MENUMBUHKAN KESADARAN BUDAYA BANYUMAS UNTUK SONGSONG PEMBAHARUAN
Pertanyaan yang pertama kali muncul ketika membaca topik yang disodorkan oleh Panitia adalah, “Apakah yang dimaksud dengan Banyumas?” Apakah berarti wilayah? Apakah berati manusia? Apakah berarti pemerintahan? Setelah melewati saat-saat merenung, saya menemukan jawaban yang menurut saya paling tepat. Banyumas adalah imajinasi yang diawali oleh ide atau gagasan yang datang dari dalam otak manusia. Artinya, pokok pangkal ada atau tidak ada Banyumas ternyata bersumber dari otak manusia. Berawal dari otak inilah kemudian muncul gagasan tentang wilayah, tentang manusia, tentang peradaban, tentang nilai, tentang kebudayaan. Semua itu kemudian terangkum menjadi kekuatan cipta, rasa dan karsa dalam bentuk imajinasi, yang kemudian direpresentasikan melalui berbagai ragam perilaku dengan sentuhan nilai etik, nilai estetik dan nilai kemanusiaan yang berlaku secara lokal dan terbatas. Maka, kemudian lahirlah kebudayaan Banyumas yang bersumber dari tata nilai dan kebiasaan-kebiasaan hidup sebagaimana tercermin pada bahasa, kesenian, sistem religi, adat-istiadat dan lain-lain.
Kebudayaan Banyumas lahir di tengah-tengah jagad kehidupan sekelompok masyarakat yang hidup dengan pola tradisional-agraris, jauh dari hegemoni kekuasaan kraton. Sebagai ragam kebudayaan yang lahir di tengah kelompok masyarakat petani, kebudayaan Banyumas memiliki tipikal sederhana, bersahaja dan egaliter. Dalam pertumbuhannya, kebudayaan Banyumas mengalami tahapan-tahapan cultural encounter dengan berbagai ragam kebudayaan pendatang, antara lain: (1) kebudayaan Jawa, (2) kebudayaan Sunda, (3) Indianisasi (Hindu-Budha), (4) jaringan Asia (Islam dan Cina), dan (5) pembaratan (kolonial). Semua itu berpadu dalam satu osmosis yang paling tidak dapat dibedakan menjadi tiga fenomena, yaitu: (1) imposisi budaya, (2) asimilasi budaya, dan (3) adaptasi budaya. Imposisi budaya terjadi ketika kebudayaan asing berperan lebih dominan terhadap kebudayaan lokal yang mengakibatkan kebudayaan lokal semakin lama kian terkikis habis atau tergeser ke tepi hingga akhirnya mengalami kepunahan. Asimilasi budaya terjadi ketika nilai-nilai kebudayaan asing berkorelasi dengan nilai-nilai lokal tanpa meninggalkan wujud aslinya. Sedangkan adaptasi budaya terjadi ketika nilai-nilai pada kebudayaan asing diadopsi sebagai bagian tak terpisahkan dari nilai lokal.
Pergulatan budaya yang demikian ini masih dan akan terus terjadi sepanjang sebuah bangsa masih mengadakan kontak dengan bangsa lain. Terlebih lagi perubahan jaman yang telah mencapai tahap globalisasi, membawa akibat terjadinya konstelasi tanpa batas (borderless constelation) antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lain di seluruh belahan dunia. Peluangnya sama, yaitu terjadi tiga peluang: imposisi, asimilasi atau adaptasi. Tinggal mana yang lebih kuat, apakah kebuayaan asing, kebudayaan lokal atau keduanya sama-sama kuat. Masing-masing membawa konsekuensi logis terhadap eksistensi kebudayaan lokal dan masyarakat pendukungnya.
Kesadaran akan Idenitas Budaya
Usaha mewujudkan identitas kebudayaan lokal dewasa ini telah menjadi gejala yang semakin nyata, di berbagai belahan dunia. Misalnya di Jepang, desakan untuk moderenisasi sebagai suatu Westernisasi menimbulkan tiga tanggapan yang ditandai dengan munculnya isu-isu seperti kokuminsei (karakter nasional), kokusui (inti sari nasional), kokutai (struktur nasional), dan bahkan kokugaku yang mempunyai pengertian fraksi kanan, konservatif atau seorang reaksioner (Robert M. Bellah, 1999). Semua ini merupakan wujud kesadaran budaya yang melahirkan pemikiran perlunya usaha konkret menciptakan ketahanan budaya tanpa harus steril dari pengaruh asing. Jika modernisasi berjalan begitu saja tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lokal, niscaya perubahan yang terjadi akan tercerabut dari akar budaya masyarakatnya.
Di Jawa Tengah, tumbuhnya kesadaran akan identitas budaya pernah digulirkan oleh Gubernur H. Ismail pada era tahun 1980-an melalui konsep Identitas Jawa Tengah dengan berasumsi bahwa perkembangan menjadi lebih baru, menjadi lebih maju, menjadi lebih kaya, harus dilakukan tanpa kehilangan identitas, tanpa kehilangan kepribadian, tanpa kehancuran dasar kultural (Ismail, 1989:15). Pemikiran H. Ismail didasarkan pada fakta bahwa dalam kehidupannya, manusia Jawa senantiasa memiliki the within forces yang meliputi sikap mental, nilai hidup, cara berpikir, cara merasa, cara bertindak dan cara kerja, logika, estetika dan etika. The within forces tidak lain adalah nilai-nilai ke-Jawa-an yang merupakan warisan nenek-moyang.
Bagi kebudayan Banyumas, substansi perjuangan identitas diarahkan pada terciptanya citra dan karakter positif baik dari sisi kewilayahan maupun manusianya tanpa harus alergi terhadap perubahan. Dengan kata lain melalui perjuangan identitas, Banyumas harus lebih maju tanpa meninggalkan karakter budayanya yang terbuka (exposure), cablaka (transparancy) dan dinamis. Sebagai sebuah perjuangan, pastilah harus disertai dengan usaha (effort), perlawanan (resistensi) dan adanya pertahanan (defens) yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh pendukung kebudayaan Banyumas. Dengan demikian Banyumas akan mencapai wujud sebagai sebuah kekuatan yang memiliki daya tahan atas terpaan nilai-nilai asing yang terus-menerus membanjiri kehidupan sosial masyarakat Banyumas.
Menciptakan Kesadaran Budaya
Kesadaran budaya bukan diciptakan oleh arus besar kebudayaan, melainkan diawali dari setiap diri pribadi manusia Banyumas. Ketika seseorang yang mengaku menjadi orang Banyumas tetapi malu berbahasa Banyumasan atau merasa ketinggalan jaman ketika menonton lengger, maka artinya ia belum mampu menjadi orang Banyumas. Ia tetaplah seorang asing di negeri sendiri. Sikap semacam itu akan mengakibatkan perasaan keterasingan di lingkungan. Seorang warga Banyumas sudah semestinya menanamkan pada diri sendiri untuk memiliki rasa handarbeni (sense of belonging), rasa kecintaan dan kebanggaan terhadap aspek-aspek kearifan lokal Banyumas. Perasaan seperti itu dapat diawali dengan bertanya pada diri sendiri, “Siapa saya?” Jawaban yang diperoleh adalah tentang keadaan diri dan lingkungan sosial budaya yang menjadi tempat bernaung. Berdasarkan pertanyaan itu, paling tidak ada tindakan yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Reposisioning. Reposisioning adalah sebuah tindakan yang dilakukan untuk menempatkan diri dalam posisi yang benar, posisi yang seharusnya. Dalam konteks perkembangan sosial budaya, betapa banyak tawaran ragam kebudayaan asing yang menyilaukan mata. Semua itu telah membuat mata kita ”rabun”, tidak mampu memandang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Melalui reposisioning, maka kita akan back to basic terhadap kebudayaan milik sendiri yang merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Apabila hal itu dilakukan, maka kita akan melihat betapa ragam kearifan lokal Banyumas, memiliki kekuatan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dan mainstream dalam kehidupan politik, eskonomi dan sosial-budaya. Semua itu akan menjadi beteng budaya yang sangat kuat dalam mengantisipasi kekuatan-kekuatan asing yang menerpa kebudayaan lokal.
2. Menyadari kesalahan permanen. Setiap orang memiliki kesalahan permanen (Banyumas: angleh atau sangladan) yang menjadi trade mark negatif bagi dirinya. Sebagai contoh: orang itu pandai, tetapi sayang lebih Barat daripada orang Barat. Dalam wacana menumbuhkan kesadaran budaya, setiap angleh yang tidak selaras dengan kultur lokal adalah kesalahan permanen yang harus dapat diminalisir atau bahkan dihapus sama sekali. Dengan demikian dalam hidupnya akan menggunakan aspek-aspek kebudayaan lokal secara lebih dominan.
3. Berpikir positif. Dalam usaha menumbuhkan kesadaran budaya setiap orang harus senantiasa berpikir positif tentang segala sesuatu yang melekat di dalam kultur lokal. Setiap fenomena dan atau peristiwa budaya harus dapat dilacak sejauh mungkin nilai-nilai yang mendasarinya, sehingga akan diperoleh titik temu antara moral, logika dan rasa. Sebagai contoh, seseorang yang ngalap berkah di makam-makam kuno, seringkali dianggap sebagai perilaku syirik atau gugon-tuhon. Namun ternyata dari sisi logika dapat diperoleh jawaban logis, bahwa setiap orang memiliki kekuatan yang disebut eter, yang akan tetap hidup sekalipun orang itu sudah meninggal. Kekuatan eter itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian orang dalam mencapai cita-cita tertentu. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai totalitas kesadaran budaya diperlukan tahapan laku (tindakan) ning (menjernihkan pikiran) dan neng (konsentrasi). Melalui tahapan demikian, maka kita akan dapat menyusuri sejauh mungkin logika sehat orang-orang Banyumas pada masa lalu yang menjadi alasan atas tindakan-tindakan budaya yang banyak di antaranya masih dapat dijumpai hingga saat sekarang.
Manfaat Kesadaran Budaya
Pencapaian totalitas kesadaran budaya sangat bermanfaat bagi keutuhan diri seseorang dan dapat diberdayakan ke dalam berbagai tindakan positif.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim, 2002, Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Robert M. Bellah, 1999, Cultural Identity and Asian Modernization, Institute for Japanese Culture and Classics, Kokugakuin University.
Ismail, 1989, “Naskah Pidato Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah”, disampaikan pada Pembukaan Latihan Ketrampilan Manajemen Mahasiswa (LKMM) Tingkat Menengah Perguruan Tinggi dan Swasta se-Wilayah B, diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro Semarang, di Bandungan-Ambarawa, tanggal 17 Nopember 1989.
Kebudayaan Banyumas lahir di tengah-tengah jagad kehidupan sekelompok masyarakat yang hidup dengan pola tradisional-agraris, jauh dari hegemoni kekuasaan kraton. Sebagai ragam kebudayaan yang lahir di tengah kelompok masyarakat petani, kebudayaan Banyumas memiliki tipikal sederhana, bersahaja dan egaliter. Dalam pertumbuhannya, kebudayaan Banyumas mengalami tahapan-tahapan cultural encounter dengan berbagai ragam kebudayaan pendatang, antara lain: (1) kebudayaan Jawa, (2) kebudayaan Sunda, (3) Indianisasi (Hindu-Budha), (4) jaringan Asia (Islam dan Cina), dan (5) pembaratan (kolonial). Semua itu berpadu dalam satu osmosis yang paling tidak dapat dibedakan menjadi tiga fenomena, yaitu: (1) imposisi budaya, (2) asimilasi budaya, dan (3) adaptasi budaya. Imposisi budaya terjadi ketika kebudayaan asing berperan lebih dominan terhadap kebudayaan lokal yang mengakibatkan kebudayaan lokal semakin lama kian terkikis habis atau tergeser ke tepi hingga akhirnya mengalami kepunahan. Asimilasi budaya terjadi ketika nilai-nilai kebudayaan asing berkorelasi dengan nilai-nilai lokal tanpa meninggalkan wujud aslinya. Sedangkan adaptasi budaya terjadi ketika nilai-nilai pada kebudayaan asing diadopsi sebagai bagian tak terpisahkan dari nilai lokal.
Pergulatan budaya yang demikian ini masih dan akan terus terjadi sepanjang sebuah bangsa masih mengadakan kontak dengan bangsa lain. Terlebih lagi perubahan jaman yang telah mencapai tahap globalisasi, membawa akibat terjadinya konstelasi tanpa batas (borderless constelation) antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lain di seluruh belahan dunia. Peluangnya sama, yaitu terjadi tiga peluang: imposisi, asimilasi atau adaptasi. Tinggal mana yang lebih kuat, apakah kebuayaan asing, kebudayaan lokal atau keduanya sama-sama kuat. Masing-masing membawa konsekuensi logis terhadap eksistensi kebudayaan lokal dan masyarakat pendukungnya.
Kesadaran akan Idenitas Budaya
Usaha mewujudkan identitas kebudayaan lokal dewasa ini telah menjadi gejala yang semakin nyata, di berbagai belahan dunia. Misalnya di Jepang, desakan untuk moderenisasi sebagai suatu Westernisasi menimbulkan tiga tanggapan yang ditandai dengan munculnya isu-isu seperti kokuminsei (karakter nasional), kokusui (inti sari nasional), kokutai (struktur nasional), dan bahkan kokugaku yang mempunyai pengertian fraksi kanan, konservatif atau seorang reaksioner (Robert M. Bellah, 1999). Semua ini merupakan wujud kesadaran budaya yang melahirkan pemikiran perlunya usaha konkret menciptakan ketahanan budaya tanpa harus steril dari pengaruh asing. Jika modernisasi berjalan begitu saja tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lokal, niscaya perubahan yang terjadi akan tercerabut dari akar budaya masyarakatnya.
Di Jawa Tengah, tumbuhnya kesadaran akan identitas budaya pernah digulirkan oleh Gubernur H. Ismail pada era tahun 1980-an melalui konsep Identitas Jawa Tengah dengan berasumsi bahwa perkembangan menjadi lebih baru, menjadi lebih maju, menjadi lebih kaya, harus dilakukan tanpa kehilangan identitas, tanpa kehilangan kepribadian, tanpa kehancuran dasar kultural (Ismail, 1989:15). Pemikiran H. Ismail didasarkan pada fakta bahwa dalam kehidupannya, manusia Jawa senantiasa memiliki the within forces yang meliputi sikap mental, nilai hidup, cara berpikir, cara merasa, cara bertindak dan cara kerja, logika, estetika dan etika. The within forces tidak lain adalah nilai-nilai ke-Jawa-an yang merupakan warisan nenek-moyang.
Bagi kebudayan Banyumas, substansi perjuangan identitas diarahkan pada terciptanya citra dan karakter positif baik dari sisi kewilayahan maupun manusianya tanpa harus alergi terhadap perubahan. Dengan kata lain melalui perjuangan identitas, Banyumas harus lebih maju tanpa meninggalkan karakter budayanya yang terbuka (exposure), cablaka (transparancy) dan dinamis. Sebagai sebuah perjuangan, pastilah harus disertai dengan usaha (effort), perlawanan (resistensi) dan adanya pertahanan (defens) yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh pendukung kebudayaan Banyumas. Dengan demikian Banyumas akan mencapai wujud sebagai sebuah kekuatan yang memiliki daya tahan atas terpaan nilai-nilai asing yang terus-menerus membanjiri kehidupan sosial masyarakat Banyumas.
Menciptakan Kesadaran Budaya
Kesadaran budaya bukan diciptakan oleh arus besar kebudayaan, melainkan diawali dari setiap diri pribadi manusia Banyumas. Ketika seseorang yang mengaku menjadi orang Banyumas tetapi malu berbahasa Banyumasan atau merasa ketinggalan jaman ketika menonton lengger, maka artinya ia belum mampu menjadi orang Banyumas. Ia tetaplah seorang asing di negeri sendiri. Sikap semacam itu akan mengakibatkan perasaan keterasingan di lingkungan. Seorang warga Banyumas sudah semestinya menanamkan pada diri sendiri untuk memiliki rasa handarbeni (sense of belonging), rasa kecintaan dan kebanggaan terhadap aspek-aspek kearifan lokal Banyumas. Perasaan seperti itu dapat diawali dengan bertanya pada diri sendiri, “Siapa saya?” Jawaban yang diperoleh adalah tentang keadaan diri dan lingkungan sosial budaya yang menjadi tempat bernaung. Berdasarkan pertanyaan itu, paling tidak ada tindakan yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Reposisioning. Reposisioning adalah sebuah tindakan yang dilakukan untuk menempatkan diri dalam posisi yang benar, posisi yang seharusnya. Dalam konteks perkembangan sosial budaya, betapa banyak tawaran ragam kebudayaan asing yang menyilaukan mata. Semua itu telah membuat mata kita ”rabun”, tidak mampu memandang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Melalui reposisioning, maka kita akan back to basic terhadap kebudayaan milik sendiri yang merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Apabila hal itu dilakukan, maka kita akan melihat betapa ragam kearifan lokal Banyumas, memiliki kekuatan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dan mainstream dalam kehidupan politik, eskonomi dan sosial-budaya. Semua itu akan menjadi beteng budaya yang sangat kuat dalam mengantisipasi kekuatan-kekuatan asing yang menerpa kebudayaan lokal.
2. Menyadari kesalahan permanen. Setiap orang memiliki kesalahan permanen (Banyumas: angleh atau sangladan) yang menjadi trade mark negatif bagi dirinya. Sebagai contoh: orang itu pandai, tetapi sayang lebih Barat daripada orang Barat. Dalam wacana menumbuhkan kesadaran budaya, setiap angleh yang tidak selaras dengan kultur lokal adalah kesalahan permanen yang harus dapat diminalisir atau bahkan dihapus sama sekali. Dengan demikian dalam hidupnya akan menggunakan aspek-aspek kebudayaan lokal secara lebih dominan.
3. Berpikir positif. Dalam usaha menumbuhkan kesadaran budaya setiap orang harus senantiasa berpikir positif tentang segala sesuatu yang melekat di dalam kultur lokal. Setiap fenomena dan atau peristiwa budaya harus dapat dilacak sejauh mungkin nilai-nilai yang mendasarinya, sehingga akan diperoleh titik temu antara moral, logika dan rasa. Sebagai contoh, seseorang yang ngalap berkah di makam-makam kuno, seringkali dianggap sebagai perilaku syirik atau gugon-tuhon. Namun ternyata dari sisi logika dapat diperoleh jawaban logis, bahwa setiap orang memiliki kekuatan yang disebut eter, yang akan tetap hidup sekalipun orang itu sudah meninggal. Kekuatan eter itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian orang dalam mencapai cita-cita tertentu. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai totalitas kesadaran budaya diperlukan tahapan laku (tindakan) ning (menjernihkan pikiran) dan neng (konsentrasi). Melalui tahapan demikian, maka kita akan dapat menyusuri sejauh mungkin logika sehat orang-orang Banyumas pada masa lalu yang menjadi alasan atas tindakan-tindakan budaya yang banyak di antaranya masih dapat dijumpai hingga saat sekarang.
Manfaat Kesadaran Budaya
Pencapaian totalitas kesadaran budaya sangat bermanfaat bagi keutuhan diri seseorang dan dapat diberdayakan ke dalam berbagai tindakan positif.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim, 2002, Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Robert M. Bellah, 1999, Cultural Identity and Asian Modernization, Institute for Japanese Culture and Classics, Kokugakuin University.
Ismail, 1989, “Naskah Pidato Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah”, disampaikan pada Pembukaan Latihan Ketrampilan Manajemen Mahasiswa (LKMM) Tingkat Menengah Perguruan Tinggi dan Swasta se-Wilayah B, diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro Semarang, di Bandungan-Ambarawa, tanggal 17 Nopember 1989.
Comments
Post a Comment