ORDE BARU: ANTARA MADU DAN RACUN BAGI KESENIAN BANYUMAS
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 5 tahun. Sejak itu pula Orde Baru secara resmi dimulai dan berakhir pada tahun 1998. Wikipedia menuliskan bahwa selama masa pemerintahannya, Presiden Soeharto memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya serta struktur administratif yang didominasi militer (Wikipedia Indonesia,2006). Kebijakan tersebut dilaksanakan melalui eksploitasi alam secara besar-besaran serta usaha mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Hasilnya sangat fantastis. Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000 (Wikipedia Indonesia,2006). Pemerataan dan atau penyebaran penduduk antar wilayah dilakukan melalui program transmigrasi. Pengendalian jumlah penduduk dilakukan melalui program Keluarga Berencana yang berlaku secara nasional.
Di awal kekuasaannya, Orde Baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Saat itu Indonesia tengah mengalami keterpurukan di berbagai sektor kehidupan sebagai akibat terjadinya prahara politik. Berbagai sektor riil seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya, serta psikologis, berada dalam situasi yang sangat rentan. Keadaan demikian kemudian dijadikan formula bagi Orde Baru untuk menerapkan kebijakannya; pemulihan atau normalisasi secepatnya. Jika tidak, kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidakpastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda (delayed) (Anton Tabah,2006). Hal tersebut dapat dimengerti karena pada awal lahirnya Orde Baru, Indonesia baru saja mengalami peristiwa yang sangat memilukan sebagai akibat terjadinya pemberontakan PKI yang lazim disebut Gestapu (Gerakan September tanggal 30) atau Gestok (Gerakan satu Oktober).[1]
Di bidang politik diterapkan melalui kekuatan tunggal Golongan Karya (Golkar). Pengetahuan berorganisasi memang telah dihancurkan sejak peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1965. Pemerintahan Soeharto membubarkan puluhan partai maupun organ sektoralnya menjadi tiga partai yang telah mereka tentukan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya (Linda Christanty,2002). Dalam hal ini Golongan Karya dijadikan sebagai kekuatan tunggal yang menopang kontinuitas pemerintahan Orde Baru. Oleh karena itu agar kekuatan Orde Baru tidak tergoyahkan, rakyat kemudian ditekan agar memilih Partai Golongan Karya yang dilakukan secara langsung maupun tak langsung.
Fakta membuktikan bahwa paling kurang 80% rakyat Indonesia dalam tiap pemilu selalu mencoblos Partai Golongan Karya (Wikipedia Indonesia,2006). Pemilu sepanjang masa kekuasaan Orde Baru sama sekali bukan realitas demokrasi, karena tujuannya adalah untuk melanggengkan kekuasaan dan tidak ada ruang bagi terjadinya rotasi kekuasaan. Pemilu sekadar berperan sebagai pembuat kesan demokrasi pada zaman Orde Baru. Seorang antropolog Amerika ahli Indonesia, John Pemberton menyebut pemilu zaman Orde Baru ibarat pesta perkawinan (Hasyim Asy'ari, 2004). Di dalam pesta perkawinan selalu ada mempelai, pesta yang hingar-bingar, disediakan aneka hidangan, dihadiri oleh banyak orang, melibatkan banyak orang untuk menyelenggarakan perhelatan dan diramaikan oleh panggung-panggung atraksi kesenian. Kebijakan politik yang demikian telah mengantarkan Soeharto untuk dilantik sebagai Preside RI secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Orde Baru membiakkan militerisme dan fasisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pemerintahan saat itu dilakukan dengan mengabaikan kebebasan sipil, termasuk kebebasan berekspresi, beragama, berserikat dan sebagainya (Andreas Harsono,2006). Yang muncul berjaya adalah militerisme. Upacara dan baris-berbaris, indoktrinasi P4, penyeragaman kurikulum, asas tunggal dalam politik, pelarangan kegiatan kesenian hanyalah beberapa contoh dari kuatnya semangat militerisme saat itu (Alex. Supartono et al,2003). Ini merupakan model politik dehumanisasi yang menjadi salah satu “kelebihan” pemerintahan Orde Baru. Rakyat lebih sekedar berposisi sebagai obyek pembangunan yang berada dalam sebuah jaringan yang digerakkan dari pusat dengan model top down. Ibarat sebuah perangkat mekanik, ketika pemerintah pusat memencet tombol, maka seluruh jaringan harus berfungsi. Jaringan yang tidak berfungsi dengan baik maka harus rela dicopot dan diganti dengan jaringan baru yang memungkinkan bekerja sesuai dengan pusat kendali.
Pada masa Orde Baru kebudayaan tidak lagi dimengerti sebagai jaringan makna (Clifford Geertz,1973) yang melibatkan kerja otak, aktivitas dan hasil aktivitas manusia ((Koentjaraningrat,1984)). Kebudayaan yang dikembangkan pada masa itu lebih berorientasi pada kebudayaan fisik yang dipertuntukkan bagi semakin kukuhnya kekuatan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan. Model yang diterapkan dalam rangka penggarapan sektor kebudayaan adalah usaha mewujudkan kebudayaan nasional yang secara eksplisit tertuang di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Bahkan Puthut E.A. secara tegas menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, kebudayaan dipersempit lagi yakni hanya melulu kesenian (Puthut EA,2006). Pernyataan tersebut sebenarnya terlalu ekstrem karena penggarapan kebudayaan dalam prakteknya menjadi salah satu tugas pokok dan fungsi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mencakup delapan aspek, antara lain: (1) sejarah, (2) nilai tradisional, (3) kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (4) kesenian, (5) permuseuman, (6) kepurbakalaan, (7) bahasa, dan (8) sastra (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984). Hanya saja, program kerja kebudayaan yang meliputi delapan aspek ini dalam prakteknya lebih didominasi oleh program kerja kesenian.
Dominasi program kerja kesenian dalam penggarapan kebudayaan pada masa Orde Baru sangat masuk akal karena tingkat pengetahuan pejabat waktu itu lebih banyak didasari oleh apresiasi kesenian yang merupakan salah satu wujud kebudayaan yang paling mudah dirasakan kehadirannya. Tingkat pengetahuan pejabat terhadap kebudayaan yang demikian menjalar kepada bawahan yang kemudian menjalar pula ke masyarakat. Akhirnya terjadi pemahaman yang keliru, menyamakan pengertian kebudayaan dengan kesenian.
Kesenian, selama pemerintahan Soeharto memang memiliki peran yang cukup dominan. Pertautan antara seni dengan politik kekuasan sangat kuat yang terlihat dari artefak-artefak visual yang memposisikan seni sebagai bagian dari pilar kekuasaan. Politik senantiasa menjadi raja atau panglima dan kesenian menjadi (dianggap) sebagai pasukan yang kadang dijadikan ujung tombak. Kenyataan demikian telah membenarkan pernyataan Acep Zamzam Noor bahwa kesenian banyak dijadikan sebagai tunggangan, corong, bahkan tisue untuk mengkilapkan kembali panggung ataupun tokoh dan partai politik. Banyak di antara seni tradisional dan modern yang dibebani jargon partai politik tertentu. Kesenian telah dijadikan media untuk mengolah massa ke dalam idiom-idiom yang membodohkan (Acep Zamzam Noor,2004:2004). Hal ini dapat dilihat pada beberapa fenomena, misalnya kampanye politik dalam rangka pemenangan Golongan Karya pada setiap pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) dan kampanye program-program pembangunan.
Kehadiran kesenian pada kegiatan tersebut terbukti telah semakin memperkokoh kekuatan Golongan Karya dalam menyampaikan program-programnya pada masa kampanye menjelang Pemilu. Sementara itu berbagai macam program pemerintah seperti Keluarga Berencana (KB), transmigrasi dan pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dengan cepat dapat dikomunikasikan kepada masayrakat sesuai dengan harapan Pemerintah.
Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan kesenian di Banyumas, masa kekuasaan Orde Baru memiliki makna tersendiri. Pada masa inilah, berbagai kesenian khas Banyumas mendapat kesempatan tumbuh-berkembang mewarnai kehidupan masyarakat setempat. Namun demikian suasana kondusif ini tidak begitu saja terjadi semenjak awal Orde Baru. Hingga paruh pertama dekade tahun 1970-an, Pemerintah Kabupaten/Daerah Tingkat (Dati) II Banyumas lebih berkonsentrasi mengembangkan ragam seni tradisi yang berasal dari Surakarta-Yogyakarta yang dianggap memiliki nilai adiluhung.
Suhardi RS. menerangkan bahwa hingga awal dekade tahun 1970-an beberapa ragam kesenian rakyat di Banyumas dilarang dipentaskan.[2] Paling tidak ada dua alasan yang mendasari pelarangan pementasan kesenian rakyat. Pertama, trauma masa lalu. Pada masa revolusi banyak di antara kesenian rakyat di daerah ini direkrut atau dicurigai direkrut oleh Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang merupakan underbow PKI. Kedua, adanya penilaian rendah terhadap hal-hal yang berbau “rakyat”. Ragam kesenian tradisional seperti lengger, calung, ebeg, aplang dan lain-lain dianggap kesenian bermutu rendah sehingga tidak pantas dikembangkan atau bahkan dipentaskan di Pendopo Kabupaten.
Selain kedua alasan di atas, pada saat itu pegawai di Kabin Kebudayaan[3] dan pejabat lain yang memiliki kepedulian terhadap bidang kebudayaan banyak di antaranya yang berasal dari wilayah Surakarta-Yogyakarta atau pernah mengenyam pendidikan Konservatori di kedua daerah itu. Beberapa tokoh yang berperan di antaranya adalah Koeswondo, Hardi Sarsono, Kamaru Samsi, Suhardi RS., Sadino AS.[4] dan Sardjono[5]. Banyaknya tokoh yang berasal dari Surakarta memungkinkan memberikan pengaruh pada skala prioritas kegiatan kebudayaan yang lebih terkonsentrasi pada penggarapan kesenian gaya Surakarta seperti wayang kulit, wayang wong, karawitan dan tari gaya Surakarta.
Kesenian tradisional Banyumas mulai terangkat sejak tumbuhnya kesadaran tentang pentingnya tradisi lokal dalam menciptakan apa yang disebut sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah” guna mewujudkan kebudayaan nasional sebagaimana tertuang di dalam GBHN. Pemerintah mulai menganggap penting berbagai ragam kesenian tradisional yang hidup di daerah-daerah. Ini tercermin pada pola penggarapan kebudayaan yang lebih serius dengan terbutnya SK Mendikbud RI Nomor 079/O/1975 tanggal 17 April 1975 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
SK ini merupakan perubahan dari SK Mendikbud Nomor: 0141/1969 dan 0142/1969 tanggal 25 Nopember 1969 tentang Struktur Organisasi Kantor Pembinaan. Dengan berlakunya SK yang terakhir ini, kemudian Depdikbud mengalami reorganisasi dari yang semula perwakilan Depdikbud di tingkat Kabupaten terpecah menjadi Kabin-Kabin[6], diubah menjadi Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Urusan kebudayaan ditangani oleh Seksi Kebudayaan yang dikepalai oleh seorang Pejabat Struktural Kepala Seksi Kebudayaan. Di tingkat Kecamatan ada seorang petugas yang secara khusus bertugas mengurusi persoalan kebudayaan, yaitu Penilik Kebudayaan. SK Mendikbud RI Nomor: 079/O/1975 kemudian diperbaharui oleh SK Mendikbud RI Nomor 0173/O/1983 tanggal 14 Maret 1973 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Veritkal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kesadaran tentang pentingnya keberadaan aspek-aspek kebudayaan lokal, termasuk di dalamnya kesenian rakyat, kian marak di lingkungan lembaga pemerintah, organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Tanggal 11 Maret 1978 Pemerintah Kabupaten/Dati II Banyumas secara resmi mendirikan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) dengan nama SMK Pemda Banyumas yang membuka dua jurusan, yaitu Jurusan Seni Tari dan Jurusan Seni Karawitan. Melalui kedua jurusan ini, SMKI selain melaksanakan pembelajaran seni tari dan karawitan tradisi gaya Surakarta-Yogyakarta, juga seni tari dan karawitan gaya Banyumas. Saat itulah mulai diciptakan karya-karya tari garapan baru gagrag Banyumas yang bersumber dari berbagai ragam kesenian tradisional di daerah ini yang menjadi bahan ajar pada Jurusan Seni Tari. Sementara pada Jurusan Seni Karawitan diajarkan gendhing-gendhing Banyumasan dengan menggunakan perangkat gamelan gedhe dan calung.
Pada tahun 1978 Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto juga mulai menggarap karya tari Banyumasan yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen. Setijanto, seorang dosen di Fakultas Biologi yang menyukai seni tari, mencoba menuangkan ide-ide kreatifnya melalui media seni tari dengan mengambil sumber garapan kesenian lengger dan menggunakan perangkat musik calung Banyumasan.[7] Karya tari yang berhasil diciptakan antara lain Tari Singgang, yang mengambil falsafah tunas batang padi.
Beberapa tokoh seniman tari yang berhasil menggubah karya-karya tari garapan baru gagrag Banyumasan pada periode ini antara lain: (1) Supriyadi dengan karya-karyanya Baladewan, Surung Dayung dan Cepet-cipit; (2) Suhartoyo (Gambyong Banyumasan); (3) Suwarno (Pasihan); (4) Atmono (Baladewan, bersama Supriyadi) (Sri Multiyah Susanti,2005:2). Pada periode ini mulai digarap pula cerita-cerita khas Banyumas dalam bentuk sendratari. Misalnya Sendratari Kamandaka oleh Kamaru Samsi, yang digarap dengan menggunakan teknik garap tari gaya Surakarta.
Di masyarakat bertebaran seniman-seniman kreatif yang mengembangkan ragam kesenian tradisional Banyumas, antara lain Rasito, Parta, S. Bono, Kunes, Suryati, Sugino, Sugito, Kampi dan lain-lain. Dari nama-nama tersebut, beberapa di antaranya adalah tokoh seni karawitan, yaitu Rasito, Parta, Kasbi, S. Bono, Kunes dan Suryati. Tokoh Rasito, Parta dan S. Bono adalah seniman karawitan yang selain memiliki kemampuan garap, juga memiliki ide-ide kreatif menciptakan pola garap dan juga gendhing-gendhing bernuansa Banyumasan. Sementara Kunes dan Suryati merupakan dua tokoh sindhen Banyumas yang memiliki nama besar di antara sederet nama-nama sindhen Banyumas yang lain. Beberapa tokoh seni karawitan ini telah berhasil membawa seni karawitan gagrag Banyumasan ke panggung yang lebih luas dalam pertumbuhan dan perkembangan jagad kesenian di Banyumas. Mereka berhasil membawa seni karawitan ke produksi rekaman kaset dengan menggunakan perangkat gamelan gedhe dan calung.
Sugino dan Sugito adalah dua tokoh dhalang terkenal di wilayah sebaran budaya Banyumas. Kedua tokoh ini sama-sama mengembangkan sajian pakeliran wayang kulit purwa gagrag Banyumasan dengan versi masing-masing. Sugino lebih mengandalkan warna kerakyatannya, sementara Sugito lebih mengandalkan nilai filosofi yang terkandung di dalam pertunjukan wayang kulit. Namun demikian keduanya sama-sama memiliki warna khas yang menunjukkan kentalnya warna Banyumasan dalam setiap pertunjukannya. Warna Banyumasan tersebut ditunjukkan melalui ragam cerita, dialog antar tokoh wayang, antawacana, sulukan, dhodhogan, keprakan, iringan dan gaya individu di atas panggung. Kedua dhalang ini berhasil membawa pakeliran wayang kulit gagrag Banyumas sebagai sajian kesenian yang digemari oleh masyarakat Banyumas, baik dalam bentuk pertunjukan langsung maupun dalam bentuk rekaman pita kaset.
Kampi adalah tokoh penari lengger yang berasal dari daerah Banjarwaru, Cilacap. Tokoh ini mengembangkan gaya sajian pertunjukan lengger dengan dengan ekspresi individu yang sangat menonjolkan warna sajian Banyumasan, baik melalui ragam gerak tarian, sindhenan, senggakan, gendhing yang disajikan, perangkat musik calung yang digunakan, kostum yang dikenakan dan lain-lain. Atas peran Kampi inilah, pertunjukan lengger yang hingga awal dekade tahun 1970-an hampir punah dapat berkembang pesat lagi sebagai pertunjukan rakyat yang sangat digemari oleh berbagai kalangan, baik di kota maupun di desa. Di tangan lengger ini pula, mula-mula pertunjukan lengger direkam dalam bentuk pita kaset yang diedarkan secara meluas di dalam maupun di luar wilayah sebaran budaya Banyumas.
Cikal bakal pertumbuhan kesenian Banyumas yang diawali pada paruh kedua dekade tahun 1970-an ini semakin mencapai puncaknya pada era tahun 1980-an. R. Anderson Sutton bahkan mencatat era tahun 1980-an sebagai, “... the modern democratic era has at least provided an atmosphere more condutive to the wide acceptance of arts seen by some as “folk”.” (... era demokrasi modern yang memberikan atmosfer lebih kondusif terhadap penerimaan yang lebih luas bagi ragam kesenian yang dipandang sebagai "rakyat" (R. Anderson Sutton,1991:71). Catatan Sutton didasarkan pada kenyataan bahwa banyak di antara kesenian rakyat Banyumas seperti calung, lengger dan ebeg yang pada saat itu berkembang cukup pesat. Terlebih lagi dengan lahirnya SMKI yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas. Kesenian rakyat yang semula hanya hidup di daerah pedesaan saat itu mulai dipentaskan di Pendopo Kabupaten serta digunakan untuk misi kesenian dan diikutkan pada festival-festival seni.
Kondisi yang dialami ragam kesenian Banyumas pada era tahun 1980-an menunjukkan peningkatan perkembangan, baik secara kualitas maupun secara kuantitatif. Edi Sedyawati berpendapat bahwa menyatakan bahwa perkembangan dalam arti kualitatif berarti mengolah dan memperbaharui wajah pertunjukan itu ke arah kualitas yang lebih baik. Sedangkan perkembangan dalam arti kuantitatif berarti membesarkan volume penyajian dan meluaskan wilayah pengenalannya (Edi Sedyawati,1982:50-51). Fakta demikian sangat nyata dalam pertumbuhan kesenian Banyumasan di erah tahun 1980-an. Pada dekade ini, seniman Banyumas semakin yakin terhadap potensi kesenian Banyumas memiliki nilai jual dan bargaining power di antara ragam kesenian lain. Berbagai peristiwa penting yang membawa nama daerah senantiasa menyertakan kesenian Banyumasan di dalamnya, misalnya: penyambutan tamu Pemerintah Kabupaten/Dati II Banyumas, misi kesenian, keikutsertaan dalam lomba dan atau festival seni, pertunjukan apresiasi seni dan lain sebagainya.
Di antara pertumbuhan dan perkembangan berbagai ragam kesenian tradisional Banyumas, kekuatan Orde Baru sangat nampak di dalamnya. Kekuatan politik kekuasaan Orde Baru sangat mewarnai keberadaan aneka ragam kesenian seperti wayang kulit, ebeg, lengger, calung dan lain-lain. Berbagai ragam kesenian ini dijadikan sebagai media penyampaian pesan pemerintah dalam mengkampanyekan berbagai program politik dan program pembangunan agar secara cepat ditangkap dan dimengerti oleh rakyat.
Pada saat menjelang dilaksanakan Pemilihan Umum, berbagai ragam kesenian tradisional di Banyumas seakan-akan mendapatkan angin segar, mendapat kesempatan khusus dari Pemerintah untuk dipentaskan di ajang kampanye politik. Golongan Karya yang merupakan kendaraan politik penguasa Orde Baru dalam menjalankan dan mempertahankan kekuasaannya, senantiasa menggunakan berbagai ragam kesenian tradisional Banyumas sebagai kendaraan dan media yang sangat efektif guna meraih massa sebanyak-banyaknya. Kesenian yang dipentaskan untuk keperluan itu umumnya harus rela dibayar murah dengan dalih dedikasi dan loyalitas. Dalam pertunjukan seniman wajib mengenakan seragam berwarna kuning; warna identitas Golongan karya. Dalam pelaksanaan pertunjukan, ide cerita, teks syair, dialog, properti hingga aksesories, semua diarahkan untuk mengajak, menunjukkan atau menggambarkan kebesaran partai berlambang beringin ini. Semua itu dilakukan dengan berbagai macam teknik mulai dari teknik verbal (Jawa: mloho), nyampar pikoleh hingga medhang miring.
Teknik verbal (mloho) biasanya dilakukan dengan kata-kata yang secara langsung menunjukkan ajakan memilih Golkar yang dijumpai pada teks syair maupun kata-kata pada dialog antar pemain dalam pertunjukan. Contoh model verbal yang dijumpai pada teks syair misalnya pada bentuk parikan (pantun Jawa) seperti berikut ini:
1. Numpak dokar jarane bigar/nyoblos Golkar pembangunan lancar (Naik dokar kudanya tidak terkendali/mencoblos Golkar pembangunan lancar)
2. Numpak dokar jarane minger/nyoblos Golkar mesthi bener (Naik dokar kudanya membelok [terkendali]/mencoblos Golkar mesti bener)
3. Maring pasar numpak sepur/milih Golkar emut sedulur (Pergi ke pasar naik sepur/memilih Golkar ingat saudara)
4. Kembar mayang kecemplung sumur/Golkar menang negarane makmur (Kembar mayang jatuh ke sumur/Golkar menang negaranya makmur)
Teks syair semacam ini biasanya dinyanyikan oleh sindhen, senggak atau pemain lainnya, baik dilakukan hanya oleh seorang maupun oleh beberapa orang. Model semacam ini sangat lazim dijumpai pada pertunjukan kesenian lengger, ebeg, buncis dan wayang kulit. Tujuannya adalah mengajak masyarakat agar dalam Pemilu nantinya mereka menentukan pilihan pada Golkar.
Teknik nyampar pikoleh adalah teknik penuangan gagasan melalui cara-cara yang tidak langsung. Misalnya dalam pertunjukan lengger disajikan fragmen drama tradisional (mirip kethoprak) dengan menyajikan penggalan cerita pengangkatan Raden Joko Kahiman menjadi Adipati Wirasaba oleh Sultan Hadiwijaya di Kerajaan Pajang. Pada saat prosesi ritual pengangkatan Adipati tersebut, Sultan Hadiwijaya dengan lantang mengucap, “Sun tetepake Joko Kahiman minangka Adipati ana ing Wirasaba kanthi ajejuluk Kanjeng Adipati Warga Utama ingkang kaping loro” (saya tetapkan Joko Kahiman sebagai Adipati di Wirasaba dengan nama sebutan Kanjeng Adipati Warga Utama II). Pada adegan itu, kata “kaping loro” (kedua) diucapkan secara lantang dengan menunjukkan dua jari yang dimaksudkan untuk secara tidak langsung mengatakan “Golongan Karya adalah kontestan Pemilu nomor 2 (dua)”.
Teknik medhang miring adalah teknik penyampaian sesuatu ide atau gagasan melalui sebagian atau keseluruhan pertunjukan yang identik dengan maksud yang ingin disampaikan. Dalam hal ini penonton harus dengan kreatif mencari makna apa yang ingin disampaikan dalam pertunjukan itu. Misalnya, dalam pertunjukan lengger disajikan pethilan atau fragmen drama tradisional dengan mengambil cerita Andhe-andhe Lumut. Dalam sajian itu diketengahkan ada tiga orang putri yang bermaksud ingin meminang seorang perjaka bernama Andhe-andhe Lumut. Ketiga orang putri itu bernama Kleting Abang, Kleting Kuning dan Kleting Ijo. Pada akhir cerita dikisahkan pinangan Kleting Kuninglah yang diterima oleh Andhe-andhe Lumut. Di sini penonton secara kreatif akan menerjemahkan makna pementasan tersebut, bahwa yang dimaksudkan dengan Kleting Abang adalah PDI, Kleting Kuning adalah Golkar dan Kleting Ijo adalah PPP. Pementasan cerita Andhe-andhe Lumut pada pertunjukan tersebut dimaksudkan meyakinkan kepada masyarakat bahwa dari ketiga kontestan yang ada, Golkarlah yang akan mencapai kesuksesan memenangkan Pemilu.
Teknik-teknik verbal, nyampar pikoleh maupun medhang miring juga lazim dijumpai dalam mengkampanyekan program Keluarga Berencana, transmigrasi, pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan ajakan masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan. Dalam pertunjukan kesenian tradisional di Banyumas sering sekali dijumpai teks-teks syair dalam bentuk parikan antara lain:
1. Pasar Wage Purwakerta/melu KB sejahtera (Pasar Wage Purwakerta, ikut KB sejahtera)
2. Lunga nempur karo tuku trasi/kepengin makmur transmigrasi (Pergi membeli beras dan membelu trasi/ingin makmur transmigrasi)
3. Njagong sila ura-ura/Pancasila dasar negara (Duduk bersila sambil menyanyi/Pancasila dasar negara)
4. Nandur jae nang galengan/nyambut gawe bebarengan (Menanam jahe di pematang/bekerja bersama-sama)
Contoh-contoh teks syair tersebut berbentuk parikan yang berisi indoktrinasi kepada masyarakat agar mengikuti kebijakan pemerintah. Teks syair tersebut harus dinyanyikan oleh penayagan, sindhen, badhud, dhagelan, lengger ataupun dhalang dalam pertunjukan mereka. Seniman yang tidak bersedia melagukan teks-teks semacam itu dianggap sebagai seniman yang tidak loyal kepada pemerintah. Konsekuensinya mereka akan dipersulit dalam pengurusan ijin pertunjukan yang dilakukan melalui Kantor Depdikbud dan pihak kepolisian setempat.
Demikian adanya, masa pemerintahan Orde Baru bagai madu sekaligus racun bagi pertumbuhan dan perkembangan kesenian tradisional di Banyumas. Selama era ini berbagai ragam kesenian rakyat yang semula hanya menjadi milik masyarakat pedesaan, dapat hidup dalam suasana yang lebih baik, diterima oleh masyarakat desa dan kota. Namun demikian kreativitas seniman cenderung dibelenggu dan diarahkan demi kepentingan politik kekuasaan. Menjadi seniman berarti harus siap menjadi corong pemerintah. Menjadi seniman juga berarti harus menjadi seorang penurut yang bekerja sesuai dengan keinginan pemerintah. Banyak seniman yang merasa bangga dengan kondisi ini. Tetapi tidak kurang seniman yang merasa kreativitasnya dipenjarakan sehingga merasa perlu protes meski dengan konsekuensi tidak diberi ruang gerak yang bebas. Kasus yang dapat dicontohkan di sini adalah dhalang Ki Suyud Hadiwinoto yang berafiliasi ke PDI telah dipersulit untuk melakukan pementasan sehingga harus merelakan dirinya menghentikan profesi yang telah lama dijalani. Ini hanya satu contoh di antara kasus-kasus lain yang banyak terjadi di Banyumas selama masa pemerintahan Orde Baru.
[1] Asvi Warman Adam (2003) menyebutkan bahwa Gestok adalah istilah yang digunakan oleh Presiden Sukarno untuk menyebut gerakan yang terjadi pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965 yang melakukan penculikan terhadap beberapa orang Jenderal. Pelaku peristiwa itu sendiri menamakan dirinya “Gerakan 30 September” tetapi pentolan Angkatan Darat menyebutnya “Gestapu” agar bisa diasosiasikan masyarakat dengan Gestapo Jerman yang kejam itu.
[2] Wawancara: 20-4-2006.
[3] Kabin Kebudayaan Kabupaten/Dati II Banyumas merupakan tangan panjang dari Kantor Perwakilan Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 0141/1969 dan 0142/1969 tanggal 25 Nopember 1969 tentang Struktur Organisasi Kantor Pembinaan.
[4] Koeswondo dan Hardi Sarsono adalah tokoh asli Banyumas yang sangat menggemari seni tari dan wayang orang gaya Surakarta. Jabatan terakhir Koeswondo adalah Kepala Kabin Kebudayaan. Sementara jabatan terakhir Hardi Sarsono adalah Kasi Kebudayaan. Kamaru Samsi adalah tokoh kebudayaan asal Kabupaten Tegal yang pernah menjabat sebagai Kasi Kebudayaan. Sedangkan Suhardi RS. dan Sadino AS. merupakan pegawai pada Kabin Kebudayaan yang kesemuanya berasal dari Surakarta dan pernah menempuh pendidikan di Konservatori Karawitan Surakarta.
[5] Sardjono adalah salah satu tokoh yang sanagat berkonsentrasi mengembangkan tari tradisi gaya Surakarta. Jabatan terakhir tokoh ini adalah Wedana Jatilawang.
[6] Pada saat itu Kabin-Kabin yang merupakan tangan panjang Kantor Perwakilan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah di tingkat Kabupaten meliputi: (1) Kabin Sarpralub (Pendidikan Dasar, Prasekolah dan Luar Biasa), (2) Kabin Pendidikan Masyarakat (Penmas), (3) Kabin Pendidikan Teknik (Diktek), (4) Kabin Olahraga, dan (5) Kabin Kebudayaan.
[7] Wawancara: 7-10-2004.
Di awal kekuasaannya, Orde Baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Saat itu Indonesia tengah mengalami keterpurukan di berbagai sektor kehidupan sebagai akibat terjadinya prahara politik. Berbagai sektor riil seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya, serta psikologis, berada dalam situasi yang sangat rentan. Keadaan demikian kemudian dijadikan formula bagi Orde Baru untuk menerapkan kebijakannya; pemulihan atau normalisasi secepatnya. Jika tidak, kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidakpastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda (delayed) (Anton Tabah,2006). Hal tersebut dapat dimengerti karena pada awal lahirnya Orde Baru, Indonesia baru saja mengalami peristiwa yang sangat memilukan sebagai akibat terjadinya pemberontakan PKI yang lazim disebut Gestapu (Gerakan September tanggal 30) atau Gestok (Gerakan satu Oktober).[1]
Di bidang politik diterapkan melalui kekuatan tunggal Golongan Karya (Golkar). Pengetahuan berorganisasi memang telah dihancurkan sejak peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1965. Pemerintahan Soeharto membubarkan puluhan partai maupun organ sektoralnya menjadi tiga partai yang telah mereka tentukan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya (Linda Christanty,2002). Dalam hal ini Golongan Karya dijadikan sebagai kekuatan tunggal yang menopang kontinuitas pemerintahan Orde Baru. Oleh karena itu agar kekuatan Orde Baru tidak tergoyahkan, rakyat kemudian ditekan agar memilih Partai Golongan Karya yang dilakukan secara langsung maupun tak langsung.
Fakta membuktikan bahwa paling kurang 80% rakyat Indonesia dalam tiap pemilu selalu mencoblos Partai Golongan Karya (Wikipedia Indonesia,2006). Pemilu sepanjang masa kekuasaan Orde Baru sama sekali bukan realitas demokrasi, karena tujuannya adalah untuk melanggengkan kekuasaan dan tidak ada ruang bagi terjadinya rotasi kekuasaan. Pemilu sekadar berperan sebagai pembuat kesan demokrasi pada zaman Orde Baru. Seorang antropolog Amerika ahli Indonesia, John Pemberton menyebut pemilu zaman Orde Baru ibarat pesta perkawinan (Hasyim Asy'ari, 2004). Di dalam pesta perkawinan selalu ada mempelai, pesta yang hingar-bingar, disediakan aneka hidangan, dihadiri oleh banyak orang, melibatkan banyak orang untuk menyelenggarakan perhelatan dan diramaikan oleh panggung-panggung atraksi kesenian. Kebijakan politik yang demikian telah mengantarkan Soeharto untuk dilantik sebagai Preside RI secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Orde Baru membiakkan militerisme dan fasisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pemerintahan saat itu dilakukan dengan mengabaikan kebebasan sipil, termasuk kebebasan berekspresi, beragama, berserikat dan sebagainya (Andreas Harsono,2006). Yang muncul berjaya adalah militerisme. Upacara dan baris-berbaris, indoktrinasi P4, penyeragaman kurikulum, asas tunggal dalam politik, pelarangan kegiatan kesenian hanyalah beberapa contoh dari kuatnya semangat militerisme saat itu (Alex. Supartono et al,2003). Ini merupakan model politik dehumanisasi yang menjadi salah satu “kelebihan” pemerintahan Orde Baru. Rakyat lebih sekedar berposisi sebagai obyek pembangunan yang berada dalam sebuah jaringan yang digerakkan dari pusat dengan model top down. Ibarat sebuah perangkat mekanik, ketika pemerintah pusat memencet tombol, maka seluruh jaringan harus berfungsi. Jaringan yang tidak berfungsi dengan baik maka harus rela dicopot dan diganti dengan jaringan baru yang memungkinkan bekerja sesuai dengan pusat kendali.
Pada masa Orde Baru kebudayaan tidak lagi dimengerti sebagai jaringan makna (Clifford Geertz,1973) yang melibatkan kerja otak, aktivitas dan hasil aktivitas manusia ((Koentjaraningrat,1984)). Kebudayaan yang dikembangkan pada masa itu lebih berorientasi pada kebudayaan fisik yang dipertuntukkan bagi semakin kukuhnya kekuatan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan. Model yang diterapkan dalam rangka penggarapan sektor kebudayaan adalah usaha mewujudkan kebudayaan nasional yang secara eksplisit tertuang di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Bahkan Puthut E.A. secara tegas menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, kebudayaan dipersempit lagi yakni hanya melulu kesenian (Puthut EA,2006). Pernyataan tersebut sebenarnya terlalu ekstrem karena penggarapan kebudayaan dalam prakteknya menjadi salah satu tugas pokok dan fungsi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mencakup delapan aspek, antara lain: (1) sejarah, (2) nilai tradisional, (3) kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (4) kesenian, (5) permuseuman, (6) kepurbakalaan, (7) bahasa, dan (8) sastra (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984). Hanya saja, program kerja kebudayaan yang meliputi delapan aspek ini dalam prakteknya lebih didominasi oleh program kerja kesenian.
Dominasi program kerja kesenian dalam penggarapan kebudayaan pada masa Orde Baru sangat masuk akal karena tingkat pengetahuan pejabat waktu itu lebih banyak didasari oleh apresiasi kesenian yang merupakan salah satu wujud kebudayaan yang paling mudah dirasakan kehadirannya. Tingkat pengetahuan pejabat terhadap kebudayaan yang demikian menjalar kepada bawahan yang kemudian menjalar pula ke masyarakat. Akhirnya terjadi pemahaman yang keliru, menyamakan pengertian kebudayaan dengan kesenian.
Kesenian, selama pemerintahan Soeharto memang memiliki peran yang cukup dominan. Pertautan antara seni dengan politik kekuasan sangat kuat yang terlihat dari artefak-artefak visual yang memposisikan seni sebagai bagian dari pilar kekuasaan. Politik senantiasa menjadi raja atau panglima dan kesenian menjadi (dianggap) sebagai pasukan yang kadang dijadikan ujung tombak. Kenyataan demikian telah membenarkan pernyataan Acep Zamzam Noor bahwa kesenian banyak dijadikan sebagai tunggangan, corong, bahkan tisue untuk mengkilapkan kembali panggung ataupun tokoh dan partai politik. Banyak di antara seni tradisional dan modern yang dibebani jargon partai politik tertentu. Kesenian telah dijadikan media untuk mengolah massa ke dalam idiom-idiom yang membodohkan (Acep Zamzam Noor,2004:2004). Hal ini dapat dilihat pada beberapa fenomena, misalnya kampanye politik dalam rangka pemenangan Golongan Karya pada setiap pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) dan kampanye program-program pembangunan.
Kehadiran kesenian pada kegiatan tersebut terbukti telah semakin memperkokoh kekuatan Golongan Karya dalam menyampaikan program-programnya pada masa kampanye menjelang Pemilu. Sementara itu berbagai macam program pemerintah seperti Keluarga Berencana (KB), transmigrasi dan pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dengan cepat dapat dikomunikasikan kepada masayrakat sesuai dengan harapan Pemerintah.
Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan kesenian di Banyumas, masa kekuasaan Orde Baru memiliki makna tersendiri. Pada masa inilah, berbagai kesenian khas Banyumas mendapat kesempatan tumbuh-berkembang mewarnai kehidupan masyarakat setempat. Namun demikian suasana kondusif ini tidak begitu saja terjadi semenjak awal Orde Baru. Hingga paruh pertama dekade tahun 1970-an, Pemerintah Kabupaten/Daerah Tingkat (Dati) II Banyumas lebih berkonsentrasi mengembangkan ragam seni tradisi yang berasal dari Surakarta-Yogyakarta yang dianggap memiliki nilai adiluhung.
Suhardi RS. menerangkan bahwa hingga awal dekade tahun 1970-an beberapa ragam kesenian rakyat di Banyumas dilarang dipentaskan.[2] Paling tidak ada dua alasan yang mendasari pelarangan pementasan kesenian rakyat. Pertama, trauma masa lalu. Pada masa revolusi banyak di antara kesenian rakyat di daerah ini direkrut atau dicurigai direkrut oleh Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang merupakan underbow PKI. Kedua, adanya penilaian rendah terhadap hal-hal yang berbau “rakyat”. Ragam kesenian tradisional seperti lengger, calung, ebeg, aplang dan lain-lain dianggap kesenian bermutu rendah sehingga tidak pantas dikembangkan atau bahkan dipentaskan di Pendopo Kabupaten.
Selain kedua alasan di atas, pada saat itu pegawai di Kabin Kebudayaan[3] dan pejabat lain yang memiliki kepedulian terhadap bidang kebudayaan banyak di antaranya yang berasal dari wilayah Surakarta-Yogyakarta atau pernah mengenyam pendidikan Konservatori di kedua daerah itu. Beberapa tokoh yang berperan di antaranya adalah Koeswondo, Hardi Sarsono, Kamaru Samsi, Suhardi RS., Sadino AS.[4] dan Sardjono[5]. Banyaknya tokoh yang berasal dari Surakarta memungkinkan memberikan pengaruh pada skala prioritas kegiatan kebudayaan yang lebih terkonsentrasi pada penggarapan kesenian gaya Surakarta seperti wayang kulit, wayang wong, karawitan dan tari gaya Surakarta.
Kesenian tradisional Banyumas mulai terangkat sejak tumbuhnya kesadaran tentang pentingnya tradisi lokal dalam menciptakan apa yang disebut sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah” guna mewujudkan kebudayaan nasional sebagaimana tertuang di dalam GBHN. Pemerintah mulai menganggap penting berbagai ragam kesenian tradisional yang hidup di daerah-daerah. Ini tercermin pada pola penggarapan kebudayaan yang lebih serius dengan terbutnya SK Mendikbud RI Nomor 079/O/1975 tanggal 17 April 1975 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
SK ini merupakan perubahan dari SK Mendikbud Nomor: 0141/1969 dan 0142/1969 tanggal 25 Nopember 1969 tentang Struktur Organisasi Kantor Pembinaan. Dengan berlakunya SK yang terakhir ini, kemudian Depdikbud mengalami reorganisasi dari yang semula perwakilan Depdikbud di tingkat Kabupaten terpecah menjadi Kabin-Kabin[6], diubah menjadi Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Urusan kebudayaan ditangani oleh Seksi Kebudayaan yang dikepalai oleh seorang Pejabat Struktural Kepala Seksi Kebudayaan. Di tingkat Kecamatan ada seorang petugas yang secara khusus bertugas mengurusi persoalan kebudayaan, yaitu Penilik Kebudayaan. SK Mendikbud RI Nomor: 079/O/1975 kemudian diperbaharui oleh SK Mendikbud RI Nomor 0173/O/1983 tanggal 14 Maret 1973 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Veritkal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kesadaran tentang pentingnya keberadaan aspek-aspek kebudayaan lokal, termasuk di dalamnya kesenian rakyat, kian marak di lingkungan lembaga pemerintah, organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Tanggal 11 Maret 1978 Pemerintah Kabupaten/Dati II Banyumas secara resmi mendirikan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) dengan nama SMK Pemda Banyumas yang membuka dua jurusan, yaitu Jurusan Seni Tari dan Jurusan Seni Karawitan. Melalui kedua jurusan ini, SMKI selain melaksanakan pembelajaran seni tari dan karawitan tradisi gaya Surakarta-Yogyakarta, juga seni tari dan karawitan gaya Banyumas. Saat itulah mulai diciptakan karya-karya tari garapan baru gagrag Banyumas yang bersumber dari berbagai ragam kesenian tradisional di daerah ini yang menjadi bahan ajar pada Jurusan Seni Tari. Sementara pada Jurusan Seni Karawitan diajarkan gendhing-gendhing Banyumasan dengan menggunakan perangkat gamelan gedhe dan calung.
Pada tahun 1978 Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto juga mulai menggarap karya tari Banyumasan yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen. Setijanto, seorang dosen di Fakultas Biologi yang menyukai seni tari, mencoba menuangkan ide-ide kreatifnya melalui media seni tari dengan mengambil sumber garapan kesenian lengger dan menggunakan perangkat musik calung Banyumasan.[7] Karya tari yang berhasil diciptakan antara lain Tari Singgang, yang mengambil falsafah tunas batang padi.
Beberapa tokoh seniman tari yang berhasil menggubah karya-karya tari garapan baru gagrag Banyumasan pada periode ini antara lain: (1) Supriyadi dengan karya-karyanya Baladewan, Surung Dayung dan Cepet-cipit; (2) Suhartoyo (Gambyong Banyumasan); (3) Suwarno (Pasihan); (4) Atmono (Baladewan, bersama Supriyadi) (Sri Multiyah Susanti,2005:2). Pada periode ini mulai digarap pula cerita-cerita khas Banyumas dalam bentuk sendratari. Misalnya Sendratari Kamandaka oleh Kamaru Samsi, yang digarap dengan menggunakan teknik garap tari gaya Surakarta.
Di masyarakat bertebaran seniman-seniman kreatif yang mengembangkan ragam kesenian tradisional Banyumas, antara lain Rasito, Parta, S. Bono, Kunes, Suryati, Sugino, Sugito, Kampi dan lain-lain. Dari nama-nama tersebut, beberapa di antaranya adalah tokoh seni karawitan, yaitu Rasito, Parta, Kasbi, S. Bono, Kunes dan Suryati. Tokoh Rasito, Parta dan S. Bono adalah seniman karawitan yang selain memiliki kemampuan garap, juga memiliki ide-ide kreatif menciptakan pola garap dan juga gendhing-gendhing bernuansa Banyumasan. Sementara Kunes dan Suryati merupakan dua tokoh sindhen Banyumas yang memiliki nama besar di antara sederet nama-nama sindhen Banyumas yang lain. Beberapa tokoh seni karawitan ini telah berhasil membawa seni karawitan gagrag Banyumasan ke panggung yang lebih luas dalam pertumbuhan dan perkembangan jagad kesenian di Banyumas. Mereka berhasil membawa seni karawitan ke produksi rekaman kaset dengan menggunakan perangkat gamelan gedhe dan calung.
Sugino dan Sugito adalah dua tokoh dhalang terkenal di wilayah sebaran budaya Banyumas. Kedua tokoh ini sama-sama mengembangkan sajian pakeliran wayang kulit purwa gagrag Banyumasan dengan versi masing-masing. Sugino lebih mengandalkan warna kerakyatannya, sementara Sugito lebih mengandalkan nilai filosofi yang terkandung di dalam pertunjukan wayang kulit. Namun demikian keduanya sama-sama memiliki warna khas yang menunjukkan kentalnya warna Banyumasan dalam setiap pertunjukannya. Warna Banyumasan tersebut ditunjukkan melalui ragam cerita, dialog antar tokoh wayang, antawacana, sulukan, dhodhogan, keprakan, iringan dan gaya individu di atas panggung. Kedua dhalang ini berhasil membawa pakeliran wayang kulit gagrag Banyumas sebagai sajian kesenian yang digemari oleh masyarakat Banyumas, baik dalam bentuk pertunjukan langsung maupun dalam bentuk rekaman pita kaset.
Kampi adalah tokoh penari lengger yang berasal dari daerah Banjarwaru, Cilacap. Tokoh ini mengembangkan gaya sajian pertunjukan lengger dengan dengan ekspresi individu yang sangat menonjolkan warna sajian Banyumasan, baik melalui ragam gerak tarian, sindhenan, senggakan, gendhing yang disajikan, perangkat musik calung yang digunakan, kostum yang dikenakan dan lain-lain. Atas peran Kampi inilah, pertunjukan lengger yang hingga awal dekade tahun 1970-an hampir punah dapat berkembang pesat lagi sebagai pertunjukan rakyat yang sangat digemari oleh berbagai kalangan, baik di kota maupun di desa. Di tangan lengger ini pula, mula-mula pertunjukan lengger direkam dalam bentuk pita kaset yang diedarkan secara meluas di dalam maupun di luar wilayah sebaran budaya Banyumas.
Cikal bakal pertumbuhan kesenian Banyumas yang diawali pada paruh kedua dekade tahun 1970-an ini semakin mencapai puncaknya pada era tahun 1980-an. R. Anderson Sutton bahkan mencatat era tahun 1980-an sebagai, “... the modern democratic era has at least provided an atmosphere more condutive to the wide acceptance of arts seen by some as “folk”.” (... era demokrasi modern yang memberikan atmosfer lebih kondusif terhadap penerimaan yang lebih luas bagi ragam kesenian yang dipandang sebagai "rakyat" (R. Anderson Sutton,1991:71). Catatan Sutton didasarkan pada kenyataan bahwa banyak di antara kesenian rakyat Banyumas seperti calung, lengger dan ebeg yang pada saat itu berkembang cukup pesat. Terlebih lagi dengan lahirnya SMKI yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas. Kesenian rakyat yang semula hanya hidup di daerah pedesaan saat itu mulai dipentaskan di Pendopo Kabupaten serta digunakan untuk misi kesenian dan diikutkan pada festival-festival seni.
Kondisi yang dialami ragam kesenian Banyumas pada era tahun 1980-an menunjukkan peningkatan perkembangan, baik secara kualitas maupun secara kuantitatif. Edi Sedyawati berpendapat bahwa menyatakan bahwa perkembangan dalam arti kualitatif berarti mengolah dan memperbaharui wajah pertunjukan itu ke arah kualitas yang lebih baik. Sedangkan perkembangan dalam arti kuantitatif berarti membesarkan volume penyajian dan meluaskan wilayah pengenalannya (Edi Sedyawati,1982:50-51). Fakta demikian sangat nyata dalam pertumbuhan kesenian Banyumasan di erah tahun 1980-an. Pada dekade ini, seniman Banyumas semakin yakin terhadap potensi kesenian Banyumas memiliki nilai jual dan bargaining power di antara ragam kesenian lain. Berbagai peristiwa penting yang membawa nama daerah senantiasa menyertakan kesenian Banyumasan di dalamnya, misalnya: penyambutan tamu Pemerintah Kabupaten/Dati II Banyumas, misi kesenian, keikutsertaan dalam lomba dan atau festival seni, pertunjukan apresiasi seni dan lain sebagainya.
Di antara pertumbuhan dan perkembangan berbagai ragam kesenian tradisional Banyumas, kekuatan Orde Baru sangat nampak di dalamnya. Kekuatan politik kekuasaan Orde Baru sangat mewarnai keberadaan aneka ragam kesenian seperti wayang kulit, ebeg, lengger, calung dan lain-lain. Berbagai ragam kesenian ini dijadikan sebagai media penyampaian pesan pemerintah dalam mengkampanyekan berbagai program politik dan program pembangunan agar secara cepat ditangkap dan dimengerti oleh rakyat.
Pada saat menjelang dilaksanakan Pemilihan Umum, berbagai ragam kesenian tradisional di Banyumas seakan-akan mendapatkan angin segar, mendapat kesempatan khusus dari Pemerintah untuk dipentaskan di ajang kampanye politik. Golongan Karya yang merupakan kendaraan politik penguasa Orde Baru dalam menjalankan dan mempertahankan kekuasaannya, senantiasa menggunakan berbagai ragam kesenian tradisional Banyumas sebagai kendaraan dan media yang sangat efektif guna meraih massa sebanyak-banyaknya. Kesenian yang dipentaskan untuk keperluan itu umumnya harus rela dibayar murah dengan dalih dedikasi dan loyalitas. Dalam pertunjukan seniman wajib mengenakan seragam berwarna kuning; warna identitas Golongan karya. Dalam pelaksanaan pertunjukan, ide cerita, teks syair, dialog, properti hingga aksesories, semua diarahkan untuk mengajak, menunjukkan atau menggambarkan kebesaran partai berlambang beringin ini. Semua itu dilakukan dengan berbagai macam teknik mulai dari teknik verbal (Jawa: mloho), nyampar pikoleh hingga medhang miring.
Teknik verbal (mloho) biasanya dilakukan dengan kata-kata yang secara langsung menunjukkan ajakan memilih Golkar yang dijumpai pada teks syair maupun kata-kata pada dialog antar pemain dalam pertunjukan. Contoh model verbal yang dijumpai pada teks syair misalnya pada bentuk parikan (pantun Jawa) seperti berikut ini:
1. Numpak dokar jarane bigar/nyoblos Golkar pembangunan lancar (Naik dokar kudanya tidak terkendali/mencoblos Golkar pembangunan lancar)
2. Numpak dokar jarane minger/nyoblos Golkar mesthi bener (Naik dokar kudanya membelok [terkendali]/mencoblos Golkar mesti bener)
3. Maring pasar numpak sepur/milih Golkar emut sedulur (Pergi ke pasar naik sepur/memilih Golkar ingat saudara)
4. Kembar mayang kecemplung sumur/Golkar menang negarane makmur (Kembar mayang jatuh ke sumur/Golkar menang negaranya makmur)
Teks syair semacam ini biasanya dinyanyikan oleh sindhen, senggak atau pemain lainnya, baik dilakukan hanya oleh seorang maupun oleh beberapa orang. Model semacam ini sangat lazim dijumpai pada pertunjukan kesenian lengger, ebeg, buncis dan wayang kulit. Tujuannya adalah mengajak masyarakat agar dalam Pemilu nantinya mereka menentukan pilihan pada Golkar.
Teknik nyampar pikoleh adalah teknik penuangan gagasan melalui cara-cara yang tidak langsung. Misalnya dalam pertunjukan lengger disajikan fragmen drama tradisional (mirip kethoprak) dengan menyajikan penggalan cerita pengangkatan Raden Joko Kahiman menjadi Adipati Wirasaba oleh Sultan Hadiwijaya di Kerajaan Pajang. Pada saat prosesi ritual pengangkatan Adipati tersebut, Sultan Hadiwijaya dengan lantang mengucap, “Sun tetepake Joko Kahiman minangka Adipati ana ing Wirasaba kanthi ajejuluk Kanjeng Adipati Warga Utama ingkang kaping loro” (saya tetapkan Joko Kahiman sebagai Adipati di Wirasaba dengan nama sebutan Kanjeng Adipati Warga Utama II). Pada adegan itu, kata “kaping loro” (kedua) diucapkan secara lantang dengan menunjukkan dua jari yang dimaksudkan untuk secara tidak langsung mengatakan “Golongan Karya adalah kontestan Pemilu nomor 2 (dua)”.
Teknik medhang miring adalah teknik penyampaian sesuatu ide atau gagasan melalui sebagian atau keseluruhan pertunjukan yang identik dengan maksud yang ingin disampaikan. Dalam hal ini penonton harus dengan kreatif mencari makna apa yang ingin disampaikan dalam pertunjukan itu. Misalnya, dalam pertunjukan lengger disajikan pethilan atau fragmen drama tradisional dengan mengambil cerita Andhe-andhe Lumut. Dalam sajian itu diketengahkan ada tiga orang putri yang bermaksud ingin meminang seorang perjaka bernama Andhe-andhe Lumut. Ketiga orang putri itu bernama Kleting Abang, Kleting Kuning dan Kleting Ijo. Pada akhir cerita dikisahkan pinangan Kleting Kuninglah yang diterima oleh Andhe-andhe Lumut. Di sini penonton secara kreatif akan menerjemahkan makna pementasan tersebut, bahwa yang dimaksudkan dengan Kleting Abang adalah PDI, Kleting Kuning adalah Golkar dan Kleting Ijo adalah PPP. Pementasan cerita Andhe-andhe Lumut pada pertunjukan tersebut dimaksudkan meyakinkan kepada masyarakat bahwa dari ketiga kontestan yang ada, Golkarlah yang akan mencapai kesuksesan memenangkan Pemilu.
Teknik-teknik verbal, nyampar pikoleh maupun medhang miring juga lazim dijumpai dalam mengkampanyekan program Keluarga Berencana, transmigrasi, pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan ajakan masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan. Dalam pertunjukan kesenian tradisional di Banyumas sering sekali dijumpai teks-teks syair dalam bentuk parikan antara lain:
1. Pasar Wage Purwakerta/melu KB sejahtera (Pasar Wage Purwakerta, ikut KB sejahtera)
2. Lunga nempur karo tuku trasi/kepengin makmur transmigrasi (Pergi membeli beras dan membelu trasi/ingin makmur transmigrasi)
3. Njagong sila ura-ura/Pancasila dasar negara (Duduk bersila sambil menyanyi/Pancasila dasar negara)
4. Nandur jae nang galengan/nyambut gawe bebarengan (Menanam jahe di pematang/bekerja bersama-sama)
Contoh-contoh teks syair tersebut berbentuk parikan yang berisi indoktrinasi kepada masyarakat agar mengikuti kebijakan pemerintah. Teks syair tersebut harus dinyanyikan oleh penayagan, sindhen, badhud, dhagelan, lengger ataupun dhalang dalam pertunjukan mereka. Seniman yang tidak bersedia melagukan teks-teks semacam itu dianggap sebagai seniman yang tidak loyal kepada pemerintah. Konsekuensinya mereka akan dipersulit dalam pengurusan ijin pertunjukan yang dilakukan melalui Kantor Depdikbud dan pihak kepolisian setempat.
Demikian adanya, masa pemerintahan Orde Baru bagai madu sekaligus racun bagi pertumbuhan dan perkembangan kesenian tradisional di Banyumas. Selama era ini berbagai ragam kesenian rakyat yang semula hanya menjadi milik masyarakat pedesaan, dapat hidup dalam suasana yang lebih baik, diterima oleh masyarakat desa dan kota. Namun demikian kreativitas seniman cenderung dibelenggu dan diarahkan demi kepentingan politik kekuasaan. Menjadi seniman berarti harus siap menjadi corong pemerintah. Menjadi seniman juga berarti harus menjadi seorang penurut yang bekerja sesuai dengan keinginan pemerintah. Banyak seniman yang merasa bangga dengan kondisi ini. Tetapi tidak kurang seniman yang merasa kreativitasnya dipenjarakan sehingga merasa perlu protes meski dengan konsekuensi tidak diberi ruang gerak yang bebas. Kasus yang dapat dicontohkan di sini adalah dhalang Ki Suyud Hadiwinoto yang berafiliasi ke PDI telah dipersulit untuk melakukan pementasan sehingga harus merelakan dirinya menghentikan profesi yang telah lama dijalani. Ini hanya satu contoh di antara kasus-kasus lain yang banyak terjadi di Banyumas selama masa pemerintahan Orde Baru.
[1] Asvi Warman Adam (2003) menyebutkan bahwa Gestok adalah istilah yang digunakan oleh Presiden Sukarno untuk menyebut gerakan yang terjadi pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965 yang melakukan penculikan terhadap beberapa orang Jenderal. Pelaku peristiwa itu sendiri menamakan dirinya “Gerakan 30 September” tetapi pentolan Angkatan Darat menyebutnya “Gestapu” agar bisa diasosiasikan masyarakat dengan Gestapo Jerman yang kejam itu.
[2] Wawancara: 20-4-2006.
[3] Kabin Kebudayaan Kabupaten/Dati II Banyumas merupakan tangan panjang dari Kantor Perwakilan Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 0141/1969 dan 0142/1969 tanggal 25 Nopember 1969 tentang Struktur Organisasi Kantor Pembinaan.
[4] Koeswondo dan Hardi Sarsono adalah tokoh asli Banyumas yang sangat menggemari seni tari dan wayang orang gaya Surakarta. Jabatan terakhir Koeswondo adalah Kepala Kabin Kebudayaan. Sementara jabatan terakhir Hardi Sarsono adalah Kasi Kebudayaan. Kamaru Samsi adalah tokoh kebudayaan asal Kabupaten Tegal yang pernah menjabat sebagai Kasi Kebudayaan. Sedangkan Suhardi RS. dan Sadino AS. merupakan pegawai pada Kabin Kebudayaan yang kesemuanya berasal dari Surakarta dan pernah menempuh pendidikan di Konservatori Karawitan Surakarta.
[5] Sardjono adalah salah satu tokoh yang sanagat berkonsentrasi mengembangkan tari tradisi gaya Surakarta. Jabatan terakhir tokoh ini adalah Wedana Jatilawang.
[6] Pada saat itu Kabin-Kabin yang merupakan tangan panjang Kantor Perwakilan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah di tingkat Kabupaten meliputi: (1) Kabin Sarpralub (Pendidikan Dasar, Prasekolah dan Luar Biasa), (2) Kabin Pendidikan Masyarakat (Penmas), (3) Kabin Pendidikan Teknik (Diktek), (4) Kabin Olahraga, dan (5) Kabin Kebudayaan.
[7] Wawancara: 7-10-2004.
Comments
Post a Comment