PENGEMBANGAN BUDAYA SPIRITUAL DALAM KONTEKS SOSIAL BUDAYA
Dalam kehidupan sosial budaya dewasa ini tengah terjadi trend baru berupa pesatnya perkembangan agama Islam puritan dan Islam radikal yang ingin mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Side efect (efek samping) yang paling terasa adalah aspek-aspek kebudayaan lokal tidak lagi menjadi bagian atau perekat pelaksanaan syariat. Apabila pada masa lalu kebudayaan lokal memiliki peranan penting dalam penyampaian ajaran atau syiar, maka yang terjadi sekarang adalah sebaliknya, yaitu adanya usaha isolasi terhadap budaya lokal dalam pelaksanaan ajaran.
Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan budaya spiritual, kondisi demikian dapat dimaknai sebagai hal yang tidak menguntungkan. Di Pulau Jawa saja ada beberapa ratus ajaran kepercayaan yang merupakan sempalan (varian) dari agama Islam. Berbagai ajaran kepercayaan yang pada umumnya berupa ajaran budi luhur dan kawruh sangkan paran untuk mencapai tataran insan kamil (urip sampurna) justru sering dimaknai sebagai bentuk penyimpangan.
Dalam kacamata pandang filsafat timur, banyaknya ajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa terjadi adalah keniscayaan, karena manusia adalah homo religius. Setiap manusia berhak mencari Tuhannya dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya. Upaya Tuhan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui wahyu dan melalui akal pikiran manusia. Pencarian Tuhan melalui wahyu adalah sebagaimana dilakukan melalui pelaksanaan ajaran agama. Adapun pencarian Tuhan melalui akal pikiran didasarkan pada hasil olahan cipta, rasa dan karsa. Dalam hal ini pengalaman dan tindakan yang bersifat pribadi sangat menentukan seberapa dekat seorang manusia mengenal Tuhannya. Oleh karena itu konsep pencarian Tuhan model yang demikian ini digolongkan sebagai bagian dari kabudayan, bukan agama. Namun demikian baik pencarian Tuhan melalui wahyu maupun akal pikiran sama-sama mempertanyakan apa dan siapakah manusia itu, dari mana asal manusia, apakah yang dimaksud dengan hidup dan kemanakah perginya manusia setelah hidup di dunia. Dengan kata lain manusia mencari jawaban dari persoalan aku mbiyen ora ana, ning saiki dadi ana, mbesuk maneh ora ana.
Selama manusia masih ada, saya yakin varian-varian kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang demikian ini akan terus berlangsung. Sebab pencarian Tuhan adalah persoalan yang sangat pribadi dan sensitif. Setiap pribadi berhak menentukan pilihan jalan untuk mencapai derajat ketuhanan yang diyakininya. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana agar sistem kepercayaan semacam ini dapat sinergi dalam kehidupan sosial budaya di alam post modernisme seperti sekarang? Hal paling sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan cara saling menghormati dan saling menghargai, mad-sinamadan dan toleransi antar pemeluk agama dan kepercayaan.
Kebebasan memeluk agama dan kepercayaan sebagaimana tersebut di dalam UUD’45 pada prinsipnya justru melahirkan keterbatasan. Semakin kita bebas menentukan pilihan maka berarti pula kita semakin terbatas dengan pilihan yang kita tentukan. Dalam falsafah Jawa dikenal ungkapan isi sama dengan kosong dan kosong sama dengan isi. Artinya ketika kita bebas menentukan pilihan agama yang kita yakini, maka berarti kita dibatasi oleh kebebasan yang sama yang dimiliki orang lain. Dengan demikina tanpa adanya toleransi akan berakibat terkuranginya kebebasan orang lain dalam menentukan pilihan. Apabila hal ini terjadi maka akan bermuara pada terjadinya konflik antar kelompok agama/kepercayaan, antar etnik dan antar kepentingan.
Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan budaya spiritual, kondisi demikian dapat dimaknai sebagai hal yang tidak menguntungkan. Di Pulau Jawa saja ada beberapa ratus ajaran kepercayaan yang merupakan sempalan (varian) dari agama Islam. Berbagai ajaran kepercayaan yang pada umumnya berupa ajaran budi luhur dan kawruh sangkan paran untuk mencapai tataran insan kamil (urip sampurna) justru sering dimaknai sebagai bentuk penyimpangan.
Dalam kacamata pandang filsafat timur, banyaknya ajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa terjadi adalah keniscayaan, karena manusia adalah homo religius. Setiap manusia berhak mencari Tuhannya dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya. Upaya Tuhan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui wahyu dan melalui akal pikiran manusia. Pencarian Tuhan melalui wahyu adalah sebagaimana dilakukan melalui pelaksanaan ajaran agama. Adapun pencarian Tuhan melalui akal pikiran didasarkan pada hasil olahan cipta, rasa dan karsa. Dalam hal ini pengalaman dan tindakan yang bersifat pribadi sangat menentukan seberapa dekat seorang manusia mengenal Tuhannya. Oleh karena itu konsep pencarian Tuhan model yang demikian ini digolongkan sebagai bagian dari kabudayan, bukan agama. Namun demikian baik pencarian Tuhan melalui wahyu maupun akal pikiran sama-sama mempertanyakan apa dan siapakah manusia itu, dari mana asal manusia, apakah yang dimaksud dengan hidup dan kemanakah perginya manusia setelah hidup di dunia. Dengan kata lain manusia mencari jawaban dari persoalan aku mbiyen ora ana, ning saiki dadi ana, mbesuk maneh ora ana.
Selama manusia masih ada, saya yakin varian-varian kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang demikian ini akan terus berlangsung. Sebab pencarian Tuhan adalah persoalan yang sangat pribadi dan sensitif. Setiap pribadi berhak menentukan pilihan jalan untuk mencapai derajat ketuhanan yang diyakininya. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana agar sistem kepercayaan semacam ini dapat sinergi dalam kehidupan sosial budaya di alam post modernisme seperti sekarang? Hal paling sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan cara saling menghormati dan saling menghargai, mad-sinamadan dan toleransi antar pemeluk agama dan kepercayaan.
Kebebasan memeluk agama dan kepercayaan sebagaimana tersebut di dalam UUD’45 pada prinsipnya justru melahirkan keterbatasan. Semakin kita bebas menentukan pilihan maka berarti pula kita semakin terbatas dengan pilihan yang kita tentukan. Dalam falsafah Jawa dikenal ungkapan isi sama dengan kosong dan kosong sama dengan isi. Artinya ketika kita bebas menentukan pilihan agama yang kita yakini, maka berarti kita dibatasi oleh kebebasan yang sama yang dimiliki orang lain. Dengan demikina tanpa adanya toleransi akan berakibat terkuranginya kebebasan orang lain dalam menentukan pilihan. Apabila hal ini terjadi maka akan bermuara pada terjadinya konflik antar kelompok agama/kepercayaan, antar etnik dan antar kepentingan.
Comments
Post a Comment