MEREKA BERTAHAN DI TENGAH BUDAYA POP



Setiap pulang sekolah, bersama sejumlah temannya, Egi Darmawan (14), siswa SMP Negeri 1 Somagede, Kabupaten Banyumas, belajar tari dan karawitan di Padepokan Seni Banyubiru di Desa Plana, Kecamatan Somagede. Dia mengaku tidak malu dan tidak khawatir dikatakan kolot, belajar seni tradisional.

Saya malah bangga bisa berkesenian tradisional. Bisa ke mana- mana. Sebenarnya saya juga suka seni modern, tetapi saya lebih bangga dengan seni tradisional," ujar Egi Darmawan.

Di padepokan itu ada sekitar 20 anak dan remaja putri berusia 8- 15 tahun yang setiap Selasa dan Jumat pukul 14.00-17.00 berlatih tari banyumasan. Bahkan ada beberapa anak yang belajar tari di padepokan tersebut sejak usia tujuh tahun. Salah satunya adalah Dwi Retnoningsih (12), siswa Kelas VI SD Plana Satu.

"Saya memang senang tari. Banyak teman-teman saya di sekolah yang ikut tari," kata Dwi yang menguasai paling tidak lima tari tradisional banyumasan seperti sonderan, tredel, merak, mrampak, dan manipuri.

Yusmanto (42), pembina seni di Padepokan Seni Banyubiru, mengatakan, sejak tahun 2003 padepokan ini mengembangkan 10 seni tradisional khas Banyumas, yakni gubrak lesung, cowongan, ujungan, calung, lengger, tari banyumasan, karawitan, wayang kulit, ebeg, dan salawatan jawa. Padepokan ini mempunyai 271 anggota yang berusia 8-40 tahun. Sebagian besar dari mereka adalah generasi muda.

Padepokan Tjipto Boedojo di lereng Gunung Merapi di Kabupaten Magelang juga membina kelompok kesenian yang khusus beranggotakan anak-anak, mulai dari usia TK hingga SMP. Mereka diperkenalkan bentuk kesenian kethoprak. Agar lebih mendekatkan kesenian kepada mereka, dalam pementasan ditambahkan adegan-adegan yang erat dengan keseharian anak-anak.

"Misalnya, sekalipun yang dipentaskan adalah cerita pewayangan, di dalamnya tetap ditambahkan kegiatan-kegiatan pada masa kini seperti menggosok gigi atau belajar IPA," ujar Sitras Anjlin (50), seniman dari Padepokan Tjipto Boedojo.

Kelompok kesenian anak-anak tersebut memang dibentuk untuk tujuan regenerasi. Pada awal padepokan berdiri, tahun 1937, anak-anak dikumpulkan untuk diajari beragam kesenian. Namun secara perlahan, minat untuk berkesenian justru tumbuh dari kesadaran anak-anak.

"Jika sudah sebulan lebih tidak pentas, anak-anak akan ribut bertanya, kapan mereka bisa kembali naik panggung," katanya. Sebagaimana di Padepokan Tjipto Boedojo, seniman di Padepokan Seni Banyubiru juga terus membuat inovasi kreasi terhadap kesenian tradisional agar terus bertahan. Inovasi dan kreasi itu pula yang membuat anak muda di Desa Plana dan sekitarnya mau turut nguri-uri budaya warisan nenek moyangnya di tengah gempuran budaya modern yang menjanjikan kekotaan.

"Kami mengakui modernisme pun memengaruhi kami. Namun, satu hal yang selalu kami tekankan di sini, berkesenian tradisional bukan sekadar mbombong manah atau hiburan, tapi sebuah ekspresi yang mendorong untuk terus berinovasi dan berkreasi. Dari sinilah terbangun kebanggaan terhadap pementasan budaya lokal," ujar Yusmanto. (han/egi)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/28

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

PRODUKSI BATIK BANYUMASAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING