DARI SISI MANA KITA MELIHAT

Sengkuni tampak buruk karena tidak ditunjukkan kebaikannya. Sebaliknya Sri Kresna tampak baik karena tidak ditunjukkan keburukannya. Sesungguhnya siapa yang lebih baik diantara Sengkuni dan Kresna? Sungguh tinggal dari sisi mana kita melihat. Orang-orang Astina tentu akan menganggap Sengkuni penuh welas asih. Apapun yang ia perbuat adalah demi kejayaan keponakan2nya. Tapi bagi pengagum Pandhawa, Sengkuni tampak julig dan licik. Demikian Kresna akan tampak baik di mata pengagum Pandawa. Sebaliknya bagi Kurawa, raja Dwarawati pun sungguh sangat julig dan licik 

Sebagaimana kita melihat Rahwana dan Rama Wijaya. Betapa raja raksasa asal Alengka Diraja itu sesungguhnya memiliki perasaan yang lembut dan welas asih. Berbulan2 bahkan bertahun-tahun menculik Dewi Sinta, tapi tidak pernah sekali pun gepok-senggol, apalagi memperkosanya. Tapi tokh semua orang telah mengadilinya sebagai tokoh angkara murka yang harus dibinasakan.

Sebaliknya Rama Wijaya justru telah melakukan penyerangan ke Alengka dengan berbagai cara. Bahkan adik Rahwana yang bernama Wibisana pun berhasil dicuci otak sehingga berbalik ke pihak Rama Wijaya. Berapa banyak korban di pihak Alengka yang mati sia2 hanya demi seorang wanita yang diagungkan di Taman Argasoka.

Kisah Rama Bargawa pun tidak kalah mengerikan. Sebanyak 99 nyawa melayang oleh pedang yang dihunusnya hanya untuk mencari seseorang yang mampu mengalahkannya. Tetapi betapa pertapa yang satu ini sangat diagung2kan kesaktiannya dan menjadi sumber inspirasi para ksatria.

Politik memang sungguh kejam. Tidak ada salah benar dalam berpolitik. Adanya menang dan jalah. Faktanya sejarah selalu disusun, ditulis dan dikabarkan oleh pihak pemenang. Seburuk apapun perilaku Ken Arok, tetaplah dianggap sebagai raja agung karena dia menjadi pemenang. Dan sebanyak apapun wanita yang telah ditaklukkan, Arjuna tetaplah seorang ksatria lananging jagat.

Semua ini membuktikan betapa melihat kebaikan dan keburukan tidak bisa melalui ranah politik. Karena politik adalah kepentingan. Siapa menang maka dialah yang berkuasa. Tidak peduli dengan cerita tentang tangan yang penuh darah pada kisaran tahun 1998, nyatanya Prabowo tetaplah menjadi salah satu capres yang favorit untuk menang. Padahal jika mengingat masa2 reformasi, Prabowo diyakini menjadi sosok yang berada di balik penculikan tokoh-tokoh reformis. Bahkan jabatan kemiliterannya pun dilepas dengan tidak hormat. Dan anehnya, cuma dalam tempo 25 tahun orang-orang seperti telah melupakan peristiwa tragis dan mengerikan itu.

Kebaikan dan keburukan hanya bisa dirasakan lewat nurani terdalam. Lewat rasa kemanusiaan. Lewat nilai2 luhur ajaran moral bangsa. Lewat amanat penderitaan rakyat. Bukan lewat hingar-bingar politik dan kontestasi dalam pemilu. Satu hal yang perlu direview pada perasaan terdalam kita adalah bahwa jika politik tidak dijiwai oleh nilai2 kemanusiaan yang adil dan beradab, maka politik akan menjadi pemicu terjadinya bencana kemanusiaan pada suatu bangsa.

Kiranya menjadi tanggung jawab kita bersama setiap pribadi bangsa menjaga keutuhan negeri tercinta. Agar negara senantiasa berkemampuan menjalankan kewajibannya memberikan security and prosperity bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu marilah kita berpolitik yang santun sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Untuk mewujudkan Indonesia yang jero tancebé dhuwur kukusé lan adoh kuncarané. (yus)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

PRODUKSI BATIK BANYUMASAN