KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN KESENIAN GUNA MEMBANGUN IDENTITAS BUDAYA BANYUMAS

Mengukuhkan Identitas Kebudayaan Banyumas

Pembangunan kebudayaan lokal dewasa ini telah menjadi gejala yang semakin nyata, di berbagai belahan dunia. Pada umumnya, pembangunan kebudayaan lokal diarahkan bagi tercapainya identitas suatu komunitas masyarakat atau bangsa. Misalnya di Jepang, desakan untuk moderenisasi sebagai suatu Westernisasi menimbulkan tiga tanggapan yang ditandai dengan munculnya isu-isu seperti kokuminsei (karakter nasional), kokusui (inti sari nasional), kokutai (struktur nasional), dan bahkan kokugaku yang mempunyai pengertian fraksi kanan, konservatif atau seorang reaksioner.[1] Semua ini merupakan suatu bentuk sintesa dalam wacana modernisasi yang sering diartikan sebagai Westernisasi akan perlunya usaha konkret guna menciptakan ketahanan budaya tanpa harus steril dari pengaruh asing. Apabila modernisasi berjalan begitu saja tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lokal, niscaya perubahan yang terjadi akan tercerabut dari akar budaya masyarakatnya.
Di Jawa Tengah, tumbuhnya kesadaran akan identitas budaya pernah digulirkan oleh Gubernur Ismail pada era tahun 1980-an melalui konsep Identitas Jawa Tengah. Pada salah satu pidatonya, Ismail mengungkapkan persoalan identitas, sebagai berikut:

"Sekali lagi, akulturasi dan enkulturasi (sic!), adalah sendi-sendi pokok di dalam kehidupan sosial budaya kita. Kita akan berkembang menjadi lebih baru, menjadi lebih maju, menjadi lebih kaya, akan tetapi tanpa kehilangan identitas, tanpa kehilangan kepribadian, tanpa kehancuran dasar kultural."[2]

Petikan naskah pidato di atas menunjukkan adanya upaya Pemerintah Propinsi/Dati I Jawa Tengah agar dalam wacana persilangan budaya, masyarakat Jawa Tengah tidak kehilangan identitas, kepribadian, serta terjadinya kehancuran dasar kultural. Pada bagian lain dari naskah tersebut dijelaskan tentang the within forces dari kehidupan manusia yang meliputi sikap mental, nilai hidup, cara berpikir, cara merasa, cara bertindak dan cara kerja, logika, estetika dan etika. The within forces tidak lain adalah nilai-nilai ke-Jawa-an yang merupakan warisan nenek-moyang. Dalam kacamata pandang wawasan identitas Jawa Tengah diharapkan keseluruhan aspek dari the within forces tersebut dapat senantiasa terwujud pada perilaku, karakter dan tata kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Tengah.
Banyumas sebagai salah satu kawasan budaya[3] di luar konteks kebudayaan Jawa (kraton), kiranya sangat perlu mengukuhkan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Ini diperlukan adanya perjuangan (struggle) membangun identitas sebagai bentuk resistensi sekaligus reaksi atas kekuatan-kekuatan dari luar. Perjuangan demikian terlebih dahulu harus didasari oleh proses kesadaran sebagai wong Banyumas guna mengukuhkan diri sebagai sebuah bangsa yang berkarakter.
Usaha perjuangan identitas Banyumas masa kini tentu saja berbeda masa lalu yang lebih dibangun oleh semangat kerakyatan dari sebuah komunitas masyarakat pinggiran yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Identitas yang dibangun saat ini adalah Banyumas sebagai kawasan budaya yang tidak alergi terhadap perubahan. Banyumas yang lebih maju, tanpa meninggalkan karakter budayanya yang exposure (terbuka), cablaka (transparan) dan dinamis. Pola-pola impian masa depan seperti inilah yang perlu digelorakan untuk mewujudkan Banyumas yang berkarakter dan bermartabat.
Perjuangan mewujudkan kembali identitas Banyumas memang layak dilakukan. Hal ini mengingat dalam perjalanan hidupnya, kultur Banyumas sejak lama senantiasa berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Pada masa kejayaan kerajaan (Jawa), kebudayaan Banyumas lebih berada dalam posisi sub-ordinasi sebagai sub-kultur dari kebudayaan Jawa yang dikembangkan di wilayah negarigung. Sebagai wilayah sub-kultur, pertumbuhan kebudayaan Banyumas berada dalam determinasi, yang dapat dirasakan dalam ranah psiko-sosial maupun sosial-psikologis. Dampak determinasi dalam praktek kehidupan sosial, mungkin lebih dirasakan hanya saat peristiwa berlangsung. Yang paling parah adalah dampak psikologis, karena terjadi pada tataran alam bawah sadar yang memungkinkan berlangsung dalam tempo yang sangat panjang.
Ketika kekuasaan kraton melemah, ternyata tidak banyak mengubah keadaan. Determinasi terhadap kebudayaan Banyumas kemudian datang dari pengaruh asing yang datang melalui era modernismenya. Dalam konteks ini, yang dirambah arus modernisasi tidak hanya Banyumas, tetapi lebih dalam konteks Indonesia. Seperti yang diungkapkan Ninok Leksono, di tengah kepungan perubahan global terdapat beberapa hal yang berpengaruh terhadap Indonesia, antara lain: (1) pengaruh sosial politik dunia, (2) pengaruh ekonomi dunia, (3) pengaruh teknologi mutakhir, dan (4) pengaruh globalisasi.[4] Keempat pengaruh ini juga terjadi di Banyumas dan terbukti mampu mengubah berbagai sisi dari tatanan kehidupan masyarakat setempat.
Berbagai macam determinasi terhadap eksistensi kebudayaan Banyumas sesungguhnya tidak begitu saja menghilangkan warna dan identitas ke-Banyumas-an. Di tengah kehidupan masyarakat Banyumas masih bisa ditemukan puing-puing atau serpihan nilai-nilai yang memungkinkan dibangun kembali menjadi semangat yang relevan untuk jaman sekarang. Kesadaran penginyongan, misalnya, yakni kesadaran kolektif orang Banyumas sebagai komunitas non-priyayi bisa dibangun menjadi semangat kerakyatan, hingga saat ini masih tumbuh subur di lingkungan kehidupan sehari-hari masyarakat Banyumas. Ahmad Tohari bahkan secara tegas mengemukakan bahwa jiwa penginyongan, bila dikelola dan dikembangkan secara baik dapat mengikis budaya feodal Jawa yang harus sudah ditinggalkan karena tidak sesuai lagi dengan pembangunan demokrasi[5]. Ini disebabkan akar kebudayaan Banyumas dibangun dari kehidupan rakyat jelata yang dijiwai oleh sikap jujur, kebersamaan, kesahajaan dan keterbukaan.
Membangkitkan kebanggaan Banyumas yang telah lama runtuh memang tidaklah mudah. Namun kesadaran individu maupun kolektif wong Banyumas yang lambat laun mulai tumbuh dapat menjadi modal yang sangat berharga untuk membangun serpihan-serpihan tersebut ke dalam sebuah ‘bangunan’ identitas Banyumas dengan warna kekinian. Usaha membangkitkan kembali identitas Banyumas tidak lain adalah membangkitkan totalitas karakter yang tinggal menetap di dalam setiap diri pribadi masyarakat Banyumas dalam konteks kebudayaan dan peradaban masa kini dan masa yang akan datang. Nilai-nilai budaya sebagaimana tercermin melalui ide-ide, tindakan maupun hasil karya dari tindakan diharapkan dapat ditampakkan pada ‘tampilan perwajahan’ yang dapat diketahui kehadirannya melalui panca indera serta keseluruhan karakter yang lebih bersifat psikologis. Dengan demikian Banyumas sebenarnya bukan sekedar menunjuk wilayah, tetapi juga manusia, sekaligus mind set manusia yang menghuni wilayah tersebut.
Citra dan karakter kebudayaan Banyumas sebagai kebudayaan kaum penginyongan paling mudah dijumpai melalui bahasa dan kesenian lokal yang tumbuh di wilayah ini. Seperti pepatah, “Bahasa menunjukkan bangsa”, maka bahasa Jawa dialek Banyumasan yang digunakan sebagai media komunikasi oleh masyarakat setempat juga menunjukkan tipikal, citra, karakter dan identitas penggunanya. Sedangkan pada wujud kesenian dapat dilihat karakter eskpresi keindahan estetik masyarakat Banyumas yang diwujudkan dalam pola dan bentuk yang sederhana serta tampil apa adanya. Jennifer Lindsay menyatakan bahwa kesenian tradisional menjadi suatu ciri dalam identitas serta cermin kepribadian masyarakat pendukungnya.[6] Pendapat Jennifer Lindsay menunjukkan adanya kekuatan di dalam kesenian tradisional yang mampu mewadahi totalitas karakter individu dan kelompok masyarakat Banyumas. Dengan demikian ragam kesenian lokal yang tumbuh-berkembang di Banyumas merupakan wujud gambaran diri pribadi ataupun kelompok sosial masyarakat pendukungnya.
Wujud keinginan Pemerintah Kabupaten Banyumas melaksanakan pembangunan yang berwawasan identitas budaya kembali tercermin pada visi Kabupaten Banyumas tahun 2002-2006 yang berbunyi, “Kabupaten Banyumas mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera, terpenuhinya pelayanan dasar secara adil dan transparan, yang didukung dengan pemerintahan yang baik dan aparat yang bersih dengan tetap mempertahankan budaya Banyumasan.” Penuangan term “tetap mempertahankan budaya Banyumasan” pada visi ini menunjukkan goodwill Pemerintah Kabupaten Banyumas terhadap eksistensi identitas lokal dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Dengan adanya visi yang demikian ini tentu saja membawa konsekuensi logis dalam pelaksanaan pembangunan daerah, yakni upaya mempertahankan budaya Banyumasan menjadi salah satu tujuan pembangunan.
Wujud identitas kebudayaan Banyumas dapat diwujudkan melalui usaha memadukan konsep lama dan konsep kekinian. Konsep lama tercermin pada spirit masyarakat penginyongan dalam wujud semangat kerakyatan yang dibangun dari pola kehidupan tradisional-agraris. Sedangkan semangat kekinian dijiwai oleh nilai-nilai modernisme yang berakar pada konsep berpikir yang rasional, efektif, efisien dan terstruktur. Semua itu diarahkan pada terciptanya kebudayaan Banyumas yang mengindonesia serta kehidupan masyarakat yang berbudaya dan bermartabat dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal warisan nenek-moyang.

Lembaga Pendidikan Kesenian: Antara Harapan dan Kenyataan

Dalam pengertian yang luas, pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala siatuasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Sedangkan dalam arti sempit pendidikan dapat diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di sekolah yang merupakan lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan dan tugas-tugas sosial mereka.[7] Pendidikan menyangkut tiga unsur pokok, yaitu unsur masukan, unsur proses usaha itu sendiri, dan unsur hasil usaha.[8] Masukan usaha pendidikan adalah peserta didik dengan berbagai ciri yang ada pada diri peserta didik itu sendiri (antara lain: bakat, minat, kemampuan dan keadaan jasmani). Dalam proses pendidikan terkait berbagai hal, seperti pendidik, kurikulum, gedung sekolah, buku, metode mengajar, dan lain-lain. Adapun hasil pendidikan dapat meliputi hasil belajar (berupa pengetahuan, sikap dan ketrampilan) setelah selesainya suatu proses belajar mengajar tertentu.
Arah pembelajaran kesenian di sekolah dewasa ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: pendidikan melalui seni dan seni dalam pendidikan. Pendidikan melalui seni memposisikan kesenian sebagai media pendidikan. Peserta didik tidak diarahkan menjadi seniman, melainkan lebih berorientasi pada pengenalan dan pemahaman tentang keindahan, media estetik, penampilan estetik dan nilai estetik. Ini berlaku pada pembelajaran kesenian di setiap satuan pendidikan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Pelaksanaan pendidikan melalui seni dapat dilakukan melalui kegiatan intrakurikuler, ko-kurikuler maupun ekstrakurikuler. Hasil dari pembelajaran umumnya direpresentasikan melalui lomba-lomba seni secara berjenjang maupun pergelaran kesenian.
Arah pembelajaran kesenian yang memposisikan seni dalam pendidikan berlaku pada sekolah-sekolah kejuruan yang menempatkan kesenian sebagai bidang kajian. Maka lahirlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kelompok Seni Pertunjukan. Input dari SMK Kelompok Seni Pertunjukan adalah lulusan SMP. Oleh karena itu hidup dan matinya jenis sekolah yang satu ini sangat bergantung pada keberhasilan pendidikan melalui seni yang dilaksanakan sejak SD hingga SMP. Apresiasi dan pengalaman berkesenian siswa yang terjadi pada dua jenjang pendidikan ini sangat mempengaruhi minat masuk ke SMK Kelompok Seni Pertunjukan.
Kurikulum yang dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan pembelajaran di SMK Kelompok Seni Pertunjukan adalah Kurikulum SMK Edisi 2006 yang selanjutnya lazim disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini berorientasi pada pengembangan potensi di tiap-tiap Satuan Pendidikan (sekolah), disesuaikan dengan kepentingan daerah, baik tingkat propinsi maupun kota/kabupaten, dan lingkungan di mana sekolah berada. Sinkronisasi kurikulum dapat dilakukan dengan ruang lingkup antara lain: (1) menyesuaikan ruang lingkup kompetensi dengan kebutuhan institusi pasangan dalam maupun luar negeri, (2) menambah atau mengurangi topik/materi pembelajaran, dan (3) penyesuaian cara pencapaian standar kompetensi dengan situasi serta kondisi daerah dan lingkungan di mana sekolah berada.
Penyelenggaraan pembelajaran pada SMK Seni Pertunjukan sebagai salah satu lembaga pendidikan kejuruan adalah untuk membekali tamatan menjadi pelaku dalam seni pertunjukan yang terdidik dan profesional. Di dalam KTSP disebutkan ciri pelatihan pada SMK Seni Pertunjukan, sebagai berikut:
1. Pemberian kemampuan dasar yang kokoh, kuat dan luas (broad base) agar tamatan memiliki fleksibilitas dan gaya adaptibilitas yang tinggi dalam pengembangan karirnya.
2. Kemampuan yang akan dicapai oleh siswa diwujudkan dalam bentuk profil kemampuan (kompetensi) yang sesuai dengan tuntutan kompetensi dalam dunia usaha/dunia industri/dunia kerja (competency base).
3. Susunan materi/bahan ajar didasarkan pada tahapan terstruktur dengan memperhatikan aspek alat, bahan, peraga, pengetahuan teori dan ketrampilan praktek dari tiap-tiap tahap harus dikuasai secara tuntas oleh setiap siswa (mastery learning).
4. Pembentukan kemampuan memperagakan, menata, membuat dan menciptakan produk yang layak pasar (praktis, estetis dan ekonomis) melalui produksi secara terus-menerus (production base-learning by doing).
5. Penguatan potensi kreatif melalui pemahaman proses kerja (problem solving).
Pelaksanaan KTSP dirancang menggunakan lima macam pendekatan antara lain:
1. Pendekatan akademik. Pendekatan ini memandang kurikulum sebagai perangkat pendidikan yang secara sadar dirancang sesuai dengan kaidah-kaidah yang harus diikuti dalam penyusunannya. Beberapa kaidah tersebut antara lain: berisi rancangan pendidikan dan pelatihan yang menyeluruh dan terpadu; mengandung komponen tujuan, isi atau materi dan evaluasi yang dirancang menjadi satu kesatuan yang utuh; dan menunjukkan tujuan langsung (tersurat) dan tujuan tidak langsung (tersirat).
2. Pendekatan kecakapan hidup (life skills). Di dalam pendekatan ini, kurikulum dipandang sebagai perangkat yang bisa menjembatani kesenjangan antara sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat. Pendekatan ini berorientasi pada usaha pembekalan peserta didik dengan kecakapan hidup (life skills) agar dapat mengenal dengan baik dunianya dan dapat hidup wajar di masyarakat. Kecakapan hidup yang dimaksud oleh KTSP meliputi: (a) kecakapan personal (personal skills), (b) kecakapan sosial (social skills), (c) kecakapan akademik (academic skills), dan kecakapan vokasional (vocational skills).
3. Pendekatan kurikulum berbasis kompetensi (Competency-based curriculum). Pendekatan ini berasumsi bahwa pelaksanaan kurikulum merupakan usaha pencapaian kompetensi siswa. Di sini kompetensi mengandung makna kemampuan seseorang yang disyaratkan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu pada dunia kerja dan ada pengakuan resmi atas kemampuan tersebut. Di dalam KTSP disebutkan lingkup pendidikan menengah kejuruan adalah: (a) sebagai rancangan pendidikan dan pelatihan yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi yang berlaku di tempat kerja, (b) subtansi kompetensi memuat pernyataan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) dan sikap (attitude), (c) isi atau materi kurikulum yang dirancang dengan pendekatan berbasis kompetensi di organisasi dengan sistem modular (satuan utuh), ditata secara sekuensial dan sistemik, dan (d) ada korelasi langsung antara penjenjangan jabatan pekerjaan di dunia kerja dengan pentahapan pencapaian kompetensi di SMK.
4. Pendekatan kurikulum berbasis luas dan mendasar (broad-based curriculum). Dalam hal ini kurikulum berupa rancangan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memahami dan menguasahi konsep, prinsip dan keilmuan yang melandasi suatu bidang keahlian. Arah yang dituju adalah peserta didik tidak hanya memahami dan menguasahi “apa” (know what) dan “bagaimana” (know how) suatu pekerjaan dilakukan, tetapi harus sampai kepada pemahaman dan penguasaan tentang “mengapa” (know why) dilakukan. Oleh karena itu pengembangan kurikulum diarahkan agar peserta didik dapat beradaptasi dan mengalihkan atau transfer kompetensi, pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan lain yang dimiliki ke dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
5. Pendekatan kurikulum berbasis produksi (production based curriculum). Pendekatan ini memandang bahwa kegiatan pendidikan dan pelatihan yang menyatu pada proses produksi atau menggunakan proses produksi sebagai media pembelajaran. Pendekatan ini bertujuan memperkenalkan peserta didik dengan iklim kerja yang nyata. Di dalam KTSP disebutkan bahwa pendekatan kurikulum berbasis produksi dilaksanakan dengan cara: (a) di industri, peserta didik bekerja, mendapat pelatihan dan pengalaman nyata melalui keterlibatan langsung dalam proses produksi sebagai media pendidikan, (b) di sekolah, peserta didik dilibatkan dalam proses produksi di unit produksi sekolah, dan (c) di sekolah peserta didik berpraktek di ruang praktek yang menerapkan mekanisme produksi, sehingga tercipta suasana kerja seperti di industri. pelatihan harus menghasilkan produk yang memenuhi standar industri dan layak jual.
Dalam pelaksanaan program pendidikan kesenian, hingga saat ini masih menemukan permasalahan yang belum sepenuhnya terpecahkan, meliputi input, proses maupun output. Persoalan paling mendasar pada input adalah minimnya jumlah lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berminat melanjutkan ke SMK Seni Pertunjukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Rendahnya apresiasi generasi muda terhadap ragam kesenian lokal.
2. Bidang kesenian belum menjadi sektor sektor unggulan dalam pembangunan nasional/daerah yang mengakibatkan SMK Seni Pertunjukan belum menjadi prioritas pilihan dalam melanjutkan sekolah.
3. Keragu-raguan masyarakat dalam memilih profesi di bidang seni sebagai sebuah profesi yang menjanjikan, dipandang dari sisi finansial maupun prestise dalam kehidupan sosial.
4. Adanya anggapan lulusan sekolah seni memiliki lahan pekerjaan yang terbatas.
5. Adanya “dosa turunan” tentang citra negatif seniman dalam kehidupan sosial.
Pada tahap proses belajar-mengajar di bidang kesenian, hingga saat ini belum ditemukan formulasi yang sungguh-sungguh tepat, efektif dan efisien guna menghasilkan output yang diharapkan. Hal ini mengingat pendidikan kesenian memiliki sifat yang berbeda dengan pendidikan teori atau pengetahuan umum. Menurut Humardani, pendidikan kesenian berorientasi pada keterampilan teknik dan kemasakan rasa seni yang hanya dapat dicapai dengan memasuki suatu wujud seni nyata.[9] Sementara itu Umar Kayam menerangkan bahwa pendidikan kesenian melibatkan dua unsur sekaligus secara bersamaan. Di satu pihak dibutuhkan unsur kreatif, ilham dan pencerahan, sedangkan di pihak lain melibatkan unsur pertukangan, ketrampilan dan teknis.[10] Dalam kenyataannya sulit menetapkan kapan kreativitas dan pertukangan itu muncul. Di dalam praktek kesenian agaknya praktek kedua unsur tersebut saling membelit secara dialektis. Kreativitas, ilham dan pencerahan akan selalu sangat penting dalam memulai suatu terobosan penciptaan. Akan tetapi begitu terobosan ide itu harus segera diikuti dengan ketrampilan yang kemudian berkembang menjadi semacam rutinisasi atau organisasi dari terobosan ide tersebut. Ketrampilan itu dapat mengandung terobosan ide juga sering disebut insting-insting untuk teknik-teknik tertentu.
Pendidikan kesenian sebagai proses belajar-mengajar sesungguhnya tidak lepas dari tiga domain yang menurut Benjamin S. Bloom meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik.[11] Ketiga domain ini secara serentak harus berlangsung efektif agara mencapai hasil berupa kemampuan berkesenian yang ideal. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Abu Ahmadi bahwa paling tidak ada tiga gejala yang berpengaruh terhadap setiap individu siswa dalam upayanya mencapai tingkat kemampuan tertentu, antara lain kognisi, emosi dan konasi.[12] Gejala kognisi merupakan gejala pengenalan yang diperoleh melalui penginderaan dan pengamatan, tanggapan, reproduksi dan asosiasi, ingatan (memory), fantasi, berpikir (thinking), intelegensi (kecerdasan), intuisi, serta pengamatan melalui panca indera. Gejala emosi (perasaan) yaitu suatu keadaan kerokhanian atau peristiwa kejiwaan yang dialami seseorang berhubungan dengan peristiwa mengenal dan bersifat subyektif. Adapun gejala konasi (kemauan) yaitu fungsi kejiwaan manusia, dapat diartikan sebagai aktivitas psikis yang mengandung usaha aktif dan berhubungan dengan pelaksanaan suatu tujuan.
Pengertian tentang kemampuan dijelaskan oleh Stephen P. Robin sebagai kapasitas individu yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental dan tugas dalam suatu pekerjaan, sebagai suatu daya untuk melakukan suatu tindakan yang berupa hasil dari pembawaan atau latihan[13]. Di sini dapat diperoleh pengertian bahwa kemampuan yang diharapkan dicapai oleh setiap output SMK Seni Pertunjukan berkaitan dengan kapasitas individu dalam menjalankan kegiatan mental dan mengerjakan suatu pekerjaan seni pertunjukan. Oleh karena itu setiap siswa SMK Seni Pertunjukan harus memiliki kemampuan mengembangkan daya kreatif, mengkomunikasikan serta menyajikan karya seni pertunjukan yang telah dipelajari selama mengikuti proses pendidikan.
Kemampuan optimal yang dimiliki oleh siswa SMK Seni Pertunjukan sesungguhnya tidak hanya bertumpu pada seberapa efektif dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Menurut Benjamin Brinner, perbedaan kemampuan selain dikembangkan di dalam pelatihan khusus juga berhubungan dengan:
1. Daerah. "Daerah" digunakan dengan bebas di sini di dalam pengenalan menyangkut pentingnya kedekatan fisik dan face-to-face ekspose di dalam komunitas seni sebagai basis untuk pengembangan variasi yang membedakan unsur-unsur di dalam proses berkesenian.
2. Historis. "Historis" variasi meliputi gaya yang berkembang, meliputi perubahan pada aspek pengetahuan kesenian dan praktek seperti distribusi kemampuan di dalam masyarakat.
3. Pengalaman. "Pengalaman" di sini berkaitan dengan usia, pendidikan, dan hubungan dengan orang lain.[14]
Pengertian tentang kemampuan diungkapkan oleh Wordth dan Marquis bahwa mengacu pada tiga arti, yaitu achivement, capacity dan aptitude[15]. Achivement atau prestasi adalah kemampuan aktual (actual ability) yang diukur langsung melalui tes tertentu. Capacity atau kapasitas (potential ability) adalah kemampuan potensial yang dapat diukur secara tidak langsung melalui pengukuran terhadap kecakapan individu, dan kecakapan tersebut bwerkembang sebagai perpaduan antara kemampuan dasar yang diperoleh melalui latihan intensif dan pengalaman. Aptitude atau bakat adalah kemampuan yang hanya dapat diungkapkan dan diukur dengan tes khusus yang sengaja dibuat untuk itu.
Output SMK Seni Pertunjukan, dengan mengacu pada landasan ekonomis KTSP mempertimbangkan bahwa pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan yang menyiapkan peserta didik menjadi manusia yang produktif, yang langsung dapat bekerja di bidangnya setelah melalui pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi. Pendidikan menengah kejuruan harus dijalankan atas dasar prinsip investasi SDM (human capital investment). Semakin tinggi kualitas pendidikan dan pelatihan yang diperoleh seseorang, akan semakin produktif orang tersebut.[16] Di dalam Kurikulum ini disebutkan bahwa keberadaan SMK ditujukan untuk terlaksananya penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) berbagai program keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Program keahlian tersebut dikelompokkan menjadi bidang keahlian sesuai dengan kelompok bidang industri/usaha/keahlian. Substansi atau materi yang diajarkan di SMK disajikan dalam bentuk berbagai kompetensi yang dinilai penting bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan, sesuai dengan jamannya.
Output SMK Seni Pertunjukan apabila benar-benar sesuai dengan cita-cita KTSP sesungguhnya sangat ideal. Penyelenggaraan pembelajaran pada SMK Seni Pertunjukan sebagai salah satu lembaga pendidikan kejuruan adalah untuk membekali tamatan menjadi pelaku dalam seni pertunjukan yang terdidik dan profesional. Landasan filosofis yang mendasari KTSP adalah pemikiran bahwa pendidikan merupakan salah satu wujud kebudayaan yang selalu tumbuh dan berkembang, tetapi ada kalanya mengalami penurunan kualitas sehingga hancur perlahan-lahan seiring dengan perkembangan jaman. Selain itu, secara filosofis penyusunan KTSP juga mempertimbangkan perkembangan psikologis peserta didik dan perkembangan kehidupan sosial-budaya masyarakat. Pertimbangan psikologis didasarkan pada pemikiran bahwa setiap manusia mengalami perkembangan psikologis sesuai dengan pertambahan usia dan berbagai faktor lainnya yang meliputi latar belakang pendidikan, ekonomi keluarga dan lingkungan pergaulan. Semua itu memungkinkan terjadinya perbedaan dimensi fisik, intelektual, emosional dan spiritual. Adapun pertimbangan sosial budaya didasarkan pada pemikrian bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
KTSP juga didasarkan pada landasan ekonomis yang mempertimbangkan bahwa pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan yang menyiapkan peserta didik menjadi manusia yang produktif, yang langsung dapat bekerja di bidangnya setelah melalui pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi. Pendidikan menengah kejuruan harus dijalankan atas dasar prinsip investasi SDM (human capital investment). Semakin tinggi kualitas pendidikan dan pelatihan yang diperoleh seseorang, akan semakin produktif orang tersebut.[17] Di dalam Kurikulum ini disebutkan bahwa keberadaan SMK ditujukan untuk terlaksananya penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) berbagai program keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Program keahlian tersebut dikelompokkan menjadi bidang keahlian sesuai dengan kelompok bidang industri/usaha/keahlian. Substansi atau materi yang diajarkan di SMK disajikan dalam bentuk berbagai kompetensi yang dinilai penting bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan, sesuai dengan jamannya.
Namun demikian, fakta di lapangan belum sepenuhnya sesuai dengan cita-cita ideal tersebut di atas. Berdasarkan hasil penelitian di SMK Negeri 8 Surakarta, Slamet Subroto[18] berkesimpulan bahwa beberapa persoalan mendasar pada output SMK Seni Pertunjukan antara lain:
1. Belum memiliki kemampuan skill sepadan dengan kebutuhan dunia usaha di bidang seni pertunjukan.
2. Belum memiliki pengetahuan sepadan dengan persoalan seni-budaya di masyarakat.
3. Belum memiliki pengalaman kerja lapangan yang memadai.
4. Belum memiliki kesiapan mental-psikologis yang memadai untuk terjun ke dunia usaha di bidang seni pertunjukan.
5. Tidak dibekali kemampuan manajemen yang baik.
6. Tidak dibekali sikap enterpreneurship.
7. Tidak dibekali kemampuan berbahasa Inggris yang memadai.
Ketujuh permasalahan semacam ini sekalipun dapat digeneralisasikan pada SMK-SMK yang lain, namun dalam rangka mewujudkan output SMK Seni Pertunjukan yang memiliki kapasitas dan pakabilitas yang tinggi, hal ini menjadi permasalahan yang harus dipecahkan bersama. Ini memerlukan keterlibatan semua pihak terkait di bidang seni-budaya agar permasalahan yang terjadi dapat teratasi secara tuntas.

Memerankan SMK “Sendang Mas” Banyumas dalam Membangun Identitas Lokal

SMK Seni Pertunjukan sebagai lembaga pendidikan formal tingkat menengah berada di bawah Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan pada Direktorat Jenhderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga pendidikan yang satu ini merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan Konservatori Karawitan (KOKAR) yang didirikan berdasarkan Keputusan Meneteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Nomor: 554/K/3/b, tanggal 17 Juli 1950 tentang Mendirikan Konservatori Karawitan Indonesia di Surakarta. Konservatori Karawitan memiliki spesifikasi sebagai lembaga pendidikan seni karawitan yang bernaung di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Lembaga Konservatori Karawitan kemudian berubah namanya pada tahun 1975 seiring dengan diberlakukannya Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1975 tentang Reorganisasi di Semua Departemen. Berdasarkan Keputusan Presiden ini, semenjak tahun 1976 Konservatori Karawitan yang semula bernaung di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, dialihkan ke Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan pada Direktorat Jenhderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Sesuai dengan kebijakan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, pada tahun 1977 (disebut Kurikulum 1977) nama Konservatori Karawitan kemudian diganti menjadi Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) dan berlaku untuk sekolah-sekolah sejenis di seluruh Indonesia. Didasari atas kesadaran eksistensi kebudayaan Banyumas, kemudian pada tanggal 11 Maret 1978 di Kabupaten Banyumas didirikan SMKI yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/DATI II Banyumas dengan nama SMKI Pemda Banyumas. SMKI Sendang Mas Banyumas didirikan dalam rangka penggalian, pelestarian dan pengembangan seni-budaya Banyumas.
Pada tahun 1984 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengadakan perubahan kurikulum untuk semua sekolah, dikenal dengan istilah Kurikulum 1984. Kurikulum ini mulai diberlakukan di seluruh SMKI di Indonesia sejak tahun 1985. Adanya aturan bahwa jajaran Departemen Dalam Negeri tidak diperbolehkan mengelola lembaga pendidikan, kemudian pada tahun 1989 SMKI dikelola oleh Yayasan Sendang Mas dengan nama SMKI Sendang Mas Banyumas.
SMKI Sendang Mas Banyumas kembali mengalami perubahan seiring dengan berlakunya kurikulum 1994. Ada dua perubahan mendasar yang terjadi: Pertama, perubahan nama SMKI Sendang Mas Banyumas menjadi SMK Sendang Mas Banyumas yang didasarkan pada Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kepmendikbud) Nomor: 080/U/1993 tanggal 27 Januari 1993 tentang Kurikulum SMK yang berisi kerangka dasar program pembelajaran yang dilakukan bersama-sama antara SMK dan institusi pasangannya. Perubahan nama ini semakin diperkuat dengan terbitnya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 036/D/1997 tentang Perubahan Nama, Daftar istilah bagi Sekolah Menengah Kejuruan Tingkat Atas (SMKTA) menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kedua, perubahan masa belajar dari yang semula empat tahun menjadi tiga tahun.
Pasca pemberlakuan Kurikulum 1994, SMK Sendang Mas Banyumas hingga saat ini tercatat mengalami dua kali perubahan, yaitu pada saat diberlakukannya Kurikulum 1999 dan Kurikulum 2004 yang juga disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian disempurnakan menjadi KTSP. Substansi Kurikulum 1999 adalah adanya arah implementasi pada pola berbasis luas dan mendasar atau Broad Base Curiculum (BBC). KTSP memiliki substansi kegiatan pembelajaran peserta diklat untuk mencapai kompetensi yang direncanakan dalam kurikulum yang digunakan. Baik pada Kurikulum 1999 maupun KTSP disebutkan bahwa SMK Sendang Mas Banyumas merupakan sekolah kejuruan dengan Bidang Keahlian Seni Pertunjukan. Dalam hal ini SMK Sendang Mas Banyumas memiliki dua Program Keahlian yaitu: (1) Program Keahlian Seni Karawitan, dan (2) Program Keahlian Seni Tari.
Seiring dengan kesadaran akan eksistensi dan identitas kebudayaan lokal, keberadaan SMK Sendang Mas Banyumas memiliki posisi yang sangat penting sebagai salah satu wadah pembelajaran sekaligus kegiatan yang dapat diarahkan untuk pencapaian maksud tersebut. Dalam hal ini, SMK Sendang Mas Banyumas tidak sekedar menjadi lembaga pendidikan. Sekolah ini diharapkan mampu berperan sebagai laboratorium, museum hidup sekaligus ikon bagi perkembangan seni-budaya Banyumas. Sebagai laboratorium, maka SMK Sendang Mas Banyumas diharapkan dapat secara terus-menerus berinovasi guna menghasilkan karya-karya cipta seni yang bersumber dari aneka ragam kesenian lokal Banyumas. Untuk itu SMK Sendang Mas Banyumas harus mempersiapkan diri senantiasa kreatif, dinamis, adaptif dan inovatif. Sebagai museum hidup, maka SMK Sendang Mas Banyumas harus mampu menjadi etalase aneka ragam seni-budaya Banyumas yang mencerminkan keunggulan dan keunikan kebudayaan lokal Banyumas guna terciptanya kebanggaan dan sense of belonging bagi masyarakat pendukungnya. Sebagai ikon bagi perkembangan seni-budaya Banyumas, maka SMK Sendang Mas Banyumas harus senantiasa berada di garda depan dalam penggalian, pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan seni-budaya lokal Banyumas.
Dalam rangka menjalankan peran tersebut, SMK Sendang Mas Banyumas harus berbenah diri dan reposisioning secara kelembagaan. Hal-hal penting yang harus dipersiapkan antara lain: mulai dari membidik input, proses belajar-mengajar, pendekatan dengan masyarakat, menciptakan jaringan kerja serta promosi dan publikasi. Semua itu diarahkan untuk mempersiapkan output (lulusan) yang berkualitas serta mempu mendudukkan diri sebagai lembaga kesenian yang mandiri dan elegan.

1. Membidik Input
Dalam rangka membidik input, SMK Sendang Mas Banyumas harus menyiapkan kiat-kiat, cara-cara dan strategi yang ampuh agar mampu menjaring calon siswa yang memiliki minat dan bakat sesuai dengan program studi yang tersedia. Untuk itu beberapa hal yang perlu dipersiapkan antara lain:
a. Menyiapkan program belajar dengan target goal yang jelas, baik pada pelaksanaan proses belajar-mengajar maupun tindak lanjut bagi output-nya.
b. Tampil sebagai lembaga pendidikan yang elegan, mandiri dan berkualitas guna menumbuhkan citra positif di masyarakat.
c. Menjalin komunikasi yang erat dengan kantong-kantong seni di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas, termasuk juga dengan Pamong Budaya dan Guru Kesenian sebagai langkah mengefektifkan aliran informsi dua arah yang sinergi guna rekruitmen berupa calon siswa baru.
d. Menempatkan guru kesenian, seniman dan pegiat seni untuk menginformasikan kepada anak-anak usia sekolah yang memiliki minat dan bakat di bidang kesenian untuk memilih SMK Sendang Mas Banyumas sebagai sekolah tujuan selepas lulus jenjang SMP.
e. Sosialisasi secara terus-menerus di masyarakat tentang visi-misi, keunggulan, tujuan pendidikan hingga peluang kerja bagi lulusan SMK Sendang Mas Banyumas guna menarik minat masyarakat untuk melanjutkan di sekolah ini.
f. Melaksanakan apresiasi program-program studi melalui pementasan-pementasan seni yang berkualitas agar terjadi perubahan/peningkatan pada aspek pengetahuan kesenian dan praktek seperti distribusi kemampuan di dalam masyarakat.
g. Turut berperan aktif penanaman minat estetik sejak dini bagi anak-anak usia sekolah guna menumbuhkan kepekaan estetik dan motivasi dalam berkesenian yang diarahkan pada tumbuhnya minat melanjutkan jenjang studi ke SMK Sendang Mas Banyumas.
h. Menjaring bakat seni sesuai dengan program studi yang dilaksanakan di SMK Sendang Mas Banyumas bagi siswa setingkat SMP.

2. Proses Belajar-Mengajar
Sesuai dengan KTSP, sebaran mata diklat di SMK dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok normatif, adaptif dan produktif. Satu hal yang menjadi gejala umum selama ini adalah setiap sekolah—termasuk juga SMK—seakan-akan lebih mementingkan kelompok mata diklat normatif karena diujikan secara nasional. Padahal semestinya dalam rangka menyiapkan output yang berkualitas sesuai dengan bidang kejuruannya, kelompok mata diklat adaptif dan produktiflah yang semestinya menjadi perhatian utama. Keberhasilan secara nyata pada pelaksanaan pembelajaran kelompok mata diklat adaptif dan produktif akan mewujudkan tampilan wajah atau profil sekolah yang bersangkutan. Bagi SMK Sendang Mas Banyumas, keberhasilan pembelajaran kelompok mata diklat adaptif diarahkan agar siswa memiliki:
a. Jiwa kewirausahaan atau enterpreneurship agar mampu hidup mandiri berbekal ilmu pengetahuan dan ketrampulan yang dimiliki. Output SMK Sendang Mas Banyumas harus mampu mengembangkan dirinya menjadi seniman yang mandiri dengan mengandalkan bidang keahliannya.
b. Kemampuan manajemen yang baik, khususnya manajemen seni pertunjukan. Output SMK Sendang Mas Banyumas harus mampu mempersiapkan dan melaksanakan pementasan, melakukan promosi, menjaring peminat serta menjadikan setiap pertunjukan kesenian lokal terkesan megah, besar, membanggakan dan menarik minat masyarakat untuk menikmati.
c. Pengetahuan tentang filsafat seni dan wawasan budaya yang memadai guna menjawab permasalahan kebudayaan di masyarakat. Output SMK Sendang Mas Banyumas tidak sebatas memiliki kemampuan menari atau bermain gamelan, tetapi juga harus mampu menerangkan hal-hal yang bersifat filosofis berkaitan dengan kebudayaan lokal Banyumas.
d. Kemampuan bahasa yang memadai (minimal output SMK Sendang Mas Banyumas mahir dalam menggunakan bahasa daerah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), mengingat pertumbuhan kesenian saat ini telah memasuki era borderless (tanpa batas).
Keberhasilan pemberlajaran mata diklat produktif menempatkan output SMK Sendang Mas Banyumas sebagai seniman tingkat menengah yang pada saatnya nanti dapat mengembangkan dirinya menjadi seniman profesional sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Untuk itu, proses belajar-mengajar harus diarahkan pada kemampuan teknis dan kemampuan rasa serta mengasah kemampuan kreatif-inovatif. Pada tataran pembelajaran kemampuan teknis dan rasa, siswa dilatih karya-karya seni tradisi yang sudah ada. Sedangkan dalam rangka mengasah kemampuan kreatif-inovatif, siswa harus dibiasakan melakukan praktek penciptaan karya-karya baru bersumber dari kesenian lokal. Karya-karya yang telah berhasil diciptakan selanjutnya disebarluaskan dan dipupuk untuk mampu berkembang di masyarakat sebagai bagian dari dinamika pertumbuhan kesenian di masyarakat.

3. Pendekatan dengan Masyarakat
Dalam usaha memadukan program pembelajaran yang selaras dengan kebutuhan masyarakat serta memberikan pengalaman empirik bagi siswa untuk mengenali dan berlatih memecahkan persoalan seni-budaya di masyarakat, sangat perlu diterapkan pendekatan sosial-budaya dengan lingkungan masyarakat di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. Usaha tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain:
a. Program kegiatan lapangan yang secara langsung bertatap muka dengan masyarakat secara reguler melalui program pementasan, Praktek Kerja Lapangan (PKL) dan sejenisnya. Program ini memiliki manfaat ganda. SMK Sendang Mas Banyumas sebagai lembaga pendidikan dapat memberikan suplay kepada masyarakat melalui kegiatan pelatihan, diskusi dan pementasan. Pada saat yang sama, siswa juga berkesempatan belajar di lapangan yang dapat diterapkan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembelajaran di kelas.
b. Siswa dimagangkan ke kantong budaya/kesenian. Melalui program ini siswa berkesempatan belajar secara langsung di lapangan dalam bentuk penyiapan pertunjukan, keikutsertaan dalam pertunjukan serta apresiasi aneka ragam seni pertunjukan di masyarakat.
c. Siswa diberi tanggung jawab menggali, memelihara, dan mengembangkan berbagai ragam kearifan lokal (local geniuous) yang hidup di masyarakat. Dengan cara demikian siswa sejak awal dapat memperhitungkan dan mempertimbangkan rencana-rencana jangka panjang tentang pilihan profesi yang dapat menjadi gantungan hidup sesuai dengan kondisi real masyarakat.
d. Pembelajaran tradisi dan budaya lokal Banyumas. Sebagai contoh, mengingat kultur Banyumas berbasis tradisional-agraris, maka siswa harus diperkenalkan dengan ragam mata pencaharian tradisional di masyarakat. Kemudian hasil pembelajaran tersebut dikorelasikan dengan inovasi dan atau pengembangan kesenian tradisional yang dipelajari di kelas. Cara demikian akan menghasilkan efek domino yang positif bagi kesiapan siswa setelah lulus dan terjun langsung ke masyarakat.

4. Menciptakan Jaringan Kerja
Dalam usaha menyiapkan output yang berkualitas dan memiliki kesiapan terjun ke masyarakat serta mewujudkan sebuah lembaga pendidikan yang solid dan mandiri, SMK Sendang Mas Banyumas harus mampu menciptakan jaringan kerja seluas-luasnya, baik di level lokal, regional, nasional maupun internasional. Melalui jaringan kerja ini, SMK Sendang Mas Banyumas dapat membuat link guna peningkatan kualitas pembelajaran, peningkatan produktivitas, pemasaran produk karya seni dan terbukanya peluang bagi masuknya dana bantuan dari berbagai pihak di dalam dan luar negeri. Jaringan kerja demikian dapat dilaksanakan melalui cara Government to Government (G to G) maupun Non Government Group (NGO). Ini sangat penting mengingat lembaga pendidikan kesenian memungkinkan mengembangkan sayap melewati batas-batas wilayah administratif dan atau wilayah kenegaraan melalui ragam produk kesenian yang dihasilkan.

5. Promosi dan Publikasi
Dalam rangka melaksanakan usaha promosi dan publikasi secara efektif dengan hasil yang optimal, SMK Sendang Mas Banyumas perlu menjalin hubungan kerja dan memanfaatkan media cetak dan media elektronik yang ada seperti koran, tabloid, radio, televisi, website, dan lain-lain. Kerjasama diarahkan bagi terlaksananya promosi dan publikasi tentang profil sekolah dan produk seni yang dihasilkan serta usaha membuka peluang kerja bagi output sekolah tersebut. Cara demikian dirasa perlu mengingat di era informasi seperti sekarang, hanya lembaga yang mampu merebut pasar informasilah yang lebih berpeluang untuk bertahan.
Dalam rangka mewujudkan usaha untuk berbenah diri dan reposisioning sebagaimana tersebut di atas, diperlukan dukungan kesiapan sarana-prasarana, sumberdaya manusia (SDM), dan pendanaan yang memadai. Dalam bidang sarana-prasarana, SMK Sendang Mas Banyumas perlu adanya kelengkapan sarana-prasarana belajar yang memadai, meliputi prasarana gedung yang representatif, kelengkapan sarana atau alat kesenian yang dibutuhkan dalam pembelajaran, serta dibukanya website atau situs resmi yang berisi profil kelembagaan yang secara terus-menerus dapat diakses dalam skala luas.
Dalam bidang sumberdaya manusia (SDM), diperlukan tenaga pengajar yang qualified, dilihat dari ijasah yang dimiliki serta kualitas kesenimanan yang melekat pada dirinya. Selain tenaga pengajar formal yang berkedudukan sebagai guru tetap, SMK Sendang Mas Banyumas perlu segera merekrut seniman-seniman profesional di wilayah Banyumas dan sekitarnya untuk turut berperan aktif dalam proses pembelajaran, baik intrakurikuler, ko-kurikuler maupun ekstrakurikuler. Cara demikian telah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga perguruan tinggi seni yang merekrut para empu untuk berpartisipasi aktif dalam proses kegiatan belajar-mengajar.
Dari sisi pendanaan, SMK Sendang Mas Banyumas harus mampu mendulang dana dari pemerintah, lembaga swasta ataupun masyarakat. Sejauh ini pembiayaan SMK Sendang Mas Banyumas sangat bergantung pada bantuan dari Pemerintah Kabupaten Banyumas. Padahal, peserta didik di sekolah ini tidak melulu berasal dari Kabupaten Banyumas saja. Pada kenyataannya, banyak di antara siswa SMK Sendang Mas Banyumas yang berasal dari Kabupaten Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, bahkan hingga wilayah Pekalongan. Pada kasus ini, apabila sejauh ini Pemerintah Kabupaten Banyumas masih terus membiayai, rasanya tidak adil jika kabupaten-kabupaten lain yang juga turut menikmati output sekolah ini masih terus berdiam diri. Semua ini tentu menjadi tanggung jawab Yayasan Sendang Mas, yang berperan sebagai bapak angkat dari SMK Sendang Mas Banyumas. Selain itu, pihak yayasan juga harus memikirkan cara membuka peluang dana di luar APBD seperti bantuan dana dari pusat, pihak swasta, bantuan luar negeri dan lain-lain. Apabila persoalan dana dapat diatasi, maka usaha meraih cita-cita mewujudkan SMK Sendang Mas Banyumas sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas, mandiri dan elegan dapat segera tercapai.
Dalam rangka keberlangsungan pendidikan kesenian dan perwujudan identitas kebudayaan, pihak Pemerintah Kabupaten di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas perlu mencari jalan keluar yang bijak terhadap permasalahan yang dialami oleh lulusan SMK Sendang Mas Banyumas. Salah satu gambaran paling nyata adalah hingga sekarang satuan pendidikan di tingkat Sekolah Dasar belum memiliki guru kesenian. Padahal setiap tahun selalu dilaksanakan kegiatan lomba-lomba seni yang berjenjang hingga ke tingkat Provinsi. Atas dasar kenyataan tersebut, Pemerintah-pemerintah Kabupaten memungkinkan mengeluarkan kebijakan strategis berupa rekruitment lulusan SMK Sendang Mas Banyumas untuk menjadi tenaga pengajar/guru kesenian di Sekolah Dasar melalui crash program dan sejenisnya.[19] Pemikiran ini didasarkan pada satu alasan bahwa pembelajaran kesenian hanya mungkin dilakukan oleh tenaga-tenaga pengajar yang memiliki kualifikasi berupa kemampuan teknis berkesenian. Dengan cara demikian akan terjadi simbiosis mutualisme antara Pemerintah dan SMK Sendang Mas Banyumas. Di satu sisi kebutuhan guru kesenian di tingkat SD dapat terpenuhi, sementara di sisi lain lulusan SMK Sendang Mas Banyumas dapat tertampung di lapangan pekerjaan.
D. Kesimpulan
Persoalan identitas kebudayaan merupakan persoalan yang menyangkut citra dan kakarter yang melekat pada sekalompok masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan. Usaha membangun identitas kebudayaan Banyumas sangat bergantung pada masyarakat Banyumas itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mewujudkan identitas kebudayaan Banyumas diperlukan goodwill dari Pemerintah yang harus bersinergi dengan wujud kemauan masyarakat yang memposisikan kebudayaan lokal miliknya sebagai mainstream dalam kehidupan sosial.
SMK Sendang Mas Banyumas sebagai lembaga pendidikan kesenian tingkat menengah pada prinsipnya memiliki kekuatan yang signifikan dalam usaha mewujudkan identitas kebudayaan Banyumas. Hal ini mengingat SMK Sendang Mas Banyumas selain berfungsi lembaga pendidikan juga dapat menjalankan fungsi lain sebagai laboratorium, museum hidup dan ikon bagi perkembangan seni-budaya Banyumas. Namun demikian usaha yang telah dilakukan hampir tiga dekade oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas ini masih harus lebih dioptimalkan agar terjadinya kesetaraan antara harapan dan kenyataan. Dalam hal ini SMK Sendang Mas Banyumas perlu segra melakukan pembenahan dan reposisioning guna mewujudkan diri sebagai bagian dari komponen terpenting pembentuk identitas kebudayaan Banyumas. Agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan secara optimal sangat diperlukan dukungan dari Pemerintah-Pemerintah Kabupaten di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. Selain itu, pihak Yayasan Sendang Mas memiliki tugas yang tidak kalah beratnya dalam mengendalikan arah dan tujuan SMK Sendang Mas Banyumas dalam usaha mencapai tujuannya. Sebagai akhir tulisan, saya menghimbau kepada hadirin sekalian agar dapat menginformasikan dan mengarahkan siswa SMP yang memiliki minat dan bakat di bidang seni pertunjukan untuk melanjutkan jentang studi ke SMK Sendang Mas Banyumas. Terima kasih!!!!!

--***--

DAFTAR PUSTAKA


Ahmadi, Abu, 2003, Psikologi Umum, Cetakan ketiga, Rineka Cipta, Jakarta.

Bloom, Benjamin S., 1981, Taxonomy of Educational Objectives, The Classification of Educational Goals: Handbook I Cognitive Domain, New York: Longman Inc.

Brinner, Benjamin, 1984, Knowing Music, Making Music, The University of Chicago Press Chicago and London.

Humardani, S.D., 1982/1983, Kumpulan Kertas tentang Kesenian. Surakarta: Sub/Bagian Proyek ASKI Surakarta Proyek Pengembangan IKI.

Ihsan, Fuad, 1995, Dasar-dasar Kependidikan, Komponen MKDK, Rineka Cipta, Jakarta.

Ismail, H., 1989, “Naskah Pidato Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah”, disampaikan pada Pembukaan Latihan Ketrampilan Manajemen Mahasiswa (LKMM) Tingkat Menengah Perguruan Tinggi dan Swasta se-Wilayah B, diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro Semarang, di Bandungan-Ambarawa, tanggal 17 Nopember 1989.

Kayam, Umar, 1996, “Tentang Posisi Kesenian dan Pendidikan Kesenian Kita”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Posisi Perguruan Tinggi Seni di Indonesia, diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 10 Juli 1996.

Leksono, Ninok (ed.), 2000, Indonesia Abad XXI, Di Tengah Kepungan Perubahan Global, Penerbit Harian Kompas, Jakarta.

Lindsay, Jennifer, 1991, Klasik, Kitch, Kontemporer: Sebuah Studi tentang Seni Pertunjukan Jawa, Terjemahan Nin Bakdi Sumanto, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Mudyahardjo, Reja, 2001, Pengantar Pendidikan, Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

PPPG Kesenian, 2004, ”Kurikulum Edisi 2004, Bidang Keahlian Seni Pertunjukan”, Yogyakarta: PPPG Kesenian.

Robert M. Bellah, 1999, Cultural Identity and Asian Modernization, Institute for Japanese Culture and Classics, Kokugakuin University.

Robin, Stephen P., 1996, Organizational Behavior: Concept, Controversies and Aplication, Englewood Cliff, New Jersey: Printice Hall.

Subroto, Slamet, 2006, “Kemampuan Penguasaan Mata Diklat Memainkan Karawitan Surakarta (MKS) Pada Siswa SMK Negeri 8 Surakarta”, Tesis, Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.

Suryabrata, Sumardi,1984, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali.

Tohari, Ahmad, 2005, “Andai Tidak Disubkulturkan”, dimuat dalam Kolom Pringgitan Lembar Sang Pamomong Harian Umum Suara Merdeka, Semarang, Tahun ke-56 Nomor 69 tanggal 24 April 2005.
[1] Robert M. Bellah, 1999, Cultural Identity and Asian Modernization, Institute for Japanese Culture and Classics, Kokugakuin University.
[2] Ismail, 1989, “Naskah Pidato Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah”, disampaikan pada Pembukaan Latihan Ketrampilan Manajemen Mahasiswa (LKMM) Tingkat Menengah Perguruan Tinggi dan Swasta se-Wilayah B, diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro Semarang, di Bandungan-Ambarawa, tanggal 17 Nopember 1989, hal. 15.
[3] Wilayah sebaran kebudayaan Banyumas seperti disebut di dalam Babad Pasir II mulai dari Tugu Mangangkang (gunung Sindoro-Sumbing) hingga Udhug-udhug Krawang (sungai Citarum). Yang masih tersisa hingga saat ini berada dalam batas kali Luk Ulo (wilayah Kebumen) di sebelah timur, pantai selatan pulau Jawa di sebelah selatan, sedangkan di sisi utara berbatasan dengan kebudayaan pesisir lor dan di sisi barat berbatasan dengan kebudayaan Sunda.
[4] Ninok Leksono (ed.), 2000, Indonesia Abad XXI, Di Tengah Kepungan Perubahan Global, Penerbit Harian Kompas, Jakarta.
[5] Ahmad Tohari, 2005, “Andai Tidak Disubkulturkan”, dimuat dalam Kolom Pringgitan Lembar Sang Pamomong Harian Umum Suara Merdeka, Semarang, Tahun ke-56 Nomor 69 tanggal 24 April 2005 hal.19.
[6] Jennifer Lindsay, 1991, Klasik, Kitch, Kontemporer: Sebuah Studi tentang Seni Pertunjukan Jawa, Terjemahan Nin Bakdi Sumanto, Yogyakarta: Gajahmada University Press., hal. 39.
[7] Reja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal: 3-6.
[8] Fuad Ihsan, 1995, Dasar-dasar Kependidikan, Komponen MKDK, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 110.
[9] Humardani, S.D., 1982/1983, Kumpulan Kertas tentang Kesenian. Surakarta: Sub/Bagian Proyek ASKI Surakarta Proyek Pengembangan IKI, hal. 27.
[10] Umar Kayam, 1996, “Tentang Posisi Kesenian dan Pendidikan Kesenian Kita”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Posisi Perguruan Tinggi Seni di Indonesia, diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 10 Juli 1996.
[11] Benjamin S. Bloom, 1981, Taxonomy of Educational Objectives, The Classification of Educational Goals: Handbook I Cognitive Domain, New York: Longman Inc. p. 7.
[12] Abu Ahmadi, 2003, Psikologi Umum, Cetakan ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 61-113.
[13] Stephen P. Robin, 1996, Organizational Behavior: Concept, Controversies and Aplication, Englewood Cliff, New Jersey: Printice Hall, p.86.
[14] Benjamin Brinner, 1984, Knowing Music, Making Music, The University of Chicago Press Chicago and London, p. 74-75.
[15] dalam Sumardi Suryabrata,1984, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali, hal. 169.
[16] PPPG Kesenian, 2004, ”Kurikulum Edisi 2004, Bidang Keahlian Seni Pertunjukan”, Yogyakarta: PPPG Kesenian, hal. 1-3.
[17] PPPG Kesenian, ibid.
[18] Slamet Subroto, 2006, “Kemampuan Penguasaan Mata Diklat Memainkan Karawitan Surakarta (MKS) Pada Siswa SMK Negeri 8 Surakarta”, Tesis, Yogyakarta: Institut Seni Indonesia, hal. 144.
[19] Pada periode tahun 1980-an Pemerintah pernah mengadakan kegiatan crash program yang merekrut lulusan SMKI untuk menjadi tenaga pengajar di tingkat SMP.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS SEBAGAI KEKUATAN PARIWISATA