SEDERHANA: SEBUAH KONSEP BERKESENIAN
Kesenian merupakan bagian dari kebudayaan yang berkaitan erat dengan cita rasa dan merupakan hasil budidaya manusia sesuai dengan kodratnya yang hidup dengan selalu mengenal keindahan. Ernst Cassirer menyatakan bahwa seni merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling hakiki yang menjadikan manusia merasa lebih hidup (Ernst Cassirer,1987:240). Oleh karena itu karya cipta seni sebagai perwujudan gagasan dan pengalaman estetis tidak dapat dibendung oleh kekuatan politik, tirani kekuasan, ekonomi maupun keadaan fisik pelakunya.
Budhisantoso berpendapat bahwa kesenian merupakan gejala kebudayaan yang universal sehingga tidak ada suatu masyarakat di dunia ini yang tidak mengembangkan kesenian (S. Budhisantoso, 1994:2). Di manapun dan dalam kondisi apapun, pernyataan cita rasa keindahan tidak akan terhalangi oleh kondisi alam, fisik maupun sarana-prasarana ekspresi yang ada. Hasrat estetik tersebut dituangkan melalui berbagai media dan cara sesuai dengan pengalaman empirik serta kemampuan daya ungkap yang ada pada diri seseorang atau sekelompok orang.
Kenyataan tersebut dapat dilihat pada berbagai ragam aktivitas seni di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. Berkesenian, dalam konteks kehidupan masyarakat Banyumas hadir sebagai wujud pernyataan estetik di antara kegiatan sehari-hari yang dilatari oleh pola kehidupan tradisional-agraris. Setiap kelompok masyarakat memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkan hasrat estetik tersebut. Oleh karena itu tidak heran apabila setiap kampung memiliki ragam kesenian yang berbeda-beda. Bongkel hanya ada di Gerduren, buncis hanya di Tanggeran, krumpyung hanya di Kecitran, ujungan hanya di bantaran sungai Serayu, nit-ning hanya di Karangreja dan lain-lain. Aneka ragam kesenian itu hidup di kampung-kampung, dusun-dusun atau dukuh-dukuh, yang dibatasi oleh hutan, sungai, sawah dan tegalan. Ada pula ragam kesenian yang karena kepopulerannya mampu berkembang meluas di seantero Banyumas seperti yang dijumpai pada kesenian lengger dan ebeg.
1. Dari Yang Sederhana ke Yang Kompleks
Masyarakat Banyumas yang hidup dalam ranah kebudayaan marginal bukanlah tipikal masyarakat yang memiliki kelengkapan dan ketersediaan sarana-prasarana dan fasilitas berkesenian. Sungguhpun demikian, minat estetik mereka tidak lantas terabaikan atau tidak dapat diwujudkan. Mereka memiliki berbagai cara untuk mensiasati keadaan demi tersalurnya ide-ide atau gagasan-gagasan estetik dalam sebuah wujud kesenian. Humardani menjelaskan bahwa bentuk-bentuk lahiriah dalam kesenian tidak lebih dari suatu medium, yaitu alat untuk mengungkapkan (to express) dan menyatakan isi (to state atau to communicate) (SD. Humardani, 1959:1). Artinya, berbagai bentuk seni merupakan wadah untuk menyalurkan ide-ide atau gagasan-gagasan estetik, menjadi sarana ungkap pengalaman jiwa. Gagasan-gagasan estetik dan pengalaman jiwa inilah yang tidak lain adalah isi dari kesenian itu sendiri. Seperti apapun bentuk atau wujud kesenian yang berhasil diciptakan oleh komunitas masyarakat Banyumas, semua itu adalah media ungkap segala yang ada di dalam imajinasi dan perasaan tentang keindahan estetik yang ada di dalam diri mereka.
Berkesenian bagi masyarakat Banyumas bukan merupakan suatu tindakan yang mengharuskan persiapan-persiapan khusus maupun perkakas yang berbiaya tinggi. Berkesenian dapat dimaknai sebagai proses penuangan ide estetik yang dapat diungkapkan dengan cara apa saja. Ini dapat dilihat pada kasus munthiet dan jemblung[1] yang merupakan bentuk teater tutur tradisional. Munthiet disajikan oleh seorang pelaku (pemain/petutur), nyaris tanpa properti dan/atau peralatan yang secara khusus dipersiapkan untuk pementasan.
Dalam pertunjukannya, pemain munthiet dengan bebas berekspresi sesuai dengan pengalaman empirik yang didapatkan dalam kehidupan sosial maupun kehidupan berkesenian. Dengan dibungkus oleh alur cerita babad, dalam pertunjukannya seorang pemain munthiet dapat berekspresi apa saja nembang atau ura-ura (bernyanyi), bercerita layaknya seorang dhalang, beraksi seperti pemain kethoprak, melucu seperti badut, mendongeng, berdialog, tertawa, menangis, marah dan perilaku apa saja sesuai dengan yang dikehendaki pada saat pementasan. Ia juga dapat menjadikan apa saja yang ditemuinya saat itu sebagai properti pertunjukan. Misalnya: saat ia akan memerankan diri sebagai raja, tiba-tiba melihat sebuah kursi di dekatnya, maka ia segera mengambil kursi tersebut sebagai singgasana. Demikian pula ketika ia sedang memerankan diri sebagai seorang satria yang tengah dilanda asmaradahana, maka tiang di balai-balai rumah si penanggap dapat menjadi sarana penuangan rasa kasmaran yang ada dalam dirinya.
Jemblung secara umum mirip dengan munthiet. Bedanya, kesenian yang satu ini disajikan oleh empat orang. Dibanding dengan munthiet, jemblung lebih tertata. Dalam sajian jemblung disajikan aransemen musik yang dibangun melalui suara mulut. Keempat orang itu membagi tugas menyajikan suara instrumen-instrumen gamelan seperti kendhang, gender, siter, kenong, gong, senggak, gerong dan sindhen (Yusmanto,1997). Cara yang mereka lakukan adalah mengambil peran alat-alat musik tertentu yang sedang memiliki peran dominan di dalam sajian gendhing. Apabila sajian gendhing telah selesai, kemudian mereka membagi tugas sebagai dhalang, raja, patih, prajurit, garwa prameswari, selir, dhagelan, bendara, dan lain-lain sesuai dengan alur cerita atau plot dan adegan yang dimainkan. Dalam pertunjukan jemblung ada beberapa properti yang dengan sengaja disiapkan oleh penanggap, yaitu nasi tumpeng dan ingkung beserta lauk-pauknya. Nasi tumpeng inilah yang kemudian dijadikan sebagai sarana ekspresi dalam pertunjukan jemblung.
Baik munthiet maupun jemblung sama-sama bentuk cerita tutur yang diimajinasikan sebagai suatu bentuk teater atau sandiwara tradisional. Melihat keadaan yang terjadi pada pementasan kedua kesenian ini dapat diperoleh gambaran bahwa dalam keadaan miskin atau melarat, masyarakat Banyumas ternyata mampu mengekspresikan pengalaman estetiknya dalam sebuah pertunjukan kesenian. Mereka mampu—meminjam bahasa Tolstoy—secara sadar dengan perantaraan tanda-tanda lahiriah tertentu, menyampaikan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain (The Liang Gie,1976:60). Ini menjadi bukti masyarakat Banyumas memiliki kesadaran estetik yang diungkapkan melalui caranya sendiri. Dalam ketiadaan, mereka sadar masih memiliki fisik tubuh yang dapat digunakan sebagai media ekspresi estetik untuk dapat dinikmati oleh orang lain.
Pendapat Edi Sedyawati bahwa suatu olah seni patut disebut seni apabila mampu memberikan kebahagiaan dan sebagai santapan rasa melalui pengalaman dalam proses penikmatan karya seni (Edi Sedyawati,1982:58), dengan demikian perlu diperluas lagi pemaknaannya. Apa yang tertuang di dalam kesederhanaan munthiet dan jemblung juga merupakan bentuk usaha bagi tercapainya “kebahagiaan dan sebagai santapan rasa”. Masyarakat Banyumas memiliki cukup kesiapan emosi, rasa dan psikologis, untuk menerima dan menikmati sajian kedua ragam kesenian ini sebagai wahana pencapaian kepuasan estetik.
Dalam gradasi yang lebih kompleks dibanding dengan munthiet dan jemblung, di wilayah Banyumas tersebar berbagai ragam kesenian khas seperti aksimudha, angguk, rodat, aplang atau dhaeng atau dhames, begalan, bongkel, buncis, calung, nit-ning, cowongan, ebeg, gumbeng, kaster, laisan atau sintren, lengger, ringgeng, slawatan Jawa dan ujungan. Seperti halnya munthiet dan jemblung, beberapa ragam kesenian ini juga tampil dalam nuansa kesederhanaan. Bedanya, pada ragam kesenian terakhir ini terdapat persiapan alat yang menuntut kemampuan teknis memainkannya. Misalnya: aksimudha, angguk, rodat dan aplang yang disajikan dalam wujud seni tari islami, dibutuhkan ketrampilan memainkan alat musik berupa terbang Jawa atau genjring untuk mengiringi tari-tariannya. Demikian pula untuk menyajikan beberapa seni gerak (tari/teater) yang lain seperti begalan, buncis, ebeg, laisan atau sintren, lengger, dan ujungan, dibutuhkan persiapan-persiapan alat musik, properti sajian, sesaji dan tempat pertunjukan.
Pada beberapa jenis musik tradisional khas Banyumas seperti bongkel, calung, nit-ning, cowongan, gumbeng, kaster, ringgeng dan slawatan Jawa, terdapat alat-alat musik yang harus dipersiapkan dan membutuhkan ketrampilan teknik untuk mampu menyajikan ragam musik yang dapat dinikmati sesuai dengan standar estetik masyarakat pendukungnya. Sungguh pun demikian, berbagai ragam kesenian tersebut tetap berada dalam ranah kesederhanaan sesuai jiwa dan semangat kerakyatan yang mendasari kelahirannya.
Konsep kesederhanaan pada berbagai ragam kesenian tersebut di atas tercermin pada beberapa aspek, antara lain: (a) alat dan bahan baku, (b) teknik penyajian, (c) tempat penyajian, dan (d) kelengkapan sajian. Pada alat dan bahan baku, berbagai ragam kesenian tradisional di Banyumas menggunakan alat musik dengan bahan baku yang mudah diperoleh di lingkungan alam sekitar tempat tinggal mereka. Alat-alat musik seperti terbang, genjring, kendhang, bongkel, angklung, calung, krumpyung, gumbeng, bendhe, ringgeng dan siter memiliki bahan baku yang dingan mudah diperoleh tanpa harus mengeluarkan biaya tinggi. Terbang, genjring, kendhang dan siter terbuat dari bahan baku kayu. Untuk menimbulkan bunyi yang diinginkan, terbang, genjring dan kendhang menggunakan kulit sebagai membran yang menjadi sumber bunyi. Adapun pada siter, sumber bunyi menggunakan bahan baku berupa kawat. Alat musik bongkel, calung, angklung, krumpyung dan gumbeng terbuat dari bahan baku bambu. Adapun ringgeng dan bendhe menggunakan bahan baku besi yang juga dapat diperloleh dengan mudah dan murah.
Ragam kesenian tradisional di Banyumas disajikan dengan pola dan teknik yang relatif sederhana yang tampak pada ragam gerak tarian maupun pada aspek musikalnya. Persoalan salah-benar dalam hal teknis sajian tidak menjadi persoalan yang diperdebatkan. Kesalahan teknis dalam pertunjukan seringkali justru ditanggapi sebagai bahan yang ditertawakan bersama-sama. Fenomena demikian menggambarkan bahwa masyarakat Banyumas memiliki standar keindahan lokal tersendiri yang dibangun dari pola-pola kesederhanaan dan kesahajaan. Aspek terpenting dalam sajian adalah kedekatan dengan penonton. Pernyataan kagum terhadap kehebatan suatu bentuk pertunjukan pun tidak dilakukan melalui tepuk tangan. Cara-cara komunikasi antara pemain dan penonton dalam pementasan adalah melalui ragam gerak, irama, teknik tabuhan dan syair-syair dalam bentuk wangsalan dan parikan yang menggambarkan kenyataan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Ragam pertunjukan tradisional di Banyumas tidak memilih tempat khusus. Pertunjukan bisa dilakukan di halaman rumah, di dalam rumah ataupun di panggung. Pertunjukan dipilih mengambil tempat yang memungkinkan disaksikan banyak orang. Di tempat semacam inilah mereka dapat bergembira bersama melalui pertunjukan kesenian yang menjadi milik mereka.
Hampir setiap pertunjukan tradisional menggunakan kelengkapan sesaji dalam pementasannya. Ini berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat terhadap roh leluhur yang mereka sebut dengan istilah “luhur”. Untuk keperluan teknis sajian, ragam pertunjukan tradisional di Banyumas memiliki kelengkapan sajian yang cukup variatif. Begalan yang merupakan pertunjukan yang memiliki aspek-aspek tari dan teater tutur lazim menggunakan properti brenong kepang berupa peralatan dapur yang memiliki makna simbolik dalam kehidupan masyarakat setempat. Buncis menggunakan musik angklung sebagai properti sekaligus alat musik pengiringnya. Sementara ebeg dalam pertunjukannya menggunakan properti berupa kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu yang lazim disebut kuda kepang, kuda lumping atau ebeg.
Di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas berkembang pula ragam kesenian yang merupakan adopsi maupun adaptasi dari daerah Surakarta dan Yogyakarta antara lain: wayang kulit gagrag Banyumas, karawitan gagrag Banyumas dan siteran. Selain itu di daerah ini juga berkembang berbagai ragam kesenian yang berasal dari daerah Surakarta dan Yogyakarta antara lain: wayang kulit, wayang wong, kethoprak, wirengan dan tari-tarian tradisi gaya Surakarta dan Yogyakarta. Semua itu berkembang bersama-sama dalam satu-kesatuan kehidupan budaya, saling mengisi dan saling memperkaya satu sama lain. Setiap jenis kesenian saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Ebeg mempengaruhi buncis, aplang mempengaruhi angguk, kethoprak mempengaruhi lengger, dan seterusnya yang semua itu memungkinkan dalam konteks timbal balik (reciprokal) maupun berlangsung searah.
Berbagai ragam kesenian itu tumbuh berkembang secara turun-temurun secara berulang dengan pola-pola yang mengikat. Edi Sedyawati menyebut pertumbuhan kesenian yang demikian, “Menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya” (Edi Sedyawati,1981:48). Sebagai sebuah tradisi, ragam kesenian itu diolah berdasarkan cita rasa masyarakat Banyumas dalam pengertian luas, termasuk nilai kebudayaan tradisi, pandangan hidup, pendekatan, falsafah, rasa etis serta estetis yang kemudian diterima dan diwariskan oleh angkatan tua kepada angkatan muda. Oleh karena itu dalam studi antropologis, melihat sebuah penampilan seni pertunjukan tradisional sama halnya dengan melihat isi otak pemilik kesenian tersebut.
Soedarsono mengungkapkan bahwa di dalam kesenian tradisional terkandung nilai-nilai yang berkaitan dengan masyarakat pendukungnya dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan masyarakat pendukungnya serta selama pandangan hidup pemiliknya tidak berubah (1972:88). Nilai-nilai yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang bersifat ideal dan dianggap sebagai kebenaran hakiki yang menjadi acuan dalam hidup. Dan, cita rasa—sebagaimana dijelaskan Edi Sedyawati—merupakan perwujudan dari nilai tersebut. Dengan demikian segala bentuk, wujud, kekhasan dan spesifikasi yang dijumpai di dalam berbagai ragam kesenian tradisional di Banyumas lebih merupakan persoalan cara ungkap. Di balik semua itu terdapat wewaton (aturan dan/atau konvensi) hidup yang diyakini dan dianut bersama oleh setiap pribadi maupun kelompok masyarakat Banyumas.
2. Berkesenian dalam Konteks Pemenuhan Kebutuhan
Kesenian selain berfungsi sebagai sarana ekspresi perasaan manusia tentang keindahan, juga memiliki fungsi sosial tertentu selaras dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Kedua macam fungsi seni semacam ini dijelaskan oleh Humardani sebagai dua fungsi dasar, yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder (S.D. Humardani,1983:5). Fungsi primer berkaitan dengan sarana hayatan jiwa, sedangkan fungsi sekunder berkaitan dengan kepentingan sosial masyarakat pendukungnya. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan, berarti kesenian tengah menjalankan fungsi sosialnya. Kesenian hadir sebagai sarana bagi terpenuhinya berbagai kebutuhan manusia dalam menjalankan kehidupan bersama dalam kelompok sosial mereka.
Kessing yang berkesimpulan bahwa kesenian memiliki delapan fungsi sosial yaitu: (1) sarana kesenangan, (2) hiburan santai, (3) aktualisasi diri atau pernyataan jatidiri, (4) integratif, (5) terapi atau penyembuhan, (6) pendidikan, (7) pemulihan ketertiban, dan (8) sarana simbolik yang mengandung kekuatan magis (dalam S. Budhisantoso,1994:8). Kedelapan fungsi sebagaimana dijelaskan Kessing, masing-masing memiliki kontribusi bagi terbangunnya sebuah identitas kebudayaan. Demikian pula dalam konteks kehidupan masyarakat Banyumas, kedelapan fungsi tersebut telah mewujudkan suatu ragam identitas yang dapat membedakannya dengan kelompok masyarakat lain di luar wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. Dalam konteks bangunan identitas kebudayaan Banyumas, berbagai ragam kesenian yang ada dapat dibedakan ke dalam tiga fungsi, yaitu fungsi hiburan santai, fungsi ritual keagamaan, dan fungsi komersial.
Hiburan santai. Hampir semua jenis kesenian yang hidup di wilayah Banyumas memiliki fungsi sebagai sarana hiburan santai. Aspek logis pada fenomena demikian adalah kondisi masa lalu di Banyumas yang kehidupan masyarakatnya berpola tradisional-agraris. Hiburan santai merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat yang berpola kehidupan demikian. Menikmati pertunjukan kesenian adalah sarana melepas rasa penat di antara rutinitas mengolah sawah atau ladang warisan nenek-moyang yang telah berlangsung turun-temurun. Mereka memiliki cukup waktu pada malam hari. Saat itulah mereka melakukan berbagai aktivitas seni. Mereka bisa berperan sebagai pelaku atau sekedar penikmat.
Penikmatan seni untuk keperluan hiburan santai sangat erat hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan kesenangan. Dalam hal ini Sigmud Freud dengan tegas menjelaskan bahwa manusia melepaskan dorongan-dorongan libidonya bertransformasi melalui ego melalui berkesenian. Dalam proses transformasi ini terjadi sublimasi melalui pengerahan energi naluriah berupa dorongan egoistik intrinsik dari tujuan-tujuan seksual ke tujuan-tujuan yang lebih tinggi yang mempunyai kemanfaatan secara sosial serta sesuai dengan kegiatan, pikiran dan cita-cita yang disepakati bersama (Sigmud Freud,1986:33). Dengan demikian penikmatan seni tidak ubahnya pernyataan libido seksual. Untuk dapat menikmatinya, mereka dirangsang oleh imajinasi keindahan, adanya tindakan melepaskan dorongan libido, lalu terjadi pencapaian katarsis yang tidak lain adalah pelepasan emosi sehingga menyebabkan orang menjadi lega.
Pendapat Freud di atas didukung oleh pernyataan Herbert Read bahwa pencapaian kepuasan estetik dalam penikmatan karya seni dilakukan melalui proses eksternalisasi dorongan nafsu libido melalui sublimasi dengan perantara tindakan-tindakan estetik. Dorongan nafsu libido ini akan sampai pada titik klimaks sexual orgasm yang mengakibatkan terjadinya pelepasan emosi yang menyebabkan timbulnya rasa lega bagi pelakunya (H. Read, 1970:176-181). Rasa lega dan/atau puas inilah yang diperoleh ketika seseorang menikmati sajian kesenian. Kelelahan fisik akibat bekerja seharian tidak menjadi alasan untuk menolak kehadiran kesenian. Oleh karena itu sekalipun akitivitas keseharian telah menyedot sebagian besar energi fisik, mereka tetap menyempatkan diri untuk hadir ketika pada malam harinya terjadi pertunjukan kesenian. Melalui wahana hiburan santai seperti ini mereka mendapatkan kesenangan dan kepuasan batin yang hanya dapat diperoleh melalui jagad kesenian.
Ada banyak ragam kesenian yang lazim ditampilkan pada malam hari. Aneka ragam kesenian seperti aksimudha, angguk, rodat, dhames, calung, jemblung, lengger, munthiet dan slawatan Jawa adalah jenis-jenis kesenian yang tampil pada malam hari. Ragam kesenian yang ditampilkan pada malam hari umumnya menggunakan arena pentas berupa panggung yang dipersiapkan khusus, di teras rumah atau di balai-balai rumah. Hal tersebut dimaksudkan agar dengan mudah dapat dinikmati oleh semua yang hadir di tempat pementasan. Pertunjukan yang memiliki jumlah penonton banyak seperti aksimudha, angguk, rodat, dhames, dan lengger, umumnya dipentaskan di atas panggung model arena sehingga dapat ditonton dari berbagai penjuru. Sementara pertunjukan yang memiliki penonton terbatas seperti , calung jemblung, munthiet, ringgeng dan slawatan Jawa, umumnya dipentaskan di teras atau balai-balai rumah.
Pada siang hari terdapat pula pertunjukan kesenian yang biasanya ditanggap untuk keperluan-keperluan hajatan dan ritual-ritual tertentu. Beberapa pertunjukan pada siang hari yang lazim terjadi di Banyumas antara lain ebeg, lais, buncis, dan ujungan. Ragam kesenian ini biasanya dipentaskan di halaman rumah si penanggap yang dapat disaksikan oleh setiap warga masyarakat di sekitar tempat pertunjukan. Sementara untuk keperluan ritual, pertunjukan dilakukan di tempat-tempat terbuka seperti lapangan, sawah atau tegalan.
Melalui pertunjukan hiburan santai semacam ini, setiap pribadi masyarakat Banyumas berkesempatan mengaktualisasikan diri pribadinya. Seorang penari lengger berkesempatan menjadi seorang pujaan masyarakat karena paras wajahnya yang aduhai, tubuhnya yang menarik serta kemampuannya menari di atas panggung. Demikian pula, hal semacam ini sangat mungkin dialami oleh seorang pemain ebeg, badhud, penabuh kendhang, gambang dan lain-lain. Aktualisasi diri melalui jagad kesenian semacam ini telah digambarkan oleh Ahmad Tohari melalui novel Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari,1986). Di dalam novel tersebut dikisahkan Srintil, seorang ronggeng dari Dukuh Paruk telah berhasil merebut hati setiap penontonnya sehingga mampu menjadi ronggeng pujaan di Pecikalan. Bukan itu saja, penonton pun berkesempatan merepresentasikan dirinya ketika ia melakukan tindakan mbancer[2] pada pertunjukan lengger atau mendem atau wuru dalam pertunjukan ebeg, aplang, angguk dan buncis[3].
Pertunjukan rakyat di Banyumas juga berfungsi sebagai sarana integrasi sosial dan usaha pemulihan ketertiban sosial. Pertunjukan ujungan di daerah Gumelem, Banjarnegara, adalah salah satu contoh kasus aktivitas estetik yang digunakan untuk sarana integrasi sosial dan usaha pemulihan ketertiban sosial.[4] Pertunjukan ujungan—lebih mirip dengan olahraga saling adu pukul dengan menggunakan sebatang rotan—di Gumelem pada awalnya digunakan sebagai ajang adu kekuatan secara resmi yang diselenggarakan oleh pemuka adat sebagai akibat perebutan air irigasi antara warga Panerusan dan Gumelem. Melalui adu pukul rotan ini pihak yang kalah harus bersedia mengakui pihak yang menang untuk melakukan pembagian air irigasi secara adil. Dengan cara demikian, ternyata masyarakat Gumelem dan Panerusan tidak lagi berebut air. Mereka secara adil membagi air irigasi. Setiap datang musim kemarau panjang, acara ujungan selalu dilaksanakan untuk mencari pemenang pertandingan yang selanjutnya berhak melakukan pembagian air irigasi untuk sawah mereka.
Bagi setiap pribadi masyarakat Banyumas, pertunjukan kesenian juga dapat dijadikan sebagai sarana belajar. Kesenian adalah sarana pendidikan tentang hidup. Melalui simbol-simbol yang dipresentasikan melalui pertunjukan kesenian, penonton akan belajar tentang makna dari nilai-nilai hidup yang dianut bersama dalam kehidupan sosial. Kesenian laksana bahasa menjadi sarana untuk mengkomunikasikan ide-ide atau gagasan-gagasan seseorang kepada orang lain melalui media-media tertentu (J. Shepherd, et al., 1977). Melalui aspek komunikasi inilah, masyarakat dapat menangkap isyarat-isyarat simbolik yang tertuang melalui pertunjukan seni dan kemudian menemukan makna-makna tertentu yang disampaikan.
Ritual Keagamaan. Dalam konteks ritual keagamaan, aktivitas estetik dalam kehidupan masyarakat Banyumas banyak di antaranya yang dipergunakan untuk keperluan simbolik yang mengandung kekuatan magis. Edi Sedyawati menyatakan bahwa awalnya seni tradisi sebagai proses kebutuhan ritual dengan upacara-upacara tertentu saja, bahkan munculnya seni tradisi dari eksploitasi jiwa masyarakat yang sedang melakukan upacara ritual, sehingga pola-pola dan vokabuler yang terangkai sangat sederhana tanpa konsep ataupun terkomposisi terlebih dahulu (Edi Sedyawati, 1986:5). Bahkan Curt Sach dengan tegas membedakan fungsi tari secara garis besar menjadi dua macam, yaitu magis dan sebagai tontonan (Curt Sach, 1963:49). Berbagai ragam pertunjukan seperti ujungan, cowongan dan baritan, secara khusus dilaksanakan untuk keperluan ritual yang berhubungan dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat. Ketiga jenis pertunjukan ini merupakan sarana upacara minta hujan yang dilaksanakan pada setiap terjadi kemarau panjang.
Dalam fungsinya sebagai sarana ritual keagamaan, kesenian semacam ini memungkinkan berfungsi ganda yaitu sebagai sarana magi simpatetik dan magi proteksi (Mircea Eliade,1974). Namun demikian, di Banyumas hampir tidak pernah dijumpai model-model magi simpatetik melalui pertunjukan kesenian. Yang terjadi umumnya berupa magi proteksi, yaitu kegiatan magis religius yang melibatkan kesenian yang bertujuan untuk melindungi diri dari kekuatan alam dan/atau roh jahat yang dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia. Ritual semacam ini lebih diperuntukkan untuk tujuan penyuwunan (permohonan kepada Tuhan) untuk tujuan keselamatan, termasuk di dalamnya usaha terapi atau penyembuhan.
Kebutuhan komersial. Kesenian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan komersial sudah lama melekat dalam kehidupan masyarakat Banyumas. Pada masa lalu setiap kelompok kesenian yang baru berdiri, terlebih dahulu harus melakukan mbarang (mengamen). Dalam tradisi masyarakat setempat, mbarang merupakan laku yang harus dijalankan sebelum benar-benar go public ke dalam kancah profesional. Melalui laku mbarang ini sesungguhnya terdapat dua maksud yang sangat penting bagi kelompok kesenian yang bersangkutan. Pertama, melalui kegiatan mbarang, sebuah kelompok kesenian akan melakukan promosi dan publikasi. Pementasan yang dilakukan dari rumah ke rumah, di perempatan atau di tempat keramaian lainnya, membuka peluang bagi kelompok kesenian tersebut untuk dikenal oleh masyarakat. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, sebuah kelompok kesenian yang belum melakukan kegiatan mbarang dianggap belum serius, sehingga tidak mendapat permintaan pentas (tanggapan) dari masyarakat. Minimal, mereka harus mau melakukan pementasan gratis atau berbiaya murah di rumah kerabat keluarga yang memiliki hajat tertentu.
Kedua, melalui kegiatan mbarang, sebuah kelompok kesenian mendapatkan uang atau bahan pangan. Uang dan/atau bahan pangan yang telah terkumpul kemudian digunakan sebagai sarana upacara slametan. Saat itulah mereka menobatkan diri sebagai sebuah kelompok kesenian yang siap memenuhi permintaan tanggapan dari masyarakat.
Ketiga, melalui kegiatan mbarang, sebuah kelompok kesenian sesungguhnya sedang mempersiapkan mental mereka untuk menjadi tontonan. Bagi seorang warga masyarakat pedesaan, berdiri di atas pentas dengan disaksikan oleh puluhan atau bahkan ratusan pasang mata membutuhkan kesiapan tersendiri. Tanpa adanya kesiapan maka mereka akan nervous atau grogi yang menjadikan pertunjukan tidak mencapai tingkat kualitas yang diinginkan untuk mampu memenuhi selera estetik masyarakat pendukungnya.
Namun demikian, kegiatan mbarang ternyata tidak melulu dilakukan sebagai bagian dari laku yang harus dijalani untuk menuju ke arah profesional. Banyak di antara kelompok kesenian seperti lengger, ebeg, buncis dan lain-lain melakukan kegiatan mbarang pada saat musim paceklik (kelangkaan bahan makanan). Ini umumnya terjadi pada saat terjadinya kemarau panjang. Pada saat itulah kelompok-kelompok kesenian tersebut mendatangi daerah-daerah subur untuk melakukan kegiatan mbarang. Mereka mendapat bayaran setiap babak dalam pertunjukannya. Bayaran yang mereka terima dapat berbentuk uang, beras atau bahan pangan lainnya. Dengan cara demikian mereka mendapat uang atau bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya.
Kesenian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan komersial pada dasarnya adalah usaha memanfaatkan kesenian sebagai sarana ngupaya upa (mencari pangan) dan/atau ngupaya arta (mencari uang). Melalui berkesenian, minimal seseorang dapat ngupaya upa melalui kesenian yang menjadi lahan profesinya. Akan lebih baik apabila melalui kegiatan berkesenian, mereka tidak sekedar ngupaya upa, tetapi juga mencapai tataran ngupaya arta. Hal inilah yang kemudian menuntut personal yang terlibat di dalamnya untuk mampu menyajikan ragam kesenian yang memberikan kepuasan kepada penonton. Untuk itu, mereka meningkatkan kualitas sajian dari yang semula bersifat santai menjadi lebih serius, dari yang semula sederhana diarahkan ke tingkat yang lebih perfect.
Sebuah pertunjukan lengger barangan tentu memiliki tingkat kualitas sajian yang berbeda dengan kelompok lengger tanggapan. Apabila lengger barangan cukup melakukan pementasan dari rumah ke rumah, di perempatan jalan atau paling hebat ditanggap untuk keperluan marungan, maka lengger tanggapan hadir dalam acara khusus sebagai suguhan dalam hajatan. Dalam posisi demikian sebuah kelompok seni pertunjukan harus mampu memuaskan dan menciptakan rasa bangga si penanggap dan penontonnya. Oleh karena itu sangat masuk akal apabila pada masa lalu, seorang istri merasa bangga ketika suaminya mbancer bersama lengger pujaannya.
Kesenian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan komersial di Banyumas menapak mencapai puncaknya ketika bertebaran industri rekaman yang memasarkan hasil rekaman pertunjukan rakyat di Banyumas dalam bentuk kaset. Industri rekaman telah memberikan berkah tersendiri bagi kelompok-kelompok kesenian. Melalui pemasaran produk rekaman, kelompok-kelompok kesenian ini terangkat nilai jualnya. Sebuah kelompok kesenian yang berhasil memasuki industri rekaman, maka serta merta akan semakin digemari masyarakat. Dan, dengan demikian harga jual mereka di pasaran terangkat menjadi lebih tinggi.
[1] Istilah “munthiet” konon berasal dari kata “menthiet” yang berarti kenyang. Demikian pula istilah “jemblung”, juga digunakan untuk menyebut keadaan perut yang buncit yang berkonotasi kenyang. Kedua kesenian ini pada awalnya dilakukan oleh orang-orang melarat yang kekurangan sandang-pangan. Mereka umumnya datang di tempat orang-orang yang sedang punya khajat untuk menawarkan sebuah pementasan cerita tutur menampilkan lakon-lakon yang diambil dari cerita babad. Dengan demikian mereka berkesempatan makan enak dan setelah selesai pementasan mereka akan mendapat oleh-oleh dari si empunya khajat. Namun istilah “jemblung” juga memiliki pengertian “Jemblung Umarmadi, nama salah seorang sahabat Raja Koparman dalam serat Ambya.
[2] Mbancer adalah tindakan ngibing atau menari bersama penari lengger di atas panggung pertunjukan dengan syarat terlebih dahulu membayarkan sejumlah uang kepada penari lengger dengan cara menyematkannya di kemben yang dipakai atau di bokor/tenong yang sudah dipersiapkan.
[3] Di dalam pertunjukan ebeg, aplang, angguk dan buncis biasanya terdapat sesi mendem atau wuru, yaitu saat-saat para pemain kerasukan indhang (roh leluhur). Mereka melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam keadaan tidak sadar, misalnya: berlaku seperti kera, memakan kaca, tiduran di atas duri salak dan lain-lain. Pada sesi ini, para penonton sering kali ikut mendem bersama dengan pemain. Pada kesempatan itulah mereka juga berkesempatan ujuk kebolehan melakukan tarian-tarian dan atraksi-atraksi spontan yang tidak dapat dilakukan dalam keadaan sadar.
[4] Pertunjukan semacam ujungan juga dijumpai di Sumenep (Madura) dan Jawa Barat. Meskipun demikian kemiripan ini tidak dapat begitu saja dikatakan sebagai sebuah proses saling pengaruh-mempengaruhi antara yang satu dan yang lain.
Budhisantoso berpendapat bahwa kesenian merupakan gejala kebudayaan yang universal sehingga tidak ada suatu masyarakat di dunia ini yang tidak mengembangkan kesenian (S. Budhisantoso, 1994:2). Di manapun dan dalam kondisi apapun, pernyataan cita rasa keindahan tidak akan terhalangi oleh kondisi alam, fisik maupun sarana-prasarana ekspresi yang ada. Hasrat estetik tersebut dituangkan melalui berbagai media dan cara sesuai dengan pengalaman empirik serta kemampuan daya ungkap yang ada pada diri seseorang atau sekelompok orang.
Kenyataan tersebut dapat dilihat pada berbagai ragam aktivitas seni di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. Berkesenian, dalam konteks kehidupan masyarakat Banyumas hadir sebagai wujud pernyataan estetik di antara kegiatan sehari-hari yang dilatari oleh pola kehidupan tradisional-agraris. Setiap kelompok masyarakat memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkan hasrat estetik tersebut. Oleh karena itu tidak heran apabila setiap kampung memiliki ragam kesenian yang berbeda-beda. Bongkel hanya ada di Gerduren, buncis hanya di Tanggeran, krumpyung hanya di Kecitran, ujungan hanya di bantaran sungai Serayu, nit-ning hanya di Karangreja dan lain-lain. Aneka ragam kesenian itu hidup di kampung-kampung, dusun-dusun atau dukuh-dukuh, yang dibatasi oleh hutan, sungai, sawah dan tegalan. Ada pula ragam kesenian yang karena kepopulerannya mampu berkembang meluas di seantero Banyumas seperti yang dijumpai pada kesenian lengger dan ebeg.
1. Dari Yang Sederhana ke Yang Kompleks
Masyarakat Banyumas yang hidup dalam ranah kebudayaan marginal bukanlah tipikal masyarakat yang memiliki kelengkapan dan ketersediaan sarana-prasarana dan fasilitas berkesenian. Sungguhpun demikian, minat estetik mereka tidak lantas terabaikan atau tidak dapat diwujudkan. Mereka memiliki berbagai cara untuk mensiasati keadaan demi tersalurnya ide-ide atau gagasan-gagasan estetik dalam sebuah wujud kesenian. Humardani menjelaskan bahwa bentuk-bentuk lahiriah dalam kesenian tidak lebih dari suatu medium, yaitu alat untuk mengungkapkan (to express) dan menyatakan isi (to state atau to communicate) (SD. Humardani, 1959:1). Artinya, berbagai bentuk seni merupakan wadah untuk menyalurkan ide-ide atau gagasan-gagasan estetik, menjadi sarana ungkap pengalaman jiwa. Gagasan-gagasan estetik dan pengalaman jiwa inilah yang tidak lain adalah isi dari kesenian itu sendiri. Seperti apapun bentuk atau wujud kesenian yang berhasil diciptakan oleh komunitas masyarakat Banyumas, semua itu adalah media ungkap segala yang ada di dalam imajinasi dan perasaan tentang keindahan estetik yang ada di dalam diri mereka.
Berkesenian bagi masyarakat Banyumas bukan merupakan suatu tindakan yang mengharuskan persiapan-persiapan khusus maupun perkakas yang berbiaya tinggi. Berkesenian dapat dimaknai sebagai proses penuangan ide estetik yang dapat diungkapkan dengan cara apa saja. Ini dapat dilihat pada kasus munthiet dan jemblung[1] yang merupakan bentuk teater tutur tradisional. Munthiet disajikan oleh seorang pelaku (pemain/petutur), nyaris tanpa properti dan/atau peralatan yang secara khusus dipersiapkan untuk pementasan.
Dalam pertunjukannya, pemain munthiet dengan bebas berekspresi sesuai dengan pengalaman empirik yang didapatkan dalam kehidupan sosial maupun kehidupan berkesenian. Dengan dibungkus oleh alur cerita babad, dalam pertunjukannya seorang pemain munthiet dapat berekspresi apa saja nembang atau ura-ura (bernyanyi), bercerita layaknya seorang dhalang, beraksi seperti pemain kethoprak, melucu seperti badut, mendongeng, berdialog, tertawa, menangis, marah dan perilaku apa saja sesuai dengan yang dikehendaki pada saat pementasan. Ia juga dapat menjadikan apa saja yang ditemuinya saat itu sebagai properti pertunjukan. Misalnya: saat ia akan memerankan diri sebagai raja, tiba-tiba melihat sebuah kursi di dekatnya, maka ia segera mengambil kursi tersebut sebagai singgasana. Demikian pula ketika ia sedang memerankan diri sebagai seorang satria yang tengah dilanda asmaradahana, maka tiang di balai-balai rumah si penanggap dapat menjadi sarana penuangan rasa kasmaran yang ada dalam dirinya.
Jemblung secara umum mirip dengan munthiet. Bedanya, kesenian yang satu ini disajikan oleh empat orang. Dibanding dengan munthiet, jemblung lebih tertata. Dalam sajian jemblung disajikan aransemen musik yang dibangun melalui suara mulut. Keempat orang itu membagi tugas menyajikan suara instrumen-instrumen gamelan seperti kendhang, gender, siter, kenong, gong, senggak, gerong dan sindhen (Yusmanto,1997). Cara yang mereka lakukan adalah mengambil peran alat-alat musik tertentu yang sedang memiliki peran dominan di dalam sajian gendhing. Apabila sajian gendhing telah selesai, kemudian mereka membagi tugas sebagai dhalang, raja, patih, prajurit, garwa prameswari, selir, dhagelan, bendara, dan lain-lain sesuai dengan alur cerita atau plot dan adegan yang dimainkan. Dalam pertunjukan jemblung ada beberapa properti yang dengan sengaja disiapkan oleh penanggap, yaitu nasi tumpeng dan ingkung beserta lauk-pauknya. Nasi tumpeng inilah yang kemudian dijadikan sebagai sarana ekspresi dalam pertunjukan jemblung.
Baik munthiet maupun jemblung sama-sama bentuk cerita tutur yang diimajinasikan sebagai suatu bentuk teater atau sandiwara tradisional. Melihat keadaan yang terjadi pada pementasan kedua kesenian ini dapat diperoleh gambaran bahwa dalam keadaan miskin atau melarat, masyarakat Banyumas ternyata mampu mengekspresikan pengalaman estetiknya dalam sebuah pertunjukan kesenian. Mereka mampu—meminjam bahasa Tolstoy—secara sadar dengan perantaraan tanda-tanda lahiriah tertentu, menyampaikan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain (The Liang Gie,1976:60). Ini menjadi bukti masyarakat Banyumas memiliki kesadaran estetik yang diungkapkan melalui caranya sendiri. Dalam ketiadaan, mereka sadar masih memiliki fisik tubuh yang dapat digunakan sebagai media ekspresi estetik untuk dapat dinikmati oleh orang lain.
Pendapat Edi Sedyawati bahwa suatu olah seni patut disebut seni apabila mampu memberikan kebahagiaan dan sebagai santapan rasa melalui pengalaman dalam proses penikmatan karya seni (Edi Sedyawati,1982:58), dengan demikian perlu diperluas lagi pemaknaannya. Apa yang tertuang di dalam kesederhanaan munthiet dan jemblung juga merupakan bentuk usaha bagi tercapainya “kebahagiaan dan sebagai santapan rasa”. Masyarakat Banyumas memiliki cukup kesiapan emosi, rasa dan psikologis, untuk menerima dan menikmati sajian kedua ragam kesenian ini sebagai wahana pencapaian kepuasan estetik.
Dalam gradasi yang lebih kompleks dibanding dengan munthiet dan jemblung, di wilayah Banyumas tersebar berbagai ragam kesenian khas seperti aksimudha, angguk, rodat, aplang atau dhaeng atau dhames, begalan, bongkel, buncis, calung, nit-ning, cowongan, ebeg, gumbeng, kaster, laisan atau sintren, lengger, ringgeng, slawatan Jawa dan ujungan. Seperti halnya munthiet dan jemblung, beberapa ragam kesenian ini juga tampil dalam nuansa kesederhanaan. Bedanya, pada ragam kesenian terakhir ini terdapat persiapan alat yang menuntut kemampuan teknis memainkannya. Misalnya: aksimudha, angguk, rodat dan aplang yang disajikan dalam wujud seni tari islami, dibutuhkan ketrampilan memainkan alat musik berupa terbang Jawa atau genjring untuk mengiringi tari-tariannya. Demikian pula untuk menyajikan beberapa seni gerak (tari/teater) yang lain seperti begalan, buncis, ebeg, laisan atau sintren, lengger, dan ujungan, dibutuhkan persiapan-persiapan alat musik, properti sajian, sesaji dan tempat pertunjukan.
Pada beberapa jenis musik tradisional khas Banyumas seperti bongkel, calung, nit-ning, cowongan, gumbeng, kaster, ringgeng dan slawatan Jawa, terdapat alat-alat musik yang harus dipersiapkan dan membutuhkan ketrampilan teknik untuk mampu menyajikan ragam musik yang dapat dinikmati sesuai dengan standar estetik masyarakat pendukungnya. Sungguh pun demikian, berbagai ragam kesenian tersebut tetap berada dalam ranah kesederhanaan sesuai jiwa dan semangat kerakyatan yang mendasari kelahirannya.
Konsep kesederhanaan pada berbagai ragam kesenian tersebut di atas tercermin pada beberapa aspek, antara lain: (a) alat dan bahan baku, (b) teknik penyajian, (c) tempat penyajian, dan (d) kelengkapan sajian. Pada alat dan bahan baku, berbagai ragam kesenian tradisional di Banyumas menggunakan alat musik dengan bahan baku yang mudah diperoleh di lingkungan alam sekitar tempat tinggal mereka. Alat-alat musik seperti terbang, genjring, kendhang, bongkel, angklung, calung, krumpyung, gumbeng, bendhe, ringgeng dan siter memiliki bahan baku yang dingan mudah diperoleh tanpa harus mengeluarkan biaya tinggi. Terbang, genjring, kendhang dan siter terbuat dari bahan baku kayu. Untuk menimbulkan bunyi yang diinginkan, terbang, genjring dan kendhang menggunakan kulit sebagai membran yang menjadi sumber bunyi. Adapun pada siter, sumber bunyi menggunakan bahan baku berupa kawat. Alat musik bongkel, calung, angklung, krumpyung dan gumbeng terbuat dari bahan baku bambu. Adapun ringgeng dan bendhe menggunakan bahan baku besi yang juga dapat diperloleh dengan mudah dan murah.
Ragam kesenian tradisional di Banyumas disajikan dengan pola dan teknik yang relatif sederhana yang tampak pada ragam gerak tarian maupun pada aspek musikalnya. Persoalan salah-benar dalam hal teknis sajian tidak menjadi persoalan yang diperdebatkan. Kesalahan teknis dalam pertunjukan seringkali justru ditanggapi sebagai bahan yang ditertawakan bersama-sama. Fenomena demikian menggambarkan bahwa masyarakat Banyumas memiliki standar keindahan lokal tersendiri yang dibangun dari pola-pola kesederhanaan dan kesahajaan. Aspek terpenting dalam sajian adalah kedekatan dengan penonton. Pernyataan kagum terhadap kehebatan suatu bentuk pertunjukan pun tidak dilakukan melalui tepuk tangan. Cara-cara komunikasi antara pemain dan penonton dalam pementasan adalah melalui ragam gerak, irama, teknik tabuhan dan syair-syair dalam bentuk wangsalan dan parikan yang menggambarkan kenyataan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Ragam pertunjukan tradisional di Banyumas tidak memilih tempat khusus. Pertunjukan bisa dilakukan di halaman rumah, di dalam rumah ataupun di panggung. Pertunjukan dipilih mengambil tempat yang memungkinkan disaksikan banyak orang. Di tempat semacam inilah mereka dapat bergembira bersama melalui pertunjukan kesenian yang menjadi milik mereka.
Hampir setiap pertunjukan tradisional menggunakan kelengkapan sesaji dalam pementasannya. Ini berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat terhadap roh leluhur yang mereka sebut dengan istilah “luhur”. Untuk keperluan teknis sajian, ragam pertunjukan tradisional di Banyumas memiliki kelengkapan sajian yang cukup variatif. Begalan yang merupakan pertunjukan yang memiliki aspek-aspek tari dan teater tutur lazim menggunakan properti brenong kepang berupa peralatan dapur yang memiliki makna simbolik dalam kehidupan masyarakat setempat. Buncis menggunakan musik angklung sebagai properti sekaligus alat musik pengiringnya. Sementara ebeg dalam pertunjukannya menggunakan properti berupa kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu yang lazim disebut kuda kepang, kuda lumping atau ebeg.
Di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas berkembang pula ragam kesenian yang merupakan adopsi maupun adaptasi dari daerah Surakarta dan Yogyakarta antara lain: wayang kulit gagrag Banyumas, karawitan gagrag Banyumas dan siteran. Selain itu di daerah ini juga berkembang berbagai ragam kesenian yang berasal dari daerah Surakarta dan Yogyakarta antara lain: wayang kulit, wayang wong, kethoprak, wirengan dan tari-tarian tradisi gaya Surakarta dan Yogyakarta. Semua itu berkembang bersama-sama dalam satu-kesatuan kehidupan budaya, saling mengisi dan saling memperkaya satu sama lain. Setiap jenis kesenian saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Ebeg mempengaruhi buncis, aplang mempengaruhi angguk, kethoprak mempengaruhi lengger, dan seterusnya yang semua itu memungkinkan dalam konteks timbal balik (reciprokal) maupun berlangsung searah.
Berbagai ragam kesenian itu tumbuh berkembang secara turun-temurun secara berulang dengan pola-pola yang mengikat. Edi Sedyawati menyebut pertumbuhan kesenian yang demikian, “Menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya” (Edi Sedyawati,1981:48). Sebagai sebuah tradisi, ragam kesenian itu diolah berdasarkan cita rasa masyarakat Banyumas dalam pengertian luas, termasuk nilai kebudayaan tradisi, pandangan hidup, pendekatan, falsafah, rasa etis serta estetis yang kemudian diterima dan diwariskan oleh angkatan tua kepada angkatan muda. Oleh karena itu dalam studi antropologis, melihat sebuah penampilan seni pertunjukan tradisional sama halnya dengan melihat isi otak pemilik kesenian tersebut.
Soedarsono mengungkapkan bahwa di dalam kesenian tradisional terkandung nilai-nilai yang berkaitan dengan masyarakat pendukungnya dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan masyarakat pendukungnya serta selama pandangan hidup pemiliknya tidak berubah (1972:88). Nilai-nilai yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang bersifat ideal dan dianggap sebagai kebenaran hakiki yang menjadi acuan dalam hidup. Dan, cita rasa—sebagaimana dijelaskan Edi Sedyawati—merupakan perwujudan dari nilai tersebut. Dengan demikian segala bentuk, wujud, kekhasan dan spesifikasi yang dijumpai di dalam berbagai ragam kesenian tradisional di Banyumas lebih merupakan persoalan cara ungkap. Di balik semua itu terdapat wewaton (aturan dan/atau konvensi) hidup yang diyakini dan dianut bersama oleh setiap pribadi maupun kelompok masyarakat Banyumas.
2. Berkesenian dalam Konteks Pemenuhan Kebutuhan
Kesenian selain berfungsi sebagai sarana ekspresi perasaan manusia tentang keindahan, juga memiliki fungsi sosial tertentu selaras dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Kedua macam fungsi seni semacam ini dijelaskan oleh Humardani sebagai dua fungsi dasar, yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder (S.D. Humardani,1983:5). Fungsi primer berkaitan dengan sarana hayatan jiwa, sedangkan fungsi sekunder berkaitan dengan kepentingan sosial masyarakat pendukungnya. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan, berarti kesenian tengah menjalankan fungsi sosialnya. Kesenian hadir sebagai sarana bagi terpenuhinya berbagai kebutuhan manusia dalam menjalankan kehidupan bersama dalam kelompok sosial mereka.
Kessing yang berkesimpulan bahwa kesenian memiliki delapan fungsi sosial yaitu: (1) sarana kesenangan, (2) hiburan santai, (3) aktualisasi diri atau pernyataan jatidiri, (4) integratif, (5) terapi atau penyembuhan, (6) pendidikan, (7) pemulihan ketertiban, dan (8) sarana simbolik yang mengandung kekuatan magis (dalam S. Budhisantoso,1994:8). Kedelapan fungsi sebagaimana dijelaskan Kessing, masing-masing memiliki kontribusi bagi terbangunnya sebuah identitas kebudayaan. Demikian pula dalam konteks kehidupan masyarakat Banyumas, kedelapan fungsi tersebut telah mewujudkan suatu ragam identitas yang dapat membedakannya dengan kelompok masyarakat lain di luar wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. Dalam konteks bangunan identitas kebudayaan Banyumas, berbagai ragam kesenian yang ada dapat dibedakan ke dalam tiga fungsi, yaitu fungsi hiburan santai, fungsi ritual keagamaan, dan fungsi komersial.
Hiburan santai. Hampir semua jenis kesenian yang hidup di wilayah Banyumas memiliki fungsi sebagai sarana hiburan santai. Aspek logis pada fenomena demikian adalah kondisi masa lalu di Banyumas yang kehidupan masyarakatnya berpola tradisional-agraris. Hiburan santai merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat yang berpola kehidupan demikian. Menikmati pertunjukan kesenian adalah sarana melepas rasa penat di antara rutinitas mengolah sawah atau ladang warisan nenek-moyang yang telah berlangsung turun-temurun. Mereka memiliki cukup waktu pada malam hari. Saat itulah mereka melakukan berbagai aktivitas seni. Mereka bisa berperan sebagai pelaku atau sekedar penikmat.
Penikmatan seni untuk keperluan hiburan santai sangat erat hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan kesenangan. Dalam hal ini Sigmud Freud dengan tegas menjelaskan bahwa manusia melepaskan dorongan-dorongan libidonya bertransformasi melalui ego melalui berkesenian. Dalam proses transformasi ini terjadi sublimasi melalui pengerahan energi naluriah berupa dorongan egoistik intrinsik dari tujuan-tujuan seksual ke tujuan-tujuan yang lebih tinggi yang mempunyai kemanfaatan secara sosial serta sesuai dengan kegiatan, pikiran dan cita-cita yang disepakati bersama (Sigmud Freud,1986:33). Dengan demikian penikmatan seni tidak ubahnya pernyataan libido seksual. Untuk dapat menikmatinya, mereka dirangsang oleh imajinasi keindahan, adanya tindakan melepaskan dorongan libido, lalu terjadi pencapaian katarsis yang tidak lain adalah pelepasan emosi sehingga menyebabkan orang menjadi lega.
Pendapat Freud di atas didukung oleh pernyataan Herbert Read bahwa pencapaian kepuasan estetik dalam penikmatan karya seni dilakukan melalui proses eksternalisasi dorongan nafsu libido melalui sublimasi dengan perantara tindakan-tindakan estetik. Dorongan nafsu libido ini akan sampai pada titik klimaks sexual orgasm yang mengakibatkan terjadinya pelepasan emosi yang menyebabkan timbulnya rasa lega bagi pelakunya (H. Read, 1970:176-181). Rasa lega dan/atau puas inilah yang diperoleh ketika seseorang menikmati sajian kesenian. Kelelahan fisik akibat bekerja seharian tidak menjadi alasan untuk menolak kehadiran kesenian. Oleh karena itu sekalipun akitivitas keseharian telah menyedot sebagian besar energi fisik, mereka tetap menyempatkan diri untuk hadir ketika pada malam harinya terjadi pertunjukan kesenian. Melalui wahana hiburan santai seperti ini mereka mendapatkan kesenangan dan kepuasan batin yang hanya dapat diperoleh melalui jagad kesenian.
Ada banyak ragam kesenian yang lazim ditampilkan pada malam hari. Aneka ragam kesenian seperti aksimudha, angguk, rodat, dhames, calung, jemblung, lengger, munthiet dan slawatan Jawa adalah jenis-jenis kesenian yang tampil pada malam hari. Ragam kesenian yang ditampilkan pada malam hari umumnya menggunakan arena pentas berupa panggung yang dipersiapkan khusus, di teras rumah atau di balai-balai rumah. Hal tersebut dimaksudkan agar dengan mudah dapat dinikmati oleh semua yang hadir di tempat pementasan. Pertunjukan yang memiliki jumlah penonton banyak seperti aksimudha, angguk, rodat, dhames, dan lengger, umumnya dipentaskan di atas panggung model arena sehingga dapat ditonton dari berbagai penjuru. Sementara pertunjukan yang memiliki penonton terbatas seperti , calung jemblung, munthiet, ringgeng dan slawatan Jawa, umumnya dipentaskan di teras atau balai-balai rumah.
Pada siang hari terdapat pula pertunjukan kesenian yang biasanya ditanggap untuk keperluan-keperluan hajatan dan ritual-ritual tertentu. Beberapa pertunjukan pada siang hari yang lazim terjadi di Banyumas antara lain ebeg, lais, buncis, dan ujungan. Ragam kesenian ini biasanya dipentaskan di halaman rumah si penanggap yang dapat disaksikan oleh setiap warga masyarakat di sekitar tempat pertunjukan. Sementara untuk keperluan ritual, pertunjukan dilakukan di tempat-tempat terbuka seperti lapangan, sawah atau tegalan.
Melalui pertunjukan hiburan santai semacam ini, setiap pribadi masyarakat Banyumas berkesempatan mengaktualisasikan diri pribadinya. Seorang penari lengger berkesempatan menjadi seorang pujaan masyarakat karena paras wajahnya yang aduhai, tubuhnya yang menarik serta kemampuannya menari di atas panggung. Demikian pula, hal semacam ini sangat mungkin dialami oleh seorang pemain ebeg, badhud, penabuh kendhang, gambang dan lain-lain. Aktualisasi diri melalui jagad kesenian semacam ini telah digambarkan oleh Ahmad Tohari melalui novel Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari,1986). Di dalam novel tersebut dikisahkan Srintil, seorang ronggeng dari Dukuh Paruk telah berhasil merebut hati setiap penontonnya sehingga mampu menjadi ronggeng pujaan di Pecikalan. Bukan itu saja, penonton pun berkesempatan merepresentasikan dirinya ketika ia melakukan tindakan mbancer[2] pada pertunjukan lengger atau mendem atau wuru dalam pertunjukan ebeg, aplang, angguk dan buncis[3].
Pertunjukan rakyat di Banyumas juga berfungsi sebagai sarana integrasi sosial dan usaha pemulihan ketertiban sosial. Pertunjukan ujungan di daerah Gumelem, Banjarnegara, adalah salah satu contoh kasus aktivitas estetik yang digunakan untuk sarana integrasi sosial dan usaha pemulihan ketertiban sosial.[4] Pertunjukan ujungan—lebih mirip dengan olahraga saling adu pukul dengan menggunakan sebatang rotan—di Gumelem pada awalnya digunakan sebagai ajang adu kekuatan secara resmi yang diselenggarakan oleh pemuka adat sebagai akibat perebutan air irigasi antara warga Panerusan dan Gumelem. Melalui adu pukul rotan ini pihak yang kalah harus bersedia mengakui pihak yang menang untuk melakukan pembagian air irigasi secara adil. Dengan cara demikian, ternyata masyarakat Gumelem dan Panerusan tidak lagi berebut air. Mereka secara adil membagi air irigasi. Setiap datang musim kemarau panjang, acara ujungan selalu dilaksanakan untuk mencari pemenang pertandingan yang selanjutnya berhak melakukan pembagian air irigasi untuk sawah mereka.
Bagi setiap pribadi masyarakat Banyumas, pertunjukan kesenian juga dapat dijadikan sebagai sarana belajar. Kesenian adalah sarana pendidikan tentang hidup. Melalui simbol-simbol yang dipresentasikan melalui pertunjukan kesenian, penonton akan belajar tentang makna dari nilai-nilai hidup yang dianut bersama dalam kehidupan sosial. Kesenian laksana bahasa menjadi sarana untuk mengkomunikasikan ide-ide atau gagasan-gagasan seseorang kepada orang lain melalui media-media tertentu (J. Shepherd, et al., 1977). Melalui aspek komunikasi inilah, masyarakat dapat menangkap isyarat-isyarat simbolik yang tertuang melalui pertunjukan seni dan kemudian menemukan makna-makna tertentu yang disampaikan.
Ritual Keagamaan. Dalam konteks ritual keagamaan, aktivitas estetik dalam kehidupan masyarakat Banyumas banyak di antaranya yang dipergunakan untuk keperluan simbolik yang mengandung kekuatan magis. Edi Sedyawati menyatakan bahwa awalnya seni tradisi sebagai proses kebutuhan ritual dengan upacara-upacara tertentu saja, bahkan munculnya seni tradisi dari eksploitasi jiwa masyarakat yang sedang melakukan upacara ritual, sehingga pola-pola dan vokabuler yang terangkai sangat sederhana tanpa konsep ataupun terkomposisi terlebih dahulu (Edi Sedyawati, 1986:5). Bahkan Curt Sach dengan tegas membedakan fungsi tari secara garis besar menjadi dua macam, yaitu magis dan sebagai tontonan (Curt Sach, 1963:49). Berbagai ragam pertunjukan seperti ujungan, cowongan dan baritan, secara khusus dilaksanakan untuk keperluan ritual yang berhubungan dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat. Ketiga jenis pertunjukan ini merupakan sarana upacara minta hujan yang dilaksanakan pada setiap terjadi kemarau panjang.
Dalam fungsinya sebagai sarana ritual keagamaan, kesenian semacam ini memungkinkan berfungsi ganda yaitu sebagai sarana magi simpatetik dan magi proteksi (Mircea Eliade,1974). Namun demikian, di Banyumas hampir tidak pernah dijumpai model-model magi simpatetik melalui pertunjukan kesenian. Yang terjadi umumnya berupa magi proteksi, yaitu kegiatan magis religius yang melibatkan kesenian yang bertujuan untuk melindungi diri dari kekuatan alam dan/atau roh jahat yang dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia. Ritual semacam ini lebih diperuntukkan untuk tujuan penyuwunan (permohonan kepada Tuhan) untuk tujuan keselamatan, termasuk di dalamnya usaha terapi atau penyembuhan.
Kebutuhan komersial. Kesenian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan komersial sudah lama melekat dalam kehidupan masyarakat Banyumas. Pada masa lalu setiap kelompok kesenian yang baru berdiri, terlebih dahulu harus melakukan mbarang (mengamen). Dalam tradisi masyarakat setempat, mbarang merupakan laku yang harus dijalankan sebelum benar-benar go public ke dalam kancah profesional. Melalui laku mbarang ini sesungguhnya terdapat dua maksud yang sangat penting bagi kelompok kesenian yang bersangkutan. Pertama, melalui kegiatan mbarang, sebuah kelompok kesenian akan melakukan promosi dan publikasi. Pementasan yang dilakukan dari rumah ke rumah, di perempatan atau di tempat keramaian lainnya, membuka peluang bagi kelompok kesenian tersebut untuk dikenal oleh masyarakat. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, sebuah kelompok kesenian yang belum melakukan kegiatan mbarang dianggap belum serius, sehingga tidak mendapat permintaan pentas (tanggapan) dari masyarakat. Minimal, mereka harus mau melakukan pementasan gratis atau berbiaya murah di rumah kerabat keluarga yang memiliki hajat tertentu.
Kedua, melalui kegiatan mbarang, sebuah kelompok kesenian mendapatkan uang atau bahan pangan. Uang dan/atau bahan pangan yang telah terkumpul kemudian digunakan sebagai sarana upacara slametan. Saat itulah mereka menobatkan diri sebagai sebuah kelompok kesenian yang siap memenuhi permintaan tanggapan dari masyarakat.
Ketiga, melalui kegiatan mbarang, sebuah kelompok kesenian sesungguhnya sedang mempersiapkan mental mereka untuk menjadi tontonan. Bagi seorang warga masyarakat pedesaan, berdiri di atas pentas dengan disaksikan oleh puluhan atau bahkan ratusan pasang mata membutuhkan kesiapan tersendiri. Tanpa adanya kesiapan maka mereka akan nervous atau grogi yang menjadikan pertunjukan tidak mencapai tingkat kualitas yang diinginkan untuk mampu memenuhi selera estetik masyarakat pendukungnya.
Namun demikian, kegiatan mbarang ternyata tidak melulu dilakukan sebagai bagian dari laku yang harus dijalani untuk menuju ke arah profesional. Banyak di antara kelompok kesenian seperti lengger, ebeg, buncis dan lain-lain melakukan kegiatan mbarang pada saat musim paceklik (kelangkaan bahan makanan). Ini umumnya terjadi pada saat terjadinya kemarau panjang. Pada saat itulah kelompok-kelompok kesenian tersebut mendatangi daerah-daerah subur untuk melakukan kegiatan mbarang. Mereka mendapat bayaran setiap babak dalam pertunjukannya. Bayaran yang mereka terima dapat berbentuk uang, beras atau bahan pangan lainnya. Dengan cara demikian mereka mendapat uang atau bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya.
Kesenian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan komersial pada dasarnya adalah usaha memanfaatkan kesenian sebagai sarana ngupaya upa (mencari pangan) dan/atau ngupaya arta (mencari uang). Melalui berkesenian, minimal seseorang dapat ngupaya upa melalui kesenian yang menjadi lahan profesinya. Akan lebih baik apabila melalui kegiatan berkesenian, mereka tidak sekedar ngupaya upa, tetapi juga mencapai tataran ngupaya arta. Hal inilah yang kemudian menuntut personal yang terlibat di dalamnya untuk mampu menyajikan ragam kesenian yang memberikan kepuasan kepada penonton. Untuk itu, mereka meningkatkan kualitas sajian dari yang semula bersifat santai menjadi lebih serius, dari yang semula sederhana diarahkan ke tingkat yang lebih perfect.
Sebuah pertunjukan lengger barangan tentu memiliki tingkat kualitas sajian yang berbeda dengan kelompok lengger tanggapan. Apabila lengger barangan cukup melakukan pementasan dari rumah ke rumah, di perempatan jalan atau paling hebat ditanggap untuk keperluan marungan, maka lengger tanggapan hadir dalam acara khusus sebagai suguhan dalam hajatan. Dalam posisi demikian sebuah kelompok seni pertunjukan harus mampu memuaskan dan menciptakan rasa bangga si penanggap dan penontonnya. Oleh karena itu sangat masuk akal apabila pada masa lalu, seorang istri merasa bangga ketika suaminya mbancer bersama lengger pujaannya.
Kesenian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan komersial di Banyumas menapak mencapai puncaknya ketika bertebaran industri rekaman yang memasarkan hasil rekaman pertunjukan rakyat di Banyumas dalam bentuk kaset. Industri rekaman telah memberikan berkah tersendiri bagi kelompok-kelompok kesenian. Melalui pemasaran produk rekaman, kelompok-kelompok kesenian ini terangkat nilai jualnya. Sebuah kelompok kesenian yang berhasil memasuki industri rekaman, maka serta merta akan semakin digemari masyarakat. Dan, dengan demikian harga jual mereka di pasaran terangkat menjadi lebih tinggi.
[1] Istilah “munthiet” konon berasal dari kata “menthiet” yang berarti kenyang. Demikian pula istilah “jemblung”, juga digunakan untuk menyebut keadaan perut yang buncit yang berkonotasi kenyang. Kedua kesenian ini pada awalnya dilakukan oleh orang-orang melarat yang kekurangan sandang-pangan. Mereka umumnya datang di tempat orang-orang yang sedang punya khajat untuk menawarkan sebuah pementasan cerita tutur menampilkan lakon-lakon yang diambil dari cerita babad. Dengan demikian mereka berkesempatan makan enak dan setelah selesai pementasan mereka akan mendapat oleh-oleh dari si empunya khajat. Namun istilah “jemblung” juga memiliki pengertian “Jemblung Umarmadi, nama salah seorang sahabat Raja Koparman dalam serat Ambya.
[2] Mbancer adalah tindakan ngibing atau menari bersama penari lengger di atas panggung pertunjukan dengan syarat terlebih dahulu membayarkan sejumlah uang kepada penari lengger dengan cara menyematkannya di kemben yang dipakai atau di bokor/tenong yang sudah dipersiapkan.
[3] Di dalam pertunjukan ebeg, aplang, angguk dan buncis biasanya terdapat sesi mendem atau wuru, yaitu saat-saat para pemain kerasukan indhang (roh leluhur). Mereka melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam keadaan tidak sadar, misalnya: berlaku seperti kera, memakan kaca, tiduran di atas duri salak dan lain-lain. Pada sesi ini, para penonton sering kali ikut mendem bersama dengan pemain. Pada kesempatan itulah mereka juga berkesempatan ujuk kebolehan melakukan tarian-tarian dan atraksi-atraksi spontan yang tidak dapat dilakukan dalam keadaan sadar.
[4] Pertunjukan semacam ujungan juga dijumpai di Sumenep (Madura) dan Jawa Barat. Meskipun demikian kemiripan ini tidak dapat begitu saja dikatakan sebagai sebuah proses saling pengaruh-mempengaruhi antara yang satu dan yang lain.
Comments
Post a Comment