“POLITIK ADALAH PANGLIMA” SEBAGAI SLOGAN SENIMAN-SENIMAN LEKRA
A. Pendahuluan
Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah mendapat tempat yang cukup kuat dalam percaturan politik di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kondisi psiko-sosial maupun sosial-psikologis pada bangsa Indonesia yang begitu lama mengalami penderitaan akibat penindasan kolonial bangsa-bangsa Barat. Kaum kolonial yang kapitalis telah dilawan dengan nasionalisme-kerakyatan. Paham nasionalisme-kerakyatan yang tumbuh dari spirit kebangsaan menjadi roh perjuangan bukan saja bangsa Indonesia, tetapi juga di dada bangsa-bangsa lain di Asia. Spirit perjuangan demikian sebagaimana paham sosialis yang diajarkan Karl Marx bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu ialah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap kaum “bursuasi”, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, mesti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalis itu adanya.1 Di sini ajaran Karl-Marx terbukti telah menjadi dogma yang dianut oleh berbagai bangsa dalam perjuangan melawan kapitalisme.
Ideologi komunis masuk ke Indonesia pada tahun 1913, diperkenalkan oleh Hendricus Josephus Franciscus Maria Sneevliet, seorang bekas Ketua Serikat Buruh Nasional dan bekas pimpinan Partai Revolusioner Sosialis di salah satu propinsi di negeri Belanda.2 Sejak itu paham komunis mulai tumbuh dan perkembang di Indonesia hingga berdirinya cabang-cabang Perserikatan Komunis di Hindia Belanda dan pada tahun 1924 melebur diri menjadi Partai Komunis Indonesia3.
PKI dalam menjalankan visi dan misinya telah menyusup ke hampir semua segmen kehidupan berbagngsa dan bernegara mulai dari aktivitas politik kekuasaan, ekonomi, hingga kebudayaan. Berdirinya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) pada tanggal 17 Agustus 1950 merupakan wujud nyata usaha menyusupkan paham sosialis-komunis di kalangan seniman dan budayawan. Lekra yang didirikan oleh A.S. Dharta, M.S. Ashar, Henk Ngantung, Joebar Ajoeb dan Nyoto dimaksudkan untuk memberi reaksi keras terhadap gejala perubahan haluan politik penguasa saat itu4. Dalam pelaksanaan kerjanya Lekra melibatkan seniman dan budayawan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik yang berusaha mengubah ideologi bangsa Indonesia dari Pancasila ke arah sosialis-komunis.
Dalam perjalanannya, roda organisasi Lekra telah mencampur adukkan antara berkesenian dan berpolitik praktis. Sulit dipisahkan garis batas yang jelas antara kerakyatan yang ingin diperjuangkan oleh seniman sejati dan kerakyatan yang ingin diperjuangkan oleh seniman aktivis, partisipan partai5. Model kerja Lekra pada dasarnya memakai teori Lukacs yang menunjukkan serentetan karya seni yang dianggapnya memiliki “roh” yang menggerakkan masyarakat. Namun demikian dalam prakteknya justru doktrin “politik sebagai panglima”-lah yang jalan. Seni ditempatkan sebagai komoditi yang dapat digerakkan di bawah komando politik. Pilar kerakyatan yang dijadikan sebagai alat perjuangan justru lebih berposisi sebagai slogan politik yang pada akhirnya justru mementahkan nilai-nilai estetis yang terkandung di dalam karya-karya seni. Kondisi demikian telah membawa dampak yang cukup serius bagi lembaga itu sendiri maupun seniman dan kesenian yang dijadikan sebagai alat perjuangannya.
Dengan melihat fenomena di atas aling tidak ada dua permasalahan yang layak didiskusikan lebih lanjut melalui kajian ilmiah. Pertama, bagaimana slogan “politik adalah panglima” diterapkan oleh seniman-seniman Lekra? Kedua, bagaimana dampak yang ditimbulkan dengan diterapkannya slogan “politik adalah panglima” dalam berkesenian? Kedua permasalahan ini akan dijabarkan melalui kajian diakronis yang diharapkan dapat memberikan wacana baru bagi pemahaman perkembangan kesenian pada masa menjelang hingga pasca pemberontakan G30S/PKI tahun 1965.
B. Realitas Seniman Pedesaan pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk
... Laki-laki dengan mata burung hantu itu mengatakan penuh semangat bahwa revolusi saat itu menuntut pengabdian habis-habisan, tak terkecuali dari para seniman. Dan meskipun kebanyakan pengunjung telah maklum, laki-laki itu mengatakan rombongan musik keroncong mewakili kekuatan politik ini, rombongan pencak silat mewakili itu, serta ronggeng Dukuh Paruk mewakili yang lain lagi. Ketiga-tiganya telah bersatu-padu, seia-sekata ikut mengganyang musuh melalui pengabdian seni.6
Petikan kalimat tersebut di atas diambil dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang menggambarkan situasi politik di Indonesia pada dekade tahun 1960-an. Kelompok ronggeng dari Dukuh Paruk dengan penari ronggengnya yang bernama Srintil telah digiring masuk dalam agitasi dan propaganda politik yang ditebarkan oleh Lekra. Ronggeng Dukuh Paruk dengan anggotanya yang terdiri atas kalangan rakyat jelata yang miskin harta, miskin pengalaman dan tidak berpendidikan telah terkena tipudaya Lekra. Kelompok ronggeng ini hanyalah korban kerja PKI yang tengah melancarkan segala jurusnya untuk mengubah ideologi Indonesia ke arah komunis serta merebut kekuasaan yang sah saat itu. Kelompok ronggeng Dukuh Paruk pun tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan kekuatan politik yang mengatasnamakan rakyat. Tipu muslihat Lekra berhasil mengelabuhi kebodohan para seniman ronggeng yang masih buta huruf itu sebagai kekuatan untuk meraih kekuasaan politik.
Srintil, Sukarya ataupun Kartareja tidak tahu apa arti kata-kata “revolusi saat itu menuntut pengabdian habis-habisan, tak terkecuali dari para seniman” maupun “seia-sekata ikut mengganyang musuh melalui pengabdian seni” yang diucapkan oleh laki-laki bermata burung hantu itu dengan penuh semangat. Mereka juga tidak tahu mengapa penonton tidak lagi menyukai lagu Jenang Gula yang dilantunkan melalui irama orkes keroncong sebagaimana tersebut dalam kutipan berikut:
... Ketika seorang pemuda necis membawakan lagu Jenang Gula, banyak orang terkesima; hanyut terbawa ombak melankolik. Srintil menatap lurus ke arah pemuda yang berpakaian bersih dengan dasi kupu-kupu itu. Hatinya ikut bernyanyi. Tapi dari sudut tertentu mulai terdengar kasak-kusuk. Kemudian sebuah suara mencuat entah dari mana.
“Turun, turun! Kami tidak doyan ngak-ngik-ngok imperialis! Turun!”
Si pemuda yang segera tanggap tidak menuruti ocehan dari sudut lapangan itu. Dia cukup pintar dengan cara mengganti lagunya. Para pemain diaturnya sejenak. Kemudian berkumandanglah Genjer-genjer, sebuah lagu daerah yang entah mengapa menguasai udara tanah air pada tahun 1964 itu. Semangat dan kegembiraan pengunjung terbakar kembali.7
Penonton saat itu seolah-olah sangat membenci warna musik keroncong yang dianggap peninggalan imperialis Barat. Mereka lebih menyukai lagu Genjer-genjer yang digambarkan mampu membakar semangat dan kegembiraan pengunjung. Setiap anggota pada kelompok ronggeng Dukuh Paruk pun tidak mengetahui mengapa tiba-tiba banyak ditanggap di acara-acara rapat yang menjadikannya tidak pernah sepi pementasan meskipun paceklik merajalela di mana-mana. Lihat petikan berikut:
Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas. Bukan di tempat-tempat orang berkhajat, melainkan di tengah rapat umum, baik siang atau malam hari. Karena sering berada di tengah rapat itu maka rombongan ronggeng Dukuh Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. Pak Bakar dari Dawuan yang amat pandai berbicara, sudah beruban tetapi semangatnya luar biasa.8
Ronggeng sebagai kesenian yang sudah membumi dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup dan kehidupan warga masyarakat Dukuh Paruk adalah kekuatan yang tiada taranya yang dapat meruntuhkan paham apapun yang ada di padukuhan itu. Oleh karena itu tidak mustakhil apabila seorang Srintil yang “hanya” seorang ronggeng atau bahkan Sakum penabuh gambang yang malaina (buta) begitu memiliki peranan penting bagi perjuangan Lekra dalam usaha mengubah ideologi nasionalis menjadi komunis yang berujung pada perebutan kekuasaan.
Puncak dari segala ketidakberdayaan yang dialami oleh ronggeng Dukuh Paruk adalah ketika pasca pemberontakan PKI pada tahun 1965 mereka ditangkap. Mereka tidak tahu apa maksud orang-orang yang mengendap-endap disekitar Duku Paruk yang kemudian dititiri (ditabuhi kentong sebagai pertanda ada bahaya). Ketidak tahuan mereka dapat ditangkap pada kata-kata Kartareja, “Kami hanya meronggeng. Kita sama sekali tidak merojeng (mencuri) padi siapa pun. Srintil, aku akan menyertaimu ke kantor polisi”9.
Inilah rupanya yang terjadi di Indonesia pada masa revolusi dengan puncaknya pada tahun 1965 ketika PKI melakukan kudeta terhadap kekuasaan sah di nusantara ini. Seni memegang peranan penting dalam usaha memusatkan segala perhatian kepada tujuan-tujuan revolusi yang hendak dicapai serta mobilisasi mentalnya10. Fungsi didaktis dan propaganda di dalam kesenian tidak dapat dipandang remeh. Tokoh-tokoh revolisi telah banyak menggunakan kesenian sebagai daya pengikat dan alat pembina bangsa serta kekuatan ekonomi yang dapat menuntun rakyat menganut paham komunis sebagai semacam prasyarat mengarungi era revolusi yang terjadi kala itu.
C. Model Penerapan Slogan “Politik Adalah Panglima”
Novel Ronggeng Dukuh Paruk bukanlah cerita biografi seorang ronggeng, melainkan hanya fiksi belaka. Namun demikian harus disadari bahwa Ahmad Tohari sebagai salah satu saksi sejarah yang mengalami langsung apa yang terjadi pada masa revolusi pada dekade tahun 1960-an. Penuangan pengalaman empirik pada masa itu telah menghasilkan karya sastra yang lebih mirip dengan cerita sejarah. Peristiwa seperti itu tidak hanya dialami oleh Srintil cs dalam cerita novel, tetapi juga merupakan realita yang terjadi pada kalangan seniman yang tanpa mengetahui ujung pangkalnya tiba-tiba sudah terlibat dalam gerakan yang dimotori oleh PKI.
Di sini dapat dicontohkan seniman di Surakarta yang pernah mengalami hal serupa antara lain Djumadi beserta seluruh anggota tim kesenian yang akan diberangkatkan untuk misi kesenian ke Rusia tahun 1964 tiba-tiba ditangkap dan ditahan karena dianggap menjadi anggota Lekra. Hal serupa juga dialami oleh Surono, seorang dalang kondang di daerah Banyumas dan sekitarnya yang juga tanpa mengetahui visi dan misi politik PKI kemudian masuk menjadi anggota Lekra yang akhirnya menjadikan dirinya dijebloskan ke penjara. Cerita tersebut di atas berbeda dengan Kristuti, seorang seniman dalang di Surakarta yang memang masuk Lekra karena memiliki paham yang sejalan dengan PKI.
Lekra dalam kerangka kerjanya adalah mengembangkan aliran realisme sosialis yang dalam praktek menjadi alat PKI dan propaganda semata-mata untuk kepentingan sewaktu-waktu dari politik komunis11. Model kerja demikian telah meruntuhkan keutuhan nilai-nilai estetis yang merupakan hal paling hakiki di dalam kesenian. Seniman dan bidang seni yang digelutinya adalah perangkat atau alat untuk mencapai tujuan politik. Hasilnya adalah seniman dan karya seni yang paradok pengertian-pengertian yang menyebutkan bahwa karya seni merupakan hasil ungkapan cipta, rasa dan karsa yang merupakan hasil pengalaman estetis para kreator seni di dalamnya. Seniman Lekra bukan tidak mengetahui hal itu. Justru karena mereka mengetahui, mereka punya kepentingan, akhirnya mereka membelokkan arah tujuan berkesenian.
Kata “rakyat” pada mulanya tidak memiliki unsur politis. Rakyat adalah masyarakat dalam wadah suatu negara. Namun demikian ketika istilah tersebut menjadi semacam ideologi12, dengan sendirinya masuk ke wilayah politis yang membedakannya dengan kalangan borjuis. Kata “rakyat” inilah yang selanjutnya dijadikan sebagai alat pengabsahan atau legitimasi bagi Lekra dalam upaya memperjuangkan kepentingan politiknya. Hal ini sebagaimana pendapat Soekarno tentang Marxisme yang mengetengahkan bahwa mendengar perkataan ini maka tampak sebagai suatu bayangan di depan kita berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat-muka dan kurus-badan, pakaian berkoyak-koyak13. Tidak salah apabila Rivai Apin tidak merasa menjadi anggota PKI. Ia masuk Lekra hanya ingin lebih dekat bersama rakyat, dan melalui Lekra ia hanya mengisi kebudayaannya saja14.
Rekrutmen yang dilakukan oleh Lekra bukan sekedar pada senimannya saja, tetapi juga terhadap organisasi atau grup kesenian yang menjadi tempat bagi seniman untuk mengembangkan kreativitas seninya. Soedarsono mengungkapkan bahwa PKI mampu menghimpun grup kethoprak di seluruh Indonesia yang terwadahi oleh sebuah organisasi yang diberi nama Badan Kontak Kethoprak Seluruh Indonesia (BAKOKSI) pada tahun 1957. Organisasi ini berkantor pusat di Yogyakarta dengan jumlah anggota 801 grup terdiri dari 40 grup profesional dan sisanya grup-grup amatir. Genre seni pertunjukan lain yang dimanfaatkan PKI adalah ludruk di Jawa Timur. PKI menggalang sebuah asosiasi ludruk bernama Lembaga Ludruk yang beranggotakan 30 grup ludruk profesional dan amatir15.
Orientasi seni realis-sosialis yang berakar kerakyatan pada awalnya merupakan bentuk pemberontakan terhadap seni kapitalis. Di bawah cengkeraman kapitalisme, seni tidak lagi punya makna aslinya sebagai ungkapan kebebasan manusia untuk memberi makna baru pada realitas. Seni dipasung oleh uang. Seni menjadi barang komoditi, hasil negosiasi antara pemilik modal dengan seniman. Seniman menjadi agen komoditi seni yang hanya memenuhi pesanan para kapitalis16. Namun demikian dalam prakteknya orientasi tersebut telah berbias yang bermuara pada kepentingan politik praktis semata.
Slogan kerakyatan tidak lebih sebagai daya tarik bagi seniman untuk menyediakan diri menjadi alat politik PKI dengan Lekranya. Bias ini semakin nyata ketika seniman lebih diarahkan pada kegiatan agitasi dan propaganda terhadap masyarakat luas yang justru mengorbankan kepentingan seni itu sendiri.
D. Dampak Penrapan Slogan “Politik Adalah Panglima”
Paradigma “politik adalah panglima” merupakan alat perjuangan PKI yang oleh Lekra dituangkan dalam kerangka kerja merekrut seniman-seniman sebagai kekuatan utama mencapai tujuan politik yang diinginkan. Pada masa-masa menjelang meletusnya G30S/PKI banyak dilakukan orasi-orasi politik yang menggunakan kesenian sebagai alat untuk memobilisasi massa. Seniman seolah-olah dibimbing masuk ke dalam lembah realisme kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengharuskan adanya revolusi. Dampaknya bukan saja dialami oleh seniman-seniman Lekra saja, melainkan menjadi gejala umum yang terjadi di kalangan seniman. Oleh karena itu sangat wajar apabila seorang Gunawan Mohamad pun ikut terdorong mengeksternalisasikan ruangnya yang inti, dunia batinnya serta merasa ada sejenis perasaan tidak enak untuk terpisah dari rangsang dan riam “revolusioner” masa itu. Di tengah upaya pemerintah memobilisasi umum dalam rangka pembebasan Irian Barat dan diselenggarakannya Asian Games di Jakarta, ada kesediaan tulus dari banyak penulis untuk membuat karya-karya yang berpaut dengan “tanah air” atau “massa rakyat”. Sajak-sajak liris, yang “subyektif”, dengan sendirinya seperti kehilangan peran, atau susut ke latar belakang17.
Dengan semangat “politik adalah panglima” Lekra sebenarnya tidak mampu merujuk pada satu konklusi tentang pengertian “politik”. Gunawan Mohamad menerangkan bahwa di sekitar Hari Sumpah Pemuda di tahun 1962, Pramudya Ananta Toer berceramah di gedung GRIS Semarang. Dalam acara tanya jawab, seorang penaya maju: “Seni untuk politik apa tidak merusak seni?” Jawab Pramudya: “Tidak ada sesuatu yang tidak pakai politik”. “Politik” dalam konteks itu barangkali seperti yang dimaksudkan Maxim Gorki dalam pidato tahun 1934 dan dikutip Sutan Takdir Alisjahbana yang menolak kesusastraan “berdiri di luar politik”. Katanya, “Sebab, karena politik itu sesungguhnya memasuki dan menguasai segala hidup, maka takut akan politik itu berarti lari dari hidup”. Pada saat yang sama, pengertian “politik” di kalangan Lekra juga terkadang mirip dengan pengertian “sikap” atau “pendirian”18.
Sebagai organisasi politik yang bertaraf internasional, partai komunis di Indonesia tentu sangat menyadari pentingnya posisi kesenian dalam upaya perubahan sosial. Kesadaran hubungan antara seniman dan masyarakat yang kuat dan tidak sederhana telah dijadikan sebagai kuda tunggangan bagi PKI untuk mencapai tujuan politik. Kehadiran seniman dan karya seni diharapkan dapat mengundang massa sebanyak mungkin sehingga dengan mudah dapat dilakukan agitasi dan propaganda kepentingan politik mereka. Hal demikian menyebabkan posisi Lekra dalam perjuangan PKI memiliki posisi yang sangat kuat—sekalipun pada akhirnya justru banyak dianggap merugikan. Seniman di dalam dunia yang ditekuninya adalah ragi masyarakat yang dapat menjadi agent of change bagi masyarakat di sekitarnya. Kesenian telah lama diyakini sebagai suatu alat untuk menyingkap tabir kebenaran, sedangkan seniman melalui daya kreativitasnya seringkali mendahului perkembangan masyarakat, dan kemudian mematangkan untuk perkembangannya itu.
Pemahaman akan kekuatan kesenian dalam mengubah suatu tatanan masyarakat telah dimanfaatkan oleh Lekra untuk mengubah paham, ideologi, pola pikir, emosi dan mental psikologis masyarakat sesuai dengan keinginannya. Berkaitan dengan hal tersebut Ibe Karyanto menyatakan bahwa ilmu mempengaruhi kita karena isinya, sedangkan seni mempengaruhi kita karena bentuknya. Ilmu memberi kita fakta dan jalinan antar fakta, sedangkan seni mempengaruhi jiwa dan kepastian19. Melalui kesenian ini masyarakat dengan sadar maupun tak sadar telah terbawa arus dogma komunisme yang lebih berorientasi pada kebendaan, segala sesuatu yang kasat mata dan diraba atau dirasakan kehadirannya melalui panca indera.
Politik kebudayaan yang diterapkan oleh Lekra terutama dapat mendekatkan lingkungan seniman dengan masyarakatnya baik dari sudut arah perhatian seniman-seniman itu sendiri maupun dari sudut perkenalan serta penerimaan karya-karya seni oleh masyarakat. Melalui distribusi kebudayaan seperti inilah paham komunisme dan kepentingan politik PKI ditularkan kepada masyarakat.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh Lekra yang demikian itu terbukti telah banyak memberikan dampak bagi pertumbuhan dan perkembangan kesenian. Holt menyebutkan bahwa Sudjojono yang pada mulanya seorang pelukis beraliran ekspresif terbukti telah berpindah aliran ke realisme sosialistik, setelah dirinya berdekatan dengan komunisme20. Perpindahan gaya yang dilakukan oleh Sudjojono tersebut membuktikan bahwa perubahan ideologi di dalam dirinya telah berpengaruh terhadap citra dan ide-ide kreatif yang dituangkan dalam lukisan. Apa yang terjadi pada Sudjojono terjadi pula pada seniman-seniman lain baik dalam bidang seni pertunjukan maupun seni sastra.
Secara praktis hal-hal umum lain yang terjadi sebagai dampak dari pola kerja Lekra adalah timbulnya pro-kontra dalam diri seniman satu dengan seniman lainnya. Paling tidak ada dua kubu yang berbeda pendapat. Di satu pihak banyak di antara seniman yang pro terhadap Lekra, sedangkan di sisi lain ada pula yang kontra terhadap Lekra.
E. Kesimpulan
Dengan membaca keseluruhan isi tulisan ini dapat disimpulkan bahwa slogan “politik adalah panglima” yang dihembuskan oleh Lekra telah menempatkan seniman sebagai alat mencapai tujuan politik PKI. Banyak di antara seniman yang terlibat di dalam Lekra tanpa mengetahui betul apa yang sebenarnya hendak dituju oleh lembaga kebudayaan milik PKI tersebut. Hal demikian bukan saja diakibatkan oleh kebodohan seniman, tetapi juga banyak di antaranya yang tertarik masuk di dalamnya diakibatkan propaganda politik yang dapat membius siapa saja.
Dampak yang ditimbulkan oleh propaganda tersebut telah berpengaruh terhadap kesenian sekaligus seniman di dalamnya. Pada kesenian yang berhasil ditarik masuk ke dalam wadah Lekra telah terjadi perubahan orientasi dari yang sebelumnya berpijak pada nilai-nilai estetis sebagai substansi kesenian ke arah kesenian realis-sosialis yang lebih berorientasi pada kepentingan praktis kebendaan. Hal demikian telah bermuara pada perubahan gaya pada jenis-jenis kesenian tertentu. Di sisi lain kalangan seniman terbelah menjadi dua golongan. Golongan pertama terdiri dari mereka yang pro terhadap Lekra. Adapun Golongan kedua adalah seniman yang kontra terhadap Lekra.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tohari, 2003, Ronggeng Dukuh Paruk, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1997/1998, Pameran Seni Rupa Indonesia, Melacak Garis Waktu dan Peristiwa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Gunawan Mohamad, 1993, Kesusastraan dan Kekuasaan, PT Pustaka Firdaus, Jakarta.
Ibe Karyanto, 1997, Realisme Sosial Georg Lukacs, Jaringan Kerja Budaya bekerjasama dengan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1991, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948), Jilid I, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Jakarta.
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1991, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya, Jilid IV B, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Jakarta.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Soedarso Sp., 1995, “Revolusi Indonesia dalam Rekaman Seni Lukis, Sebuah Kajian Semiotik”, makalah disajikan dalam Seminar LIPI Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Soedarsono, R.M., 2003, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Soedjatmoko, 2004, Kebudayaan Sosialis, Melibas, Jakarta.
Soekarno, Ir, 1964, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama Cetakan Ketiga, Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta.
1 Soekarno, Ir, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama Cetakan Ketiga, Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964, hal. 15.
2 Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948), Jilid I, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Jakarta, 1991, hal. 5.
3 Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, hal. 13.
4 Pramoedya Ananta Toer dalam Ibe Karyanto, Realisme Sosial Georg Lukacs, Jaringan Kerja Budaya bekerjasama dengan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 102-103.
5 Ibe Karyanto, Realisme Sosialis Georg Lukacs, Jaringan Kerja Budaya bekerjasama dengan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 103.
6 Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 187.
7 Ahmad Tohari, ibid, hal. 188-189.
8 Ahmad Tohari, ibid, hal. 228.
9 Ahmad Tohari, ibid, hal. 239.
10 Soedjatmoko, Kebudayaan Sosialis, Melibas, Jakarta, 2004, hal. 84.
11 Soedjatmoko, ibid, hal. 87.
12 Direktorat Jenderal Kebudayaan, Pameran Seni Rupa Indonesia, Melacak Garis Waktu dan Peristiwa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1997/1998, hal. 22.
13 Soekarno, Ir, ibid, hal. 14.
14 Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya, Jilid IV B, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Jakarta, 1991, hal. 141.
15 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, hal. 217.
16 Ibe Karyanto, ibid, hal. 65.
17 Gunawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, hal. 17.
18 Gunawan Mohamad, ibid, hal. 35-36.
19 Ibe Karyanto, ibid, hal. 62.
20 Soedarso Sp., “Revolusi Indonesia dalam Rekaman Seni Lukis, Sebuah Kajian Semiotik”, makalah disajikan dalam Seminar LIPI Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1995, hal. 6-7.
Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah mendapat tempat yang cukup kuat dalam percaturan politik di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kondisi psiko-sosial maupun sosial-psikologis pada bangsa Indonesia yang begitu lama mengalami penderitaan akibat penindasan kolonial bangsa-bangsa Barat. Kaum kolonial yang kapitalis telah dilawan dengan nasionalisme-kerakyatan. Paham nasionalisme-kerakyatan yang tumbuh dari spirit kebangsaan menjadi roh perjuangan bukan saja bangsa Indonesia, tetapi juga di dada bangsa-bangsa lain di Asia. Spirit perjuangan demikian sebagaimana paham sosialis yang diajarkan Karl Marx bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu ialah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap kaum “bursuasi”, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, mesti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalis itu adanya.1 Di sini ajaran Karl-Marx terbukti telah menjadi dogma yang dianut oleh berbagai bangsa dalam perjuangan melawan kapitalisme.
Ideologi komunis masuk ke Indonesia pada tahun 1913, diperkenalkan oleh Hendricus Josephus Franciscus Maria Sneevliet, seorang bekas Ketua Serikat Buruh Nasional dan bekas pimpinan Partai Revolusioner Sosialis di salah satu propinsi di negeri Belanda.2 Sejak itu paham komunis mulai tumbuh dan perkembang di Indonesia hingga berdirinya cabang-cabang Perserikatan Komunis di Hindia Belanda dan pada tahun 1924 melebur diri menjadi Partai Komunis Indonesia3.
PKI dalam menjalankan visi dan misinya telah menyusup ke hampir semua segmen kehidupan berbagngsa dan bernegara mulai dari aktivitas politik kekuasaan, ekonomi, hingga kebudayaan. Berdirinya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) pada tanggal 17 Agustus 1950 merupakan wujud nyata usaha menyusupkan paham sosialis-komunis di kalangan seniman dan budayawan. Lekra yang didirikan oleh A.S. Dharta, M.S. Ashar, Henk Ngantung, Joebar Ajoeb dan Nyoto dimaksudkan untuk memberi reaksi keras terhadap gejala perubahan haluan politik penguasa saat itu4. Dalam pelaksanaan kerjanya Lekra melibatkan seniman dan budayawan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik yang berusaha mengubah ideologi bangsa Indonesia dari Pancasila ke arah sosialis-komunis.
Dalam perjalanannya, roda organisasi Lekra telah mencampur adukkan antara berkesenian dan berpolitik praktis. Sulit dipisahkan garis batas yang jelas antara kerakyatan yang ingin diperjuangkan oleh seniman sejati dan kerakyatan yang ingin diperjuangkan oleh seniman aktivis, partisipan partai5. Model kerja Lekra pada dasarnya memakai teori Lukacs yang menunjukkan serentetan karya seni yang dianggapnya memiliki “roh” yang menggerakkan masyarakat. Namun demikian dalam prakteknya justru doktrin “politik sebagai panglima”-lah yang jalan. Seni ditempatkan sebagai komoditi yang dapat digerakkan di bawah komando politik. Pilar kerakyatan yang dijadikan sebagai alat perjuangan justru lebih berposisi sebagai slogan politik yang pada akhirnya justru mementahkan nilai-nilai estetis yang terkandung di dalam karya-karya seni. Kondisi demikian telah membawa dampak yang cukup serius bagi lembaga itu sendiri maupun seniman dan kesenian yang dijadikan sebagai alat perjuangannya.
Dengan melihat fenomena di atas aling tidak ada dua permasalahan yang layak didiskusikan lebih lanjut melalui kajian ilmiah. Pertama, bagaimana slogan “politik adalah panglima” diterapkan oleh seniman-seniman Lekra? Kedua, bagaimana dampak yang ditimbulkan dengan diterapkannya slogan “politik adalah panglima” dalam berkesenian? Kedua permasalahan ini akan dijabarkan melalui kajian diakronis yang diharapkan dapat memberikan wacana baru bagi pemahaman perkembangan kesenian pada masa menjelang hingga pasca pemberontakan G30S/PKI tahun 1965.
B. Realitas Seniman Pedesaan pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk
... Laki-laki dengan mata burung hantu itu mengatakan penuh semangat bahwa revolusi saat itu menuntut pengabdian habis-habisan, tak terkecuali dari para seniman. Dan meskipun kebanyakan pengunjung telah maklum, laki-laki itu mengatakan rombongan musik keroncong mewakili kekuatan politik ini, rombongan pencak silat mewakili itu, serta ronggeng Dukuh Paruk mewakili yang lain lagi. Ketiga-tiganya telah bersatu-padu, seia-sekata ikut mengganyang musuh melalui pengabdian seni.6
Petikan kalimat tersebut di atas diambil dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang menggambarkan situasi politik di Indonesia pada dekade tahun 1960-an. Kelompok ronggeng dari Dukuh Paruk dengan penari ronggengnya yang bernama Srintil telah digiring masuk dalam agitasi dan propaganda politik yang ditebarkan oleh Lekra. Ronggeng Dukuh Paruk dengan anggotanya yang terdiri atas kalangan rakyat jelata yang miskin harta, miskin pengalaman dan tidak berpendidikan telah terkena tipudaya Lekra. Kelompok ronggeng ini hanyalah korban kerja PKI yang tengah melancarkan segala jurusnya untuk mengubah ideologi Indonesia ke arah komunis serta merebut kekuasaan yang sah saat itu. Kelompok ronggeng Dukuh Paruk pun tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan kekuatan politik yang mengatasnamakan rakyat. Tipu muslihat Lekra berhasil mengelabuhi kebodohan para seniman ronggeng yang masih buta huruf itu sebagai kekuatan untuk meraih kekuasaan politik.
Srintil, Sukarya ataupun Kartareja tidak tahu apa arti kata-kata “revolusi saat itu menuntut pengabdian habis-habisan, tak terkecuali dari para seniman” maupun “seia-sekata ikut mengganyang musuh melalui pengabdian seni” yang diucapkan oleh laki-laki bermata burung hantu itu dengan penuh semangat. Mereka juga tidak tahu mengapa penonton tidak lagi menyukai lagu Jenang Gula yang dilantunkan melalui irama orkes keroncong sebagaimana tersebut dalam kutipan berikut:
... Ketika seorang pemuda necis membawakan lagu Jenang Gula, banyak orang terkesima; hanyut terbawa ombak melankolik. Srintil menatap lurus ke arah pemuda yang berpakaian bersih dengan dasi kupu-kupu itu. Hatinya ikut bernyanyi. Tapi dari sudut tertentu mulai terdengar kasak-kusuk. Kemudian sebuah suara mencuat entah dari mana.
“Turun, turun! Kami tidak doyan ngak-ngik-ngok imperialis! Turun!”
Si pemuda yang segera tanggap tidak menuruti ocehan dari sudut lapangan itu. Dia cukup pintar dengan cara mengganti lagunya. Para pemain diaturnya sejenak. Kemudian berkumandanglah Genjer-genjer, sebuah lagu daerah yang entah mengapa menguasai udara tanah air pada tahun 1964 itu. Semangat dan kegembiraan pengunjung terbakar kembali.7
Penonton saat itu seolah-olah sangat membenci warna musik keroncong yang dianggap peninggalan imperialis Barat. Mereka lebih menyukai lagu Genjer-genjer yang digambarkan mampu membakar semangat dan kegembiraan pengunjung. Setiap anggota pada kelompok ronggeng Dukuh Paruk pun tidak mengetahui mengapa tiba-tiba banyak ditanggap di acara-acara rapat yang menjadikannya tidak pernah sepi pementasan meskipun paceklik merajalela di mana-mana. Lihat petikan berikut:
Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas. Bukan di tempat-tempat orang berkhajat, melainkan di tengah rapat umum, baik siang atau malam hari. Karena sering berada di tengah rapat itu maka rombongan ronggeng Dukuh Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. Pak Bakar dari Dawuan yang amat pandai berbicara, sudah beruban tetapi semangatnya luar biasa.8
Ronggeng sebagai kesenian yang sudah membumi dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup dan kehidupan warga masyarakat Dukuh Paruk adalah kekuatan yang tiada taranya yang dapat meruntuhkan paham apapun yang ada di padukuhan itu. Oleh karena itu tidak mustakhil apabila seorang Srintil yang “hanya” seorang ronggeng atau bahkan Sakum penabuh gambang yang malaina (buta) begitu memiliki peranan penting bagi perjuangan Lekra dalam usaha mengubah ideologi nasionalis menjadi komunis yang berujung pada perebutan kekuasaan.
Puncak dari segala ketidakberdayaan yang dialami oleh ronggeng Dukuh Paruk adalah ketika pasca pemberontakan PKI pada tahun 1965 mereka ditangkap. Mereka tidak tahu apa maksud orang-orang yang mengendap-endap disekitar Duku Paruk yang kemudian dititiri (ditabuhi kentong sebagai pertanda ada bahaya). Ketidak tahuan mereka dapat ditangkap pada kata-kata Kartareja, “Kami hanya meronggeng. Kita sama sekali tidak merojeng (mencuri) padi siapa pun. Srintil, aku akan menyertaimu ke kantor polisi”9.
Inilah rupanya yang terjadi di Indonesia pada masa revolusi dengan puncaknya pada tahun 1965 ketika PKI melakukan kudeta terhadap kekuasaan sah di nusantara ini. Seni memegang peranan penting dalam usaha memusatkan segala perhatian kepada tujuan-tujuan revolusi yang hendak dicapai serta mobilisasi mentalnya10. Fungsi didaktis dan propaganda di dalam kesenian tidak dapat dipandang remeh. Tokoh-tokoh revolisi telah banyak menggunakan kesenian sebagai daya pengikat dan alat pembina bangsa serta kekuatan ekonomi yang dapat menuntun rakyat menganut paham komunis sebagai semacam prasyarat mengarungi era revolusi yang terjadi kala itu.
C. Model Penerapan Slogan “Politik Adalah Panglima”
Novel Ronggeng Dukuh Paruk bukanlah cerita biografi seorang ronggeng, melainkan hanya fiksi belaka. Namun demikian harus disadari bahwa Ahmad Tohari sebagai salah satu saksi sejarah yang mengalami langsung apa yang terjadi pada masa revolusi pada dekade tahun 1960-an. Penuangan pengalaman empirik pada masa itu telah menghasilkan karya sastra yang lebih mirip dengan cerita sejarah. Peristiwa seperti itu tidak hanya dialami oleh Srintil cs dalam cerita novel, tetapi juga merupakan realita yang terjadi pada kalangan seniman yang tanpa mengetahui ujung pangkalnya tiba-tiba sudah terlibat dalam gerakan yang dimotori oleh PKI.
Di sini dapat dicontohkan seniman di Surakarta yang pernah mengalami hal serupa antara lain Djumadi beserta seluruh anggota tim kesenian yang akan diberangkatkan untuk misi kesenian ke Rusia tahun 1964 tiba-tiba ditangkap dan ditahan karena dianggap menjadi anggota Lekra. Hal serupa juga dialami oleh Surono, seorang dalang kondang di daerah Banyumas dan sekitarnya yang juga tanpa mengetahui visi dan misi politik PKI kemudian masuk menjadi anggota Lekra yang akhirnya menjadikan dirinya dijebloskan ke penjara. Cerita tersebut di atas berbeda dengan Kristuti, seorang seniman dalang di Surakarta yang memang masuk Lekra karena memiliki paham yang sejalan dengan PKI.
Lekra dalam kerangka kerjanya adalah mengembangkan aliran realisme sosialis yang dalam praktek menjadi alat PKI dan propaganda semata-mata untuk kepentingan sewaktu-waktu dari politik komunis11. Model kerja demikian telah meruntuhkan keutuhan nilai-nilai estetis yang merupakan hal paling hakiki di dalam kesenian. Seniman dan bidang seni yang digelutinya adalah perangkat atau alat untuk mencapai tujuan politik. Hasilnya adalah seniman dan karya seni yang paradok pengertian-pengertian yang menyebutkan bahwa karya seni merupakan hasil ungkapan cipta, rasa dan karsa yang merupakan hasil pengalaman estetis para kreator seni di dalamnya. Seniman Lekra bukan tidak mengetahui hal itu. Justru karena mereka mengetahui, mereka punya kepentingan, akhirnya mereka membelokkan arah tujuan berkesenian.
Kata “rakyat” pada mulanya tidak memiliki unsur politis. Rakyat adalah masyarakat dalam wadah suatu negara. Namun demikian ketika istilah tersebut menjadi semacam ideologi12, dengan sendirinya masuk ke wilayah politis yang membedakannya dengan kalangan borjuis. Kata “rakyat” inilah yang selanjutnya dijadikan sebagai alat pengabsahan atau legitimasi bagi Lekra dalam upaya memperjuangkan kepentingan politiknya. Hal ini sebagaimana pendapat Soekarno tentang Marxisme yang mengetengahkan bahwa mendengar perkataan ini maka tampak sebagai suatu bayangan di depan kita berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat-muka dan kurus-badan, pakaian berkoyak-koyak13. Tidak salah apabila Rivai Apin tidak merasa menjadi anggota PKI. Ia masuk Lekra hanya ingin lebih dekat bersama rakyat, dan melalui Lekra ia hanya mengisi kebudayaannya saja14.
Rekrutmen yang dilakukan oleh Lekra bukan sekedar pada senimannya saja, tetapi juga terhadap organisasi atau grup kesenian yang menjadi tempat bagi seniman untuk mengembangkan kreativitas seninya. Soedarsono mengungkapkan bahwa PKI mampu menghimpun grup kethoprak di seluruh Indonesia yang terwadahi oleh sebuah organisasi yang diberi nama Badan Kontak Kethoprak Seluruh Indonesia (BAKOKSI) pada tahun 1957. Organisasi ini berkantor pusat di Yogyakarta dengan jumlah anggota 801 grup terdiri dari 40 grup profesional dan sisanya grup-grup amatir. Genre seni pertunjukan lain yang dimanfaatkan PKI adalah ludruk di Jawa Timur. PKI menggalang sebuah asosiasi ludruk bernama Lembaga Ludruk yang beranggotakan 30 grup ludruk profesional dan amatir15.
Orientasi seni realis-sosialis yang berakar kerakyatan pada awalnya merupakan bentuk pemberontakan terhadap seni kapitalis. Di bawah cengkeraman kapitalisme, seni tidak lagi punya makna aslinya sebagai ungkapan kebebasan manusia untuk memberi makna baru pada realitas. Seni dipasung oleh uang. Seni menjadi barang komoditi, hasil negosiasi antara pemilik modal dengan seniman. Seniman menjadi agen komoditi seni yang hanya memenuhi pesanan para kapitalis16. Namun demikian dalam prakteknya orientasi tersebut telah berbias yang bermuara pada kepentingan politik praktis semata.
Slogan kerakyatan tidak lebih sebagai daya tarik bagi seniman untuk menyediakan diri menjadi alat politik PKI dengan Lekranya. Bias ini semakin nyata ketika seniman lebih diarahkan pada kegiatan agitasi dan propaganda terhadap masyarakat luas yang justru mengorbankan kepentingan seni itu sendiri.
D. Dampak Penrapan Slogan “Politik Adalah Panglima”
Paradigma “politik adalah panglima” merupakan alat perjuangan PKI yang oleh Lekra dituangkan dalam kerangka kerja merekrut seniman-seniman sebagai kekuatan utama mencapai tujuan politik yang diinginkan. Pada masa-masa menjelang meletusnya G30S/PKI banyak dilakukan orasi-orasi politik yang menggunakan kesenian sebagai alat untuk memobilisasi massa. Seniman seolah-olah dibimbing masuk ke dalam lembah realisme kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengharuskan adanya revolusi. Dampaknya bukan saja dialami oleh seniman-seniman Lekra saja, melainkan menjadi gejala umum yang terjadi di kalangan seniman. Oleh karena itu sangat wajar apabila seorang Gunawan Mohamad pun ikut terdorong mengeksternalisasikan ruangnya yang inti, dunia batinnya serta merasa ada sejenis perasaan tidak enak untuk terpisah dari rangsang dan riam “revolusioner” masa itu. Di tengah upaya pemerintah memobilisasi umum dalam rangka pembebasan Irian Barat dan diselenggarakannya Asian Games di Jakarta, ada kesediaan tulus dari banyak penulis untuk membuat karya-karya yang berpaut dengan “tanah air” atau “massa rakyat”. Sajak-sajak liris, yang “subyektif”, dengan sendirinya seperti kehilangan peran, atau susut ke latar belakang17.
Dengan semangat “politik adalah panglima” Lekra sebenarnya tidak mampu merujuk pada satu konklusi tentang pengertian “politik”. Gunawan Mohamad menerangkan bahwa di sekitar Hari Sumpah Pemuda di tahun 1962, Pramudya Ananta Toer berceramah di gedung GRIS Semarang. Dalam acara tanya jawab, seorang penaya maju: “Seni untuk politik apa tidak merusak seni?” Jawab Pramudya: “Tidak ada sesuatu yang tidak pakai politik”. “Politik” dalam konteks itu barangkali seperti yang dimaksudkan Maxim Gorki dalam pidato tahun 1934 dan dikutip Sutan Takdir Alisjahbana yang menolak kesusastraan “berdiri di luar politik”. Katanya, “Sebab, karena politik itu sesungguhnya memasuki dan menguasai segala hidup, maka takut akan politik itu berarti lari dari hidup”. Pada saat yang sama, pengertian “politik” di kalangan Lekra juga terkadang mirip dengan pengertian “sikap” atau “pendirian”18.
Sebagai organisasi politik yang bertaraf internasional, partai komunis di Indonesia tentu sangat menyadari pentingnya posisi kesenian dalam upaya perubahan sosial. Kesadaran hubungan antara seniman dan masyarakat yang kuat dan tidak sederhana telah dijadikan sebagai kuda tunggangan bagi PKI untuk mencapai tujuan politik. Kehadiran seniman dan karya seni diharapkan dapat mengundang massa sebanyak mungkin sehingga dengan mudah dapat dilakukan agitasi dan propaganda kepentingan politik mereka. Hal demikian menyebabkan posisi Lekra dalam perjuangan PKI memiliki posisi yang sangat kuat—sekalipun pada akhirnya justru banyak dianggap merugikan. Seniman di dalam dunia yang ditekuninya adalah ragi masyarakat yang dapat menjadi agent of change bagi masyarakat di sekitarnya. Kesenian telah lama diyakini sebagai suatu alat untuk menyingkap tabir kebenaran, sedangkan seniman melalui daya kreativitasnya seringkali mendahului perkembangan masyarakat, dan kemudian mematangkan untuk perkembangannya itu.
Pemahaman akan kekuatan kesenian dalam mengubah suatu tatanan masyarakat telah dimanfaatkan oleh Lekra untuk mengubah paham, ideologi, pola pikir, emosi dan mental psikologis masyarakat sesuai dengan keinginannya. Berkaitan dengan hal tersebut Ibe Karyanto menyatakan bahwa ilmu mempengaruhi kita karena isinya, sedangkan seni mempengaruhi kita karena bentuknya. Ilmu memberi kita fakta dan jalinan antar fakta, sedangkan seni mempengaruhi jiwa dan kepastian19. Melalui kesenian ini masyarakat dengan sadar maupun tak sadar telah terbawa arus dogma komunisme yang lebih berorientasi pada kebendaan, segala sesuatu yang kasat mata dan diraba atau dirasakan kehadirannya melalui panca indera.
Politik kebudayaan yang diterapkan oleh Lekra terutama dapat mendekatkan lingkungan seniman dengan masyarakatnya baik dari sudut arah perhatian seniman-seniman itu sendiri maupun dari sudut perkenalan serta penerimaan karya-karya seni oleh masyarakat. Melalui distribusi kebudayaan seperti inilah paham komunisme dan kepentingan politik PKI ditularkan kepada masyarakat.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh Lekra yang demikian itu terbukti telah banyak memberikan dampak bagi pertumbuhan dan perkembangan kesenian. Holt menyebutkan bahwa Sudjojono yang pada mulanya seorang pelukis beraliran ekspresif terbukti telah berpindah aliran ke realisme sosialistik, setelah dirinya berdekatan dengan komunisme20. Perpindahan gaya yang dilakukan oleh Sudjojono tersebut membuktikan bahwa perubahan ideologi di dalam dirinya telah berpengaruh terhadap citra dan ide-ide kreatif yang dituangkan dalam lukisan. Apa yang terjadi pada Sudjojono terjadi pula pada seniman-seniman lain baik dalam bidang seni pertunjukan maupun seni sastra.
Secara praktis hal-hal umum lain yang terjadi sebagai dampak dari pola kerja Lekra adalah timbulnya pro-kontra dalam diri seniman satu dengan seniman lainnya. Paling tidak ada dua kubu yang berbeda pendapat. Di satu pihak banyak di antara seniman yang pro terhadap Lekra, sedangkan di sisi lain ada pula yang kontra terhadap Lekra.
E. Kesimpulan
Dengan membaca keseluruhan isi tulisan ini dapat disimpulkan bahwa slogan “politik adalah panglima” yang dihembuskan oleh Lekra telah menempatkan seniman sebagai alat mencapai tujuan politik PKI. Banyak di antara seniman yang terlibat di dalam Lekra tanpa mengetahui betul apa yang sebenarnya hendak dituju oleh lembaga kebudayaan milik PKI tersebut. Hal demikian bukan saja diakibatkan oleh kebodohan seniman, tetapi juga banyak di antaranya yang tertarik masuk di dalamnya diakibatkan propaganda politik yang dapat membius siapa saja.
Dampak yang ditimbulkan oleh propaganda tersebut telah berpengaruh terhadap kesenian sekaligus seniman di dalamnya. Pada kesenian yang berhasil ditarik masuk ke dalam wadah Lekra telah terjadi perubahan orientasi dari yang sebelumnya berpijak pada nilai-nilai estetis sebagai substansi kesenian ke arah kesenian realis-sosialis yang lebih berorientasi pada kepentingan praktis kebendaan. Hal demikian telah bermuara pada perubahan gaya pada jenis-jenis kesenian tertentu. Di sisi lain kalangan seniman terbelah menjadi dua golongan. Golongan pertama terdiri dari mereka yang pro terhadap Lekra. Adapun Golongan kedua adalah seniman yang kontra terhadap Lekra.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tohari, 2003, Ronggeng Dukuh Paruk, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1997/1998, Pameran Seni Rupa Indonesia, Melacak Garis Waktu dan Peristiwa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Gunawan Mohamad, 1993, Kesusastraan dan Kekuasaan, PT Pustaka Firdaus, Jakarta.
Ibe Karyanto, 1997, Realisme Sosial Georg Lukacs, Jaringan Kerja Budaya bekerjasama dengan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1991, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948), Jilid I, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Jakarta.
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1991, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya, Jilid IV B, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Jakarta.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Soedarso Sp., 1995, “Revolusi Indonesia dalam Rekaman Seni Lukis, Sebuah Kajian Semiotik”, makalah disajikan dalam Seminar LIPI Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Soedarsono, R.M., 2003, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Soedjatmoko, 2004, Kebudayaan Sosialis, Melibas, Jakarta.
Soekarno, Ir, 1964, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama Cetakan Ketiga, Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta.
1 Soekarno, Ir, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama Cetakan Ketiga, Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964, hal. 15.
2 Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948), Jilid I, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Jakarta, 1991, hal. 5.
3 Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, hal. 13.
4 Pramoedya Ananta Toer dalam Ibe Karyanto, Realisme Sosial Georg Lukacs, Jaringan Kerja Budaya bekerjasama dengan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 102-103.
5 Ibe Karyanto, Realisme Sosialis Georg Lukacs, Jaringan Kerja Budaya bekerjasama dengan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 103.
6 Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 187.
7 Ahmad Tohari, ibid, hal. 188-189.
8 Ahmad Tohari, ibid, hal. 228.
9 Ahmad Tohari, ibid, hal. 239.
10 Soedjatmoko, Kebudayaan Sosialis, Melibas, Jakarta, 2004, hal. 84.
11 Soedjatmoko, ibid, hal. 87.
12 Direktorat Jenderal Kebudayaan, Pameran Seni Rupa Indonesia, Melacak Garis Waktu dan Peristiwa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1997/1998, hal. 22.
13 Soekarno, Ir, ibid, hal. 14.
14 Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya, Jilid IV B, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Jakarta, 1991, hal. 141.
15 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, hal. 217.
16 Ibe Karyanto, ibid, hal. 65.
17 Gunawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, hal. 17.
18 Gunawan Mohamad, ibid, hal. 35-36.
19 Ibe Karyanto, ibid, hal. 62.
20 Soedarso Sp., “Revolusi Indonesia dalam Rekaman Seni Lukis, Sebuah Kajian Semiotik”, makalah disajikan dalam Seminar LIPI Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1995, hal. 6-7.
Comments
Post a Comment