GENDHING WETANAN DALAM SAJIAN CALUNG BANYUMASAN
Dalam sajian calung Banyumasan sering kali disajikan gendhing-gendhing gaya Surakarta maupun gaya Yogyakarta yang sering disebut sebagai gendhing Wetanan. Sebutan “wetanan” berarti “dari timur” karena memang Surakarta dan Yogyakarta terdapat di arah timur dari wilayah Banyumas. Ini lazim digunakan untuk membedakan dengan gendhing-gendhing Kulonan (dari arah barat) yaitu gendhing-gendhing cengkok Sunda maupun gendhing-gendhing Banyumasan yang merupakan produk lokal setempat.
Sajian gendhing-gendhing Wetanan dalam sajian calung Banyumasan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Faktor Organologi
Dari sisi faktor organologi dapat dijumpai bahwa perangkat musik calung Banyumasan dibuat mirip dengan perangkat gamelan Jawa. Pada awalnya calung merupakan alat musik tunggal berupa bilah-bilah nada yang terbuat dari bambu ditata dalam satu rangkaian mirip dengan gambang dalam gamelan Jawa. Alat musik calung tunggal ini biasa digunakan untuk menabuh melodi lagu-lagu rakyat yang berkembang di wilayah Banyumas.
Hingga tahun 1965 perkembangan alat musik calung tunggal ini menjadi tiga alat musik, yaitu calung sebanyak dua buah, satu buah penitir dan satu buah gong bumbung. Dua buah calung ini kemudian disebut calung barung dan calung penerus yang terdiri dari dari 2,5 oktaf (gembyang) sesuai dengan teba suara vokal manusia. Penitir berupa rangkaian tiga buah nada rendah dan nada tinggi. Sedangkan gong bumbung berupa bambu berukuran besar yang di dalamnya diisi sebatang bambu berukuran kecil dan menabuhnya dengan cara ditiup (disebul). Untuk keperluan iringan lengger biasanya dilengkapi pula dengan kendhang dan ketipung yang berukuran kecil.
Pada dekade tahun 1970-an alat musik penitir dikembangkan untuk keperluan fungsi kethuk-kenong sehingga jumlah bilah nadanya ditambah dari yang semula hanya tiga buah kemudian ditambah menjadi enam buah nada. Ditambah pula alat musik dengan nada rendah (bass) yang kemudian disebut slenthem atau dhendhem. Dengan demikian perangkat musik calung yang berkembang pada era tahun 1970-an berjumlah enam buah meliputi kendhang, gambang barung, gambang penerus, slethem atau dhendhem, kenong dan gong bumbung.
Penamaan alat-alat musik pada perangkat calung Banyumasan tersebut sangat mirip dengan nama-nama alat musik pada perangkat gamelan Jawa meskipun dilihat dari wujud terdapat perbedaan karena faktor bahan baku pembuatannya. Kesamaan nama lebih pada fungsi alat dalam sajian aransemen musikal. Ada semacam upaya imitatif gamelan Jawa pada perangkat calung Banyumasan. Dengan adanya kesamaan fungsi tersebut maka secara teknis calung Banyumasan memungkinkan digunakan untuk menyajikan gendhing-gendhing yang lazim disajikan dalam perangkat gamelan Jawa.
Faktor Teknik Tabuhan
Teknik tabuhan calung Banyumasan banyak kemiripan dengan teknik tabuhan gamelan Jawa. Lagi-lagi disini terjadi proses imitatif. Teknik tabuhan pada sajian gamelan Jawa diadopsi untuk keperluan menabuh calung Banyumasan. Misalnya: dalam sajian gambang barung terdapat teknik imbal dan nggambang. Teknik imbal bisa dijumpai pada tabuhan bonang dan saron barung pada gamelan Jawa. Tabuhan gambang penerus memiliki teknik imbal (yang bersahutan dengan gambang barung) dan onelan. Teknik onelan pada gambang penerus sangat mirip dengan teknik tabuhan siter dan gender penerus pada gamelan Jawa.
Kemudian teknik tabuhan dhendhem mirip dengan teknik tabuhan saron penerus gaya Surakarta dan juga dijumpai pada tabuhan calapita pada karawitan gaya Yogyakarta. Sedangkan teknik tabuhan kethuk-kenong terdapat teknik nitiri dan onelan. Teknik nitiri mirip dengan teknik kethuk dan kenong sajian gendhing srepeg gaya Surakarta dan Yogyakarta. Adapun onelan bersifat mengisi kekosongan tabuhan onelan pada gambang penerus. Adapun teknik tabuhan gong bumbung memiliki tempat pada seleh akhir sajian gendhing seperti halnya yang dijumpai pada sajian gendhing gaya Surakarta dan Yogyakarta.
Dengan adanya kesamaan teknik tabuhan seperti tersebut di atas maka secara teknis calung Banyumasan sangat mungkin digunakan untuk menyajikan gendhing-gendhing gaya Surakarta maupun Yogyakarta.
Faktor Laras
Perangkat calung Banyumasan memiliki basic laras slendro. Sejauh ini ditemukan fakta bahwa laras pada calung Banyumasan yang berkembang pada masa lalu hanyalah laras slendro. Mulai awal dekade tahun 1990-an baru ada penambahan laras pelog. Ada beberapa pengrajin calung yang membuat perangkat calung yang dilengkapi laras pelog untuk keperluan perluasan sajian musikal.
Seperti diketahui bahwa dalam gamelan Jawa pun terdapat laras slendro (selain laras pelog). Banyak di antara repertoar gendhing gaya Surakarta maupun Yogyakarta yang berlaras slendro. Dengan basic laras slenro yang dimiliki, maka secara teknis calung Banyumasan pun memungkinkan untuk menyajikan gendhing-gendhing Wetanan.
Faktor Pengalaman Musikal
Pengalaman musikal para seniman calung di Banyumas sangat dekat dengan tradisi gamelan. Hampir semua penabuh calung bisa dipastikan bisa menabuh gamelan. Dengan pengalaman musikal seniman yang biasa menabuh gamelan, maka gendhing-gendhing yang biasa mereka sajikan kemudian memungkinkan diadopsi untuk disajikan menggunakan perangkat calung.
Faktor Cita Rasa
Cita rasa musikal pengrawit calung di Banyumas sesungguhnya adalah cita rasa karawitan yang memiliki tingkat virtuositas berupa kemampuan menabuh dengan cara yang rumit dan halus. Hingga dekade tahun 1980-an para pengrawit di wilayah Banyumas umumnya merasa malu menyajikan gendhing-gendhing Banyumasan. Mereka berpendapat bahwa gendhing-gendhing Banyumasan merupakan gendhing yang sederhana, tidak memiliki garap yang kompleks, kasar, dan kurang memenuhi selera estetis si seniman maupun audiens.
Pada sajian karawitan, baik untuk resital maupun iringan seni pertunjukan seperti wayang kulit, kethoprak, wireng, dan sejenisnya, gendhing-gendhing Banyumasan hanya sekdar untuk selingan. Dalam pertunjukan wayang kulit purwa, sajian gendhing Banyumasan hanya untuk iringan punakawan. Sedangkan dalam pertunjukan kethoprak hanya untuk iringan bodhor (pelawak/peran gecul).
Dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi karena keterbatasan alat, banyak di antara pengrawit calung berusaha menyajikan gendhing-gendhing Wetanan menggunakan perangkat calung. Hal yang menarik adalah kemudian muncul semacam genre tersendiri dari sajian gendhing-gendhing Wetanan. Meskipun disajikan dengan alat-alat yang sederhana ternyata para pengrawit calung mampu menyajikan gendhing-gendhing Wetanan dengan kualitas yang memadai sesuai dengan selera estetis para pelakunya.
Faktor Kultural
Semenjak Perjanjian Giyanti tahun 1755 Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, yaitu menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Untuk memudahkan kontrol bagi penjajah Belanda, Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang terletak di sisi timur diberi wilayah kekuasaan Brang Kulon, yaitu kadipaten-kadipaten yang berada di wilayah barat. Sedangkan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berada di sisi barat diberi wilayah kekuasaan Brang Wetan (wilayah timur).
Atas dasar pembagian wilayah kekuasaan itu maka Kadipaten Banyumas menjadi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Meskipun demikian Sultan Hamengku Buwono sebagai raja pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadinigrat meminta Adipati Banyumas, Yudanegara III untuk menjadi Patih di Ngayogyakarta. Dengan demikian Kadipaten Banyumas berada dalam situasi yang unik. Wilayahnya menjadi kekuasaan Surakarta tetapi adipatinya menjadi warangka dalem Kasultanan Ngayogyakarta.
Kondisi demikian menyebabkan Banyumas mendapat pengaruh dari kedua kerajaan tersebut yang berimbas pada berbagai ragam kesenian, termasuk seni karawitan. Sehingga di Banyumas berkembang dua gaya karawitan sekaligus, yaitu karawitan gaya Surakarta dan karawitan gaya Yogyakarta. Perkembangan kedua gaya tersebut pada gilirannya berpengaruh pula terhadap eksistensi calung Banyumasan.*
Comments
Post a Comment