CATATAN AKHIR TAHUN SEORANG LENGGER

Hari terakhir di tahun 2023. Besok sudah menapak tahun baru 2024. Sebuah momentum yang selalu saja menebarkan harapan, seperti kedatangan tahun baru di tahun-tahun sebelumnya. Ijinkan aku membuka diri. Ngudarasa. Daripada mengisi waktu dengan pétan dan nggundhengi tetangga. Karena sesungguhnya prentuling ati ingin njara langit nawu segara. Éwadéné kenyataannya menungsa kur gari nglakoni garising pesthi.

Sebagai seorang lengger aku sungguh bermimpi kembalinya kesempatan menjadi bintang panggung. Menjadi subyek dan pusat perhatian. Menjadi obyek tatapan ribuan pasang mata di malam yang penuh gairah. Terpaan selendangku selalu ditunggu berkibas ke wajah penonton. Hembusan anginnya lembut menembus jiwa.

Suara calung yang kemrumpyung adalah detak nadi yang menghidupkan panggungku. Menawarkan daya hidup tradisi bangsa Penginyongan yang egalitarian dan penuh kesahajaan. Sebuah tradisi rakyat yang adoh ratu pédhek watu.

Dulu, aku adalah kekuatan dari harapan hidup setiap diri warga. Melalui berbagai ritus kesuburan aku jadi media penyuwunan kepada ibu bumi. Agar segala wuluwetu yang ditanam menjadi sumber makanan untuk berkontinuitas antar generasi.

Hingga ketika Demak berkuasa, peran wanita mulai tergantikan oleh pria. Maka dimulailah era lengger lanang, seperti juga terjadi pada reog, gandrung, sintren, bahkan ludruk, kethoprak, wayang wong dan seni pertunjukan lainnya. Saat itu dimulai pula  pemaknaan bahwa lengger adalah jarwodhosok diarani leng jebul jengger.

Bahkan Serat Centhini menyebutkan, betapa Adipati Wirasaba tahu bahwa ledhek Nurwitri adalah seorang laki-laki. Namun Sang Adipati kasmaran hingga menciuminya di arena pertunjukan hingga akhirnya membawanya masuk ke pagulingan untuk sesuatu yang bersifat privasi.

Dan ketika Belanda menguasai tlatah brang kulon pasca Perang Diponegoro, kami bermetamorfosis jadi obyek hiburan yang sesungguhnya. Lengger mulai lagi ditarikan oleh wanita desa muda usia sekalipun lengger lanang masih terus malang melintang di arena pertunjukan. Bukan saja pertunjukanku yang menghiasi gemerlap malam. Aku kemudian jadi obyek pemuas nafsu para ambtenaar, para juragan, para toke China dan para tuan-tuan Balanda yang mulutnya bau ciu, tuak atau jinewer.

Acara semacam itu mereka sebut marungan. Sebuah pesta di warung atau rumah penduduk yang dilakukan oleh para high class di lingkungan sosial kami. Mereka datang untuk makan makanan enak, main kartu, dan menenggak minuman keras. Aku gembira karena bisa ikut menikmati cara hidup orang-orang kaya. Beda sama tetangga-tetanggaku yang hidup menderita setiap hari harus jadi kuli kontrak tanam paksa.

Saat itu aku mulai merasa jadi bintang yang bergelimang uang. Dipuja karena kecantikanku, disanjung gemulai gerak tarianku, dialembana karena merdu suaraku, dan digoda karena molek tubuhku. Di satu sisi aku merasa telah kehilangan harkat, martabat dan nilai kemanusiaan. Tapi di sisi lain, aku justru telah melambungkan diriku keluar dari penderitaan akibat cultuurstelsel.

Aku mulai bersolek. Cewiun kujadikan bedak, jelaga kucampur minyak klentik untuk menghitamkan alis dan gedhong. Lalu téres pewarna makanan untuk pemerah pipi. Tidak lupa aku selalu nginang agar bibirku merah. Aku meniru noni-noni Belanda meskipun tidak harus bersepatu jinjit dan berambut pirang. Oh ya, sesungguhnya rambutku juga agak kepirang-pirangan karena setiap hari terbakar matahari saat bekerja di sawah ladang.

Aku pun merakit cemara menjadi gelung gepak lengkap dengan cundhuk mentul agar mirip putri kraton. Jarit ciut lusuh cukup jadi kemben untuk menutupi buah dadaku yang ranum. Demikian pula jarit bathik kujadikan tapih di bawah lutut untuk memperlihatkan betis indahku. Meskipun sejatinya hitam legam tapi karena sinar lampu strongking yang memancar terang, tapi betisku akan tampak berkilau terang cukup untuk menggoda mata lelaki hidung belang.

Pasca kemerdekaan semakin banyak di antara kami warga desa yang mencoba peruntungan jadi bintang panggung lewat pertunjukan lengger. Ritus kesuburan masih berlangsung. Tapi kebiasaan marungan yang lahir di era penjajahan pun telah jadi tradisi. Lengger lanang dan lengger wadon hidup berdampingan dengan tayub, ledhek, sintten, ronggeng, renggong, dhoger, janggrung dan sejenisnya. Semua menawarkan desah nafas di malam yang mengharubiru.

Hingga tibalah dekade tahun 1960-an terjadi carut-marut politik nasional. Terjadi pertarungan politik antara kalangan nasional, agama dan komunis. Semua menawarkan kehidupan yang lebih baik dengan cara masing-masing. Kami warga desa tidak tahu apa-apa tentang yang mereka maksud. Sehingga sebagian dari kami dimasukkan ke LKN yang konon berarti Lembaga Kebudayaan Nasional dan sebagian yang lain dimasukkan ke Lekra yang menurut kabar berarti Lembaga Kesenian Rakyat, ksmi semua mau-mau saja. Karena tokh semua menawarkan kehidupan yang lebih baik. Yang satu menawarkan kehidupan yang berdikari, sedangkan yang satunya menawarkan rakyat berkuasa. Masih ada satu kekuatan lagi di kalangan santri yang disebut Lesbumi.

Kami semua tidak menyangka apalagi menyadari, ternyata tahun 1965 terjadi pemberontakan G30S/PKI. Dan setelah itu, ketika tahun 1966 pemerintahan caretaker Soeharto mulai memegang tongkat kendali kekuasaan, hampir semua ragam kesenian rakyat dilarang tampil karena disinyalir telah kesusuban paham komunitas melalui Lekra.

Kami semua yang pernah hidup makmur jadi bintang, harus memulai hidup tanpa berkesenian. Kembali' jadi rakyat jelata yang hidup loro seudhon telu seurupan. Kekayaan kami lambat laun habis. Dan hidup kami jadi melarat.

Pasca Pemilu 1971 yang dimenangkan Golkar lahir GBHN yang konon berarti Garis Garis Besar Haluan Negara. Di dalamnya terdapat klausul tentang kebudayaan nasional yang dimaknai sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah. Kami, para seniman lengger dan kesenian rakyat lainnya seperti dibangunkan dari tidur panjang. Semua diajak berlomba-lomba menunjukkan eksistensi diri agar mampu menjadi puncak-puncak kebudayaan daerah yang diarahkan untuk mewujudkan kebudayaan nasional.

Atas peran lembaga pemerintah yang mengurus kebudayaan dan lembaga bentukan ABRI yang bernama URIL (Urusan Moril) dan URHIJAH (Urusan Hiburan dan Kesejahteraan), kami semua berbenah diri. Mulailah dihilangkan nama-nama seperti ronggeng, reggong, tayub, tandhak, lédhék, dhoger dan sintren. Hanya disisakan nama "lengger" untuk menyebut tarian rakyat di wilayah kultur Banyumas. Musik pengiring yang dulunya terdiri dari berbagai macam alat musik seperti ringgeng, gamelan, calung, krumpyung, angklung, cengklung, dan bendhé, digantikan hanya satu jenis alat musik, yaitu calung.

Sebagai alat musik yang semula hanya terdiri dari instrumen calung (mirip gambang), penonthong, kendhangan dan gong bumbung, kemudian ditambah kenong, dhendhem, dan satu calung lagi. Sehingga di dalam satu perangkat terdiri dari dua calung yang berfungsi sebagai gambang barung dan gambang penerus.

Kami para penari mulai bersolek menggunakan alat rias modern. Busana yang dipakai mulai generlap manik-manik. Kemben diganti dengan mekak. Cenara digantikan dengan gelung tempel. Ada banyak accessories yang mulai kami kenakan seperti gelang kaki, gelang tangan, cundhuk mentul, bunga melati, dan sampur warna-warni agar tampak cerah ceria.

Kami benar-benar diarahkan menjadi ragam kesenian yang bermartabat. Bukan kesenian yang penuh desah nafsu dan adanya transaksi seksual. Kami harus bisa menari dengan lebih baik, nembang dengan lebih merdu, tampilan lebih mempesona, dan struktur pertunjukan yang lebih dinamis.

Di sisi lain, kami juga dituntut untuk lebih kreatif menggarap musikal. Mulailah kami mengaransemen musik yang berisi pesan-pesan pembangunan. Pertengahan dekade tahun 70-an kami mulai mencicipi dapur rekaman komersial. Kaset-kaset kami tersebar di pasaran. Di perdengarkan di radio-radio setiap hari. Dan kami benar-benar berhasil menjadi kekuatan tradisi yang mewakili kultur Banyumasan. Orang akan menyebut lengger-calung ya Banyumas. Dan ketika orang menyebut Banyumas pasti akan teringat lengger-calung.

Hingga akhirnya terjadilah peristiwa reformasi tahun 1998. Karena akasan keamanan, kami dilarang pentas. Kata aparat, pementasan kami berdampak terjadinya kerusuhan dan perkelahian. Kami pun kembali kehilangan pekerjaan. Kembali pada kehidupan tanpa arah yang menyebabkan kami menderita.

Di sisi lain, reformasi telah menumbuhkan sektarianisme. Kelompok-kelompok tertentu merasa lebih berharga, lebih unggul, lebih bermartabat, lebih pintar dan atau lebih manusia. Pertumbuhan Islam syariat menyisakan pemahaman tentang ungkapan-ungkapan yang sebelumnya asing di telinga orang Banyumas seperti haram, musyrik, syirik dan bid'ah.

Nadib kami semakin terpuruk. Makin jarang masyarakat yang menanggap lengger. Hingga sekarang masih terus berlanjut pemberangusan ragam kebudayaan lokal untuk digantikan kebudayaan bangsa lain yang dipromosikan lebih hebat, lebih kekinian, lebih modern, lebih nut lakuning jaman.

Di tahun 2024 akan berlangsung Pemilu yang memiliki presiden dan anggota legislatif. Kami para lengger mencoba berharap nantinya orang-orang yang terpilih memimpin bangsa dan negara dapat mengembalikan jatidiri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat menuju masyarakat yang adil dan makmur. Bukan menjadi bangsa yang terima jadi underbow bangsa lain. Jadikan bangsa Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri.* (Yus)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

PRODUKSI BATIK BANYUMASAN