PELARANGAN JUDI KARTU DAN MATINYA PERTUNJUKAN RAKYAT

Tulisan saya kali ini mungkin tidak populis. Membahas seni pertunjukan rakyat dan perjudian (Jawa: mainan). Keduanya terkesan tidak berubungan, tetapi sesungguhnya sangat erat saling berkaitan.


Masyarakat Jawa masa lalu sangat akrab dengan jenis-jenis kartu ceki, remi, maupun domino. Jauh sebelum diberlakukannya Pasal 303 KUHP hampir setiap hari kita menyaksikan orang main kartu (judi kartu) di desa-desa atau di kampung-kampung. Setiap ada warga yang punya hajat (menantu, sunatan, kaulan, dan sejenisnya) pasti warga berkumpul di tratag (tarub) mengelilingi meja untuk bermain ksrtu. Mereka datang karena diundang atau atas prakarsa sendiri untuk bertemu lawan tanding dan memulai bermain kartu dengan taruhan uang dalam jumlah yang disepakati bersama.


Si empunya rumah sangat senang kalau ada orang bermain kartu. Karena akan mendapatkan imbalan berupa cuk atau cucuk yang berupa uang penyisihan dari seseorang yang menang dalam satu putaran (game). Semakin banyak orang datang main kartu, maka semakin banyak pula cuk atau cucuk yang diterima si empunya hajat. Oleh karena itu adanya tukang main akan menjadi salah satu harapan terkumpulnya pundi-pundi uang selain dari warga sekitar yang jagong atau kondangan.


Banyak orang desa yang ketika akan memiliki hajat tidak berbekal cukup. Mereka akan bon berbagai bahan makanan ke warung terdekat dan akan dilunasi setelah selesai hajatan. Bisa dengan uang atau beras yang terkumpul dari warga yang tresna.


Dengan adanya cuk atau cucuk dari main kartu maka sesengsara apapun hidupnya seorang warga, ketika hajatan dapat menanggap tontonan berbagai seni pertunjukan rakyat, seperti wayang kulit, lénggér, ronggéng, tlédhék, tayub, aksimudha, tunil, kethoprak, wayang wong, jemblung, dan sejenisnya. Bayaran untuk seniman yang pentas adalah berupa uang cuk yang terkumpul dari warga yang main kartu.


Dampak Pemberlakuan Pasal 303


Kondisi sekarang sudah sangat jauh berbeda, ketika perjudian dalam bentuk apapun dilarang dan diancam Pasal 303 KUHP dengan hukuman penjara paling lama 10 tahun. Ini berlaku bagi para pemain maupun tuan rumah yang dianggap sebagai penyelenggara perjudian. Banyak kasus orang main kartu di tempat hajatan ditangkap polisi beserta si empunya rumah, lalu mereka dihukum lewih dari dua tahun.


Pemberlakuan Pasal 303 yang dimulai sejak pasca reformasi terbukti sangat berpengaruh terhadap eksistensi seni pertunjukan rakyat. Kalau dulu seorang warga yang hanya berumah bambu dapat menanggap wayang dengan dalang terkenal dari hasil cuk sekarang hal itu tidak mungkin lagi terjadi.


Mahalnya harga sebuah pertunjukan tidak mungkin terbayar oleh warga miskin atau hidup pas-pasan. Mereka yang dipandang kaya raya untuk ukuran masyarakat pedesaan pun belum tentu memiliki cukup uang untuk membayar sebuah pertunjukan rakyat.


Akibatnya banyak seni pertunjukan rakyat yang mati suri. Berbagai ragam kesenian yang sesungguhnya masih sangat potensial (memiliki cukup seniman, standar pertunjukan bagus, sarana prasarana memadai) tapi tidak pernah lagi dipentaskan karena masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk menganggapnya. Lihatlah ragam kesenian seperti lénggér, wiréng, jemblung, rodat, aksimudha, aplang, angguk, dan sejenisnya yang biasanya menghiasi malam di daerah pedesaan, kini sudah semakin jarang dipentaskan.


Game Online Kian Menjamur

Sesungguhnya sangat ironis. Ketika perjudian kecil-kecilan di kampung dilarang dan bagi yang melanggar diancam dengan hukuman penjara yang tinggi, fakta di lapangan justru semakin parah perkembangan judi online. Ada banyak jenis perjudian online yang sekarang mewabah di kalangan muda usia. Ada slot, baccarat, togel, kasino, dingdong, dan lain-lain.


Pasar perjudian online adalah anak-anak muda yang melék IT. Orang-orang desa yang biasa main kartu dengan taruhan 10-20 ribu mungkin bahkan tidak mengenal HP android ataupun laptop. Sebaliknya anak-anak muda yang usianya masih produktif malah lebih suka menganggur, setisp hari tal-tul keypad HP untuk berjudi online. Bagi pecandu judi duit 1-2 juta bukanlah uang yang besar. Karena mereka tidak memegang langsung uang. Mereka hanyalah bermain digit-digit angka yang bisa bertambah atau berkurang seiring dengan kemenangan atau kekalahan yang didapat.


Hal seperti ini rasanya tidak adil. Perjudian kartu yang hanya modal uang 100-200 ribu dan bisa menghidupi kesenian harus dihukum sampai 2 tahun. Sementara game online yang setiap satu kali bermain bisa mmiliki perputaran uang hingga puluhan juta rupiah dibiarkan menjamur di masyarakat.


Pemain kartu yang rata-rata berusia dewasa tentu sudah memiliki perencanaan yang lebih matang tentang pengelolaan keuangan dibanding dengan anak-anak muda yang belum berkeluarga. Kalau hukuman bagi pemain kartu diharapkan berguna untuk efek jera, lalu bagaimana dengan anak-anak muda yang dibiarkan bebas setiap hari berjudi online?


Begitulah nasib kesenian rakyat. Dari dulu sampai sekarang selalu berada pada situasi yang tidak menguntungkan. Belum lagi pandangan sebagian masyarakat yang menganggap kesenian lokal haram atau bid'ah. Sementara sebagian lainnya menganggap kesenian tradisional ketinggalan jaman. Mereka yang menganggap haram atau bid'ah pun bukanlah orang suci yang steril dari dosa. Dan mereka yang menganggap ketinggian jaman juga hanyalah orang-orang konyol yang tidak memahami makna modernisasi.


Mari kita renungkan sejenak untuk menyelamatkan ragam kesenian tradisional. Satu hal yang patut diapresiasi adalah mereka yang judi kartu biasanya dangat care terhadap susuatu kejadian. Biasanya mereka memiliki sense of crisis yang tinggi dan memiliki jiwa corsa yang kuat. Ini berbeda dengan pelaku game online yang lebih suka hidup soliter dan tidak menyukai kebersamaan. Artinya, kalau bicara hukum, maka hukum juga para pelaku judi online. Jangan cuma berani menangkap masyarakat pedesaan yang buta pengetahuan hukum. LETS SAVE TRADITIONAL ART.

(Yus)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

PRODUKSI BATIK BANYUMASAN