TANGGUNG JAWAB YURIDIS PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN ATAS PRODUK MAKANAN KHAS BANYUMAS DI KABUPATEN BANYUMAS
A. Latar Belakang Masalah
Perilaku pasar dalam pelaksanaannya melahirkan perilaku bisnis yang melibatkan perseorangan atau kelompok. Perilaku bisnis menempatkan para pelaku usaha sebagai pihak yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dan membuka terjadinya persaingan di antara para pelaku bisnis itu sendiri. Dalam tataran inilah kemudian sering kali terjadi kegiatan usaha (bisnis) yang tidak sehat. Prasetyo Sudyatmiko mengemukakan empat contoh elemen yang mempengaruhi perilaku bisnis yang tidak sehat, yaitu (1) konglomerasi, (2) kartel atau trust, (3) insider trading, dan (4) persaingan tidak sehat/curang[1]. Sekurang-kurangnya ada empat bentuk perbuatan yang lahir dari perilaku bisnis yang tidak sehat, yaitu: (1) menaikkan harga, (2) menurunkan mutu, (3) dumping, dan (4) pemalsuan produk. Semua itu menyebabkan kesenjangan ekonomi yang merugikan berbagai pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi[2].
Perilaku bisnis yang tidak sehat menempatkan konsumen pada posisi yang lemah. Pelaku usaha menjadi kekuatan superior yang menempatkan konsumen dalam posisi menerima apapun wujud dan kualitas hasil produksi yang beredar di pasaran. Untuk mengantisipasi tindakan-tindakan pelaku usaha yang merugikan pihak konsumen, maka diperlukan usaha penyadaran agar tahu dan peduli terhadap hak-hak mereka. Hal demikian membutuhkan pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk mampu melindungi dirinya. Langkah seperti ini akan mempengaruhi pihak pelaku usaha barang dan jasa untuk menumbuhkan sikap prilaku yang usaha yang bertanggungjawab.
Dalam rangka mencapai tujuan demikian sudah barang tentu diperlukan bingkai aturan hukum yang mengatur hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen. Bingkai aturan hukum ini memiliki fungsi ganda. Di satu sisi menjadi “payung hukum” yang melindungi konsumen dari tindakan-tindakan merugikan yang dilakukan oleh pihak pelaku usaha. Di sisi lain akan memiliki efek memiliki “daya paksa” sekaligus sebagai rambu-rambu yang tegas bagi pelaku usaha barang dan jasa guna melindungi kepentingan konsumen. Wujud aturan hukum ini akan mengikat semua orang, baik dalam arti normatif maupun dalam arti sosiologis untuk menciptakan masyarakat pada tegaknya orde tertentu tanpa harus ditakut-takuti dengan “pedang hukum” yang membawa peluang “penyelundupan hukum” di dalamnya. Pertimbangan yang paling prinsip adalah bagaimana menciptakan aturan hukum yang memperhatikan keseimbangan antara perlindungan hukum di pihak konsumen dan pelaku usaha sebagai pihak-pihak yang terikat di dalam norma equality bevore the law.
Dalam wacana perkembangan Kabupaten Banyumas yang tengah mewujudkan diri sebagai daerah tujuan wisata, bingkai aturan hukum semacam itu sangat penting artinya bagi pelaksanaan usaha yang saling menguntungkan serta kesetaraan posisi antara pelaku usaha dan konsumen. Di daerah ini berkembang produk-produk wisata yang berupa industri makanan, baik yang berskala besar maupun kecil yang dikelola oleh perorangan maupun secara kelembagaan. Perkembangan demikian sudah tentu akan membawa resiko interaksi antara pelaku usaha dan konsumen dalam kaitannya dengan perkembangan usaha barang dan jasa.
Bentuk-bentuk usaha makanan yang dewasa ini semakin marak adalah bentuk usaha makanan khas Banyumas. Yang dimaksud dengan “khas” di sini adalah suatu jenis atau macam produk tertentu yang bersifat lokal, spesifik dan memiliki ciri atau karakteristik yang berbeda dengan yang dijumpai di daerah lain. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan produk makanan khas Banyumas adalah jenis makanan tertentu yang secara spesifik hanya terdapat di daerah Banyumas. Pada umumnya makanan tersebut terdiri dari jenis-jenis makanan tradisional yang diproduksi secara manual oleh perorangan maupun kelompok-kelompok home industry. Sebagai bentuk makanan tradisional maka bahan bakunya berupa bahan baku makanan yang secara kultural terdapat di daerah ini seperti ketela, kelapa, gula kelapa, beras, jagung dan lain-lain. Berbagai jenis makanan yang dapat diproduksi dari bahan baku seperti itu antara lain: ondhol-ondhol, ehe, combro, gethuk, ciwel, timus, niwo atau themplek, bongkrek, sroto, dawet, nopia, mendhoan, dan lain-lain.
Kasus-kasus keracunan makanan di Kabupaten Banyumas rata-rata terjadi di pedesaan yang jauh dari keramaian kota. Memang di lokus seperti ini peluang terjadinya keracunan makanan tradisional sering terjadi karena pihak pelaku usaha makanan cenderung kurang memperhatikan kebersihan, kesehatan dan keselamatan kerja. Terjadinya beberapa kasus keracunan makanan tersebut membuktikan bahwa konsumen lebih berposisi sebagai obyek yang hanya menerima apa adanya hasil produksi para pelaku usaha makanan. Di sinilah pentingnya keberadaan peraturan hukum yang tegas untuk mengatur pertanggungjawaban secara yuridis bagi para pelaku usaha makanan khas Banyumasan. Hal demikian akan berpengaruh sebagai pembelajaran bagi masyarakat dalam upaya menciptakan kesadaran hukum bagi para pelaku usaha makanan khas Banyumas serta memberikan perlindungan bagi konsumen.
Ada tiga elemen yang saling berkaitan pada kasus keracunan makanan khas Banyumas di Kabupaten Banyumas. Pertama, pelaku usaha makanan telah melakukan malpraktek berupa cara produksi yang menghasilkan makanan beracun. Dalam hal ini pelaku usaha sebagai pihak yang telah melakukan kesalahan memiliki tanggung jawab secara yuridis, moral sekaligus sosial. Secara hukum, pelaku usaha terebut harus berhadapan dengan hukum untuk mempertanggungjawabkan kesalahan yang telah dilakukannya. Secara moral, ia telah melakukan tindakan mencelakakan orang lain yang tidak sesuai dengan nilai moral yang berlaku di lingkungan masyarakat. Adapun dari sisi tanggung jawab sosial, ia harus berhadapan dengan masyarakat di sekitar yang telah mengalami keracunan sebagai buah dari usaah yang dijalankannya.
Elemen kedua adalah makanan yang diproduksi. Makanan hasil produksi adalah makanan yang dimungkinkan tidak bersih, tidak higenis atau menggunakan alat-alat produksi yang menyebabkan tumbuhnya racun yang membahayakan bagi kesehatan fisik. Peristiwa tersebut bisa jadi karena unsur kesengajaan atau ketidaksengajaan, tetapi dampaknya sama; terjadinya keracunan pada orang lain. Hasil produksi demikian memungkinkan terjadi pada jenis-jenis makanan khas Banyumas yang lain.
Elemen ketiga adalah konsumen. Konsumen yang berada dalam posisi lemah, yaitu menerima hasil produksi tanpa menyelidik lebih jauh bagaimana cara produksi dan apa yang ada di balik hasil produksi makanan yang mereka beli. Kebiasaan demikian tidak hanya dialami oleh masyarakat pedesaan. Secara umum seorang konsumen yang sudah memutuskan membeli sebuah produk makanan sudah meyakini bahwa produk makanan tersebut layak untuk konsumsi.
Di sinilah letak pentingnya Undang-Undang yang mengatur tentang perlindungan konsumen sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dikenal dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Di dalam UUPK dijabarkan tentang hak dan kewajiban produsen dan konsumen, tanggung jawab pihak produsen apabila terjadi hal-hal yang merugikan konsumen serta sanksi-sanksi bagi produsen sebagai konsekuensi dari hal-hal yang merugikan tersebut. Dengan terbitnya Undang-undang ini diharapkan setiap tindakan pelaku usaha yang merugikan konsumen dapat dihadapkan dengan sanksi hukum. Hal demikian akan dapat meminimalisir keengganan masyarakat memperkarakan pihak pelaku usaha.
Dari uraian kasus-kasus tersebut, nampaknya perlu ditinjau dari pendekatan yang teliti dan mengarah pada hakekat hak setiap orang dalam melakuakan interaksi sosial di tengah masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa hukum bersifat mengatur hubungan antar orang yang satu dengan orang yang lain, antara orang dengan masyarakat, atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, yang akan menimbulkan kekuasaan, kewenagan atau kewajiban.
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
Bagaimanakah pertanggung jawaban yuridis pelaku usaha terhadap konsumen yang telah dirugikan karena mengkonsumsi makanan yang tidak sesuai dengan syarat kesehatan atau yang mengandung cacat tersembunyi di kabupaten Banyumas.
Bagaimanakah penyelesaian sengketa apabila terjadi masalah kerugian terhadap konsumen?
B. Pembahasan
1. Pertanggungjawaban Yuridis Pelaku Usaha Makanan Khas Banyumas
Untuk dapat mengetahui tanggung jawab yuridis yang dapat dituntut dari seorang pelaku usaha, lebih dahulu dilihat bagaimana hubungan atau keterikatan di antara sesama pelaku usaha baik itu pabrik, distributor atau pengecer dan dengan konsumen, dengan kata lain bentuk hubungan hukum apa yang timbul antara sesama pelaku usaha dengan konsumen. Umumnya produk yang sampai ke tangan konsumen telah melalui tahap kegiatan perdagangan yang panjang mulai dari produsen pembuat, distributor, pengecer hingga ke konsumen. Masing-masing pihak merupakan unit-unit kegiatan perdagangan tersendiri dengan peranan tesendiri pula. Sewaktu pihak yang terkait dalam pembuatan suatu produk hingga sampai ke tangan konsumen disebut sebagai produsen atau pelaku usaha.
Seorang konsumen yang memakai atau mengkonsumsi produk dapat memperolehnya dari pasar dengan cara membeli, atau dari pihak lain dengan tanpa membeli, misalnya karena pemberian secara cuma-cuma ataupun karena salah satu anggota keluarga membeli lalu dikonsumsi secara bersama-sama dengan anggota lainnya, dengan demikian tampak bahwa ada dua golongan konsumen jika debedakan dari segi cara memperoleh produk untuk dikonsumsi, yaitu konsumen yang memperolehnya dengan cara membeli dari produsen dan konsumen yang tidak membeli tetapi memperolehnya dengan cara lain. Berdasarkan hal diatas maka dapat dibedakan dua jenis hubungan antara produsen dan konsumen yaitu: hubungan berdasarkan perjanjian dan hubungan diluar perjanjian
Dalam hubungan jual beli, menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah di janjikan. Dalam hubungan jual beli ini, kepada kedua belah pihak dibebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 1473-1512 KUH Perdata untuk penjual dan Pasal 1523-1528 untuk pembeli.
Kewajiban utama penjual adalah menyerahkan barang dan menanggung (Pasal 1474 KUHPerdata) dalam pengertian menjamin kenikmatan tenteram dan menjamin dari cacat tersembunyi. Hal ini merupakan konsekuensi yang diberikan dari penjual kepada pembeli[3]. Apabila pembeli dihukum, atas tuntutan pihak ketiga, maka pembeli dapat menuntut penjual :
1. Pengembalian uang harga pembelian
2. Pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil itu kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan
3. Biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan gugatan pembeli untuk ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh si penggugat asal .
4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan penyerahannya sekedar itu telah dibayar oleh pembeli (Pasal 1496 KUH Perdata).
5. Kewajiban biaya perkara mengenai pembelian dan penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh pembeli (Pasal 1496 KUH Perdata),
6. Biaya perkara mengenai pembelian dan penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh pembeli (Pasal 1496 KUH Perdata).
Kewajiban terhadap cacat tersembunyi, maksud dari cacat tersembunyi yaitu, cacat yang sedemikian rupa bentuknya sehinggga tidak kelihatan dengan mudah oleh seorang pembeli yang normal, bukannya pembeli yang terlampau teliti sebab adalah mungkin sekali bahwa orang yang sangat teliti akan menemukan cacat itu[4]. Sehubungan cacat tersembunyi, pembeli dapat mengembalikan barang dan menuntut kembali harga pembelian atau tetap menguasai barang dan menuntut pengembalian sebagian dari harganya yang sudah dibayarkannya. Jika penjual telah mengetahui adanya cacat tersembunyi itu, selain ia diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya, juga diwajibkan mengganti semua kerugian yang diderita pembeli sebagai akibat barang yang dibelinya (pasal 1507 dan 1508 KUH Perdata).
Jika penjual tidak mengetahui adanya cacat itu, ia hanya diwajibkan mengembali-kan harga pembelian dan mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pembeli untuk menyelenggarakan pembelian dan penyerahan sekedar itu telah dikeluarkan oleh pembeli (pasal 1509 KUH Perdata). Menurut pasal 1365 KUH Perdata, tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Pasal di atas tidak menyebutkan arti perbuatan melawan hukum itu dan juga apa kriterianya. Tampaknya pembuat undang-undang ini bermaksud menyerahkan pengertian perbuatan melawan hukurn itu kepada perkembangan hukum dan masyarakat. Semula perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai pcrbuatan yang bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis), tetapi sejak Drucker Arrest dalam perkara Cohen dan Lindebaum yang diputuskan pada tahun 1919 maka dianut pendirian baru yang lebih luas dengan memasukkan unsur kepatutan dan kesusilaan ke dalam pengertian hukum.
Sejak saat itu, perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai suatu perbuatan yang: (1) melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, (2) bertentangan dengan kesusilaan, dan (3) tidak sesuai dengan lcepantasan dalam masyarakat prihal memperhatikan kepentingan orang lain[5]. Adapun untuk dapat menuntut atas dasar perbuatan melawan hukum maka harus dipenuhi beberapa syarat, yaitu: (1) ada suatu perbuatan melawan hukum, (2) ada kesalahan, (3) ada kerugian, dan (4) ada hubungan kausal antara kerugian dengan kesalahan.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa perbuatan melawan hukum mencakup pengertian berbuat atau tidak berbuat (pasif) sehingga bertentangan dengan hukum dalam arti luas. Menurut ajaran/teori kesalahan, kewajiban adanya kesalahan selalu ada. Meskipun dalam ketentuan unsur itu tidak ada namun harus dipersangkakan ada[6].
Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum maka unsur kesalahan ini harus dapat dibuktikan. Kesalahan di sini umumnya diartikan secara luas, yang meliputi kesengajaan dan kekurang hati-hatian atau kelalaian. Ukuran.yang dipergunakan adalah perbuatan dari seorang manusia dalam keadaan normal. Dalam perbuatan melawan hukum disyaratkan adanya kerugian, yang umumnya dalam kaitannya dengan perbuatan melawan hukum terdiri dari dua unsur yaitu kerugian yang diderita berupa berkurangnya kekayaan dan kehilangan keuntungan. Adapun sebagai syarat terakhir adalah bahwa antara kerugian dengan kesalahan pada perbuatan melawan hukum harus ada hubungan kausalitas, yang berarti bahwa kerugian yang diderita oleh korban perbuatan rnelawan hukum itu adalah kerugian yang semata-mata timbul atau 1ahir karena terjadinya perbuatan melawan hukurn yang di1akutan oleh pelaku. Ini berarti bahwa harus dibuktikan kaitan antara kerugian dengan kesalahan pelaku pada perbuatan melawan hukum.
Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen khususnya menentukan tanggungjawab produsen kepada konsumen yang menderita kerugian karena produk cacat, maka konsumen harus dapat membuktikan adanya kesalahan produsen dalam membuat (memproduksi) hingga memasarkan produknya sehingga produk mengandung cacat tersembunyi, yang pada akahirnya cacat itu menimbulkan kerugian pada konsumen.setelah mengkonsumsinya. Perlu dibuktikan pula kerugian itu merupakan akibat langsung dari cacat yang dikandung oleh produk.yang dikonsumsi itu.
Demi perlindungan angggota masyarakat terhadap risiko yang tidak rasional, yaitu perbuatan kurang hati-hati, kurang cermat yang semestinya seorang penjual memiliki kewajiban untuk cermat dan hati-hati[7] maka pelaku usaha dapat dituntut atas dasar negligence yaitu sutu perilaku yang tidak sesuai dengan standar kelakuan yang ditetapkan dalan undang-undang. Karena lemahnya kedudukan konsumen maka di tempuh dengan tanggung jawab mutlak tanpa mempertimbangkan lagi pelaku usaha bersalah atau tidak, yang membuktikan tidak bersalahnya pelaku usaha adalah pelaku usaha sendiri. Di Indonesia menurut Pasal 28 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
2. Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara umum diatur dalam UUPK Nomor 8 Tahun 1999, BaB VI, Pasal 19 diatur tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha. Adapun pemberian ganti kerugian dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku usaha yaitu kerugian atas: kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Mengenai hal tersebut secara lebih rinci diatur dalam Pasal 45 sebagai berikut:
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal tersebut menunjukan bahwa sesungguhnya penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dapat ditempuh melalui jalur legislasi dan non legislasi, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Melalui Pola Litigasi
Penyelesaian melalui pola litigasi telah diatur dalam dalam Pasal 48 UUPK yang dapat dikutip sebagai berikut: “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang pengadilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45.” Sebelumnya, pada Pasal 46 UUPK disebutkan mengenai gugatan sebagaimana tersebut dalam kutipan berikut:
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
(a) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
(b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan sama;
(c) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentik\ngan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
(d) Pemerintah dan /atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimafaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atu korban yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hurufb,huruf c atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian meteri yang besar dan /atau korban yang tidak sedikit sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pada Pasal 44 UUPK disebutkan dengan tegas tentang perlindungan konsumen sebagaimana dikutip sebagai berikut:
(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swwadaya masyarakat meliputi kegiatan:
(a) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
(b) Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
(c) Bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen
(d) Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
(e) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Salah satu contoh kasus penyelesaian keracunan makanan melalui pola litigasi adalah kasus keracunan tempo bongkrek di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir pada tahun 1988 yang melibatkan terdakwa Munadi alias Darkiman dan Ny. Alfiah alias Ny. Munadi. Melalui proses hukum di Pengadilan Negeri Purwokerto, kedua terdakwa dinyatakan bersalah melalui putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 20/PID.B/1988/PN.PET. Di dalam putusan Pengadilan tersebut, Munadi alias Darkiman dan Ny. Alfiah alias Ny. Munadi masing-masing mendapat hukuman selama satu tahun delapan bulan penjara.
Sebagai upaya mencari penyelesaikan proses hukum secara tuntas, Munadi dan Ny. Alfiah tidak selesai sampai di situ. Kedua terdakwa ini mengajukan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi Semarang. Hasil dari upaya banting itu kemudian diputuskan melalui Putusan Nomor: 136/Pid/1989/P.T. Smg. Dalam kasus Putusan Nomor: 136/Pid/1989/P.T. Smg kerugian konsumen muncul karena akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan, yaitu berwujud dage atau tempe bongkrek. Adapun wujud ganti kerugian dapat diujudkan dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tenggang waktu pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Perbuatan mereka terdakwa diatur dan diancam dengan hukuman sesuai dengan bunyi pasal 359 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dalam kasus ini tuntutan Jaksa antara lain:
1. Menyatakan membebaskan kedua terdakwa dari dakwaan primair
2. Menyatakan terdakwa I Munadi al. Darkiman dan terdakwa II Ny. Alfiah al. Ny. Munadi yang secara bersama-sama bersalah melakukan tindak pidana yang karena salahnya atau kurang hati-hatinya yang menyebabkan matinya orang lain, dimana perbuatan kedua terdakwa diatur dan diancam pidana sesuai dengan bunyi pasal 395 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP sebagaimana tercantum dalam dakwaan subsidairi.
3. Menyatakan pidana terhadap kedua terdakwa masing-masing pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dipotong selama kedua terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah kedua terdakwa tetap ditahan.
b. Melalui Pola Non Litigasi
Penyelesaian melalui pola non litigasi telah diatur dalam dalam Pasal 47 UUPK yang dapat dikutip sebagai berikut:
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Pada Pasal 49 UUPK disebutkan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana dikutip di bawah ini:
(1) Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, seorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(a) Warga negara Republik Indonesia
(b) Berbadan sehat
(c) Berkelakuan baik
(d) Tidak pernah dihukum karena kejahatan
(e) Memiliki pengetahuan & pengalaman dalam perlindungan konsumen
(f) Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha.
(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berjumlah sedikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ditetapkan oleh menteri.
Penyelesaian kasus disamping menggunakan jalur pidana juga dapat ditempuh melalui jalur perdata. Dalam jalur perdata dasar yang digunakan sebagaimana telah dijelaskan diatas dapat dilakukan berdasarkan tanggung jawab karena perbuatan melawan hukum, kelalaian, atau dengan menggunakan dasar tanggung jawab mutlak sebagaimana diatur dalam pasal 1365, 1366, dan 1367 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian yang ditimbulkan oleh diri sendiri maupun orang lain yang berada di dalam tanggung jawabnya.
Mengingat batasan barang tidak ditentukan dengan tegas dalam undang-undang serta sulitnya pembuktian yang menggunakan dasar wanprestasi atau kelalaian, maka demi jaminan perlindungan konsumen digunakan dasar tanggung jawab mutlak, adapun wujud ganti kerugian sebagaimana diuraikan diatas dapat diujudkan dalam bentuk: (1) pengembalian uang atau, (2) penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau (3) perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kasus keracunan makanan diatas karena biasanya makanan khas Banyumas dijual di daerah, kebanyakan yang menjual golongan penjual golongan pengusaha kecil, penggantian kerugian yang berujut pengembalian uang atau penggantian barang kurang bermanfaat, karena korban sakit atau meninggal dunia dan pada kasus keracunan makanan maka yang paling sesuai adalah dengan perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan kententuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Konsumen yang keracunan makanan pada kasus yang menjual makanan adalah restoran yang bersifat multi nasional seperti McDonal, atau restoran menengah seperti Pringsewu Group atau warung makan menurut pandangan penulis lebih baik konsumen menggunakan gugatan class action, karena biasanya yang keracunan korbannya banyak, dengan dasar doktrin product liability[8]. Menurut pasal 41 UU No 7 Tahun 1966 tentang pangan disebutkan sebagai berikut:
Orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris orang yang meninggal akibat mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap badan usaha. Tergugat wajib mengganti kerugian yang secara nyata ditimbulkan maksimal Rp 500 juta, kecuali ia dapat membuktikan bahwa pangan olahan yang menggandung bahan yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, bukan diakibatkan kesalahannya.
Konsep pertanggungjawaban yang dianut dalam undang-undang ini condong pada doktrin product liability, meskipun tidak disebutkan didalamnya[9]. Konsumen yang mengalami kerugian karena memperoleh barang karena cacat tersembunyi maka dapat menuntut pelaku usaha untuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam BAB VI Pasal 19, hal ini juga lebih baik didasarkan pada produk liability karena lebih memudahkan konsumen untuk melindungi hak-haknya.
Sebelum menggunakan gugatan perdata terhadap pelaku usaha, terdapat kemungkinan penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha di luar pengadilan dengan menggunakan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), manakala pelaku usaha enggan, tidak memberi tanggapan atau tidak mau memenuhi tuntutan ganti kerugian konsumen, sebagaimana diatur dalam Bab X dari pasal 45 – Pasal 48 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. BPSK ini menyelesaikan sengketa konsumen perorangan sementara itu untuk konsumen yang sifatnya kelompok melalui peradilan umum sebagaimana diatur dalam pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menentukan bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, dan huruf d hanya dapat diajukan kepada peradilan umum[10].
BPSK dalam menangani kasus sengketa konsumen harus berbentuk majelis dengan anggota yang berjumlah ganjil paling sedikit tiga orang , dalam waktu 21 hari sejak gugatan diterima oleh BPSK sengketa harus sudah selesai. Menurut pasal 54 ayat (3) undang-undang perlindungan konsumen putusan yang dijatuhkan oleh BPSK sifatnya final, namun demikian apabila terdapat keberatan dari pihak yang merasa keberatan dapat mengajukan banding maupun kasasi[11]. Penyelesaian gugatan konsumen yang sifatnya kelompok diajukan memelui gugatan perdata sebagaimana telah penulis uraikan dimuka yaitu dengan menggunakan gugatan class action.
Penyelesaian kasus melalui pola non-litigasi dengan demikian dapat dilaksanakan paling tidak melalui lima cara, yaitu: (1) negosiasi, (2) mediasi, (3) konsultasi, (4) arbritase, dan (5) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dari kelima cara tersebut, dalam penyelesaian kasus-kasus berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha makanan khas Banyumas terhadap konsumen, umumnya dilaksanakan dengan empat cara yang pertama, yaitu melalui negosiasi, mediasi, konsultasi dan arbitrase. Cara penyelesaian melalui BPSK di Kabupaten Banyumas belum dapat dilaksanakan karena di daerah ini hingga penelitian ini dilaksanakan belum terdapat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
3. Pembinaan dan Pengawasan
Kemungkinan resiko yang ditimbulkan oleh produk makanan tradisional yang merugikan konsumen, perlu menarik masuk pihak pemerintah di disamping para pihak penggugat dan tergugat untuk aktif berperan di dalamnya, mengingat sesungguhnya perbuatan melawan hukum atas produk makanan tradisional yang merugikan konsumen oleh produsen makanan tradisional sudah tentu akan sangat dipengaruhi oleh miskinnya teknologi pengolahan makanan yang dipergunakan, meskipun di sisi lain pola pemberdayaan ekonomi yang tengah diterapkan pada kelompok masyarakat miskin teknologi pengolahan produk makanan tradisional tersebut. Untuk itu pembinaan pengawasan sebagai tanggung jawab pemerintah perlu terus menerus dilakukan, bukan sekedar uapaya penegakan hukum yang akan berujung pada perampasan kemerdekaan seseorang, sementara tergugat atau terdakwa dalam kasus tersebut sesungguhnya merupakan korban dari sebuah sistem pemberdayaan teknologi pengolahan pangan tradisional yang masih terbelakang.
Di dalam UUPK Nomor 8 tahun 1999 sebagaimana telah diatur dalam pasal 29 ayat 1 sampai dengan 5 tentang tugas pembinaan dan pengawasan pemerintah seperti berikut :
Ayat (1): “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”;
Ayat (2): “Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait”;
Ayat (3): “Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen”;
Ayat (4): “Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk :
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen”.
Ayat (5): “Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan peraturan pemerintah”.
Untuk itu, faktor pembinaan dan pengawasan yang sekarang seringkali dipergunakan sebagai faktor pelengkap dan banyak diabaikan khususnya dalam berkembangnya makanan tradisional sudah saatnya lebih dikemukakan dalam kerangka doelmatigheit dan rechtmatigheit bagi semua pelaku dalam interaksi hukum perlindungan konsumen yang tidak memihak.
C. Kesimpulan
Dengan membaca keseluruhan isi tulisan ini maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Persoalan tanggung jawab yuridis seorang pelaku usaha terhadap konsumen makanan khas Banyumas telah diatur dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Sehubungan dengan cacat tersembunyi maka pembeli dapat mengembalikan barang dan menuntut kembali harga pembelian atau tetap menguasai barang dan menuntut pengembalian sebagian dari harganya yang sudah dibayarkannya.
2. Penyelesaian sengketa apabila terjadi masalah kerugian terhadap konsumen makanan khas Banyumas dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui pola litigasi dan pola non litigasi. Penyelesaian melalui pola litigasi adalah penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang pengadilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45 UUPK.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Adrianus Meliala (ed.), 1993, Praktek Bisnis Curang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindudngan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Subekti, 1984. Aneka Perjanjian, Cetakan keenam, Alumni, Bandung, hal. 17.
Sudaryatmo, 1996, Masalah Keracunan Makanan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Tebbens, Harry Duintjer, 1980, International Product Liability, Sijtthoff & Nordhoff International Publishers, Netherland.
Van Dunne dan Van der Burght, 1987, Perbuatan Melawan Hukum, Diterjemahkan oleh L.S. Pusponegoro, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Indonesia, hal. 29, Prodjodikoro, Wirjono, 1990, Perbuatan melanggar Hukum, Cetakan ketujuh, Sumur Bandung.
Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Edisi Revisi Cetakan Kedua), Citra Aditya Bakti, Bandung.
B. Peraturan Perundangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1966 tentang Pangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
[1] Adrianus Meliala (ed.), 1993, Praktek Bisnis Curang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 140.
[2] Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Edisi Revisi Cetakan Kedua), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1.
[3] Subekti, 1984. Aneka Perjanjian, Cetakan keenam, Alumni, Bandung, hal. 17.
[4]Subekti,1984, Ibid, hal.20.
[5] Van Dunne dan Van der Burght, 1987, Perbuatan Melawan Hukum, Diterjemahkan oleh L.S. Pusponegoro, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Indonesia, hal. 29, Prodjodikoro, Wirjono, 1990, Perbuatan melanggar Hukum, Cetakan ketujuh, Sumur Bandung, hal. 14.
[6] Van Dunne dan Van der Burght, 1987, Ibid, hal. 66.
[7] Tebbens,1980, op.cit, hal. 16.
[8] Sudaryatmo, 1996, Masalah Keracunan Makanan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 44-45.
[9]Yusuf Shofie,2003, Perlindungan Konsumen dan instrument- instrument hukumnya, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 228
[10] Lihat UU Perlindungan konsumen tahun 1999 Pasal 46 ayat (1) huruf b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinan yang sama, huruf c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hokum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegs bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatannya sesuai dengan anggaran dasarnya; huruf d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.
[11] Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, 2001, loc.cit, hal 76-81
Perilaku pasar dalam pelaksanaannya melahirkan perilaku bisnis yang melibatkan perseorangan atau kelompok. Perilaku bisnis menempatkan para pelaku usaha sebagai pihak yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dan membuka terjadinya persaingan di antara para pelaku bisnis itu sendiri. Dalam tataran inilah kemudian sering kali terjadi kegiatan usaha (bisnis) yang tidak sehat. Prasetyo Sudyatmiko mengemukakan empat contoh elemen yang mempengaruhi perilaku bisnis yang tidak sehat, yaitu (1) konglomerasi, (2) kartel atau trust, (3) insider trading, dan (4) persaingan tidak sehat/curang[1]. Sekurang-kurangnya ada empat bentuk perbuatan yang lahir dari perilaku bisnis yang tidak sehat, yaitu: (1) menaikkan harga, (2) menurunkan mutu, (3) dumping, dan (4) pemalsuan produk. Semua itu menyebabkan kesenjangan ekonomi yang merugikan berbagai pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi[2].
Perilaku bisnis yang tidak sehat menempatkan konsumen pada posisi yang lemah. Pelaku usaha menjadi kekuatan superior yang menempatkan konsumen dalam posisi menerima apapun wujud dan kualitas hasil produksi yang beredar di pasaran. Untuk mengantisipasi tindakan-tindakan pelaku usaha yang merugikan pihak konsumen, maka diperlukan usaha penyadaran agar tahu dan peduli terhadap hak-hak mereka. Hal demikian membutuhkan pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk mampu melindungi dirinya. Langkah seperti ini akan mempengaruhi pihak pelaku usaha barang dan jasa untuk menumbuhkan sikap prilaku yang usaha yang bertanggungjawab.
Dalam rangka mencapai tujuan demikian sudah barang tentu diperlukan bingkai aturan hukum yang mengatur hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen. Bingkai aturan hukum ini memiliki fungsi ganda. Di satu sisi menjadi “payung hukum” yang melindungi konsumen dari tindakan-tindakan merugikan yang dilakukan oleh pihak pelaku usaha. Di sisi lain akan memiliki efek memiliki “daya paksa” sekaligus sebagai rambu-rambu yang tegas bagi pelaku usaha barang dan jasa guna melindungi kepentingan konsumen. Wujud aturan hukum ini akan mengikat semua orang, baik dalam arti normatif maupun dalam arti sosiologis untuk menciptakan masyarakat pada tegaknya orde tertentu tanpa harus ditakut-takuti dengan “pedang hukum” yang membawa peluang “penyelundupan hukum” di dalamnya. Pertimbangan yang paling prinsip adalah bagaimana menciptakan aturan hukum yang memperhatikan keseimbangan antara perlindungan hukum di pihak konsumen dan pelaku usaha sebagai pihak-pihak yang terikat di dalam norma equality bevore the law.
Dalam wacana perkembangan Kabupaten Banyumas yang tengah mewujudkan diri sebagai daerah tujuan wisata, bingkai aturan hukum semacam itu sangat penting artinya bagi pelaksanaan usaha yang saling menguntungkan serta kesetaraan posisi antara pelaku usaha dan konsumen. Di daerah ini berkembang produk-produk wisata yang berupa industri makanan, baik yang berskala besar maupun kecil yang dikelola oleh perorangan maupun secara kelembagaan. Perkembangan demikian sudah tentu akan membawa resiko interaksi antara pelaku usaha dan konsumen dalam kaitannya dengan perkembangan usaha barang dan jasa.
Bentuk-bentuk usaha makanan yang dewasa ini semakin marak adalah bentuk usaha makanan khas Banyumas. Yang dimaksud dengan “khas” di sini adalah suatu jenis atau macam produk tertentu yang bersifat lokal, spesifik dan memiliki ciri atau karakteristik yang berbeda dengan yang dijumpai di daerah lain. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan produk makanan khas Banyumas adalah jenis makanan tertentu yang secara spesifik hanya terdapat di daerah Banyumas. Pada umumnya makanan tersebut terdiri dari jenis-jenis makanan tradisional yang diproduksi secara manual oleh perorangan maupun kelompok-kelompok home industry. Sebagai bentuk makanan tradisional maka bahan bakunya berupa bahan baku makanan yang secara kultural terdapat di daerah ini seperti ketela, kelapa, gula kelapa, beras, jagung dan lain-lain. Berbagai jenis makanan yang dapat diproduksi dari bahan baku seperti itu antara lain: ondhol-ondhol, ehe, combro, gethuk, ciwel, timus, niwo atau themplek, bongkrek, sroto, dawet, nopia, mendhoan, dan lain-lain.
Kasus-kasus keracunan makanan di Kabupaten Banyumas rata-rata terjadi di pedesaan yang jauh dari keramaian kota. Memang di lokus seperti ini peluang terjadinya keracunan makanan tradisional sering terjadi karena pihak pelaku usaha makanan cenderung kurang memperhatikan kebersihan, kesehatan dan keselamatan kerja. Terjadinya beberapa kasus keracunan makanan tersebut membuktikan bahwa konsumen lebih berposisi sebagai obyek yang hanya menerima apa adanya hasil produksi para pelaku usaha makanan. Di sinilah pentingnya keberadaan peraturan hukum yang tegas untuk mengatur pertanggungjawaban secara yuridis bagi para pelaku usaha makanan khas Banyumasan. Hal demikian akan berpengaruh sebagai pembelajaran bagi masyarakat dalam upaya menciptakan kesadaran hukum bagi para pelaku usaha makanan khas Banyumas serta memberikan perlindungan bagi konsumen.
Ada tiga elemen yang saling berkaitan pada kasus keracunan makanan khas Banyumas di Kabupaten Banyumas. Pertama, pelaku usaha makanan telah melakukan malpraktek berupa cara produksi yang menghasilkan makanan beracun. Dalam hal ini pelaku usaha sebagai pihak yang telah melakukan kesalahan memiliki tanggung jawab secara yuridis, moral sekaligus sosial. Secara hukum, pelaku usaha terebut harus berhadapan dengan hukum untuk mempertanggungjawabkan kesalahan yang telah dilakukannya. Secara moral, ia telah melakukan tindakan mencelakakan orang lain yang tidak sesuai dengan nilai moral yang berlaku di lingkungan masyarakat. Adapun dari sisi tanggung jawab sosial, ia harus berhadapan dengan masyarakat di sekitar yang telah mengalami keracunan sebagai buah dari usaah yang dijalankannya.
Elemen kedua adalah makanan yang diproduksi. Makanan hasil produksi adalah makanan yang dimungkinkan tidak bersih, tidak higenis atau menggunakan alat-alat produksi yang menyebabkan tumbuhnya racun yang membahayakan bagi kesehatan fisik. Peristiwa tersebut bisa jadi karena unsur kesengajaan atau ketidaksengajaan, tetapi dampaknya sama; terjadinya keracunan pada orang lain. Hasil produksi demikian memungkinkan terjadi pada jenis-jenis makanan khas Banyumas yang lain.
Elemen ketiga adalah konsumen. Konsumen yang berada dalam posisi lemah, yaitu menerima hasil produksi tanpa menyelidik lebih jauh bagaimana cara produksi dan apa yang ada di balik hasil produksi makanan yang mereka beli. Kebiasaan demikian tidak hanya dialami oleh masyarakat pedesaan. Secara umum seorang konsumen yang sudah memutuskan membeli sebuah produk makanan sudah meyakini bahwa produk makanan tersebut layak untuk konsumsi.
Di sinilah letak pentingnya Undang-Undang yang mengatur tentang perlindungan konsumen sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dikenal dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Di dalam UUPK dijabarkan tentang hak dan kewajiban produsen dan konsumen, tanggung jawab pihak produsen apabila terjadi hal-hal yang merugikan konsumen serta sanksi-sanksi bagi produsen sebagai konsekuensi dari hal-hal yang merugikan tersebut. Dengan terbitnya Undang-undang ini diharapkan setiap tindakan pelaku usaha yang merugikan konsumen dapat dihadapkan dengan sanksi hukum. Hal demikian akan dapat meminimalisir keengganan masyarakat memperkarakan pihak pelaku usaha.
Dari uraian kasus-kasus tersebut, nampaknya perlu ditinjau dari pendekatan yang teliti dan mengarah pada hakekat hak setiap orang dalam melakuakan interaksi sosial di tengah masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa hukum bersifat mengatur hubungan antar orang yang satu dengan orang yang lain, antara orang dengan masyarakat, atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, yang akan menimbulkan kekuasaan, kewenagan atau kewajiban.
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
Bagaimanakah pertanggung jawaban yuridis pelaku usaha terhadap konsumen yang telah dirugikan karena mengkonsumsi makanan yang tidak sesuai dengan syarat kesehatan atau yang mengandung cacat tersembunyi di kabupaten Banyumas.
Bagaimanakah penyelesaian sengketa apabila terjadi masalah kerugian terhadap konsumen?
B. Pembahasan
1. Pertanggungjawaban Yuridis Pelaku Usaha Makanan Khas Banyumas
Untuk dapat mengetahui tanggung jawab yuridis yang dapat dituntut dari seorang pelaku usaha, lebih dahulu dilihat bagaimana hubungan atau keterikatan di antara sesama pelaku usaha baik itu pabrik, distributor atau pengecer dan dengan konsumen, dengan kata lain bentuk hubungan hukum apa yang timbul antara sesama pelaku usaha dengan konsumen. Umumnya produk yang sampai ke tangan konsumen telah melalui tahap kegiatan perdagangan yang panjang mulai dari produsen pembuat, distributor, pengecer hingga ke konsumen. Masing-masing pihak merupakan unit-unit kegiatan perdagangan tersendiri dengan peranan tesendiri pula. Sewaktu pihak yang terkait dalam pembuatan suatu produk hingga sampai ke tangan konsumen disebut sebagai produsen atau pelaku usaha.
Seorang konsumen yang memakai atau mengkonsumsi produk dapat memperolehnya dari pasar dengan cara membeli, atau dari pihak lain dengan tanpa membeli, misalnya karena pemberian secara cuma-cuma ataupun karena salah satu anggota keluarga membeli lalu dikonsumsi secara bersama-sama dengan anggota lainnya, dengan demikian tampak bahwa ada dua golongan konsumen jika debedakan dari segi cara memperoleh produk untuk dikonsumsi, yaitu konsumen yang memperolehnya dengan cara membeli dari produsen dan konsumen yang tidak membeli tetapi memperolehnya dengan cara lain. Berdasarkan hal diatas maka dapat dibedakan dua jenis hubungan antara produsen dan konsumen yaitu: hubungan berdasarkan perjanjian dan hubungan diluar perjanjian
Dalam hubungan jual beli, menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah di janjikan. Dalam hubungan jual beli ini, kepada kedua belah pihak dibebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 1473-1512 KUH Perdata untuk penjual dan Pasal 1523-1528 untuk pembeli.
Kewajiban utama penjual adalah menyerahkan barang dan menanggung (Pasal 1474 KUHPerdata) dalam pengertian menjamin kenikmatan tenteram dan menjamin dari cacat tersembunyi. Hal ini merupakan konsekuensi yang diberikan dari penjual kepada pembeli[3]. Apabila pembeli dihukum, atas tuntutan pihak ketiga, maka pembeli dapat menuntut penjual :
1. Pengembalian uang harga pembelian
2. Pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil itu kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan
3. Biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan gugatan pembeli untuk ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh si penggugat asal .
4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan penyerahannya sekedar itu telah dibayar oleh pembeli (Pasal 1496 KUH Perdata).
5. Kewajiban biaya perkara mengenai pembelian dan penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh pembeli (Pasal 1496 KUH Perdata),
6. Biaya perkara mengenai pembelian dan penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh pembeli (Pasal 1496 KUH Perdata).
Kewajiban terhadap cacat tersembunyi, maksud dari cacat tersembunyi yaitu, cacat yang sedemikian rupa bentuknya sehinggga tidak kelihatan dengan mudah oleh seorang pembeli yang normal, bukannya pembeli yang terlampau teliti sebab adalah mungkin sekali bahwa orang yang sangat teliti akan menemukan cacat itu[4]. Sehubungan cacat tersembunyi, pembeli dapat mengembalikan barang dan menuntut kembali harga pembelian atau tetap menguasai barang dan menuntut pengembalian sebagian dari harganya yang sudah dibayarkannya. Jika penjual telah mengetahui adanya cacat tersembunyi itu, selain ia diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya, juga diwajibkan mengganti semua kerugian yang diderita pembeli sebagai akibat barang yang dibelinya (pasal 1507 dan 1508 KUH Perdata).
Jika penjual tidak mengetahui adanya cacat itu, ia hanya diwajibkan mengembali-kan harga pembelian dan mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pembeli untuk menyelenggarakan pembelian dan penyerahan sekedar itu telah dikeluarkan oleh pembeli (pasal 1509 KUH Perdata). Menurut pasal 1365 KUH Perdata, tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Pasal di atas tidak menyebutkan arti perbuatan melawan hukum itu dan juga apa kriterianya. Tampaknya pembuat undang-undang ini bermaksud menyerahkan pengertian perbuatan melawan hukurn itu kepada perkembangan hukum dan masyarakat. Semula perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai pcrbuatan yang bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis), tetapi sejak Drucker Arrest dalam perkara Cohen dan Lindebaum yang diputuskan pada tahun 1919 maka dianut pendirian baru yang lebih luas dengan memasukkan unsur kepatutan dan kesusilaan ke dalam pengertian hukum.
Sejak saat itu, perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai suatu perbuatan yang: (1) melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, (2) bertentangan dengan kesusilaan, dan (3) tidak sesuai dengan lcepantasan dalam masyarakat prihal memperhatikan kepentingan orang lain[5]. Adapun untuk dapat menuntut atas dasar perbuatan melawan hukum maka harus dipenuhi beberapa syarat, yaitu: (1) ada suatu perbuatan melawan hukum, (2) ada kesalahan, (3) ada kerugian, dan (4) ada hubungan kausal antara kerugian dengan kesalahan.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa perbuatan melawan hukum mencakup pengertian berbuat atau tidak berbuat (pasif) sehingga bertentangan dengan hukum dalam arti luas. Menurut ajaran/teori kesalahan, kewajiban adanya kesalahan selalu ada. Meskipun dalam ketentuan unsur itu tidak ada namun harus dipersangkakan ada[6].
Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum maka unsur kesalahan ini harus dapat dibuktikan. Kesalahan di sini umumnya diartikan secara luas, yang meliputi kesengajaan dan kekurang hati-hatian atau kelalaian. Ukuran.yang dipergunakan adalah perbuatan dari seorang manusia dalam keadaan normal. Dalam perbuatan melawan hukum disyaratkan adanya kerugian, yang umumnya dalam kaitannya dengan perbuatan melawan hukum terdiri dari dua unsur yaitu kerugian yang diderita berupa berkurangnya kekayaan dan kehilangan keuntungan. Adapun sebagai syarat terakhir adalah bahwa antara kerugian dengan kesalahan pada perbuatan melawan hukum harus ada hubungan kausalitas, yang berarti bahwa kerugian yang diderita oleh korban perbuatan rnelawan hukum itu adalah kerugian yang semata-mata timbul atau 1ahir karena terjadinya perbuatan melawan hukurn yang di1akutan oleh pelaku. Ini berarti bahwa harus dibuktikan kaitan antara kerugian dengan kesalahan pelaku pada perbuatan melawan hukum.
Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen khususnya menentukan tanggungjawab produsen kepada konsumen yang menderita kerugian karena produk cacat, maka konsumen harus dapat membuktikan adanya kesalahan produsen dalam membuat (memproduksi) hingga memasarkan produknya sehingga produk mengandung cacat tersembunyi, yang pada akahirnya cacat itu menimbulkan kerugian pada konsumen.setelah mengkonsumsinya. Perlu dibuktikan pula kerugian itu merupakan akibat langsung dari cacat yang dikandung oleh produk.yang dikonsumsi itu.
Demi perlindungan angggota masyarakat terhadap risiko yang tidak rasional, yaitu perbuatan kurang hati-hati, kurang cermat yang semestinya seorang penjual memiliki kewajiban untuk cermat dan hati-hati[7] maka pelaku usaha dapat dituntut atas dasar negligence yaitu sutu perilaku yang tidak sesuai dengan standar kelakuan yang ditetapkan dalan undang-undang. Karena lemahnya kedudukan konsumen maka di tempuh dengan tanggung jawab mutlak tanpa mempertimbangkan lagi pelaku usaha bersalah atau tidak, yang membuktikan tidak bersalahnya pelaku usaha adalah pelaku usaha sendiri. Di Indonesia menurut Pasal 28 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
2. Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara umum diatur dalam UUPK Nomor 8 Tahun 1999, BaB VI, Pasal 19 diatur tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha. Adapun pemberian ganti kerugian dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku usaha yaitu kerugian atas: kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Mengenai hal tersebut secara lebih rinci diatur dalam Pasal 45 sebagai berikut:
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal tersebut menunjukan bahwa sesungguhnya penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dapat ditempuh melalui jalur legislasi dan non legislasi, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Melalui Pola Litigasi
Penyelesaian melalui pola litigasi telah diatur dalam dalam Pasal 48 UUPK yang dapat dikutip sebagai berikut: “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang pengadilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45.” Sebelumnya, pada Pasal 46 UUPK disebutkan mengenai gugatan sebagaimana tersebut dalam kutipan berikut:
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
(a) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
(b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan sama;
(c) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentik\ngan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
(d) Pemerintah dan /atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimafaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atu korban yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hurufb,huruf c atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian meteri yang besar dan /atau korban yang tidak sedikit sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pada Pasal 44 UUPK disebutkan dengan tegas tentang perlindungan konsumen sebagaimana dikutip sebagai berikut:
(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swwadaya masyarakat meliputi kegiatan:
(a) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
(b) Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
(c) Bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen
(d) Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
(e) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Salah satu contoh kasus penyelesaian keracunan makanan melalui pola litigasi adalah kasus keracunan tempo bongkrek di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir pada tahun 1988 yang melibatkan terdakwa Munadi alias Darkiman dan Ny. Alfiah alias Ny. Munadi. Melalui proses hukum di Pengadilan Negeri Purwokerto, kedua terdakwa dinyatakan bersalah melalui putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 20/PID.B/1988/PN.PET. Di dalam putusan Pengadilan tersebut, Munadi alias Darkiman dan Ny. Alfiah alias Ny. Munadi masing-masing mendapat hukuman selama satu tahun delapan bulan penjara.
Sebagai upaya mencari penyelesaikan proses hukum secara tuntas, Munadi dan Ny. Alfiah tidak selesai sampai di situ. Kedua terdakwa ini mengajukan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi Semarang. Hasil dari upaya banting itu kemudian diputuskan melalui Putusan Nomor: 136/Pid/1989/P.T. Smg. Dalam kasus Putusan Nomor: 136/Pid/1989/P.T. Smg kerugian konsumen muncul karena akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan, yaitu berwujud dage atau tempe bongkrek. Adapun wujud ganti kerugian dapat diujudkan dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tenggang waktu pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Perbuatan mereka terdakwa diatur dan diancam dengan hukuman sesuai dengan bunyi pasal 359 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dalam kasus ini tuntutan Jaksa antara lain:
1. Menyatakan membebaskan kedua terdakwa dari dakwaan primair
2. Menyatakan terdakwa I Munadi al. Darkiman dan terdakwa II Ny. Alfiah al. Ny. Munadi yang secara bersama-sama bersalah melakukan tindak pidana yang karena salahnya atau kurang hati-hatinya yang menyebabkan matinya orang lain, dimana perbuatan kedua terdakwa diatur dan diancam pidana sesuai dengan bunyi pasal 395 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP sebagaimana tercantum dalam dakwaan subsidairi.
3. Menyatakan pidana terhadap kedua terdakwa masing-masing pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dipotong selama kedua terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah kedua terdakwa tetap ditahan.
b. Melalui Pola Non Litigasi
Penyelesaian melalui pola non litigasi telah diatur dalam dalam Pasal 47 UUPK yang dapat dikutip sebagai berikut:
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Pada Pasal 49 UUPK disebutkan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana dikutip di bawah ini:
(1) Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, seorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(a) Warga negara Republik Indonesia
(b) Berbadan sehat
(c) Berkelakuan baik
(d) Tidak pernah dihukum karena kejahatan
(e) Memiliki pengetahuan & pengalaman dalam perlindungan konsumen
(f) Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha.
(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berjumlah sedikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ditetapkan oleh menteri.
Penyelesaian kasus disamping menggunakan jalur pidana juga dapat ditempuh melalui jalur perdata. Dalam jalur perdata dasar yang digunakan sebagaimana telah dijelaskan diatas dapat dilakukan berdasarkan tanggung jawab karena perbuatan melawan hukum, kelalaian, atau dengan menggunakan dasar tanggung jawab mutlak sebagaimana diatur dalam pasal 1365, 1366, dan 1367 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian yang ditimbulkan oleh diri sendiri maupun orang lain yang berada di dalam tanggung jawabnya.
Mengingat batasan barang tidak ditentukan dengan tegas dalam undang-undang serta sulitnya pembuktian yang menggunakan dasar wanprestasi atau kelalaian, maka demi jaminan perlindungan konsumen digunakan dasar tanggung jawab mutlak, adapun wujud ganti kerugian sebagaimana diuraikan diatas dapat diujudkan dalam bentuk: (1) pengembalian uang atau, (2) penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau (3) perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kasus keracunan makanan diatas karena biasanya makanan khas Banyumas dijual di daerah, kebanyakan yang menjual golongan penjual golongan pengusaha kecil, penggantian kerugian yang berujut pengembalian uang atau penggantian barang kurang bermanfaat, karena korban sakit atau meninggal dunia dan pada kasus keracunan makanan maka yang paling sesuai adalah dengan perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan kententuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Konsumen yang keracunan makanan pada kasus yang menjual makanan adalah restoran yang bersifat multi nasional seperti McDonal, atau restoran menengah seperti Pringsewu Group atau warung makan menurut pandangan penulis lebih baik konsumen menggunakan gugatan class action, karena biasanya yang keracunan korbannya banyak, dengan dasar doktrin product liability[8]. Menurut pasal 41 UU No 7 Tahun 1966 tentang pangan disebutkan sebagai berikut:
Orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris orang yang meninggal akibat mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap badan usaha. Tergugat wajib mengganti kerugian yang secara nyata ditimbulkan maksimal Rp 500 juta, kecuali ia dapat membuktikan bahwa pangan olahan yang menggandung bahan yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, bukan diakibatkan kesalahannya.
Konsep pertanggungjawaban yang dianut dalam undang-undang ini condong pada doktrin product liability, meskipun tidak disebutkan didalamnya[9]. Konsumen yang mengalami kerugian karena memperoleh barang karena cacat tersembunyi maka dapat menuntut pelaku usaha untuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam BAB VI Pasal 19, hal ini juga lebih baik didasarkan pada produk liability karena lebih memudahkan konsumen untuk melindungi hak-haknya.
Sebelum menggunakan gugatan perdata terhadap pelaku usaha, terdapat kemungkinan penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha di luar pengadilan dengan menggunakan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), manakala pelaku usaha enggan, tidak memberi tanggapan atau tidak mau memenuhi tuntutan ganti kerugian konsumen, sebagaimana diatur dalam Bab X dari pasal 45 – Pasal 48 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. BPSK ini menyelesaikan sengketa konsumen perorangan sementara itu untuk konsumen yang sifatnya kelompok melalui peradilan umum sebagaimana diatur dalam pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menentukan bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, dan huruf d hanya dapat diajukan kepada peradilan umum[10].
BPSK dalam menangani kasus sengketa konsumen harus berbentuk majelis dengan anggota yang berjumlah ganjil paling sedikit tiga orang , dalam waktu 21 hari sejak gugatan diterima oleh BPSK sengketa harus sudah selesai. Menurut pasal 54 ayat (3) undang-undang perlindungan konsumen putusan yang dijatuhkan oleh BPSK sifatnya final, namun demikian apabila terdapat keberatan dari pihak yang merasa keberatan dapat mengajukan banding maupun kasasi[11]. Penyelesaian gugatan konsumen yang sifatnya kelompok diajukan memelui gugatan perdata sebagaimana telah penulis uraikan dimuka yaitu dengan menggunakan gugatan class action.
Penyelesaian kasus melalui pola non-litigasi dengan demikian dapat dilaksanakan paling tidak melalui lima cara, yaitu: (1) negosiasi, (2) mediasi, (3) konsultasi, (4) arbritase, dan (5) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dari kelima cara tersebut, dalam penyelesaian kasus-kasus berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha makanan khas Banyumas terhadap konsumen, umumnya dilaksanakan dengan empat cara yang pertama, yaitu melalui negosiasi, mediasi, konsultasi dan arbitrase. Cara penyelesaian melalui BPSK di Kabupaten Banyumas belum dapat dilaksanakan karena di daerah ini hingga penelitian ini dilaksanakan belum terdapat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
3. Pembinaan dan Pengawasan
Kemungkinan resiko yang ditimbulkan oleh produk makanan tradisional yang merugikan konsumen, perlu menarik masuk pihak pemerintah di disamping para pihak penggugat dan tergugat untuk aktif berperan di dalamnya, mengingat sesungguhnya perbuatan melawan hukum atas produk makanan tradisional yang merugikan konsumen oleh produsen makanan tradisional sudah tentu akan sangat dipengaruhi oleh miskinnya teknologi pengolahan makanan yang dipergunakan, meskipun di sisi lain pola pemberdayaan ekonomi yang tengah diterapkan pada kelompok masyarakat miskin teknologi pengolahan produk makanan tradisional tersebut. Untuk itu pembinaan pengawasan sebagai tanggung jawab pemerintah perlu terus menerus dilakukan, bukan sekedar uapaya penegakan hukum yang akan berujung pada perampasan kemerdekaan seseorang, sementara tergugat atau terdakwa dalam kasus tersebut sesungguhnya merupakan korban dari sebuah sistem pemberdayaan teknologi pengolahan pangan tradisional yang masih terbelakang.
Di dalam UUPK Nomor 8 tahun 1999 sebagaimana telah diatur dalam pasal 29 ayat 1 sampai dengan 5 tentang tugas pembinaan dan pengawasan pemerintah seperti berikut :
Ayat (1): “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”;
Ayat (2): “Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait”;
Ayat (3): “Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen”;
Ayat (4): “Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk :
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen”.
Ayat (5): “Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan peraturan pemerintah”.
Untuk itu, faktor pembinaan dan pengawasan yang sekarang seringkali dipergunakan sebagai faktor pelengkap dan banyak diabaikan khususnya dalam berkembangnya makanan tradisional sudah saatnya lebih dikemukakan dalam kerangka doelmatigheit dan rechtmatigheit bagi semua pelaku dalam interaksi hukum perlindungan konsumen yang tidak memihak.
C. Kesimpulan
Dengan membaca keseluruhan isi tulisan ini maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Persoalan tanggung jawab yuridis seorang pelaku usaha terhadap konsumen makanan khas Banyumas telah diatur dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Sehubungan dengan cacat tersembunyi maka pembeli dapat mengembalikan barang dan menuntut kembali harga pembelian atau tetap menguasai barang dan menuntut pengembalian sebagian dari harganya yang sudah dibayarkannya.
2. Penyelesaian sengketa apabila terjadi masalah kerugian terhadap konsumen makanan khas Banyumas dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui pola litigasi dan pola non litigasi. Penyelesaian melalui pola litigasi adalah penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang pengadilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45 UUPK.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Adrianus Meliala (ed.), 1993, Praktek Bisnis Curang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindudngan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Subekti, 1984. Aneka Perjanjian, Cetakan keenam, Alumni, Bandung, hal. 17.
Sudaryatmo, 1996, Masalah Keracunan Makanan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Tebbens, Harry Duintjer, 1980, International Product Liability, Sijtthoff & Nordhoff International Publishers, Netherland.
Van Dunne dan Van der Burght, 1987, Perbuatan Melawan Hukum, Diterjemahkan oleh L.S. Pusponegoro, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Indonesia, hal. 29, Prodjodikoro, Wirjono, 1990, Perbuatan melanggar Hukum, Cetakan ketujuh, Sumur Bandung.
Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Edisi Revisi Cetakan Kedua), Citra Aditya Bakti, Bandung.
B. Peraturan Perundangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1966 tentang Pangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
[1] Adrianus Meliala (ed.), 1993, Praktek Bisnis Curang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 140.
[2] Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Edisi Revisi Cetakan Kedua), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1.
[3] Subekti, 1984. Aneka Perjanjian, Cetakan keenam, Alumni, Bandung, hal. 17.
[4]Subekti,1984, Ibid, hal.20.
[5] Van Dunne dan Van der Burght, 1987, Perbuatan Melawan Hukum, Diterjemahkan oleh L.S. Pusponegoro, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Indonesia, hal. 29, Prodjodikoro, Wirjono, 1990, Perbuatan melanggar Hukum, Cetakan ketujuh, Sumur Bandung, hal. 14.
[6] Van Dunne dan Van der Burght, 1987, Ibid, hal. 66.
[7] Tebbens,1980, op.cit, hal. 16.
[8] Sudaryatmo, 1996, Masalah Keracunan Makanan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 44-45.
[9]Yusuf Shofie,2003, Perlindungan Konsumen dan instrument- instrument hukumnya, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 228
[10] Lihat UU Perlindungan konsumen tahun 1999 Pasal 46 ayat (1) huruf b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinan yang sama, huruf c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hokum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegs bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatannya sesuai dengan anggaran dasarnya; huruf d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.
[11] Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, 2001, loc.cit, hal 76-81
Comments
Post a Comment