan ebeg di Banyumas telah berusia sangat lama. Diperkirakan tarian sejenis ebeg sudah populer sejak jaman kejayaan Majapahit, menceritakan masa keemasan Kediri sebagai pendahulu Majapahit. Cerita Panji mengkisahkan kepahlawanan dan cinta yang berpusat pada dua orang tokoh utamanya, yaitu Raden Inu Kertapati (Panji Asmarabangun) dan Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana). Cerita ini mempunyai banyak versi, dan telah menyebar di beberapa tempat sampai ke negeri tetangga yang pernah menjadi wilayah kekuasaan Majapahit seperti di Jawa, Bali, Kalimantan, Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar dan Filipina.

Dalam pertunjukannya para pemain menari menggamit properti ebeg di antara kedua kakinya menggambarkan prajurit sedang menunggang kuda. Para pemain menyajikan gerak tarian gagah layaknya kegagahan prajurit yang berangkat ke medan laga. Sebagai bagian dari sajian, selain prajurit penunggang kuda juga ada cepet dan penthul yang menggambarkan dua orang abdi bernama Bancak dan Doyok. Ada pula barongan yang menggambarkan singa barong tunggangan Prabu Klana dan laisan, pemain yang berdandan wanita di dalam kurungan, menggambarkan Dewi Sekartaji yang sedang berkelana terlunta-lunta karena diusir oleh Raden Panji.

Di dalam pertunjukan ebeg terdapat satu fenomena sekaligus daya tarik pertunjukan, yaitu para pemain mengalami wuru atau disebut juga mendem (intrance). Pada saat mengalami wuru, setiap pemain diyakini dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar (setengah sadar). Pada saat itu para pemain tengah dirasuki kekuatan ghaib berupa roh nenek moyang dan roh binatang yang sering disebut indhang. Pada saat mengalami wuru, pemain ebeg biasanya melakukan berbagai macam perilaku yang tidak lazim dilakukan oleh seseorang yang tengah dalam keadaan normal. Pemain ebeg yang mengalami wuru akan berkelakuan seperti orang yang sedang marah. Pandangan matanya tajam, badannya kaku, dan biasanya berlarian kesana-kemari. Pada saat wuru, mereka juga melakukan hal-hal yang di luar kewajaran. Para pemain memakan bara api, kaca, daun tebu (Banyumas: kering), sekam, ayam hidup, dan lain-lain. Pemain yang wuru juga memanjat pohon tinggi, dicambuk, atau bahkan ditindih lesung yang selanjutnya lesung ditumbuk dengan antan oleh beberapa orang.

Fenomena wuru dalam pertunjukan ebeg telah menjadi kekuatan dan daya tarik tersendiri dari kesenian ini. Penonton ebeg biasanya akan datang berduyun-duyun memenuhi tempat pertunjukan menjelang sesi wuru yang berlangsung sejak pertengahan hingga akhir pertunjukan. Sesi ini merupakan puncak pertunjukan ebeg yang sangat ditunggu-tunggu penonton. Pada sesi wuru, penonton juga berkesempatan untuk turut berekspresi. Penonton yang bisa mengalami wuru, diperbolehkan ikut wuru bersama-sama dengan para pemain. Peristiwa demikian akan menjadikan pertunjukan ebeg semakin menarik dan mengundang minat penonton menyaksikan pertunjukan.

Pemain dan penonton sering kali wuru bersama dalam sebuah pertunjukan ebeg. Semua itu diyakini karena hadirnya indhang. Kehadiran indhang dalam pertunjukan ebeg bukan saja dalam konteks mitos. Tapi juga telah menjadi etos yang menjadikan pertunjukan lebih hidup, lebih menarik, dan lebih dinamis. Penonton umumnya sangat menunggu momentum ini. Seakan antara rasa percaya dan tidak percaya akan hadirnya indhang, namun mereka menikmati ketika para pemain tiba-tiba terjatuh dengan badan kaku dan gemetar, lalu lari kesana-kemari. Sejurus kemudian menuju ke dekat tempat sesaji dan minta makan berupa bara api atau pecahan kaca.

Oleh : Yus Wong Banyumas

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS SEBAGAI KEKUATAN PARIWISATA