NASIB WARISAN BUDAYA
Nenek moyang bangsa Nusantara dikenal memiliki kebudayaan tinggi sejak ribuan tahun yang lalu. Berbagai corak dan ragam budaya bangsa telah diturunkan dan diwariskan kepada anak cucu sehingga sampai generasi sekarang masih bisa melihat, mendengar dan merasakan khasanah budaya warisan leluhur.
Namun demikian seiring dengan gerak perubahan jaman, warisan budaya itu banyak diperlakukan sebagai produk masa lalu yang sudah tidak lagi sepadan dengan kebutuhan masa sekarang. Tidak lagi dipahami sebagai warisan nilai yang seharusnya jadi pedoman dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Bahwa kesadaran akan nilai budaya sebagai gantungan hidup semakin terkikis oleh berbagai kepentingan individu yang sadar maupun tidak sadar, langsung maupun tidak langsung, telah menanggalkan prinsip hidup bangsa Nusantara. Masyarakat kita yang seharusnya memposisikan diri sebagai sebuah bangsa, telah menurun kualitasnya sekedar menjadi warga negara, masyarakat, rakyat, kelompok sosial atau bahkan gerombolan.
Tidak Lahir Budayawan
Indonesia tidak lagi melahirkan budayawan. Hanya lahir tukang dan atau pelaku budaya yang mendedikasikan diri untuk _ngupaya arta_ dan _ngupaya upa_ dengan menggunakan berbagai khasanah budaya sebagai obyek profesi yang menghasilkan uang, ketenaran, dan atau jabatan.
Jangankan budayawan. Pemangku budaya pun sepertinya tidak lagi lahir di negeri sebesar Indonesia. Perjalanan kebudayaan bangsa tidak lagi memiliki patron, baik dari perseorangan, kelompok adat, kelompok sosial, maupun politik kekuasaan. Akibatnya keagungan budaya bangsa hanya tinggal cerita indah masa lalu yang cukup dikenang dan didongengkan. Tidak lagi menjadi kekuatan nilai yang menjadi pedoman, panutan, kisi-kisi , pagar, pengayoman, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mana Kaum Nasionalis?
Di antara kita banyak orang menyebut sebagai kaum nasionalis. Bagian terpenting bagi terwujudnya nasionalisme yang mengukuhi adeging NKRI.
Tapi dimana kaum nasionalis berada? Apa sepak terjang mereka yang mengaku nasionalis? Apakah sekedar lima tahun sekali saat pemilu mereka muncul? Dan setelah itu sekedar jadi silence of lambs?
Kaum nasionalis seharusnya merepresentasikan diri sebagai kekuatan dalam menjaga NKRI untuk tetap berdiri kokoh dan bermartabat di tengah pergaulan dunia. Bukan sosok yang diam ketika ada kekuatan yang akan menjadi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Kaum nasionalis seharusnya menjadi kekuatan pokok bagi terwujudnya Indonesia lengkap dengan segala ciri, karakter dan identitasnya. Kenyataannya justru banyak orang yang mengaku nasionalis tapi lebih bangga menggunakan nilai budaya bangsa lain lengkap dengan aksesoris dan perwujudannya.
Betapa banyak orang-orang yang mengaku nasionalis tapi penampilannya lebih mengesankan kearab-araban atau kebarat-baratan. Tidak lagi ada kelompok nasionalis yang benar-benar bangga dan menggunakan warisan budaya bangsa dalam kehidupan sehari-hari. Padahal semestinya ragam budaya bangsa dengan segenap perwujudannya merupakan kekuatan pokok dalam mewujudkan Indonesia yang agung di masa sekarang dan masa depan.
Sepak Terjang Kelompok Kepentingan
Satu hal yang aneh adalah kelompok-kelompok kepentingan justru banyak diantaranya yang menggunakan ragam budaya bangsa untuk menarik kekuatan masyarakat menjadi kekuatan mereka. Lihatlah betapa banyak perguruan tinggi berbasis agama mengadakan penelitian, pementasan, diskusi ilmiah dan sejenisnya yang menggunakan kearifan lokal sebagai obyek. Kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan dan afiliasi politik pun tidak kalah ganasnya. Mereka akan mengatakan, "Tidak masalah merekrut lengger atau ébég. Yang penting mereka jadi kekuatan kita. Dan lambat laun mereka akan menjadi seperti yang kita inginkan."
Kelompok-kelompok kepentingan merekrut pelaku kearifan lokal bukanlah dalam kerangka peduli terhadap warisan budaya bangsa. Mereka melakukan rekrutmen tentu saja untuk kepentingan mereka. Untuk membesarkan kelompok mereka. Dan anehnya lagi, orang-orang yang mengaku nasionalis justru ikut-ikutan jadi seperti mereka.
Kita Mau Kemana?
Kalau kita menyadari sebagai sebuah bangsa, pertanyaan terbesarnya adalah "Kita mau kemana?" Sudah seharusnya kita twrus mengingat apa tujuan founding fathers menerdekakan Indonesia dari penjajahan yang kemudian dituangkan di dalam preambul UUD 1945.
Kalau kita ingin merdeka, maka seharusnya kita mampu mendudukkan diri sebagai sebuah kekuatan yang meng-Indonesia. Jadi kekuatan yang mampu mewujudkan Indonesia yang _jero tancebé dhuwur kukusé lan adoh kuncarané._ Bukan menjadi bangsa pengagum bangsa lain yang rela bermetamorfosis dengan meninggalkan karakter bangsa sendiri menjadi seperti bangsa lain. Mari kita renungkan bersama.* (Yus)
Comments
Post a Comment