RITUAL SIKLUS HIDUP

Orang Jawa memiliki berbagai macam ritual yang salah satunya adalah ritual yang berhubungan dengan siklus hidup. Mulai dari bayi dalam kandungan hingga pasca kematian ditandai dengan berbagai macam ritual.

Ketika bayi dalam kandungan berusaha 4 bulan dilakukan ritual ngupati. Kandungan tujuh bulan dilakukan mitoni atau tingkeban atau disebut juga keba. Bayi lahir ada ritual lairan. Bayi usia lima hari dilaksanakan sepasaran sekaligus bikin bama. Bayi mulai menapak tanah ada ritual tedhak sitén. Bagi anak perempuan ada tetesan sanybagi anak laki-laki ada sunatan atau khitanan. Hingga mau berumah tangga ada nikahan dan bégalan. Lalu ketika mati ada nyaurtanah, nelung dina, mitung dina, matang puluh dina, nyatus dina, mendhak sepisan, mendhak pindho,vdan mendhak ping telu atau disebut juga ngepog-pogna.


Ritual dan Keselamatan

Semua ritual terkait dengan siklus hidup dilakukan demi tercapainya keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kemuliaan. Ada istilah "seger waras slamet" dan "beya mulya". 

Sebutan seger waras slamet berhubungan dengan keadaan fisik dan mental agar memiliki kondisi badan yang sehat dan mental yang kuat guna menghadapi segala keadaan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Adapun sebutan begya mulya berhubungan dengan nasib yang akan menimpa di saat sekarang hingga kelak kemudian hari.

Dalam konteks kehidupan orang Jawa, keadaan fisik maupun nasib, tidak sekedar diupayakan oleh setiap pribadi. Tetapi diyakini pula datang dari alam semesta, atas kehendak Tuhan yang Mahakuasa. Oleh karena itu orang Jawa biasanya menggunakan dua cara untuk mencapai keinginan itu. Di satu sisi senantiasa bertindak setiti, nastiti, ngati-ati dan waspada. Di sisi lain mereka akan nyenyuwun, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada Tuhan seru sekalian alam.

Setiti dapat diartikan serupa dengan cermat. Orang Jawa mewariskan kawruh setiti agar kita senantiasa cermat dalam setiap gerak langkah dalam bekerja. Orang yang setiti atau cermat selain pekerjaan akan rapi dan optimal, juga meninimalisir kecelakaan kerja.

Nastiti adalah sikap batin yang senantiasa berada dalam kesadaran penuh setip mengerjakan sesuatu. Sering kali kita bekerja dengan melamun atau tidak konsentrasi sehingga berakibat melakukan kesalahan atau malpraktek yang merugikan diri sendiri, orang lain maupun hasil produksi. Leluhur Jawa sudah sejak lama mengajarkan kepada kita untuk senantiasa bekerja disertai dengan kesadaran penuh, konsentrasi penuh.

Ngati-ati berhubungan dengan bagaimana kita menggunakan anggota tubuh dengan sebaik-baiknya, dengan kekuatan penuh dan terjaganya konsentrasi, sehingga dapat terhindar dari kesalahan. Sikap ngati-ati melibatkan kerja fisik dan otak sekaligus demi tercapainya hasil produksi yang optimal tanpa melakukan kesalahan yang bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Adapun waspada adalah kesiapan mental untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi. Kesiapsiagaan itu berupa kemungkinan-krmungkinan buruk yang bisa jadi diakibatkan oleh diri sendiri, orang lain, keadaan lingkungan sekitar maupun kekuatan nir fisik yang tidak diketahui sumbernya.

Keempat sikap ini telah diwariskan oleh leluhur sebagai bekal bagi setiap generasi dalam menjalani kehidupan pribadi, kehidupan sosial, maupun yang berhubungan dengan kesemestaan. Pewarisan dilakukan baik secara genetik, melalui pengalaman hidup maupun melalui belajar dan berlatih.

Usaha yang dilakukan oleh manusia Jawa seperti tersebut di atas dibarengi dengan nyenyuwun. Nah, disinilah pentingnya posisi berbagai macam ritual. Dalam kehidupan manusia Jawa banyak hal yang tidak diketahui dan menjadi misteri yang tidak terpecahkan. Ketidaktahuan terhadap sesuatu hal semacam ini kemudian diupayakan pencapaiannya melalui cara pasrah sumarah terhadap dzat yang dianggap mahakuasa, maha adil, maha agung, yang kemudian disebut sebagai Tuhan.

Melalui berbagai macam ritual, manusia Jawa memohon atau nyenyuwun, dengan harapan ada kekuatan di luar nalar yang bisa membantu pencapaian keinginan dan harapan.


Sanguné Sukur dan Sabar

Ada dua bekal atau sangu yang diajarkan oleh leluhur Jawa yaitu sukur dan sabar. Rasa sukur adalah sebuah ungkapan perasaan ketika impian atau cita-cita terwujud sesuai harapan. Sedangkan ketika cita-cita dan harapan belum terwujud maka haruslah bersabar. Suatu kemampuan mengendalikan perasaan ketika terjadi sesuatu hal yang tidak sesuai dengan harapan.

Orang Jawa paling penting pintar bersyukur. Kebanyakan dari mereka bukan tipikal manusia yang serakah yang ingin menggulung jagat. Ujaran-ujaran seperti "urip mung mampir ngombe", "urip mung sederma nglakoni," adalah contoh cara manusia Jawa bersyukur.

Kawruh tentang kesabaran pun sangat massif diajarkan oleh leluhur Jawa. Ajaran tentang "jembar segarané" adalah salah satu wujud ajaran yang sangat populer dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Kawruh tentang sukur dan sabar merupakan wujud ajaran spiritualisme Jawa yang sangat berhubungan dengan ketuhanan. Ketika seseorang melakukan penyuwunan dan berhasil maka ia akan bersyukur. Sebaliknya ketika penyuwunannya belum dikabulkan maka ia harus sabar.* (Yus)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

PRODUKSI BATIK BANYUMASAN