MENGENAL LEBIH JAUH TENTANG LENGGER BANYUMASAN
oleh Yus Wong Banyumas
Lengger Banyumasan merupakan salah satu cabang seni tari tradisional khas Banyumas yang hinga sekarang masih sangat populer. Banyak orang mengatakan kata “lengger” merupakan jarwo dhosok (kata bentukan) yang berarti diarani leng jebul jengger. Leng (lobang) adalah simbol gender perempuan dan jengger merupakan simbol gender laki-laki. Diarani leng jebul jengger maksudnya adalah dikira perempuan ternyata laki-laki. Ini karena penari yang tampak cantik luwes menari di atas pentas yang tampak seperti sosok wanita ternyata adalah laki-laki yang berdandan dengan kostum perempuan.
Banyak orang bertanya-tanya kenapa saat ini yang mereka temukan kebanyakan pertunjukan lengger dilakukan oleh wanita tulen bukan laki-laki seperti pada jarwo dhosok penamaannya? Orang-orang pun mencari tahu. Yang dijumpai ternyata memang ada penari lengger berjenis kelamin laki-laki dan ada pula yang berjenis kelamin perempuan. Kenapa demikian?
Fenomena ini terjadi sejak tahun 1970-an. Ketika Pemerintah Orger Baru mulai mengubah tatanan kehidupan bermasyarakat dalam koridor berbangsa dan bernegara untuk membangun citra yang berbeda dengan pemerintahan Orde lama yang dianggap telah menjerumuskan seluruh rakyat Indonesia ke jurang kesengsaraan akibat pemberontakan G30S/PKI.
Di masa lalu di wilayah Banyumas berkembang berbagai khasanah pertunjukan tarian rakyat yang hampir sama. Di sebelah timur terdapat ragam tarian rakyat seperti lengger, ledhek, tayub, tandhak dan janggrung. Sedangkan di sebelah barat berkembang renggong, ronggeng, dhoger dan laisan. Semua sama-sama berkembang sebagai bagian dari perjalanan tradisi masyarakat yang berbasis kultural agraris. Ragam kesenian itu diiringi dengan berbagai alat musik, seperti calung, krumpyung, cengklung, gamelan, ringgeng dan bendhe. Ragam tarian yang berkembang di daerah timur dipengaruhi oleh kultur Jawa, sedangkan yang berkembang di daerah barat dipengaruhi oleh kultur Sunda.
Tarian rakyat seperti lengger, ledhek, tayub, tandhak dan janggrung dipengaruhi oleh kultur Jawa, sedangkan renggong, ronggeng, dhoger dan laisan dipengaruhi oleh kultur Sunda dan pesisir utara. Tarian yang mendapat pengaruh kultur Jawa lebih mengenal iringan musik yang menggunakan bahan baku logam seperti gamelan, ringgeng dan bendhe. Sedangkan yang dipengaruhi kultur Sunda lebih mengenal alat musik berbahan baku bambu seperti calung, krumpyung atau angklung.
Pasca pemberontakan G30S/PKI tahun 1965 Pemerintahan caretaker Soeharto melarang semua ragam kesenian rakyat dipentaskan karena diangap telah disusupi paham komunis melalui LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat). Akibatnya lebih dari lima tahun seniman rakyat tidak berkesempatan untuk manggung. Dalam kurun waktu itu banyak seniman yang kehilangan mata pencaharian. Mereka melepas predikat dirinya sebagai seniman dan bekerja sektor lain seperti menjadi petani, pedagang atau bahkan melakukan urbanisasi jadi babu atau kuli di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung.
Pemilihan Umum tahun 1971 dimenangkan oleh Golkar (Golongan Karya) pimpinan Soeharto. Hasil dari pemilu menetapkan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia dalam jangka waktu lima tahun sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945. tahun 1973 DPR melakukan sidang umum yang menghasilkan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Di dalam GBHN terdapat klausul tentang kebudayaan nasional yang dimaknai sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah.
Sejak itulah berbagai ragam kesenian rakyat yang berpotensi menjadi puncak-puncak kebudayaan daerah dalam upaya membangun kebudayaan nasional dimunculkan kembali. Berbagai ragam kesenian seperti tari tradisional, musik tradisional, teater tradisional, lukis tradisional dan lain-lain mulai bermunculan. Dan salah satunya adalah ragam tarian rakyat Banyumas yang diharapkan mampu turut andil dalam usaha mewujudkan kebudayaan nasional sebagaimana amanat GBHN.
Pemerintah Kabupaten/DATI II Banyumas melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setempat berupaya menghadirkan kembali tarian rakyat seperti lengger, ronggengm tayub dan sejenisnya sebagai kesenian khas Banyumas. Ada beberapa permasalahan untuk menggarap potensi tari rakyat yang ada karena memang jumlahnya sangat banyak dengan berbagai nama yang berbeda-beda antara wilayah satu dan wilayah lainnya.
Beberapa permasalahan terjadi untuk menentukan obyek garapan. Ledhek, tayub, tandhak dan janggrung dianggap lebih kental sebagai tarian yang bersumber dari kultur Jawa. Sedangkan renggong, ronggeng, dhoger dan laisan lebih lekat dengan kultur Sunda dan pesisir utara. Selain itu ronggeng memiliki dosa turunan dengan trade mark sebagai prostitusi terselubung. Sehingga dipilihlah nama “lengger” untuk semua tarian rakyat yang memiliki kemiripan. Ragam iringan yang pada masa lalu berupa banyak ragam alat musik seperti ringgeng, calung, krumpyung dan sejenisnya kemudian ditetaapkan calung Banyumasan sebagai satu-satunya iringan lengger. Sejak itulah berbagai ragam tarian rakyat entah itu yang ditarikan oleh pria maupun wanita, disebut lengger. Iringannya pun disamakan yaitu menggunakan perangkat musik calung Banyumasan.*
Comments
Post a Comment