LATAH MENGAJUKAN WARISAN BUDAYA TAK BENDA: Seberapa Serius Menangani Kesenian Lokal?

LATAH MENGAJUKAN WARISAN BUDAYA TAK BENDA


Akhir-akhir ini banyak daerah yang berlomba-lomba mengajukan berbagai khasanah kearifan lokal untuk diakui sebagai Warisan Budaya tak Benda (WbtB) baik di tingkat nasional maupun di tingkat dunia. Ini merupakan fenomena menarik. Bisa menjadi bukti kesadaran Pemerintah Kabupaten/Kota akan adanya aneka ragam kearifan lokal yang tumbuh-berkembang di wilayah yang bersangkutan dan dipandang perlu untuk dikenal di tingkat nasional atau bahkan internasional.


Persoalannya adalah bahwa pengajuan WbtB banyak di antaranya yang sekedar latah dan sekedar untuk keperluan mencari prestise. Bukan merupakan usaha yang penuh kesungguhan agar aneka ragam kearifan lokal itu tumbuh berkembang menjadi kekuatan akselerasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang berbudaya.


Salah satu contoh adalah Kabupaten Banyumas yang telah berhasil mengajukan beberapa kearifan lokal untuk ditetapkan sebagai WbtB. Antara lain: calung Banyumasan, gubrag lesung, mendhoan, dan ebeg. Tahun 2021 calung Banyumasan dan gubrag lesung telah ditetapkan sebagai WbtB. Sedangkan tahun 2022 ada dua ragam kearifan lokal lagi yang ditetapkan yaitu mendhoan dan ebeg.


Calung Banyumasan adalah alat musik tradisional khas Banyumas terbuat dari bambu yang dibuat standar mirip dengan gamelan Jawa dan sejak dekade tahun 1970-an sajiannya hampir selalu dibarengkan dengan tari rakyat lengger. Mulai penamaan alat, teknik menabuh hingga aransemen musikalnya mirip dengan gamelan Jawa. Sedangkan gubrag lesung merupakan musik yang diciptakan melalui tabuhan lesung (alat menumbuk padi).


Lalu mendhoan merupakan makanan tradisional terbuat dari tempe yang dimasak dengan diberi tepung lalu digoreng dan diangkat sebelum kering. Dan ebeg merupakan ragam seni tari rakyat menggunakan properti kuda-kudaan terbuat dari anyaman bambu atau pelepah pinang yang dalam sajiannya para pemain mengalami wuru (trance).


Penetapan beberapa ragam kearifan lokal sebagai WbtB pada satu sisi sungguh merupakan kebanggaan bagi daerah. Daerah merasa bangga karena ragam kearifan lokal yang berkembang di wilayahnya diakui secara nasional. Dapat menjadi bukti keseriusan Pemerintah Daerah dalam penanganan kebudayaan sebagai kewenangan wajib yang harus dikerjakan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang.


Tetapi bagaimana bagi pelaku budaya dan bagi ragam kebudayaan itu sendiri? Pada kenyataannya penetapan WbtB tidak serta merta memberikan pengaruh positif terhadap pelaku budaya maupun ragam kearifan lokal yang telah ditetapkan. Faktanya, perkembangan calung tetap saja mengarah pada grafik yang menurun. Seniman calung tidak bertambah penghasilan atau kebanggaan atas penetapan tersebut. Demikian pula musik lesung atau gubrag lesung tetap saja hilang ditelan jaman. Masyarakat sekarang sudah tidak lagi menumbuk padi menggunakan lesung dan banyak lesung yang sudah puso dimakan rayap. Seandainya masih ada pun tidak pernah ditabuh. Dibiarkan teronggok di pinggiran rumah hingga penuh debu dan rayap.


Kalau mendhoan, ditetapkan maupun tidak ditetapkan sebagai WbtB sudah sejak lama menjadi makanan sehari-hari warga masyarakat di wilayah Banyumas Raya. Pagi hingga malam ada yang jualan. Di pasar, di pinggiran jalan, hingga di rumah-rumah makan atau restoran. Orang Banyumas seperti masih ada yang kurang jika dalam sehari tidak makan mendhoan. Artinya tanpa disentuh oleh kebijakan pemerintah pun mendhoan sudah ada dan selalu ada untuk masyarakat pemiliknya.


Hal paling aneh adalah fakta yang ditemukan pada perkembangan kesenian ebeg. Kesenian yang satu ini banyak dianggap sebagai kesenian rendahan. Bahkan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo saat masih menjabat pernah mengatakan bahwa kesenian ebeg merupakan kesenian rendahan yang tidak bermakna. Meskipun demikian ebeg terus berkembang sebagai hiburan masyarakat tua maupun muda, kaya maupun miskin. Di sebagian daerah pernah dilarang dipentaskan karena dianggap menjadi biang kerusuhan dan mabuk-mabukan. Tetapi masyarakat melawan dan ebeg terus ada. Setiap pertunjukan selalu dipenuhi penonton. Anehnya pertunjukan ebeg selalu dibayar murah. Banyak di antara warga yang merasa malu menanggap ebeg. Tetapi mereka sangat suka menonton.


Lalu sebenarnya apa peran pemerintah setelah ditetapkannya kearifan lokal sebagai WbtB? Tokh nyatanya ragam kearifan lokal yang hampir punah tetap saja mengalami kepunahan. Yang memang berkembang ya tetap saja berkembang.


Pemerinatah seharusnya tidak pandang bulu. Pengelolaan ragam kearifan lokal seharusnya tidak sekedar yang populis saja. Setiap kearifan lokal yang ada harusnya diprogram dan dilaksanakan penanganannya agar terus hidup sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi masyarakat. Pertanyaannya adalah apakah pengajuan WbtB atas suatu warisan budaya merupakan hasil program pembangunan kebudayaan yang sudah berhasil dilaksanakan sekian tahun yang lalu atau sekedar memungut kearifan lokal yang tampak populis untuk diajukan?


Kembali melihat fakta di masyarakat, berbagai kearifan lokal yang ada selalu saja hasil jerih payah para pelaku budaya yang tidak kenal lelah memperjuangkan warisan budaya leluhur untuk terus hidup dan tumbuh. Sebagai contoh musik gubrag lesung adalah musik kuno yang hampir punah. Kemudian para pelaku budaya di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas melakukan rebuilding dengan cara mengumpulkan para pelaku gubrag lesung untuk menyajikan.


Keberhasilan masyarakat Plana kemudian ditiru oleh kelompok masyarakat di desa lain. Lalu Pemerintah Kabupaten Banyumas menangkap sebagai gejala positif perkembangan gubrag lesung di masyarakat. Dilakukan kajian dan diajukan sebagai WbtB ke Pemerintah Pusat. Disetujui. Padahal istilah “gubrag lesung” adalah istilah yang diperkenalkan oleh salah seorang pegiat budaya di Plana dengan tujuan untuk membedakannya dengan tradisi serupa di daerah lain. Orang Banyumas umumnya menyebutnya kothekan lesung atau lesungan. Ini membuktikan Pemerintah Kabupaten Banyumas tidak melakukan riset secara mendalam, sekedar memungut hasil kerja warga masyarakat di wilayahnya. Lalu setelah ditetapkan sebagai WbtB gubrag lesung tetap saja dibiarkan punah dimakan jaman.


Tetapi apapun yang dilakukan oleh Kabupaten Banyumas masih mendingan dibanding dengan Kabupaten/Kota lain yang sama sekali tidak melakukan apa-apa. Jangankan anggaran yang cukup untuk pengembangan kebudayaan sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Banyak daerah yang memiliki anggaran yang sangat kecil atau bahkan tidak menganggarkan dana untuk pembangunan bidang kebudayaan. Kita bisa mengkomparasikan dengan dana yang dialokasikan untuk bidang olahraga. Berapa miliar setiap daerah menganggarkan dana untuk pembangunan bidang olahraga yang prestasinya hanya itu-itu saja.


Ini membuktikan betapa kebudayaan masih dipandang sebagai hal yang tidak penting dalam pembangunan bangsa dan negara. Padahal budaya dengan segenap nilai dan perwujudannya adalah kekuatan terpenting bagi eksistensi sebuah bangsa. Ketika sebuah bangsa kehilangan eksistensi kebudayaannya maka bangsa tersebut akan tercerabut dari akar dan terjerumus menjadi bangsa yang lemah dan mudah dijajah. Bangsa Indonesia saat ini sudah mulai merasakan lemahnya menjadi bangsa karena menggunakan nilai-nilai bangsa lain sebagai pedoman dalam berperilaku. Untuk itulah pada kesempatan ini saya mengajak setiap elemen bangsa untuk melakukan penyadaran betapa kebudayaan sangat penting bagi adeging bangsa lan negara. Dengan adanya kesadaran budaya maka seseorang akan mampu menumbuhkan jiwa patriotisme dan nasionalisme tanpa harus disuruh-suruh. Mari kita bersama berusaha menjadi bangsa yang merdeka dan mampu melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945.* (Yus)




Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

PRODUKSI BATIK BANYUMASAN