ASET WISATA LOKAL BANYUMAS MENUJU PASAR GLOBAL
A. Pendahuluan
Pariwisata yang memiliki sifat multidimensi dan multisektor dirasakan punya pengaruh besar bagi banyak pihak sebagai sebuah multistakeholder. Pariwisata sudah menjadi industri, namun sektor ini sangat rentan terhadap beragam isu, dari sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan fisik hingga kondisi keamanan negara.
Pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin ekonomi penghasil devisa bagi pembangunan ekonomi di suatu negara tidak terkecuali di Indonesia. Namun demikian pada prinsipnya pariwisata memiliki spektrum fundamental pembangunan yang lebih luas bagi suatu negara. Pada saat ini pembangunan kepariwisataan pada dasarnya ditujukan untuk:
1. Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Pariwisata mampu memberikan perasaaan bangga dan cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui kegiatan perjalanan wisata yang dilakukan oleh penduduknya ke seluruh penjuru negeri. Sehingga dengan banyaknya warganegara yang melakukan kunjungan wisata di wilayah-wilayah selain tempat tinggalnya akan timbul rasa persaudaraan dan pengertian terhadap sistem dan filosofi kehidupan masyarakat yang dikunjungi sehingga akan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan nasional.
2. Penghapusan Kemiskinan (Poverty Alleviation)
Pembangunan pariwisata seharusnya mampu memberikan kesempatan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berusaha dan bekerja. Kunjungan wisatawan ke suatu daerah seharusnya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pariwisata akan mampu memberi andil besar dalam penghapusan kemiskinan di berbagai daerah yang miskin potensi ekonomi lain selain potensi alam dan budaya bagi kepentingan pariwisata.
3. Pembangunan Berkesinambungan (Sustainable Development)
Dengan sifat kegiatan pariwisata yang menawarkan keindahan alam, kekayaan budaya dan keramahtamahan pelayanan, sedikit sekali sumberdaya yang habis digunakan untuk menyokong kegiatan ini. Bahkan berdasarkan berbagai contoh pengelolaan kepariwisataan yang baik, kondisi lingkungan alam dan masyarakat di suatu destinasi wisata mengalami peningkatan yang berarti sebagai akibat dari pengembangan keparwiwisataan di daerahnya.
4. Pelestarian Budaya (Culture Preservation)
Pembangunan kepariwisataan seharusnya mampu kontribusi nyata dalam upaya-upaya pelestarian budaya suatu negara atau daerah yang meliputi perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan budaya negara atau daerah. UNESCO dan UN-WTO dalam resolusi bersama mereka di tahun 2002 telah menyatakan bahwa kegiatan pariwisata merupakan alat utama pelestarian kebudayaan. Dalam konteks tersebut, sudah selayaknya bagi Indonesia untuk menjadikan pembangunan kepariwisataan sebagai pendorong pelestarian kebudayaan di berbagai daerah.
5. Pemenuhan Kebutuhan Hidup dan Hak Azasi Manusia
Pariwisata pada masa kini telah menjadi kebutuhan dasar kehidupan masyarakat modern. Pada beberapa kelompok masyarakat tertentu kegiatan melakukan perjalanan wisata bahkan telah dikaitkan dengan hak azasi manusia khususnya melalui pemberian waktu libur yang lebih panjang dan skema paid holidays.
6. Peningkatan Ekonomi dan Industri
Pengelolaan kepariwisataan yang baik dan berkelanjutan seharusnya mampu memberikan kesempatan bagi tumbuhnya ekonomi di suatu destinasi pariwisata. Penggunaan bahan dan produk lokal dalam proses pelayanan di bidang pariwisata akan juga memberikan kesempatan kepada industri lokal untuk berperan dalam penyediaan barang dan jasa. Syarat utama dari hal tersebut di atas adalah kemampuan usaha pariwisata setempat dalam memberikan pelayanan berkelas dunia dengan menggunakan bahan dan produk lokal yang berkualitas.
7. Pengembangan Teknologi
Dengan semakin kompleks dan tingginya tingkat persaingan dalam mendatangkan wisatawan ke suatu destinasi, kebutuhan akan teknologi tinggi khususnya teknologi industri akan mendorong destinasi pariwisata mengembangkan kemampuan penerapan teknologi terkini mereka. Pada daerah-daerah tersebut akan terjadi pengembangan teknologi maju dan tepat guna yang akan mampu memberikan dukungan bagi kegiatan ekonomi lainnya. Dengan demikian pembangunan kepariwisataan akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintahan di berbagai daerah yang lebih luas dan bersifat fundamental. Kepariwisataan akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan suatu daerah dan terintegrasi dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas memiliki dua babonan (source) utama, yaitu gunung Slamet dan sungai Serayu. Keduanya sama-sama memiliki kekuatan yang luar biasa yang apabila dikembangkan secara optimal akan menempatkan Kabupaten Banyumas sebagai salah satu kekuatan utama kepariwisataan di Jawa Tengah. Gunung Slamet memiliki kekuatan berupa landscape alam yang indah. Sedangkan sungai Serayu memiliki kekuatan berupa kebudayaan lokal yang lahir, hidup dan berkembang di sepanjang aliran sungai. Kekuatan alam yang berporos di gunung Slamet melahirkan obyek dan potensi wisata, antara lain: landscape Baturraden, Wana Wisata, Pancuran Tiga, Pancuran Tujuh, Goa Sarabadak, Curug Ceheng, Curug Gede, dan Curug Gomblang, yang jika dirunut lebih jauh maka sampai pada Curug Cipendok Cilongok, Goa Darma Kradenan Ajibarang, Gunung Putri Purwojati, hingga Puncak Mahameru Tambak.
Kekuatan kebudayaan lokal Banyumas dapat dilihat pada beberapa aspek, antara lain:
1. Sejarah: Majapahit dan Pajajaran sebagai leluhur Banyumas serta posisi strategis Banyumas pasca perang Diponegoro (1830).
2. Nilai Tradisional: nilai-nilai kultur Banyumas berakar dari kehidupan tradisional-agraris dan budaya kerakyatan.
3. Kepercayaan terhadap Tuhan YME: perpaduan antara kepercayaan lokal dengan Hinduisme, Budhisme, Islam dan Barat.
4. Kesenian: terdapat 56 jenis kesenian lokal khas Banyumas yang dapat dibedakan ke dalam jenis seni musik tradisional, seni tari tradisional, seni teater tradisional, dan seni rupa.
5. Permuseuman: di Banyumas terdapat beberapa museum penting antara lain Museum Wayang Sendang Mas Banyumas, Museum BRI Purwokerto, dan Museum Pangsar Soedirman serta artefak-artefak budaya yang tersimpan di masyarakat.
6. Kepurbakalaan: Banyumas memiliki kekayaan artefak peninggalan sejarah purbakala peninggalan masa prasejarah, masa klasik (Hindu-Budha), masa Islam dan masa kolonial.
7. Kebahasaan: berkembang bahasa Jawa dialek Banyumasan yang merupakan salah satu wujud identitas kultur Banyumas.
8. Kesastraan: berkembang pesat sastra lisan dalam kehidupan masyarakat Banyumas sebagai akibat dari kuatnya perkembangan tradisi lisan pada masa lalu.
Selain kedua kekuatan di atas, Kabupaten Banyumas masih menyimpan kekuatan kepariwisataan yang lain, meliputi:
1. Wisata Kota Lama Banyumas, Bendung Gerak Serayu
2. Wisata Husada : Kali bacin, Pancuran 7, Pancuran 3 Baturraden
3. Wisata Kerajinan : Batik, Bambu, Keramik
4. Wisata Boga : Sokaraja, Baturraden, Banyumas, dll
5. Wisata Agro : Kemranjen, Sumpiuh, Tambak, Cikakak
6. Wisata Kota : Alun-alun, Gor, Moro, Rita, Fatmaba
7. Wisata Spiritiual : Masjid Saka Tunggal Cikakak, Goa Maria , Candi, Petilasan;
8. Wisata Minat Khusus : Jungle Track, Pendakian gunung;
9. Wisata Rekreasi : Konvensi, Impresariat, Teknologi, Olah raga dll
B. Kepariwisataan di Era Globalisasi
Ada dua esensi dalam kepariwisataan, yaitu: (1) looking for something difference (mencari segala sesuatu yang berbeda), dan (2) aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan ketika berada dalam perjalanan, baik pemenuhan sarana akomodasi, pengalaman baru, kesegaran fisik dan psikis, maupun kegiatan lainnya mulai sejak berangkat sampai dengan pulang.
Pariwisata internasional pada tahun 2004 mencapai kondisi tertinggi sepanjang sejarah dengan mencapai 763 juta orang dan menghasilkan pengeluaran sebesar US$ 623 miliar. Kondisi tersebut meningkat 11% dari jumlah perjalanan tahun 2003 yang mencapai 690 juta orang dengan jumlah pengeluaran US$ 524 miliar. Diperkirakan jumlah perjalanan wisata dunia di tahun 2010 akan mencapai 1 miliar orang dan di tahun 2020 akan menembus 1,5 miliar orang per tahun. Namun demikian perjalanan wisata di dunia masih dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan besar yang meliputi ancaman terorisme dan penyebaran penyakit mematikan (pandemi) yang melanda dunia akhir-akhir ini.
World Travel and Tourism Council (WTTC) yang berkedudukan di London, Inggris, pada tahun 2003 telah menerbitkan suatu dokumen yang menggambarkan arah perubahan hubungan antara para pelaku kepariwisataan. Disebutkan bahwa pembangunan kepariwisataan saat ini memerlukan:
1. Kemitraan yang koheren antara para pelaku kepariwisataan, masyarakat, usaha swasta dan pemerintah.
2. Penyampaian produk wisata yang secara komersial menguntungkan, namun tetap memberikan jaminan manfaat bagi setiap pihak yang terlibat.
3. Berfokus pada manfaat bukan saja bagi wisatawan yang datang namun juga bagi masyarakat yang dikunjungi serta bagi lingkungan alam, sosial dan budaya setempat.
Pada sisi lainnya, kepariwisataan dunia juga menghadapi globalisasi yang antara lain berbentuk liberalisasi dan aliansi perdagangan jasa-jasa seperti tertuang dalam Persetujuan Umum Tarif Jasa (GATS) dan di tingkat regional diimplementasikan melalui pemberlakuan AFTA dan AFAS. Pemberlakuan liberalisasi perdagangan dan jasa ini adalah untuk menghilangkan hambatan dalam hal perdagangan, meliputi: transaksi perdagangan barang dan jasa, sumber daya modal (investasi), dan pergerakan manusia.
Dengan diberlakukannya AFAS, batas-batas negara yang selama ini menghambat pergerakan perdagangan baik barang dan jasa termasuk di dalamnya pariwisata akibat aspek peraturan dan kebijakan yang berlaku di masing-masing negara menjadi tidak berlaku lagi, sesuai dengan prinsip globalisasi yaitu borderless (dunia tanpa batas). Akibatnya persaingan/kompetisi antar bangsa adalah faktor kunci yang menuntut setiap negara untuk menyiapkan strategi dan langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi era perdagangan bebas, misalnya di bidang pariwisata melalui peningkatan kualitas dan pelayanan produk pariwisata, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Selanjutnya masalah keamanan global menjadi perhatian serius. Masalah keamanan sangat terkait dengan aksi terorisme yang pada faktanya telah menjadi salah satu ancaman serius pada saat ini. Masalah keamanan global ternyata telah menciptakan citra yang sangat kurang menguntungkan bagi industri pariwisata global. Keselamatan wisatawan yang menjadi faktor utama telah terusik akibat aksi bom di destinasi maupun fasilitas pariwisata (hotel dan pesawat terbang) serta didorong dengan adanya pandangan bahwa saat ini tidak ada destinasi yang aman untuk berwisata. Apabila sentimen ini sudah masuk dalam benak wisatawan, maka hal ini akan menjadi permasalahan yang cukup serius bagi perkembangan pariwisata global di masa depan.
Masalah kesehatan global juga menjadi perhatian serius dalam pengembangan kepariwisataan dunia. Penyebaran AIDS, avian flu, meningitis, cholera, demam berdarah dengue dan tubercolosis yang semakin tinggi berakibat kurang menguntungkan bagi pergerakan wisatawan dunia. Pandemi yang melanda beberapa negara di Asia belakangan ini telah mempengaruhi daya saing kepariwisataan negara-negara tersebut. Antisipasi dalam mencegah penyebaran penyakit mematikan tersebut serta keterbukaan informasi masing-masing negara merupakan faktor penting dalam menciptakan daya tarik bagi calon wisatawan untuk kembali melakukan perjalana wisata ke negara-negara yang mengalami pandemi tersebut.
Kemajuan teknologi di bidang transportasi, telekomunikasi, dan informasi telah menciptakan dunia tanpa batas, memudahkan terjadinya mobilitas manusia antarnegara maupun pertukaran informasi melalui dunia maya (virtual). Kerjasama dan pergaulan yang semakin global dengan memanfaatkan kemajuan Iptek, harus pula diimbangi dengan upaya mengangkat unsur budaya lokal yang semakin besar perannya dalam membentuk karakter dan identitas bangsa serta meningkatkan keunggulan kompetitif. Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi telah memacu terjadinya kontak antarbudaya secara lebih intensif, baik secara personal (tatap muka) maupun impersonal, melalui berbagai media seperti radio, televisi, komputer, internet, koran, dan majalah.
Perjalanan wisata internasional di kawasan Asia Pasifik pada tahun 2004 mewakili 20% perjalanan dunia atau setara dengan 152,5 juta perjalanan wisata dengan pendapatan mencapai US$124,97 miliar. Pertumbuhan perjalanan wisata di kawasan ini merupakan yang tertinggi di dunia (27,9%) dibandingkan kawasan lainnya. Asia Pasifik sampai saat ini merupakan kawasan pariwisata dunia yang paling dinamis. Pada tahun 1990 jumlah perjalanan wisata di kawasan ini baru mencapai 57,7 juta perjalanan namun dalam waktu limabelas tahun berlipat tiga menjadi lebih dari 150 juta perjalanan, walaupun sempat mengalami penurunan jumlah kunjungan yang signifikan di tahun 2003 (-9,0%).
Di Asia Tenggara, seluruh negara yang melakukan kegiatan pariwisata melaporkan pertumbuhan dua digit di tahun 2004. Tourism Highlight 2005, UN-WTO, 2005 melaporkan bahwa dari lima negara destinasi pariwisata utama di Asia Tenggara, Thailand masih merupakan negara yang paling besar menerima devisa dari kegiatan pariwisata internasional. Kelebihan dan kekurangan pada tiap-tiap negara di kawasan Asia Tenggara antara lain:
1. Thailand : atraksi wisata budaya, infrastruktur, fasilitas dan pelayanan pariwisata, citra negatif pariwisata, ominasi kepemilikan usaha oleh orang asing.
2. Malaysia : aksesibilitas, fasilitas dan pelayanan pariwisata, kemampuan untuk menahan wisman lebih lama, keragaman atraksi wisata.
3. Singapura : infrastruktur dan aksesibilitas (hub penerbangan), fasilitas dan pelayanan wisata, keterbatasan destinasi, kemampuan untuk menahan wisman lebih lama.
4. Filipina : atraksi wisata alam dan budaya, keragaman destinasi, keamanan, citra negatif pariwisata.
5. Vietnam : kekayaan heritage tourism, atraksi wisata alam dan budaya, terbatasnya infrastruktur, belum terbentuknya citra sebagai destinasi pariwisata.
Di tingkat nasional, laju pertumbuhan kepariwisataan masih ditemui dilema (paradox). Sifat paling mendasar dari investasi pada industri pariwisata di Indonesia adalah “high investment, not quick yield” artinya investasi di bidang pariwisata membutuhkan investasi yang besar dengan tingkat pengembalian yang lama (jangka panjang). Kondisi ini sungguh tidak menarik bagi kebanyakan stakeholders kepariwisataan yang masih memiliki budaya “instant and shortcut”. Mereka lebih menyukai melakukan investasi yang dapat segera memberikan keuntungan. Sehingga para investor tidak tertarik menanamkan modalnya dalam mengembangkan usaha pariwisata.
Dalam konteks ini diperlukan integrasi usaha pariwisata (tourism business integration) yang merupakan sinergi pelaku kepariwisataan secara horisontal maupun vertikal dan memberikan keuntungan atau manfaat bagi masing-masing pihak. Oleh karena itu diperlukan bentuk-bentuk insentif yang mampu merangsang timbulnya investasi di bidang kepariwisataan dengan menggunakan manajemen partisipatoris dengan melibatkan seluruh stakeholders baik masyarakat, dunia usaha, lembaga keuangan, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten maupun kota), serta pemerintah pusat.
Sesuai dengan Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional tahun 2005 – 2009, maka kebijakan dalam pembangunan kepariwisataan nasional diarahkan untuk:
1. Peningkatkan daya saing destinasi, produk dan usaha pariwisata nasional;
2. Peningkatan pangsa pasar pariwisata melalui pemasaran terpadu di dalam maupun di luar negeri;
3. Peningkatan kualitas, pelayanan dan informasi wisata;
4. Pengembangan incentive system usaha dan investasi di bidang pariwisata;
5. Pengembangan infrastruktur pendukung pariwisata;
6. Pengembangan SDM (standarisasi, akreditasi dan sertifikasi kompetensi);
7. Sinergi multi-stakeholders dalam desain program kepariwisataan.
C. Pengembangan Kepariwisataan di Kabupaten Banyumas
Letak strategis Kabupaten Banyumas yang berada di posisi silang sesungguhnya sangat menguntungkan bagi pembangunan kepariwisataan di daerah ini. Dalam kacamata pandang kepariwisataan, Kabupaten Banyumas terletak pada:
Posisi Kabupaten Banyumas di tengah tengah jalur dari Pantura menuju ke pantai selatan atau jalan utama Jakarta – Surabaya di selatan pulau Jawa;
Jalur lalulintas dari Jawa Barat menuju Jawa Timur sedemikian melalui kawasan selatan Kabupaten Banyumas;
Banyaknya peluang potensi wisata berbasis wisata: alam, budaya, buatan, sejarah, kuliner, dan lain-lain menjadi daya tarik untuk dikunjungi.
Isyu strategis yang memungkinkan dapat mendorong pertumbuhan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas antara lain:
Gunung Slamet dan sungai Serayu sebagai kekuatan kepariwisataan Banyumas.
Letak strategis Kabupaten Banyumas di posisi silang.
Kekayaan potensi alam dan kebudayaan lokal sebagai kekuatan pembangunan kepariwisataan.
Keinginan pencapaian kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan kepariwisataan.
Dalam rangka pembangunan kepariwisataan wilayah Banyumas telah disusun RIPPDA (Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah) tahun 2008 – 2015. Di dalamnya disebutkan bahwa pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas dibagi menjadi tiga SWPP (Sub Wilayah Pengembangan Pariwisata), antara lain:
Wilayah I : Baturraden, Kedungbanteng, Karanglewas, Purwokerto Utara, Purwokerto Barat, Purwokerto Selatan, Purwokerto Timur, Sumbang, Kembaran, Sokaraja, Kalibagor, Patikraja, Kebasen.
Wilayah II : Cilongok, Ajibarang, Pekuncen, Gumelar, Lumbir, Wangon, Jatilawang, Purwojati, Rawalo.
Wilayah III : Banyumas, Somagede, Tambak, Sumpiuh, Kemranjen.
Berdasarkan ketiga pembagian sub wilayah pembangunan pariwisata tersebut, maka pelaksanaan pengembangan kepariwisataan dapat diwujudkan ke dalam sebuah bangun segitiga “Bango mas” yang meliputi wilayah Baturraden, Wangon, dan Banyumas.
Titik pertumbuhan kepariwisataan di Baturraden dilakukan dengan menitikberatkan pengembangan wisata alam. Pertumbuhan kepariwisataan Baturraden didukung oleh pengembangan Museum Pangsar Soedirman sebagai wisata kota dan Curug Cipendok di Cilongok. Di Museum Pangsar Soedirman dirancang selain dibangun taman bermain, juga akan dibangun sebuah cinema yang dapat dipergunakan untuk memutar film-film perjuangan Jenderal Soedirman dan film-film produksi lokal. Sedangkan di curug Cipendok akan dibangun agrowisata dengan memanfaatkan landscape alam pegunungan di wilayah itu.
Wilayah Banyumas akan dikembangkan wisata kota lama dengan memanfaatkan artefak-artefak bangunan kuno bersejarah dan ragam kebudayaan local setempat. Pembangunan kota lama Banyumas sebagai destinasi wisata telah dimulai dengan dibentuknya Unit Pelaksana Teknis (UPT) Sentra Budaya yang memiliki kewenangan menggali, melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan aspek-aspek kebudayaan lokal sebagai salah satu kekuatan kedirian masyarakat Banyumas dalam wacana politik identitas serta diarahkan terbentuknya etalase budaya, museum sekaligus laboratorium kebudayaan lokal Banyumas. Pengembangan kota lama Banyumas didukung oleh pengembangan wisata serayu (Serayu River Voyage – SRV).
Titik pertumbuhan Wangon dilakukan dengan memanfaatkan artefak sejarah berupa Masjid Saka Tunggal Cikakak. Titik pertumbuhan wilayah ini didukung oleh beberapa kekuatan, antara lain makam Kyai Tolih, kera-kera jinak di sekitar masjid Saka Tunggal, goa krast Darma Kradenan, Gunung Putri Purwojari dan wisata husada Kalibacin.
Arah kebijakan pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas, dilakukan melalui serangkaian tindakan yang berbasis pada strategi :
1. Kebijakan Investasi (Investment Policy), melalui penerapan peraturan yang kondusif terhadap pembangunan usaha pariwisata baru maupun pengembangan usaha yang telah ada.
2. Pengembangan Infrastruktur, dengan memperbesar aksesibilitas menuju dan dalam destinasi pariwisata melalui pembangunan serta perluasan jaringan jalan, jaringan telekomunikasi, penyediaan listrik dan air bersih. Ketersediaan infrstruktur yang memadai akan meningkatkan daya saing serta daya tarik dalam penyediaan fasilitas kepariwisataan di setiap lokus.
3. Pengembangan SDM, melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat lokal guna mengembangkan kompetensi masyarakat dalam penyediaan barang dan jasa kepariwisataan serta pelayanan bagi wisatawan, baik mancanegara maupun nusantara.
4. Koordinasi Lintas Sektor, mengembangkan kemitraan antara seluruh stakeholders pembangunan kepariwisataan melalui upaya koordinasi, sinkronisasi dan konsolidasi yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat, asosiasi/usaha pariwisata, DPRD, maupun pemerintah.
Seluruh kondisi tersebut di atas memerlukan pendekatan yang ditujukan untuk meningkatkan keunggulan daya saing (competitive advantage) yang dimiliki Kabupaten Banyumas dalam pengembangan kepariwisataan. Michael E. Porter (2004) menyebutkan bahwa competitive advantage membutuhkan faktor-faktor pembangun seperti :
1. Cost Advantages, keunggulan atas biaya yang harus dikeluarkan dalam penyediaan produk dan pelayanan wisata merupakan faktor penting dalam membangun keunggulan kompetitif destinasi pariwisata. Di dalamnya bergabung berbagai faktor yang mampu mengembangkan kinerja destinasi seperti perencanaan (desain); pengembangan produk wisata; pemasaran; pelayanan; serta harga. Dalam konteks pemerintahan, keunggulan biaya dapat pula dibantu dengan harmonisasi regulasi antara pemerintah pusat dan daerah yang terkait dengan insentif keuangan, penetapan tarif serta skema perpajakan atau retribusi.
2. Differentiation, membedakan destinasi dan produk pariwisata merupakan fokus dalam mengembangkan keunggulan komparatif kepariwisataan. Suatu destinasi pariwisata harus mampu menjadi berbeda dengan pesaingnya ketika menghasilkan aksesibilitas, atraksi dan amenitas yang unik dan berharga bagi wisatawan yang datang. Diferensiasi tidak melulu dilakukan dengan hanya menawarkan harga produk dan pelayanan yang lebih rendah.
3. Business Linkages, mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan merupakan suatu proses integratif dalam membangun keunggulan kompetitif kepariwisataan. Hubungan yang dibangun bersifat vertikal dan horisontal serta saling terintegrasi satu sama lainnya.
4. Services, pelayanan yang konsisten semenjak wisatawan tiba di pintu masuk (entry point), pada saat berada di destinasi pariwisata sampai dengan kepulangannya. Seluruh pihak yang terkait seperti adminsitratur bandara dan pelabuhan, petugas imigrasi, bea cukai dan karantina, supir taksi dan lainnya seyogyanya mampu memberikan pelayanan prima dan baku sehingga meninggalkan kesan yang dalam bagi wisatawan.
5. Infrastructures, kondisi prasarana dan sarana pendukung kepariwisataan yang terpelihara dan beroperasi dengan baik juga merupakan faktor penting pembangun keunggulan kompetitif suatu destinasi pariwisata.
6. Technology, penggunaan teknologi yang tepat dan mudah digunakan akan mampu memberikan dukungan bagi pelayanan kepada wisatawan yang datang selain mampu juga mendukung proses pengambilan keputusan dalam pengembangan, pengelolaan dan pemasaran destinasi pariwisata.
7. Human Resources, kompetensi sumberdaya manusia pelayanan dan pembinaan kepariwisataan menjadi kunci penting pelaksanaan berbagai faktor pembentuk keunggulan kompetitif tersebut di atas.
Berbagai faktor pembentuk keunggulan kompetitif tersebut menggambarkan kompleksitas pengembangan kepariwisataan yang bersifat multisektor dan multidisipliner bagi di tingkat pusat, provinsi maupun lokal. Namun demikian untuk melaksanakannya secara berhasil diperlukan tiga elemen penting yaitu (1) Visi; (2) Kepemimpinan (Leadership); dan (3) Komitmen. Ketiga elemen ini harus pula ditunjukkan secara nyata dalam proses pengembangan, pengelolaan dan pemasaran kepariwisataan.
D. Penutup
Pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas dihadapkan pada berbagai masalah, tantangan dan hambatan baik yang berskala global, nasional maupun regional. Selain itu diperlukan pula perubahan paradigma dalam memandang pariwisata dalam konteks pembangunan nasional. Pariwisata tidak lagi semata dipandang sebagai alat peningkatan pendapatan nasional namun memiliki spektrum yang lebih luas dan mendasar. Oleh karena itu pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas memerlukan fokus yang lebih tajam serta mampu memposisikan destinasi pariwisata sesuai potensi alam, budaya dan masyarakatnya. Dalam konteks ini, setiap lokus yang memiliki potensi kepariwisataan harus dapat memposisikan dirinya dalam kerangka pembangunan kepariwisataan nasional dengan diimbangi dengan perencanaan yang matang dan upaya-upaya peningkatan kompetensi SDM yang berkualitas dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Boxwell, Robert J., Jr. (1994), Benchmarking for Competitive Advantage, McGraw-Hill, Inc., New York.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (2005), Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional 2005 – 2009, Jakarta.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas (2007), Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Tahun 2008-2015, Purwokerto.
Porter, Michael E. (2004), Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance, with a new introduction, copyright 1985, Free Press Publishing, New York.
Thurow, Lester C. (1999), Building Wealth: the New Rules for Individuals, Companies, and Nations in a Knowledge-Based Economy, 1 st Edition, HarperCollins Publishers, Inc., New York.
United Nation-World Tourism Organization (2005), Tourism Highlight 2005, UN-WTO, Madrid.
World Travel dand Tourism Council (2003), The Blueprint of New Tourism, WTTC, London.
Pariwisata yang memiliki sifat multidimensi dan multisektor dirasakan punya pengaruh besar bagi banyak pihak sebagai sebuah multistakeholder. Pariwisata sudah menjadi industri, namun sektor ini sangat rentan terhadap beragam isu, dari sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan fisik hingga kondisi keamanan negara.
Pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin ekonomi penghasil devisa bagi pembangunan ekonomi di suatu negara tidak terkecuali di Indonesia. Namun demikian pada prinsipnya pariwisata memiliki spektrum fundamental pembangunan yang lebih luas bagi suatu negara. Pada saat ini pembangunan kepariwisataan pada dasarnya ditujukan untuk:
1. Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Pariwisata mampu memberikan perasaaan bangga dan cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui kegiatan perjalanan wisata yang dilakukan oleh penduduknya ke seluruh penjuru negeri. Sehingga dengan banyaknya warganegara yang melakukan kunjungan wisata di wilayah-wilayah selain tempat tinggalnya akan timbul rasa persaudaraan dan pengertian terhadap sistem dan filosofi kehidupan masyarakat yang dikunjungi sehingga akan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan nasional.
2. Penghapusan Kemiskinan (Poverty Alleviation)
Pembangunan pariwisata seharusnya mampu memberikan kesempatan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berusaha dan bekerja. Kunjungan wisatawan ke suatu daerah seharusnya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pariwisata akan mampu memberi andil besar dalam penghapusan kemiskinan di berbagai daerah yang miskin potensi ekonomi lain selain potensi alam dan budaya bagi kepentingan pariwisata.
3. Pembangunan Berkesinambungan (Sustainable Development)
Dengan sifat kegiatan pariwisata yang menawarkan keindahan alam, kekayaan budaya dan keramahtamahan pelayanan, sedikit sekali sumberdaya yang habis digunakan untuk menyokong kegiatan ini. Bahkan berdasarkan berbagai contoh pengelolaan kepariwisataan yang baik, kondisi lingkungan alam dan masyarakat di suatu destinasi wisata mengalami peningkatan yang berarti sebagai akibat dari pengembangan keparwiwisataan di daerahnya.
4. Pelestarian Budaya (Culture Preservation)
Pembangunan kepariwisataan seharusnya mampu kontribusi nyata dalam upaya-upaya pelestarian budaya suatu negara atau daerah yang meliputi perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan budaya negara atau daerah. UNESCO dan UN-WTO dalam resolusi bersama mereka di tahun 2002 telah menyatakan bahwa kegiatan pariwisata merupakan alat utama pelestarian kebudayaan. Dalam konteks tersebut, sudah selayaknya bagi Indonesia untuk menjadikan pembangunan kepariwisataan sebagai pendorong pelestarian kebudayaan di berbagai daerah.
5. Pemenuhan Kebutuhan Hidup dan Hak Azasi Manusia
Pariwisata pada masa kini telah menjadi kebutuhan dasar kehidupan masyarakat modern. Pada beberapa kelompok masyarakat tertentu kegiatan melakukan perjalanan wisata bahkan telah dikaitkan dengan hak azasi manusia khususnya melalui pemberian waktu libur yang lebih panjang dan skema paid holidays.
6. Peningkatan Ekonomi dan Industri
Pengelolaan kepariwisataan yang baik dan berkelanjutan seharusnya mampu memberikan kesempatan bagi tumbuhnya ekonomi di suatu destinasi pariwisata. Penggunaan bahan dan produk lokal dalam proses pelayanan di bidang pariwisata akan juga memberikan kesempatan kepada industri lokal untuk berperan dalam penyediaan barang dan jasa. Syarat utama dari hal tersebut di atas adalah kemampuan usaha pariwisata setempat dalam memberikan pelayanan berkelas dunia dengan menggunakan bahan dan produk lokal yang berkualitas.
7. Pengembangan Teknologi
Dengan semakin kompleks dan tingginya tingkat persaingan dalam mendatangkan wisatawan ke suatu destinasi, kebutuhan akan teknologi tinggi khususnya teknologi industri akan mendorong destinasi pariwisata mengembangkan kemampuan penerapan teknologi terkini mereka. Pada daerah-daerah tersebut akan terjadi pengembangan teknologi maju dan tepat guna yang akan mampu memberikan dukungan bagi kegiatan ekonomi lainnya. Dengan demikian pembangunan kepariwisataan akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintahan di berbagai daerah yang lebih luas dan bersifat fundamental. Kepariwisataan akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan suatu daerah dan terintegrasi dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas memiliki dua babonan (source) utama, yaitu gunung Slamet dan sungai Serayu. Keduanya sama-sama memiliki kekuatan yang luar biasa yang apabila dikembangkan secara optimal akan menempatkan Kabupaten Banyumas sebagai salah satu kekuatan utama kepariwisataan di Jawa Tengah. Gunung Slamet memiliki kekuatan berupa landscape alam yang indah. Sedangkan sungai Serayu memiliki kekuatan berupa kebudayaan lokal yang lahir, hidup dan berkembang di sepanjang aliran sungai. Kekuatan alam yang berporos di gunung Slamet melahirkan obyek dan potensi wisata, antara lain: landscape Baturraden, Wana Wisata, Pancuran Tiga, Pancuran Tujuh, Goa Sarabadak, Curug Ceheng, Curug Gede, dan Curug Gomblang, yang jika dirunut lebih jauh maka sampai pada Curug Cipendok Cilongok, Goa Darma Kradenan Ajibarang, Gunung Putri Purwojati, hingga Puncak Mahameru Tambak.
Kekuatan kebudayaan lokal Banyumas dapat dilihat pada beberapa aspek, antara lain:
1. Sejarah: Majapahit dan Pajajaran sebagai leluhur Banyumas serta posisi strategis Banyumas pasca perang Diponegoro (1830).
2. Nilai Tradisional: nilai-nilai kultur Banyumas berakar dari kehidupan tradisional-agraris dan budaya kerakyatan.
3. Kepercayaan terhadap Tuhan YME: perpaduan antara kepercayaan lokal dengan Hinduisme, Budhisme, Islam dan Barat.
4. Kesenian: terdapat 56 jenis kesenian lokal khas Banyumas yang dapat dibedakan ke dalam jenis seni musik tradisional, seni tari tradisional, seni teater tradisional, dan seni rupa.
5. Permuseuman: di Banyumas terdapat beberapa museum penting antara lain Museum Wayang Sendang Mas Banyumas, Museum BRI Purwokerto, dan Museum Pangsar Soedirman serta artefak-artefak budaya yang tersimpan di masyarakat.
6. Kepurbakalaan: Banyumas memiliki kekayaan artefak peninggalan sejarah purbakala peninggalan masa prasejarah, masa klasik (Hindu-Budha), masa Islam dan masa kolonial.
7. Kebahasaan: berkembang bahasa Jawa dialek Banyumasan yang merupakan salah satu wujud identitas kultur Banyumas.
8. Kesastraan: berkembang pesat sastra lisan dalam kehidupan masyarakat Banyumas sebagai akibat dari kuatnya perkembangan tradisi lisan pada masa lalu.
Selain kedua kekuatan di atas, Kabupaten Banyumas masih menyimpan kekuatan kepariwisataan yang lain, meliputi:
1. Wisata Kota Lama Banyumas, Bendung Gerak Serayu
2. Wisata Husada : Kali bacin, Pancuran 7, Pancuran 3 Baturraden
3. Wisata Kerajinan : Batik, Bambu, Keramik
4. Wisata Boga : Sokaraja, Baturraden, Banyumas, dll
5. Wisata Agro : Kemranjen, Sumpiuh, Tambak, Cikakak
6. Wisata Kota : Alun-alun, Gor, Moro, Rita, Fatmaba
7. Wisata Spiritiual : Masjid Saka Tunggal Cikakak, Goa Maria , Candi, Petilasan;
8. Wisata Minat Khusus : Jungle Track, Pendakian gunung;
9. Wisata Rekreasi : Konvensi, Impresariat, Teknologi, Olah raga dll
B. Kepariwisataan di Era Globalisasi
Ada dua esensi dalam kepariwisataan, yaitu: (1) looking for something difference (mencari segala sesuatu yang berbeda), dan (2) aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan ketika berada dalam perjalanan, baik pemenuhan sarana akomodasi, pengalaman baru, kesegaran fisik dan psikis, maupun kegiatan lainnya mulai sejak berangkat sampai dengan pulang.
Pariwisata internasional pada tahun 2004 mencapai kondisi tertinggi sepanjang sejarah dengan mencapai 763 juta orang dan menghasilkan pengeluaran sebesar US$ 623 miliar. Kondisi tersebut meningkat 11% dari jumlah perjalanan tahun 2003 yang mencapai 690 juta orang dengan jumlah pengeluaran US$ 524 miliar. Diperkirakan jumlah perjalanan wisata dunia di tahun 2010 akan mencapai 1 miliar orang dan di tahun 2020 akan menembus 1,5 miliar orang per tahun. Namun demikian perjalanan wisata di dunia masih dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan besar yang meliputi ancaman terorisme dan penyebaran penyakit mematikan (pandemi) yang melanda dunia akhir-akhir ini.
World Travel and Tourism Council (WTTC) yang berkedudukan di London, Inggris, pada tahun 2003 telah menerbitkan suatu dokumen yang menggambarkan arah perubahan hubungan antara para pelaku kepariwisataan. Disebutkan bahwa pembangunan kepariwisataan saat ini memerlukan:
1. Kemitraan yang koheren antara para pelaku kepariwisataan, masyarakat, usaha swasta dan pemerintah.
2. Penyampaian produk wisata yang secara komersial menguntungkan, namun tetap memberikan jaminan manfaat bagi setiap pihak yang terlibat.
3. Berfokus pada manfaat bukan saja bagi wisatawan yang datang namun juga bagi masyarakat yang dikunjungi serta bagi lingkungan alam, sosial dan budaya setempat.
Pada sisi lainnya, kepariwisataan dunia juga menghadapi globalisasi yang antara lain berbentuk liberalisasi dan aliansi perdagangan jasa-jasa seperti tertuang dalam Persetujuan Umum Tarif Jasa (GATS) dan di tingkat regional diimplementasikan melalui pemberlakuan AFTA dan AFAS. Pemberlakuan liberalisasi perdagangan dan jasa ini adalah untuk menghilangkan hambatan dalam hal perdagangan, meliputi: transaksi perdagangan barang dan jasa, sumber daya modal (investasi), dan pergerakan manusia.
Dengan diberlakukannya AFAS, batas-batas negara yang selama ini menghambat pergerakan perdagangan baik barang dan jasa termasuk di dalamnya pariwisata akibat aspek peraturan dan kebijakan yang berlaku di masing-masing negara menjadi tidak berlaku lagi, sesuai dengan prinsip globalisasi yaitu borderless (dunia tanpa batas). Akibatnya persaingan/kompetisi antar bangsa adalah faktor kunci yang menuntut setiap negara untuk menyiapkan strategi dan langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi era perdagangan bebas, misalnya di bidang pariwisata melalui peningkatan kualitas dan pelayanan produk pariwisata, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Selanjutnya masalah keamanan global menjadi perhatian serius. Masalah keamanan sangat terkait dengan aksi terorisme yang pada faktanya telah menjadi salah satu ancaman serius pada saat ini. Masalah keamanan global ternyata telah menciptakan citra yang sangat kurang menguntungkan bagi industri pariwisata global. Keselamatan wisatawan yang menjadi faktor utama telah terusik akibat aksi bom di destinasi maupun fasilitas pariwisata (hotel dan pesawat terbang) serta didorong dengan adanya pandangan bahwa saat ini tidak ada destinasi yang aman untuk berwisata. Apabila sentimen ini sudah masuk dalam benak wisatawan, maka hal ini akan menjadi permasalahan yang cukup serius bagi perkembangan pariwisata global di masa depan.
Masalah kesehatan global juga menjadi perhatian serius dalam pengembangan kepariwisataan dunia. Penyebaran AIDS, avian flu, meningitis, cholera, demam berdarah dengue dan tubercolosis yang semakin tinggi berakibat kurang menguntungkan bagi pergerakan wisatawan dunia. Pandemi yang melanda beberapa negara di Asia belakangan ini telah mempengaruhi daya saing kepariwisataan negara-negara tersebut. Antisipasi dalam mencegah penyebaran penyakit mematikan tersebut serta keterbukaan informasi masing-masing negara merupakan faktor penting dalam menciptakan daya tarik bagi calon wisatawan untuk kembali melakukan perjalana wisata ke negara-negara yang mengalami pandemi tersebut.
Kemajuan teknologi di bidang transportasi, telekomunikasi, dan informasi telah menciptakan dunia tanpa batas, memudahkan terjadinya mobilitas manusia antarnegara maupun pertukaran informasi melalui dunia maya (virtual). Kerjasama dan pergaulan yang semakin global dengan memanfaatkan kemajuan Iptek, harus pula diimbangi dengan upaya mengangkat unsur budaya lokal yang semakin besar perannya dalam membentuk karakter dan identitas bangsa serta meningkatkan keunggulan kompetitif. Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi telah memacu terjadinya kontak antarbudaya secara lebih intensif, baik secara personal (tatap muka) maupun impersonal, melalui berbagai media seperti radio, televisi, komputer, internet, koran, dan majalah.
Perjalanan wisata internasional di kawasan Asia Pasifik pada tahun 2004 mewakili 20% perjalanan dunia atau setara dengan 152,5 juta perjalanan wisata dengan pendapatan mencapai US$124,97 miliar. Pertumbuhan perjalanan wisata di kawasan ini merupakan yang tertinggi di dunia (27,9%) dibandingkan kawasan lainnya. Asia Pasifik sampai saat ini merupakan kawasan pariwisata dunia yang paling dinamis. Pada tahun 1990 jumlah perjalanan wisata di kawasan ini baru mencapai 57,7 juta perjalanan namun dalam waktu limabelas tahun berlipat tiga menjadi lebih dari 150 juta perjalanan, walaupun sempat mengalami penurunan jumlah kunjungan yang signifikan di tahun 2003 (-9,0%).
Di Asia Tenggara, seluruh negara yang melakukan kegiatan pariwisata melaporkan pertumbuhan dua digit di tahun 2004. Tourism Highlight 2005, UN-WTO, 2005 melaporkan bahwa dari lima negara destinasi pariwisata utama di Asia Tenggara, Thailand masih merupakan negara yang paling besar menerima devisa dari kegiatan pariwisata internasional. Kelebihan dan kekurangan pada tiap-tiap negara di kawasan Asia Tenggara antara lain:
1. Thailand : atraksi wisata budaya, infrastruktur, fasilitas dan pelayanan pariwisata, citra negatif pariwisata, ominasi kepemilikan usaha oleh orang asing.
2. Malaysia : aksesibilitas, fasilitas dan pelayanan pariwisata, kemampuan untuk menahan wisman lebih lama, keragaman atraksi wisata.
3. Singapura : infrastruktur dan aksesibilitas (hub penerbangan), fasilitas dan pelayanan wisata, keterbatasan destinasi, kemampuan untuk menahan wisman lebih lama.
4. Filipina : atraksi wisata alam dan budaya, keragaman destinasi, keamanan, citra negatif pariwisata.
5. Vietnam : kekayaan heritage tourism, atraksi wisata alam dan budaya, terbatasnya infrastruktur, belum terbentuknya citra sebagai destinasi pariwisata.
Di tingkat nasional, laju pertumbuhan kepariwisataan masih ditemui dilema (paradox). Sifat paling mendasar dari investasi pada industri pariwisata di Indonesia adalah “high investment, not quick yield” artinya investasi di bidang pariwisata membutuhkan investasi yang besar dengan tingkat pengembalian yang lama (jangka panjang). Kondisi ini sungguh tidak menarik bagi kebanyakan stakeholders kepariwisataan yang masih memiliki budaya “instant and shortcut”. Mereka lebih menyukai melakukan investasi yang dapat segera memberikan keuntungan. Sehingga para investor tidak tertarik menanamkan modalnya dalam mengembangkan usaha pariwisata.
Dalam konteks ini diperlukan integrasi usaha pariwisata (tourism business integration) yang merupakan sinergi pelaku kepariwisataan secara horisontal maupun vertikal dan memberikan keuntungan atau manfaat bagi masing-masing pihak. Oleh karena itu diperlukan bentuk-bentuk insentif yang mampu merangsang timbulnya investasi di bidang kepariwisataan dengan menggunakan manajemen partisipatoris dengan melibatkan seluruh stakeholders baik masyarakat, dunia usaha, lembaga keuangan, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten maupun kota), serta pemerintah pusat.
Sesuai dengan Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional tahun 2005 – 2009, maka kebijakan dalam pembangunan kepariwisataan nasional diarahkan untuk:
1. Peningkatkan daya saing destinasi, produk dan usaha pariwisata nasional;
2. Peningkatan pangsa pasar pariwisata melalui pemasaran terpadu di dalam maupun di luar negeri;
3. Peningkatan kualitas, pelayanan dan informasi wisata;
4. Pengembangan incentive system usaha dan investasi di bidang pariwisata;
5. Pengembangan infrastruktur pendukung pariwisata;
6. Pengembangan SDM (standarisasi, akreditasi dan sertifikasi kompetensi);
7. Sinergi multi-stakeholders dalam desain program kepariwisataan.
C. Pengembangan Kepariwisataan di Kabupaten Banyumas
Letak strategis Kabupaten Banyumas yang berada di posisi silang sesungguhnya sangat menguntungkan bagi pembangunan kepariwisataan di daerah ini. Dalam kacamata pandang kepariwisataan, Kabupaten Banyumas terletak pada:
Posisi Kabupaten Banyumas di tengah tengah jalur dari Pantura menuju ke pantai selatan atau jalan utama Jakarta – Surabaya di selatan pulau Jawa;
Jalur lalulintas dari Jawa Barat menuju Jawa Timur sedemikian melalui kawasan selatan Kabupaten Banyumas;
Banyaknya peluang potensi wisata berbasis wisata: alam, budaya, buatan, sejarah, kuliner, dan lain-lain menjadi daya tarik untuk dikunjungi.
Isyu strategis yang memungkinkan dapat mendorong pertumbuhan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas antara lain:
Gunung Slamet dan sungai Serayu sebagai kekuatan kepariwisataan Banyumas.
Letak strategis Kabupaten Banyumas di posisi silang.
Kekayaan potensi alam dan kebudayaan lokal sebagai kekuatan pembangunan kepariwisataan.
Keinginan pencapaian kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan kepariwisataan.
Dalam rangka pembangunan kepariwisataan wilayah Banyumas telah disusun RIPPDA (Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah) tahun 2008 – 2015. Di dalamnya disebutkan bahwa pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas dibagi menjadi tiga SWPP (Sub Wilayah Pengembangan Pariwisata), antara lain:
Wilayah I : Baturraden, Kedungbanteng, Karanglewas, Purwokerto Utara, Purwokerto Barat, Purwokerto Selatan, Purwokerto Timur, Sumbang, Kembaran, Sokaraja, Kalibagor, Patikraja, Kebasen.
Wilayah II : Cilongok, Ajibarang, Pekuncen, Gumelar, Lumbir, Wangon, Jatilawang, Purwojati, Rawalo.
Wilayah III : Banyumas, Somagede, Tambak, Sumpiuh, Kemranjen.
Berdasarkan ketiga pembagian sub wilayah pembangunan pariwisata tersebut, maka pelaksanaan pengembangan kepariwisataan dapat diwujudkan ke dalam sebuah bangun segitiga “Bango mas” yang meliputi wilayah Baturraden, Wangon, dan Banyumas.
Titik pertumbuhan kepariwisataan di Baturraden dilakukan dengan menitikberatkan pengembangan wisata alam. Pertumbuhan kepariwisataan Baturraden didukung oleh pengembangan Museum Pangsar Soedirman sebagai wisata kota dan Curug Cipendok di Cilongok. Di Museum Pangsar Soedirman dirancang selain dibangun taman bermain, juga akan dibangun sebuah cinema yang dapat dipergunakan untuk memutar film-film perjuangan Jenderal Soedirman dan film-film produksi lokal. Sedangkan di curug Cipendok akan dibangun agrowisata dengan memanfaatkan landscape alam pegunungan di wilayah itu.
Wilayah Banyumas akan dikembangkan wisata kota lama dengan memanfaatkan artefak-artefak bangunan kuno bersejarah dan ragam kebudayaan local setempat. Pembangunan kota lama Banyumas sebagai destinasi wisata telah dimulai dengan dibentuknya Unit Pelaksana Teknis (UPT) Sentra Budaya yang memiliki kewenangan menggali, melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan aspek-aspek kebudayaan lokal sebagai salah satu kekuatan kedirian masyarakat Banyumas dalam wacana politik identitas serta diarahkan terbentuknya etalase budaya, museum sekaligus laboratorium kebudayaan lokal Banyumas. Pengembangan kota lama Banyumas didukung oleh pengembangan wisata serayu (Serayu River Voyage – SRV).
Titik pertumbuhan Wangon dilakukan dengan memanfaatkan artefak sejarah berupa Masjid Saka Tunggal Cikakak. Titik pertumbuhan wilayah ini didukung oleh beberapa kekuatan, antara lain makam Kyai Tolih, kera-kera jinak di sekitar masjid Saka Tunggal, goa krast Darma Kradenan, Gunung Putri Purwojari dan wisata husada Kalibacin.
Arah kebijakan pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas, dilakukan melalui serangkaian tindakan yang berbasis pada strategi :
1. Kebijakan Investasi (Investment Policy), melalui penerapan peraturan yang kondusif terhadap pembangunan usaha pariwisata baru maupun pengembangan usaha yang telah ada.
2. Pengembangan Infrastruktur, dengan memperbesar aksesibilitas menuju dan dalam destinasi pariwisata melalui pembangunan serta perluasan jaringan jalan, jaringan telekomunikasi, penyediaan listrik dan air bersih. Ketersediaan infrstruktur yang memadai akan meningkatkan daya saing serta daya tarik dalam penyediaan fasilitas kepariwisataan di setiap lokus.
3. Pengembangan SDM, melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat lokal guna mengembangkan kompetensi masyarakat dalam penyediaan barang dan jasa kepariwisataan serta pelayanan bagi wisatawan, baik mancanegara maupun nusantara.
4. Koordinasi Lintas Sektor, mengembangkan kemitraan antara seluruh stakeholders pembangunan kepariwisataan melalui upaya koordinasi, sinkronisasi dan konsolidasi yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat, asosiasi/usaha pariwisata, DPRD, maupun pemerintah.
Seluruh kondisi tersebut di atas memerlukan pendekatan yang ditujukan untuk meningkatkan keunggulan daya saing (competitive advantage) yang dimiliki Kabupaten Banyumas dalam pengembangan kepariwisataan. Michael E. Porter (2004) menyebutkan bahwa competitive advantage membutuhkan faktor-faktor pembangun seperti :
1. Cost Advantages, keunggulan atas biaya yang harus dikeluarkan dalam penyediaan produk dan pelayanan wisata merupakan faktor penting dalam membangun keunggulan kompetitif destinasi pariwisata. Di dalamnya bergabung berbagai faktor yang mampu mengembangkan kinerja destinasi seperti perencanaan (desain); pengembangan produk wisata; pemasaran; pelayanan; serta harga. Dalam konteks pemerintahan, keunggulan biaya dapat pula dibantu dengan harmonisasi regulasi antara pemerintah pusat dan daerah yang terkait dengan insentif keuangan, penetapan tarif serta skema perpajakan atau retribusi.
2. Differentiation, membedakan destinasi dan produk pariwisata merupakan fokus dalam mengembangkan keunggulan komparatif kepariwisataan. Suatu destinasi pariwisata harus mampu menjadi berbeda dengan pesaingnya ketika menghasilkan aksesibilitas, atraksi dan amenitas yang unik dan berharga bagi wisatawan yang datang. Diferensiasi tidak melulu dilakukan dengan hanya menawarkan harga produk dan pelayanan yang lebih rendah.
3. Business Linkages, mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan merupakan suatu proses integratif dalam membangun keunggulan kompetitif kepariwisataan. Hubungan yang dibangun bersifat vertikal dan horisontal serta saling terintegrasi satu sama lainnya.
4. Services, pelayanan yang konsisten semenjak wisatawan tiba di pintu masuk (entry point), pada saat berada di destinasi pariwisata sampai dengan kepulangannya. Seluruh pihak yang terkait seperti adminsitratur bandara dan pelabuhan, petugas imigrasi, bea cukai dan karantina, supir taksi dan lainnya seyogyanya mampu memberikan pelayanan prima dan baku sehingga meninggalkan kesan yang dalam bagi wisatawan.
5. Infrastructures, kondisi prasarana dan sarana pendukung kepariwisataan yang terpelihara dan beroperasi dengan baik juga merupakan faktor penting pembangun keunggulan kompetitif suatu destinasi pariwisata.
6. Technology, penggunaan teknologi yang tepat dan mudah digunakan akan mampu memberikan dukungan bagi pelayanan kepada wisatawan yang datang selain mampu juga mendukung proses pengambilan keputusan dalam pengembangan, pengelolaan dan pemasaran destinasi pariwisata.
7. Human Resources, kompetensi sumberdaya manusia pelayanan dan pembinaan kepariwisataan menjadi kunci penting pelaksanaan berbagai faktor pembentuk keunggulan kompetitif tersebut di atas.
Berbagai faktor pembentuk keunggulan kompetitif tersebut menggambarkan kompleksitas pengembangan kepariwisataan yang bersifat multisektor dan multidisipliner bagi di tingkat pusat, provinsi maupun lokal. Namun demikian untuk melaksanakannya secara berhasil diperlukan tiga elemen penting yaitu (1) Visi; (2) Kepemimpinan (Leadership); dan (3) Komitmen. Ketiga elemen ini harus pula ditunjukkan secara nyata dalam proses pengembangan, pengelolaan dan pemasaran kepariwisataan.
D. Penutup
Pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas dihadapkan pada berbagai masalah, tantangan dan hambatan baik yang berskala global, nasional maupun regional. Selain itu diperlukan pula perubahan paradigma dalam memandang pariwisata dalam konteks pembangunan nasional. Pariwisata tidak lagi semata dipandang sebagai alat peningkatan pendapatan nasional namun memiliki spektrum yang lebih luas dan mendasar. Oleh karena itu pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Banyumas memerlukan fokus yang lebih tajam serta mampu memposisikan destinasi pariwisata sesuai potensi alam, budaya dan masyarakatnya. Dalam konteks ini, setiap lokus yang memiliki potensi kepariwisataan harus dapat memposisikan dirinya dalam kerangka pembangunan kepariwisataan nasional dengan diimbangi dengan perencanaan yang matang dan upaya-upaya peningkatan kompetensi SDM yang berkualitas dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Boxwell, Robert J., Jr. (1994), Benchmarking for Competitive Advantage, McGraw-Hill, Inc., New York.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (2005), Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional 2005 – 2009, Jakarta.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas (2007), Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Tahun 2008-2015, Purwokerto.
Porter, Michael E. (2004), Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance, with a new introduction, copyright 1985, Free Press Publishing, New York.
Thurow, Lester C. (1999), Building Wealth: the New Rules for Individuals, Companies, and Nations in a Knowledge-Based Economy, 1 st Edition, HarperCollins Publishers, Inc., New York.
United Nation-World Tourism Organization (2005), Tourism Highlight 2005, UN-WTO, Madrid.
World Travel dand Tourism Council (2003), The Blueprint of New Tourism, WTTC, London.
Comments
Post a Comment