STUDI DIAKRONIS RAGAM SENI RAKYAT SEJAK CULTUURSTELSEL

Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830 menandai berakhirnya Perang Diponegoro atau yang disebut Perang Jawa. Sejak itulah seluruh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebagai pihak yang kalah perang wajib menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada Belanda. Wilayah Brang Wetan yang merupakan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Brang Kulon yang merupakan wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat diserahkan kepada Pemerintah Belanda sebagai pampasan perang.


Cultuurstelsel

Pemerintah Belanda kemudian memulai babak baru penjajahan di wilayah Nusantara dengan menggunakan politik cultuur stelsel. Secara harafiah cultuurstelsel dapat diartikan sebagai sistem kultivasi atau sistem budi daya. Para  sejarawan Indonesia menyebutnya sebagai sistem tanam paksa. Sebuah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van de Bosch pada tahun 1830 yang menggantikan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock.

Penerapan politik cultuurstelsel adalah dengan mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditas ekspor, seperti teh, kopi, kakau, gula, karet, vanila dan lain-lain. Bagi petani pemilik lahan diwajibkan menyerahkan 1/5 dari luas lahan yang dimiliki untuk ditanami tanaman komoditas ekspor, digarap sendiri dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah Belanda. Bagi yang tidak memiliki lahan maka wajib bekerja selama 20 persen dari jumlah hari dalam satu tahun yang jika dihitung memiliki kewajiban bekerja selama 65 hari.

Pengawasan pelaksanaan cultuurstelsel diserahkan kepada pejabat pribumi dengan iming-iming bonus sesuai dengan jumlah pendapatan petani yang disetorkan. Dalam hal ini Kepala Desa adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya penyelewengan pelaksanaan cultuurstelsel. Karena adanya iming-iming bonus, maka petani yang semestinya hanya berkewajiban menyerahkan 20 persen dari total lahan yang dimiliki atau bekerja selama 65 hari dalam kurun waktu satu tahun, pada akhirnya harus menyerahkan seluruh tanah dan bekerja sepanjang tahun untuk mensukseskan tanam paksa. Semua itu dengan maksud adar Kepala Desa bisa mendapatkan bonus sebanyak-banyaknya dari komoditas yang disetorkan.

Selama tanam paksa diberlakukan antara 1830-1877, rakyat pribumi telah memperkaya Belanda hingga 823 juta gulden. Sementara itu banyak rakyat yang mati kelaparan karena tidak memiliki cukup waktu dan lahan yang digarap untuk pertanian.


Kehadiran China dan Perubahan Budaya

Semenjak pelaksanaan cultuurstel, Pemerintah Hindia-Belanda mendatangkan imigran China ke wilayah-wilayah kekuasaan dan pusat-pusat industri. Pemerintah Hindia-Belanda kemudian membangun rumah-rumah sewa yang ditempati oleh para pendatang China. Mereka dijadikan sebagai warga negara kelas dua yang diserahi tugas untuk mengelola perekonomian dan perdagangan.

Para pendatang China bekerja dibantu oleh warga pribumi yang tidak memiliki lahan garapan untuk tanam paksa. Berbagai kebutuhan sehari-hari diproduksi oleh pendatang China dengan mmenfaatkan tenaga pribumi yang murah. Makanan sehari-hari mulai diperkenalkan seperti tahu, tempe, nopia, bakpia, bakwan, bakso, dan sejenisnya. Mereka juga memproduksi furniture dan barang-barang keramik. Untuk memenuhi kesukaan atau _klangenan_ maka diproduksi berbagai minuman seperti ciu dan tuak.

Pada malam-malam tertentu mereka kumpul bersama para ambtenaar dan para juragan untuk berpesta, minum-minum, bermain kartu, dan menanggap kesenian rakyat yang sedang mbarang atau midgang (mengamen) dari kampung ke kampung. Perlu diketahui bahwa tindakan mbarang atau midhang yang dilakukan oleh kelompok seni rakyatbdi masa lalu bukanlah mengamen ansich seperti yang dilakukan oleh para pengamen di masa sekarang. Mereka mbarang; dengan tujuan untuk promosi dan publikasi agar dikenal oleh masyarakat luas. Hasil uang atau bahan makan yang diperoleh saat ngamen akan digunakan untuk slametan yang merupakan bentuk launching terwujudnya satu kelompok kesenian.

Momentum inilah yang kemudian menjadi awal terjadinya metamorfosis ragam tarian rakyat. Berbagai ragam tarian rakyat seperti tayub, tandhak, janggrung, lédhék, lénggér, ronggéng, rénggong, dhogér, sintrén, dan sejenisnya, yang awalnya menjadi bagian dari ritual tradisional di masyarakat petani, kemudian mulai menjadi konsumsi hiburan yang sesungguhnya.

Orang di wilayah kultur Banyumas menyebutnya _marungan_. Berasal dari kata m+warung+an yang artinya berkumpul di warung untuk makan dan bersenang-senang. Pada saat marungan, akan berkumpul orang-orang dari kelas sosial tertinggi di suatu wilayah. Mereka akan membawa uang dalam jumlah yang banyak untuk berjudi kartu. Ada berbagai jenis kartu yang mereka jadikan sebagai media berjudi seperti kartu Ceki (kartu China), kartu domino, dan kartu remi. Ada pula permainan jenis lain seperti dadu dan undar.

Di tengah malam, ragam tarian rakyat yang sedang ditanggap akan melakukan tarian bersama dengan para hadirin. Biasanya akan dimulai dari seseorang yang memiliki kelas sosial paling tinggi. Setelah itu baru dilanjutkan menari dengan orang dati kelas sosial yang lebih rendah. Saat menari bersama, para tamu akan memberikan sejumlah uang untuk saweran yang biasanya dilakukan dengan cara memasukkan uang itu di balik kemben yang menjadi penutup payudara. Jika ada seseorang yang menginginkan transaksi seksual, para penari akan dengan senang hati melayani. Karena dengan demikian akan memperoleh pendapatan yang lebih bsnyak.

Adanya marungan, di satu sisi telah menyebabkan berubahnya fungsi tarian rakyat yang semula lebih lekat dengan ritual kesuburan, menjadi sekedar untuk fungsi hiburan. Tetapi di sisi lain, hal ini telah mengangkat nasib seniman pertunjukan rakyat dari kesengsaraan akibat cultuurstelsel. Para seniman selain berkesempatan memperoleh pendapatan lebih, juga dikenal secara meluas di berbagai kelas sosial di masyarakat.

Sejak itulah terjadi prostitusi terselubung di jagat tarian rakyat. Karena kelas sosial yang terangkat lebih tinggi, maka masyarakat umum justru akan menaruh rasa kagum jika ada seseorang warga yang mampu menobatkan dirinya menjadi seorang lénggér, ronggéng, tayub atau lédhék. Bahkan seorang perempuan akan merasa bangga jika suaminya berkesempatan menari atau gendhakan debgan seorang ronggéng.


Perkembangan Lebih Lanjut

Perubahan fungsi ragam tarian rakyat dari fungsi magis religius ke arah profan terus berlangsung dari waktu ke waktu. Hingga masa kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dan hingga meletusnya Pemberontakan G30S/PKI masih terus berlangsung kedua fungsi tersebut. Di satu sisi berfungsi sebagai sarana ritual, tetapi di sisi lain memiliki fungsi sebagai media hiburan.

Pemberontakan G30S/PKI kembali menjadi awal lahirnya fase baru eksistensi ragam tarian rakyat. Menyusupnya paham komunis di masyarakat lewat Lekra, Gerwani, dan organisasi lain yang berafiliasi komunis menjadibalasan bagi Pemerintah Caretaker Soeharto melarang hampir semua ragam kesenian rakyat ditampilkan.

Baru kemudian setelah dilaksanakannya Pemilu tahun 1971 yang dimenangkan oleh Golkar, kesenian rakyat mulai dihidupkan kembali. Sidang Umum MPR tahun 1973 menghasilkan ketetapan yang salah satunya adalah Tap MPR Nomor II/MPR/1973 yang di dalamnya memuat tentang kebudayaan nasional yang dimaknai sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah.

Semenjak itulah ragam kesenian rakyat dihidupkan kembali guna mewujudkan puncak-puncak kebudayaan daerah guna membangun kebudayaan nasional. Perubahan-perubahan yang signifikan adalah berupa usaha "perumitan" dalam tampilan dari yang sebelumnya memiliki wujud sederhana. Perumitan terjadi mulai pada ragam gerak, instrumen musik yang digunakan, kostum,vrias, hingga struktur pertunjukan.

Di sisi lain, setiap ragam kesenian yang dimunculkan memiliki tugas penting berupa penyampaian pesan pembangunan yang menjadi trademark Orde Baru. Berbagai teks tembang dan narasi banyak dimasukkan pesan pembangunan. Ragam kesenian yang tidak efektif menjadi corong pesan pembangunan biasanya akan dibiarkan mati suri atau mengalami kepunahan.

Di era Orde Baru juga terhadi perubahan signifikan dalam konteks perilaku seniman. Pemeribtah Orde Baru melarang praktek-praktek prostitusi terselubung dalam pertunjukan rakyat. Dengan demikian pertunjukan rakyat hadir lebih sebagai media hiburan melalui sajian estetis yang dinikmati lewat mata dan telinga.


Reformasi 1998

Terjadinya reformasi tahun 1998 telah berdampak berkembangnya ajaran syariat di lingkungan penganut agama Islam. Bahwa seseorang yang menganut Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum yang terkandung di dalam Al-Qur'an dan dunah rosul.

Sejak itulah banyak perempuan mulai berkerudung, berjilbab atau berhijab. Mereka akan merasa lebih "manusia" ketika sudah mengenakan kerudung, jilbab atau hijab saat di kantor-kantor atau di lingkungan hidup sehari-hari. Sementara yang pria lebih merasa nyaman ketika mengenakan sorban, kopiah putih, dan jidatnya hitam akibat dibenturkan di lantai.

Semakin banyak orang mengatakan istilah-istilah Arab yang dulunya tidak pernah dimengerti oleh orang Jawa. Dalam berpidato, sambutan, hingga arisan RT,  selalu kental dengan istilah-istilah dalam bahasa Arab.

Perubahan signifikan terjadi pada nasib ragam pertunjukan rakyat. Semakin banyak orang menganggap pertunjukan rakyat haram, bid'ah, tidak sesuai dengan ajaran agama, dan lain-lain. Akibatnya banyak pertunjukan rakyat yang gulung tikar karena tidak ada lagi yang menanggap.

Kondisi seperti ini masih terus berlangsung hingga sekarang. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Kita lihat saja nanti. (Yus)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

PRODUKSI BATIK BANYUMASAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING