PENGARUH BUDAYA GLOBAL TERHADAP KESENIAN TRADISIONAL

Oleh Yus Wong Banyumas

     
A. Pendahuluan

     Dalam kehidupan sehari-hari, kita telah sangat akrab dengan beberapa istilah seperti globalisasi, modernisasi, industrialisasi, budaya massa, budaya pop, budaya tinggi (high culture), budaya rendah (low culture), seni rakyat, seni massa atau seni pop. Namun, apa sesungguhnya definisi maupun substansi dari beberapa terminologi tersebut? Pada kesempatan ini marilah kita bersama-sama mempelajarinya, agar dalam implementasi tugas dan profesi di masyarakat tidak terjadi mal praktek, seling-surup, kesalahtafsiran dan sejenisnya, yang tidak saja merugikan diri sendiri tetapi juga dapat pula merugikan orang lain. Tulisan ini bukan dalam rangka ‘menggurui’, tetapi lebih sebagai sebuah usaha mengajak semua pihak untuk lebih mengapresiasi istilah-istilah tersebut dalam konteks pemaknaan maupun substansinya. 
     
     Apabila definisi dan substansi beberapa terminologi tersebut sudah dapat diapresiasi, diharapkan setiap peserta dapat melakukan analisis terhadap persoalan-persoalan kultural, mulai dari lingkungan terdekat hingga skala yang lebih luas lagi. Menurut Neils Mulder (1996:11) dasar pikiran utama dari analisis kultural (sosiologi interpretasi) adalah bahwa kehidupan sehari-hari membentangkan dirinya dalam susunan yang berarti. Hal sederhana ini berarti bahwa orang ingin dan perlu mengerti dan membenarkan perbuatan-perbuatannya serta tatanan masyarakat di mana perbuatan-perbuatan itu berlangsung. Mereka mendapati pengertian dan pembenaran itu dalam suatu dunia pengetahuan yang dimiliki bersama, yaitu kebudayaan mereka, yang dapat dianalisis sebagai sistem persepsi, klasifikasi dan penafsiran lain yang mereka miliki. Sistem itu ada dalam kepalanya sebagai model mental, yaitu suatu model pengenalan yang berfungsi untuk memberi alasan kepada kehidupan. Adalah menjadi tujuan dari analisis kultural untuk mengupas model ini, menggali struktur-struktur konsepsi dan mengidentifikasi gagasan-gagasan yang memberi arti kepada kegiatan dan yang terletak di belakang persepsi, klasifikasi dan penafsiran yang sebenarnya.
     

B. Globalisasi

     Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkatan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dalam banyak hal globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi, sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
     
     Kata ‘globalisasi’ berasal dari kata ‘global’ yang maknanya ialah universal.  Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai sebuah proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. 
     
     Di sisi lain ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Beberapa ciri globalisasi antara lain:
  • Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti handphone, satelit, televisi, dan internet, menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
  • Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional dan dominasi organisasi perdagangan dunia semacam World Trade Organization (WTO).
  • Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olahraga internasional). Selain itu dapat dilihat pula pada berbagai ragam budaya, misalnya fashion, literatur dan makanan.
  • Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.

     
     Cochrane dan Pain (1994,242) menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:
  1. Para globalis; percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan seluruh lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. Dalam hal ini telah terjadi dua aliran kelompok globalis dengan pandangan yang berbeda tentang konsekuensi terhadap proses globalisasi. Di satu pihak ada kelompok yang beraliran positif dan optimis. Mereka berpandangan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab. Di pihak lain lahir kelompok pesimis yang beranggapan bahwa globalisasi adalah fenomena negatif karena hal tersebut sesungguhnya merupakan bentuk penjajahan Barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dengan menampakkannya sebagai sesuatu yang benar di permukaan. Kelompok kedua ini kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
  2. Para tradisionalis; tidak percaya bahwa globalisasi sedang terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos, atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi fenomena internasional semala ratusan tahun. Yang sedang terjadi saat ini lebih merupakan tahap lanjutan atau evolusi dari produksi dan perdagangan kapital.
  3. Para transformasionalis; berpendapat sangat bodoh apabila kita menyangkal adanya globalisasi, namun juga setuju bahwa pengaruh globalisasi telah dilebih-lebihkan oleh para globalis. Para transformasionalis berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai ‘seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung’.

     
     Globalisasi yang terjadi di dunia saat ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Menurut Wikipedia (1996), fase-fase globalisasi terjadi dari waktu ke waktu dengan tahapan sebagai berikut:
  1. Globalisasi telah dimulai sejak sekitar tahun 1000 dan 1500 M, ditandai dengan hadirnya para pedagang Tiongkok dan India yang melakukan perdagangan antar negara, baik melalui jalur darat (misalnya: jalur sutra) maupun jalur laut.
  2. Perdagangan oleh kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia dan Genoa. Bersamaan dengan itu, mereka juga menyebarkan nilai-nilai agama Islam, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia. 
  3. Ekspedisi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa, antara lain: Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda. Dalam hal ini pengaruh revolusi industri berdampak meluas terhadap peningkatan keterkaitan antar bangsa dengan ditemukannya berbagai teknologi yang terus berkembang hingga sekarang. Pada sat itu berkembang pula kolonialisasi yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia. Sementara itu, semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar, juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia.
  4. Momentum berakhirnya perang dingin antara blok timur dan blok barat. Runtuhnya komunisme di dunia seolah memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik untuk mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, hampir semua negara menyediakan dirinya untuk menjadi pasar bebas. Hal ini didukung pula oleh perkembangan komunikasi dan transportasi yang mengakibatkan sekat-sekat antar negara menjadi kabur.


     
     Perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi sejak awal abad ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontek fisik sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa di dunia. Hal ini telah mempercepat terjadinya globalisasi kebudayaan. Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan antara lain:
  1. Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
  2. Penyebaran prinsip multi kebudayaan (multi culturism) dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
  3. Berkembangnya turisme/pariwisata.
  4. Semakin banyaknya imigrasi dari satu negara ke negara lain.
  5. Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain-lain.
  6. Bertambahnya event-event berskala global.

     
     
C. Modernisasi dan Industrialisasi

     Revolusi industri di Inggris dan revolusi politik di Prancis pada abad ke-19 membawa dampak yang begitu besar terhadap perubahan dunia, baik di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Perubahan-perubahan yang membawa masyarakat pada suatu keadaan yang baru, mewarnai pemikiran tentang proses modernisasi yang terjadi di dunia Barat.
     
     Perspektif teori modernisasi klasik menyoroti bahwa Negara Dunia Ketiga merupakan Negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya. Sementara Negara-negara Barat dilihat sebagai Negara modern. McClelland menyarankan agar Dunia Ketiga mengembangkan dirinya untuk memiliki nilai-nilai kebutuhan berprestasi yang dimiliki Barat untuk menumbuhkan dan mengembangkan kaum wiraswasta modernnya. Pendapat ini menggambarkan betapa Barat seolah berkedudukan sebagai superior yang memaksa Negara-negara Dunia Ketiga untuk mengadopsi nilai-nilai ‘gaya hidup Barat’ sebagai identitas modernnya. Ini adalah sebuah proses hegemoni budaya yang menempatkan Negara-negara Dunia Ketiga bersedia mencontoh (akulturasi) atau melakukan peminjaman kebudayaan (cultural borrowing).
     
     Dalam perkembangannya lahir teori modernisasi baru yang menyebutkan bahwa tradisi dipandang sebagai faktor positif pembangunan. Masyarakat tradisional di Indonesia pada dasarnya memiliki ciri yang dinamis, mengolah resistensi serbuan budaya Barat sesuai dengan tantangan internal maupun kekuatan eksternal yang mempengaruhinya.
     
     Menurut Nurcholish Madjid (1994: 175-177), modernisasi identik dengan rasionalisasi. Itu berarti proses perubahan pola berpikir dari tatakerja yang tidak rasional dan menggantikannya dengan pola berpikir dan tatakerja yang rasional. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan, sebagai pemahaman manusia terhadap hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal dan material, sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis. Jadi, sesuatu dikatakan modern jika ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum alam.  Ciri-ciri manusia modern menurut  Alex inkeles:
  • Sikap membuka diri pada hal-hal baru.
  • Tidak terikat terhadap ikatan institusi maupun penguasa tradisional.
  • Percaya keampuhan ilmu pengetahuan.
  • Menghargai ketepatan waktu.
  • Melakukan segala sesuatu secara terencana.

     
     Karakter moderenisasi di Barat muncul untuk menghendaki suatu komponen tidak masuk akal menggiurkan yang menempatkan institusi dominan, terkecuali politik, tidak bisa menyajikan. Moderenisasi telah datang untuk memberi makna bagi kehidupan masyarakat urban disalurkan melalui organisasi birokratis. Pasar dan pemerintah mengkoordinir produksi. Perundang-undangan positif dibanding tradisi moral atau hukuman adalah basis peraturan sosial. Kohesi yang mengalir dari kapasitas individu untuk turut berpartisipasi secara emosional di dalam rasa sakit dan kebahagiaan yang lain telah menemukan dirinya sendiri yang menyerbu besar-besaran melalui moderenisasi (Arnold W. Foster and Judith R. Blau, 1989:55-56). Perubahan teknologi, kebijakan pemerintah, dan siklus bisnis sudah menggabungkan penyakit dan suasana di dalam produksi tak menentu dan perbedaan pengaruh, memperkaya dan memperbaiki di luar manapun logika moral. Karena orang kebanyakan, tidak berkekuatan untuk membentuk kondisi-kondisi hidup, dunia sosial telah menerima sementara suatu nada yang  tidak dikenai sanksi oleh makna metafisika yang lebih dalam dan sesuatu yang tidak dikenal pada jaman sebelumnya. Keinginan untuk keamanan nasional telah datang untuk mengharuskan persiapan untuk pembasmian global.
     
     
D. Budaya Massa

     Budaya populer atau budaya pop (popular culture atau pop culture) secara sederhananya adalah budaya yang secara luas diterima oleh masyarakat. Umumnya sikap para ahli budaya pop, terbagi dua. Sebagian ahli yang bersikap kritis memilih menggunakan istilah ‘budaya massa’ ketimbang budaya pop. Karena bagi mereka budaya massa atau budaya pop itu tidak lebih tidak kurang adalah sebuah budaya yang menurunkan level selera masyarakat secara keseluruhan, sehingga pada gilirannya juga menurunkan kualitas peradaban. Dan, media massa dianggap berperan besar dalam menyebarkan budaya. Ada pula yang berpandangan positif, mereka biasanya menggunakan istilah budaya pop. Mereka beranggapan bahwa budaya pop adalah budaya rakyat yang otentik yang menjadi protes simbolik dalam masyarakat kapitalis. Kemudian ada juga pendapat mutakhir yang melihat pengertian budaya pop dari analisis politik hegemoni. Pendapat ini mencoba mengatasi kebutuhan debat antara dua perspektif budaya pop tersebut.
     
     Menurut Leo Lowenthal, budaya pop atau budaya massa dapat ditelusuri sejak jaman Romawi dan Yunani kuno. Dalam perkembangannya, perubahan sosial, politik, ekonomi serta teknologi yang terjadi sejak abad 16-17 hingga abad 20 menimbulkan sikap yang mendua terhadap persoalan budaya massa (populer). Penerimaan dan penolakan budaya populer dikaitkan dengan pertumbuhan kapasitas mental spiritual (bersifat religius). Sementara pada abad 19, seperti tercermin pada pemikiran Goethe dan Schiller, sikap tersebut sudah menyangkut masalah manipulasi dan eksploitasi ekonomi dalam hubungannya dengan ‘misi seniman’ sebagai kekuatan pembebasan. Sedangkan pada abad 20, selain dikaitkan dengan komersial (kapitalisme)  juga soal politisasi penguasa. Dengan kata lain, kemunculan dan perdebatan budaya pop digerakkan oleh perubahan soaial yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi (dimulai oleh revolusi industri) yang membawa kebangkitan ekonomi pasar (dimulainya kapitalisme).
     
     Penjelasan karakteristik tentang budaya pop di dalam dunia modern adalah upaya mencari cara untuk mengatasi pengalaman tentang fragmentasi sosial tanpa kritik. Ini bukan hal yang serius menyelidiki pertentangan antar individu dan institusi sosial ataupun memperlakukan produk-produknya sebagai komposisi aesthetic. Produk komersial kultur populer pada abad ke-20 menyediakan kepada masyarakat dengan pengintegrasian sosial yang emosional dan ekspresif yang merupakan cara lain untuk tidak hadir dari pengaturan fungsional kapitalisme industri. Ini menyediakan suatu wahana pengalaman pada umumnya dan drama nasional yang nampak untuk mengatasi konflik ekonomi dan frustrasi jabatan. Ini mensuplai catatan dan latar belakang musik, pengingkaran melalui periserikatan sosial yang untuk sementara dihindarkan. Suatu persamaan kecenderungan partisipasi di dalam suatu kelompok sosial yang utuh dengan begitu dicapai (Arnold W. Foster and Judith R. Blau, 1989:58). Tidak seperti seni murni, kultur populer belum menghasilkan suatu pendengar kritis. Gaya pengertiannya menghalangi ini. Produk entertainmen komersial dapat menarik pendengar luas bahwa itu dapat menawarkan suatu jalan keluar bagi suatu populasi massa yang saling bertentangan dengan batasan sosial yang kompleks. Evaluasi kritis akan memerlukan bahwa pendengar melakukan pekerjaan sebagai obyek yang diciptakan dan dapat berimprovisasi, dan tidak melulu sebagai suatu pengaruh di dalam kekalahan dirinya untuk sementara waktu. Ketika seorang pendengar tidak dipindah untuk mengasumsikan perspektif menyangkut pengarang, aktor, atau seniman, dan tidak mampu untuk mendiskusikan bagaimana suatu pengaruh dicapai, gairah penghargaan dan identifikasi dengan suatu pekerjaan adalah semua yang tinggal.
     
     Debat atas budaya massa, melilitkannya dengan debat sosiologi atas asal dan konsekuensi suatu masyarakat umum, mempunyai sejarah yang mendahului lahirnya media massa modern. Gans (1967) telah menunjukkan, perubahan-perubahan yang dimaksudkan untuk melawan budaya massa atau budaya populer telah sering diulangi bahwa hal ini mungkin untuk memandangnya sebagai bagian dari suatu kritik yang mapan. 
     
     Titik awal kritik terhadap budaya populer adalah bahwa produk tersebut dibuat semata-mata untuk pertimbangan komersil dan sebagai konsekuensi harus distandarisasi di dalam daya tarik produksi massal. Mode produksi demikian mengakibatkan suatu 'separasi antara pabrik budaya dengan konsumen' (Haag,1961:58) dan konsumen kemudian menjadi tidak lebih daripada obyek pasif yang adalah dimanipulasi secara jahat dan dieksploitasi secara komersial oleh produsen budaya massa. Semua itu dibuat oleh teknisi yang disewakan oleh para pelaku bisnis: pendengar adalah konsumen pasif, keikutsertaan mereka dibatasi pada pilihan antara membeli dan tidak membeli.
     
     Pencipta budaya massa menolak ekspresi dari kreativitas benar dan individualitas, yang secara normal dihubungkan dengan produksi budaya tinggi. Budaya populer tidak tumbuh di dalam suatu kelompok, melainkan dihasilkan oleh satu group untuk dijual pasaran. Produk harus menemukan rata-rata selera, dan itu hilang di dalam spontanitas dan individualitas yang diperoleh dalam aksesibelitas dan harga yang relatif murah. Kritik tentang budaya populer melihatnya sebagai sesuatu yang mendorong ke arah suatu pembusukan tradisi kebudayaan rakyat dan kebudayaan tinggi. Tidak hanya seniman potensial yang diumpankan oleh keterlibatan yang memberikan penghargaan menguntungkan di dalam kebudayaan populer, tetapi juga produk masa lampau dan kebudayaan tinggi saat ini benar-benar dieksploitasi di dalam produksi kebudayaan populer. Semua corak sampai sekarang diarahkan pada penciptaan atribut budaya massa. 
     
     Budaya massa dibedakan dari  kebudayaan rakyat dan  kebudayaan tinggi oleh standarisasi produksi massalnya, kelaikan pasar dan ketergantungan seperti parasit pada format lain dari kebudayaan dan kesenian. Itu berwujud sebuah jarak yang jauh antara konsumen (pendengar) dan produsen. Yang belakangan memanfaatkan dan menggerakkan yang terdahulu. Karakteristik ini secara radikal membedakan bentuk budaya massa dari  format budaya lainnya.
     
     Ada perbedaan penekanan dan pendapat di antara kritikus budaya massa, terutama sekali di dalam  kritik yang berorientasi pada sosial dan politik: kedua-duanya, conservatif dan radikal setuju di dalam banyak pengakuan pada kritik mereka tentang budaya populer, tetapi tidak sependapat di dalam penjelasan mereka menyangkut penyebab masalah itu. Kalangan konsevatif cenderung bermusuhan dengan demokrasi politik atau persamaan politis, sosial dan ekonomi. Mereka menjelaskan keberadaan budaya populer melalui kekurangan pendengarnya. Di sisi lain, yang radikal berpendapat bahwa pendengar tidak dalam keadaan bersalah tetapi lebih menggunakan mekanisme pasar, dengan semua kemungkinan eksploitasi komersial, untuk menyediakan kebudayaan di dalam suatu karakter masyarakat melalui pendengar ‘massa’.


E. High Culture dan Low Culture

     Istilah high culture (kebudayaan tinggi) dan low culture (kebudayaan rendah) telah ada sejak jaman Romawi dan Yunani Kuno. Masing-masing budaya ini berada dalam lingkungan kulturnya sendiri. Pada saat itu istilah budaya tinggi dipakai oleh kalangan elite. Produk-produk seni yang dihasilkan oleh kebudayaan tinggi biasanya dipentaskan di gedung-gedung teater. Sementara kebudayaan rendah adalah kebudayaan rakyat kebanyakan dengan produk-produk artistik yang dipentaskan melalui gedung-gendung pertunjukan sirkus. 
     
     Wilensky mengidentifikasi budaya tinggi dengan menunjuk dua karakteristik produk. Pertama, diciptakan di bawah pengawasan budaya elite yang beroperasi di dalam tradisi estetik, keusasteraan atau ilmiah. Kedua, standar kritis independen dari konsumen menyangkut produk diberlakukan secara sistematis baginya. Ini berbeda dengan kebudayaan rendah sebagai produk budaya yang dihasilkan semata-mata untuk pasar umum, ketika kultur rakyat dilihat sebagai budaya tradisional dari orang-orang yang terutama adalah masyarakat pedesaan (John Shepherd, 1977:179). Berawal dari kebudayaan rendah inilah pada akhirnya lahir kebudayaan massa atau kebudayaan popular.
     
     Pada masa penjajahan Belanda, paham tentang kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah telah dijadikan doktrin yang sangat kuat untuk membedakan kebudayaan kraton dengan kebudayaan rakyat. Kebudayaan kraton dengan tradisi tinggi, penuh dengan perumitan-perumitan dan penghalusan (softifikasi), berkembang di lingkungan kerajaan-kerajaan nusantara (terutama kerajaan Jawa). Maka, kemudian lahirlah istilah adiluhung untuk menyebut kebudayaan tinggi di lingkungan kraton-kraton Jawa (Sumarsam, 1992). Bersamaan dengan itu, kemudian dilakukan pemaknaan terhadap kebudayaan rakyat yang berkonotasi rendah, terbelakang, sederhana, dan kolot. Dalam peristilahan pun kemudian dibedakan antara ‘tradisi’ dan ‘tradisional’. Istilah ‘tradisi’ lebih digunakan untuk merujuk ragam kebudayaan tinggi, sedangkan istilah ‘tradisional’ lebih diarahkan untuk menyebut ragam kebudayaan rakyat. 
     
     Dalam hubungannya dengan seni popular, kesenian rakyat memiliki hubungan yang relatif lebih dekat dibanding dengan kesenian kraton. Dengan melihat sejarahnya saja dapat diperoleh gambaran bahwa kebudayaan populer lahir di lingkungan kebudayaan rendah (rakyat) yang berkembang sejak jaman kejayaan Romawi dan Yunani Kuno. Menurut Arnold Hauser (1974) kesenian rakyat merupakan salinan dari karya seni tinggi dan nilainya diciptakan atau berada dalam hubungan yang sesuai dengan kualitas artistik dengan prototip yang disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat pendukungnya. Kesenian rakyat dan kesenian populer memiliki konsep kesatuan yang tinggi; keduanya sama-sama didasarkan pada konsep high culture meskipun tidak dalam tampilan sesuai dengannya. Dalam perkembangannya, seni rakyat dan seni populer kemudian mengalami deviasi. Kesenian rakyat berjalan dalam rel tradisi dengan wujud penampilan yang cenderung sederhana, kuno dan janggal. Sementara seni pop mengalami perubahan setiap saat, di dalamnya dilakukan perumitan-perumitan, menggunakan teknik tinggi, meskipun tetap menampakkan tampilan yang vulgar dan berubah-ubah.
     

F. Seni Pop

     Perubahan sosial di dunia diawali oleh revolusi industri yang membawa modernisasi yang sering dianggap identik dengan kemajuan. Revolusi industri membuat pekerjaan menjadi terspesialisasi. Sebelum era industrialisasi, masyarakat feodal umumnya adalah petani. Sebagai petani mereka harus mengerjakan semua proses bertani: mulai dari menyiapkan tanah, menabur benih, menyiangi, merawat, sampai memanen dan menjual hasilnya. Begitu mereka memasuki dunia industri, pekerjaan mereka terspesialisasi, yang kemudian menghasilkan waktu luang sekaligus kebosanan karena tekanan pekerjaan yang monoton. Akibatnya, semakin besar tekanan pekerjaan, makin ingin mencari ‘pelepasan’. Maka reaksi menjadi jalan keluar untuk mendapatkan kegembiraan. Tetapi, kegembiraan atau excitement yang dikejar hanya akan meningkatkan keinginan itu sendiri. Alih-alih menjadi jalan keluar, kegembiraan malah menjadi jebakan. Akibatnya, jika seseorang mencari kegembiraan dalam budaya pop, secara perlahan mereka akan membutuhkan kegembiraan yang lebih besar dan lebih besar lagi. Tentu saja para produsen budaya pop akan dengan senang hati melayaninya. Lalu diciptakan berbagai ragam seni pop seperti musik, film, fashion, makanan, serta dibangun lebih banyak tempat hiburan, mall, cafe, spa, dan lain-lain. Jadi singkatnya, budaya pop muncul sebagai konsekuensi ‘kemajuan’ industri yang menciptakan tekanan dan kebosanan.
     
     Keseriusan dan regiditas (kekakuan) kreasi artistik yang memiliki otentisitas tinggi segera tenggelam dalam seni populer. Melalui seni pop direpresentasikan kegembiraan yang menjadikannya sebagai wahana hiburan dan relaksasi. Hasil produksi dari seni pop digunakan secara aktual dalam cara tertentu, dikonsumsi, dan setelah digunakan dibuang sebagai barang yang tidak berguna. Seni pop yang diproduksi untuk masyarakat urban (perkotaan) secara ideologi kemudian menjadi milik kelas menengah ke bawah dan borjuis menengah, dengan tidak memandang darimana kelompok itu berasal.
     
     Sebagai produk budaya massa, seni pop umumnya mengembangkan teknik-teknik yang paling baru, misalnya diproduksi oleh alat-alat mekanik dan dicocokkan dengan produksi efek-efek yang bisa diproduksi kembali dalam keadaan apapun. Karakter komersial pada seni pop sangat ditekankan. Ini selaras dengan perkembangannya yang berada dalam ranah industrialisasi, sebagai produk masal. Pada era produksi massa, seni pop mengambil bentuk-bentuk komersial sepenuhnya dan rasionalisasi yang tinggi, karena dimaksudkan untuk memproduksi sejumlah besar barang-barang yang bisa dijual dengan mudah dan cepat dalam waktu yang sesingkat mungkin. Rahasia suksesnya adalah pembuatan prototip dengan pola dan patokan tertentu yang menjanjikan lahirnya hasil yang produktif, dan menolaknya apabila terancam jatuh.
     
     
G. Peluang Eksistensi Seni Tradisional

     Van der Kroef Jm. (1956:198-210) berpendapat bahwa budaya masyarakat tradisional memiliki ciri-ciri pokok: (1) high interelatedness of all domains of communality life (in-totality). Kondisi masyarakat didekati secara holistik, semua berhubungan dengan agama. Dalam hal ini politik, ekonomi, dan lain-lain berhubungan dengan agama; (2) super natural power (dunia adrikodati), sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat dalam bentuknya seperti roh nenek-moyang (karena Tuhan tidak hanya menciptakan manusia, tetapi Tuhan juga menampakkan wujudnya dalam kehidupan. Manusia di dunia hanya khalifah (wakil) dari Tuhan yang harus memelihara ciptaan Tuhan; (3) kuatnya ikatan teritorial dan kekerabatan (kinship) antara warganya menyebabkan kuatnya batas wilayah teritorial yang menjadi ‘milik bersama’; dan (4) kuatnya batas teritorial menyebabkan makin tegasnya batas-batas budaya yang dapat dikenali, yaitu melalui bahasa. Pendapat tersebut sangat penting guna mengupas eksistensi kesenian tradisional di tengah terpaan globalisasi saat ini.
     
     Pada kenyataannya, setiap kebudayaan mengandung dua daya sekaligus, yaitu daya yang cenderung melestarikan dan daya yang cenderung berkembang atas kemekarannya sendiri.  Antar kedua daya inilah tiap masyarakat pendukung kebudayaan tertentu berada.  Satu daya mempertahankan agar lestari dan daya lainnya menariknya untuk maju.  Satu daya dengan kecenderungan preservatif dan satunya cenderung progresif.  
     
     Perimbangan kedua daya dalam kebudayaan sangat dipengaruhi oleh pertemuan antar budaya (cultural encounter) yang terjadi sejalan dengan kemekaran pola kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Proses pertemuan cultural encounter merupakan keniscayaan dalam wacana pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan.  Peristiwa ini ditandai proses saling pengaruh antar budaya, dengan kemungkinan satu pihak lebih besar pengaruhnya ketimbang pihak lain.  Pertemuan antar budaya menggejala sebagai keterbukaan (exposure) pihak yang satu ke pihak yang lainnya. Proses pengaruh-mempengaruhi dalam pertemuan antar budaya tidak selalu berlangsung sebagai proses dua arah atau timbal-balik yang seimbang, melainkan memungkinkan terjadi proses imposisi budaya yang satu terhadap yang lainnya, yaitu terpaan budaya yang satu berpengaruh dominan terhadap budaya lainnya.
     
     Kenyataan mengenai besarnya dampak yang ditimbulkan melalui proses pertemuan antar budaya sangat membutuhkan kesiapan setiap kelompok masyarakat pemilik kebudayaan, sehingga kebudayaan miliknya mampu bertahan di tengah terpaan kebudayaan lain.  Kemampuan bertahan suatu kebudayaan sangat bergantung pada seberapa tinggi derajat kesadaran dan tingkat ketahanan budaya masing-masing pihak yang saling bertemu.  Tangguh atau rapuhnya ketahanan budaya biasanya dilatari oleh peningkatan atau penurunan kesadaran masyarakat yang bersangkutan terhadap kebudayaannya sebagai pengukuh jatidirnya.  Semakin rapuh kesadaran masyarakat untuk mempertahankan kebudayaan miliknya maka berarti kian cepat proses penurunan eksistensi kebudayaan tersebut, demikian sebaliknya.  Selain itu pemaksaan suatu konsep kebudayaan tanpa memperhatikan basis kebudayaan masyarakat yang bersangkutan justru akan menyebabkan tarik-menarik ideologis yang justru mengakibatkan chaos. 
     
     Beberapa pemikiran di atas menggambarkan betapa posisi tawar sebuah kebudayaan memegang peranan penting bagi eksistensi, ketahanan, determinasi, dan resistensi di tengah arus globalisasi yang tengah merambah di seluruh sektor kehidupan. Di Jepang, desakan untuk modernisasi sebagai suatu Westernisasi menimbulkan tiga opsi yaitu: (1) usaha untuk menghapuskan tradisi sebagai suatu rintangan ke moderenisasi; (2) perlawanan terhadap modernisasi dengan memperlakukannya sebagai suatu ancaman ke tradisi; dan (3) berbagai usaha untuk mengakomodasi keduanya. Dari dasar pemikiran ini kemudian muncul isu-isu seperti kokuminsei (karakter nasional), kokusui (inti sari nasional), kokutai (struktur nasional), dan bahkan kokugaku yang mempunyai pengertian fraksi kanan, konservatif atau seorang reaksioner (Robert M. Bellah, 1999). Kenyataannya, dalam wacana globalisasi kita tidak memungkinkan untuk steril dari kebudayaan asing, tetapi juga akan sangat merugi apabila ragam kebudayaan lokal justru dikorbankan demi usaha menerima kekuatan asing sebagai kekuatan dari kedirian sebuah bangsa. Maka, kemudian umumnya opsi ketigalah yang paling dianggap aman, yaitu mengakomodasi hadirnya pengaruh asing tanpa mengorbankan eksistensi diri sendiri.
     
     Dalam rangka menjaga eksistensi kesenian tradisional di era globalisasi ini telah banyak dikembangkan konsep multikulturisme yang mulai ramai dibicarakan menjelang akhir abad 20. Strategi kebudayaan yang ditawarkan adalah memberikan keleluasaan bagi kearifan lokal untuk berkontinuitas selaras dengan pola kehidupan masyarakat majemuk sehingga tiap-tiap kelompok sosial dapat mengembangkan kesenian lokal miliknya secara dinamis dan proporsional dalam iklim kondusif.  Untuk merealisasikan maksud tersebut perlu memperhatikan hal-hal berikut:

  • Setiap ragam kesenian tradisional memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan pola kehidupan masyarakat pendukungnya.
  • Pluralisme bukan saja kesadaran akan keragaman budaya, melainkan juga menyangkut kesadaran akan kesetaraan di antara keragaman budaya yang ada.  Pengertian tentang kualitas dapat berubah dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain sehingga tidak ada definisi tentang kualitas dari kebudayaan tertentu yang dapat mengklaim diri lebih absah dari definisi kualitas dari kebudayaan lain.  Anggapan ini perlu diperjuangkan, sebab hantu orientalisme masih gentayangan dalam kehidupan sehari-hari kita.  Misalnya tidak jarang kita memakai kata “jelek atau kolot” dalam melihat ragam kesenian tradisional.
  • Perlu adanya totalitas penyadaran tentang siapa kita sebenarnya, apa yang kita cita-citakan dan kita maui, bagaimana mencapainya, serta bagaimana merasakan kehidupan yang kita cita-citakan, meskipun kita tidak berada dalam situasi tersebut. Dengan demikian ada target goal yang jelas dalam pengembangan aneka ragam kesenian tradisional yang ada.
  • Multikulturisme pada prinsipnya menolak etnosentrisme.  Oleh karena itu perlu dilakukan pendefinisian prinsip primordialis dan etnosentris melalui positif thinking untuk membangun ragam kesenian tradisional yang ada agar mencapai puncak-puncaknya.  Dalam wacana kebudayaan lazim terjadi paradigma yang mikro berada dalam hubungan timbal balik dengan yang makro sehingga secara geografis berarti juga yang lokal mempengaruhi yang global, dan sebaliknya. Cara pandang demikian akan menghindari prasangka yang menghasilkan penjenjangan sosial secara primordial dan subyektif.
  • Menciptakan kesetaraan/egaliter dalam membangun ragam kesenian tradisional.
  • Toleransi, hidup berdampingan antara satu jenis kesenian tradisional dengan ragam kesenian tradisional yang lain.
  • Konsep demokratisasi (penawaran) disesuaikan dengan latar belakang budaya tiap etnis masyarakat dalam mengembangkan ragam kesenian tradisional
  • Transformasi dialogis antar dan inter budaya melalui revitalisasi, redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi untuk memujudkan kebudayaan sebagai kekuatan dalam mengembangkan segala potensi seni tradisional yang ada di masyarakat dalam kehidupan masa depan.     

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS SEBAGAI KEKUATAN PARIWISATA