MUSIK KENTHONGAN DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT BANYUMAS
Kebudayaan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu selaras dengan dinamika masyarakat pendukungnya. Munculnya perubahan kebudayaan dapat terjadi akibat faktor-faktor internal yang muncul dari dinamika yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri atau akibat pengaruh yang berasal dari luar masyarakat itu1. Faktor internal yang mengakibatkan perubahan kebudayaan adalah terjadinya perkembangan pola pikir, kebiasaan, pandangan hidup serta berbagai kepentingan kelompok manusia di dalam wadah komunitas masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan itu. Adapun faktor eksternal perubahan kebudayaan terjadi sebagai akibat terjadinya penyebaran kebudayaan dari individu ke individu lain dalam satu masyarakat atau dari suatu masyarakat ke masyarakat lain dalam wacana difusi kebudayaan2.
Kebudayaan Banyumas yang semula berkembang di lingkungan masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris, pada gilirannya tidak lepas dari perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan jaman yang mengarah pada pola modern-teknologis. Proses perubahan semacam ini menurut Parsudi Suparlan terjadi melalui substitusi (penggantian unsur-unsur yang lama oleh unsur-unsur yang baru secara fungsional dapat diterima oleh unsur-unsur lainnya) atau hilangnya unsur atau seperangkat unsur tanpa ada gantinya. Perubahan juga dapat terjadi melalui penambahan unsur-unsur baru dalam kebudayaan tanpa menghilangkan unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaan tersebut3.
Perubahan sosial di daerah Banyumas telah memberikan imbas terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakatnya, tidak terkecuali di bidang kesenian. Akhir-akhir ini di Banyumas tengah terjadi booming perkembangan musik kenthongan. Pada mulanya kenthongan dalam kehidupan masyarakat tradisional merupakan alat atau sarana komunikasi. Kini alat tradisional ini telah menjadi salah satu bentuk musik alternatif yang sangat digemari oleh hampir semua kalangan, baik tua maupun muda. Musik kenthongan yang sering juga disebut dengan istilah musik thek-thek dan atau themling tumbuh di hampir setiap desa, bahkan RW (Rukun Warga), dalam bentuk-bentuk perkumpulan dengan anggota antara 40-65 orang tiap grup.
Data Kesenian Kabupaten Banyumas Tahun 2004 pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas menyebutkan bahwa pada tahun 2004 perkumpulan kenthongan di daerah ini berjumlah 368 grup. Dengan rasio jumlah kecamatan di Kabupaten Banyumas sebanyak 27 buah, maka setiap kecamatan hampir mencapai lebih dari 13,6 grup. Apabila dibanding dengan jumlah desa/kelurahan di daerah ini yang berjumlah 330 desa, maka ada 1,1 grup kenthongan di setiap desa. Sesungguhnya tidak setiap desa/kelurahan ada grup-grup kenthongan, tetapi ada desa/kelurahan yang memiliki perkumpulan kenthongan tiga atau empat grup.
Keberadaan musik kenthongan di Banyumas tidak lepas dari kecenderungan perubahan masyarakat setempat yang hidup dalam era transisi budaya. Pada situasi demikian, unsur-unsur budaya lama yang berpola tradisional-agraris tidak begitu saja tergantikan oleh unsur-unsur baru yang modern teknologis. Demikian pula berbagai aturan tradisi yang cenderung mengikat sebagai bentuk kristalisasi nilai-nilai yang telah berlangsung turun-temurun, tidak begitu saja tergantikan oleh unsur-unsur baru yang berorientasi praktis-pragmatis. Hal demikian nampak sekali dalam wujud sajian musik kenthongan yang mencerminkan adanya penggabungan kedua unsur tersebut.
Pada satu sisi musik ini merupakan bentuk reproduksi dari berbagai ragam seni pertunjukan yang sudah ada sebelumnya. Di dalam musik kenthongan terdapat unsur musik tradisional calung, angklung, tari tradisional Banyumasan dan kostum yang bercorak tradisional. Namun demikian di dalamnya dapat dengan mudah dijumpai ciri-ciri tertentu yang mencerminkannya sebagai produk seni masa kini, misalnya hadirnya warna musik “pop”, modern dance dan marching band. Selain itu di dalamnya juga senantiasa dilakukan usaha-usaha inovasi yang bertujuan untuk “mempercantik diri” agar penampilannya tampak lebih menarik dan memiliki kekhasan tersendiri. Hal terakhir ini telah menyebabkan setiap grup kenthongan senantiasa berusaha tampil dengan warna penampilan yang berbeda-beda antara satu grup dan grup yang lain.
Banyumas; Open Culture
Dalam konteks kebudayaan, Banyumas bukan sekedar wilayah administratif yang dipimpin oleh seorang Bupati. Banyumas adalah wilayah kebudayaan dari suatu komunitas masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris yang telah menjadi muara berbagai ragam kebudayaan. Perjalanan kebudayaan Banyumas tidak lepas dari komunikasi lintas budaya yang melibatkan unsur-unsur budaya asing ke dalam kebudayaan masyarakat setempat. Unsur-unsur budaya asing yang telah mewarnai pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Banyumas adalah sebagaimana terpapar dalam uraian berikut.
Dua kutub budaya besar: Jawa-Sunda. Letak geografis Banyumas berada di daerah antara dua kutub budaya besar yaitu budaya Jawa dan budaya Sunda. Sebagai daerah yang berada di wilayah marginal survival, keberadaan kebudayaan Banyumas tidak lepas dari pengaruh dua kutub budaya tersebut. Pengaruh Jawa-Sunda di daerah ini dapat dijumpai pada hampir segala aspek kehidupan, terutama pada pemahaman tentang leluhur, kesenian dan bahasa.
Masyarakat Banyumas dikenal memiliki dua leluhur yang berasal dari dua alur sejarah yang berbeda, yakni Majapahit dan Pajajaran4. Raden Baribin yang dianggap menurunkan adipati-adipati Banyumas adalah adik dari Brawijaya V dari Majapahit yang menikah dengan Retna Pamekas, salah seorang putri Pajajaran. Keyakinan tentang keterkaitan Banyumas dengan Sunda bahkan sudah ada sebelum itu. Di dalam Babad Kamandaka5 disebutkan bahwa Putri Bungsu Ciptoroso, anak terakhir dari Adipati Kandandaha dari Kadipaten Pasirluhur telah menikah dengan Raden Kamandaka yang merupakan salah seorang anak Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.
Dalam bidang kesenian, di Banyumas berkembang berbagai macam kesenian yang sangat dipengaruhi oleh kultur Jawa-Sunda. Kesenian lengger yang berkembang di wilayah sebaran budaya Jawa dengan istilah tayub, di Banyumas disebut juga dengan istilah ronggeng. Kesenian ronggeng adalah salah satu jenis seni pertunjukan tradisional yang berkembang di Jawa Barat yang notabene merupakan wilayah perkembangan budaya Sunda. Demikian pula dalam seni karawitan gagrag Banyumas dapat dijumpai ragam komposisi musikal (gendhing) yang memiliki pola balungan dan garap dari kedua kutub budaya ini.
Bahasa yang berkembang di Banyumas juga mencirikan adanya pertautan antara Jawa-Sunda di dalamnya. Bahasa Banyumasan yang sangat dipengaruhi oleh bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan juga sangat dipengaruhi oleh bahasa Sunda. Pengaruh Sunda di sini dapat dilihat baik pada ragam kosa kata maupun aspek langue (bahasa) dan aspek parole (tuturan). Kosa kata dalam bahasa Banyumasan banyak di antaranya yang merupakan kosa kata dalam bahasa Sunda. Misalnya: penggunaan kata “ci” yang berarti sungai pada nama-nama tempat di Banyumas seperti Cilongok, Ciberem, Cionje, Cisalak dan lain-lain. Langue adalah aspek sosial bahasa meliputi tata-bahasa atau “aturan-aturan” yang ada pada ranah fonologis, morfemis, sintaksis, dan semantis. Adapun aspek parole merupakan aspek individual atau statistikal yang berkaitan dengan “gaya” atau “style” seorang individu6. Pengaruh Jawa-Sunda pada bahasa Banyumasan dibatasi oleh aliran Sungai Serayu. Di sebelah selatan dan timur aliran sungai Serayu berkembang pengaruh bahasa Jawa, sedangkan di sisi utara dan barat dipengaruhi oleh bahasa Sunda.
Kebudayaan Hindu-Budha. Kebudayaan Hindu-Budha telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Banyumas. Pengaruh ini dapat dilihat dari sisi fisik dan non-fisik. Pengaruh kebudayaan fisik dapat dilihat pada artefak-artefak yang dapat ditemukan di berbagai tempat di wilayah Banyumas dalam bentuk arca, lingga/palus, yoni dan lain-lain. Adapun pengaruh non fisik dapat dijumpai pada pemahaman terhadap kekuatan ghaib yang datang dari dewa-dewi.
Kebudayaan Islam. Agama Islam yang telah dianut oleh sebagian besar warga masyarakat Banyumas telah memberikan pengaruh yang begitu kuat terhadap perjalanan kebudayaan Banyumas. Di daerah ini diketahui berkembang varian Islam abangan yang umumnya berkembang di daerah-daerah pedesaan. Kuatnya pengaruh Islam abangan di daerah ini dapat dilihat pada aspek kebudayaan yang bercirikan ‘budaya membingkai agama’. Pemahaman tentang ketuhanan biasanya dibingkai dalam berbagai bentuk perilaku budaya. Selain itu, di daerah ini banyak berkembang ragam kesenian yang bernafas islami seperti dijumpai pada slawatan, angguk, aksimudha, aplang, tunil dan rodat.
Kebudayaan Kolonial. Kolonialisme Barat (baca: Belanda) yang begitu lama bercokol di Banyumas telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap eksistensi kebudayaan Banyumas. Pada berbagai aspek kebudayaan Banyumas dapat dijumpai kuatnya pengaruh kebudayaan kolonial. Contoh konkret untuk hal terakhir ini dapat dilihat pada kebiasaan minum (minuman keras) sebagai kelengkapan pertunjukan kesenian yang lazim disebut marungan.
Kebudayaan Barat Modern. Modernisasi yang datang dari negara-negara Barat telah memberikan pengaruh pada dinamika perkembangan kebudayaan Banyumas. Arus budaya massa sebagai bagian dari pengaruh globalalisasi telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan pola pikir, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dampaknya dapat dirasakan pada hampir segala aspek kehidupan. Dalam bidang kesenian dapat dirasakan melalui perkembangan kesenian tradisional yang banyak menggunakan peralatan-peralatan modern dan unsur-unsur modern lainnya sebagai bagian dari kelengkapan pertunjukan. Selain itu telah lahir dan muncul ragam kesenian tandingan yang memadukan tradisi-modern di dalamnya.
Musik Kenthongan di Banyumas
Siapa mengira kenthongan akan menggegerkan masyarakat Banyumas? Dulu kenthongan hanyalah sekedar jenis peralatan tradisional bergelantungan di pos-pos ronda atau teras rumah penduduk. Kini alat ini telah berubah menjadi sarana pertunjukan yang cukup menghebohkan. Bukan hanya setahun-dua tahun. Semenjak kelahirannya sekitar tahun 1986 perkembangan musik kenthongan musik tidak surut. Pertumbuhannya kian merebak ke seluruh pelosok desa di Kabupaten Banyumas hingga mencapai kurang lebih 368 grup pada tahun 2004.
Musik kenthongan di Banyumas telah lahir dan berkembang menjadi musik yang begitu atraktif dan bergairah. Setiap grup dapat menampilkan kreativitasnya masing-masing secara bebas, tanpa aturan-aturan baku yang mengekang kreativitas. Kebebasan kreativitas inilah yang menjadi salah satu daya tarik dari musik ini. Setiap grup bisa menyederhanakan atau merumitkan teknik permainan musik sesuai dengan kemampuan dan keinginan mereka. Setiap individu bisa mengekspresikan pengalaman estetis dalam wadah pertunjukan musik yang dipadu dengan tari-tarian, atraksi badut atau bahkan cheers leader dan marching band. Benar-benar bebas, enjoy.
Musik kenthongan di Banyumas sebenarnya sudah dapat dijumpai pada awal dekade tahun 1970-an. Di wilayah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas (kurang lebih 10 km di sebelah barat Kota Purwokerto) dijumpai ada sekelompok masyarakat yang mengembangkan alat-alat kenthongan menjadi semacam perangkat musik. Caranya adalah membuat alat kenthongan dalam jumlah banyak kemudian ditabuh bersama-sama. Pada waktu itu ada yang mencoba memasukkan alat musik mirip dengan angklung yang cara membunyikannya adalah dengan memukul bilah-bilah nada di dalamnya. Selanjutnya jadilah aransemen musikal dari alat kenthongan yang dilengkapi dengan alat musik mirip angklung.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, musik kenthongan mulai tumbuh subur diawali sejak digalakkannya kegiatan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) oleh jajaran Kepolisian tahun 1986. Untuk mengefektifkan program Kamtibmas, jajaran Kepolisian Daerah Jawa Tengah mewajibkan setiap rumah tangga memiliki alat kenthong yang digunakan untuk komunikasi apabila sewaktu-waktu terjadi peristiwa tertentu yang membutuhan bantuan orang lain. Pada malam hari digalakkan pula kegiatan ronda dengan istilah Siskamling (sistem keamanan lingkungan). Pada saat ronda malam, para petugas ronda membunyikan kenthongan secara terorganisir sehingga menjadi jalinan komposisi musikal yang bersifat metris tanpa melodi dengan tujuan agar tidak jenuh dalam melaksanakan jaga malam. Komposisi musikal sederhana ini lalu dijadikan sebagai sarana mengiringi berbagai nyanyian yang mereka hafal. Demikianlah setiap malam para petugas ronda melaksanakan jaga malam keliling kampung sambil bernyanyi sekenanya dengan iringan aransemen musikal yang dihasilkan oleh kenthongan yang mereka bawa.
Jajaran Kepolisian di Kabupaten Banyumas kemudian menangkap kebiasaan bermain musik para petugas ronda itu melalui lomba thek-thek kamling yang dimulai pada level antar kampung di tingkat desa, tingkat kecamatan dan berakhir di tingkat Kabupaten. Setiap peserta lomba diwajibkan membawakan lagu-lagu tertentu yang berisi pesan-pesan keamanan dan ketertiban lingkungan. Pada waktu itu, ada satu grup yang hampir selalu menjuarai lomba thek-thek Kamling di tingkat Kabupaten, yaitu grup musik kenthongan dari Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas.
Keberhasilan grup musik thek-thek asal Kalisalak menjuarai setiap perlombaan telah menumbuhkan motivasi bagi grup-grup musik kenthongan lain di Kabupaten Banyumas. Sejak itulah musik kenthongan kemudian berkembang di berbagai penjuru wilayah Kabupaten Banyumas sebagai ragam musik alternatif yang bukan saja digunakan untuk siskamling (ronda) melainkan juga untuk keperluan hiburan bagi warga masyarakat di sekitar grup-grup itu berada.
Hingga saat ini musik thek-thek masih terus tumbuh subur hampir di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas. Masyarakat umumnya merasa “enjoy” dengan musik tersebut. Perasaan senang umumnya timbul disebabkan oleh kemudahan cara menyajikan, tersalurnya kreativitas seni yang dimilikinya serta sifat sajian yang bebas sehingga setiap orang dapat datang dan main tanpa dibatasi oleh jumlah pemain, keterbatasan alat maupun hal-hal lain yang bersifat teknis sajian. Pada kenyataannya siapapun dapat mengambil peran sebagai penabuh, penari, badut, semacam mayoret, dan lain-lain. Kebebasan kreativitas inilah salah satu daya tarik dari musik thek-thek.
Alat musik. Sebagai penggabungan dari berbagai varian musik, maka hingga saat ini tidak ada pembakuan di dalam sajian kenthongan. Setiap orang atau kelompok masyarakat dapat menciptakan berbagai bentuk alat musik yang berbeda-beda baik dalam hal bentuk maupun fungsi dalam sajian musikal sesuai dengan daya kreativitas masing-masing. Sejauh ini di dalam perangkat musik thek-thek dapat dijumpai alat-alat sebagai berikut:
a. Kenthongan dengan nada besar
b. Kenthongan dengan nada sedang
c. Kenthongan dengan nada kecil
d. Instrumen melodi mirip calung
e. Instrumen melodi mirip angklung
f. Alat musik mirip gendang/bass
g. Tepak, instrumen mirip drum
h. Alat musik mirip simbal
i. Seruling atau sejenisnya
j. Bilah bambu tanpa nada untuk bunyi “tek-tek”
k. Lain-lain alat musik yang umumnya perkusi
Pemain. Pemain thek-thek dapat dilakukan oleh pria, wanita atau gabungan pria dan wanita dengan jumlah tidak terbatas. Dalam satu grup musik thek-thek memungkinkan dilakukan oleh sedikit atau banyak pemain bergantung pada keikut sertaan anggota masyarakat pada saat berlangsungnya pertunjukan. Oleh karena itu dalam satu sajian dan sajian lain memungkinkan jumlah pemain yang berbeda.
Para pemain musik thek-thek secara umum dapat dibagi dalam berbagai peran antara lain:
a. Penabuh, yaitu pemain yang bertugas menabuh atau membunyikan alat-alat musik.
b. Mayoret, yaitu pemain yang bertugas mengatur barisan seperti layaknya mayoret pada drum band.
c. Penari, yaitu pemain yang bertugas membawakan ragam tarian tertentu yang diiringi oleh lagu-lagu tertentu yang disajikan.
d. Badut, yaitu pemain yang memakai kostum-kostum lucu sebagai salah satu daya tarik sajian.
Rias dan Busana. Rias-busana dalam pertunjukan musik kenthongan tidak ada ketentuan khusus. Pada umumnya para penabuh mengenakan kostum yang lazim dipakai pada saat melaksanakan siskamling, yaitu celana komprang, baju potong Jawa, iket dan sarung. Mayoret dan penari yang biasanya dilakukan oleh wanita mengenakan pakaian berupa baju kebaya dan jarit. Dijumpai pula penari yang mengenakan berbagai macam aksesories panggung. Rias yang diterapkan biasanya ala kadarnya dengan basis rias ayu. Adapun badut mengenakan kostum yang lucu-lucu. Namun demikian yang harus diketahui adalah bahwa rias kostum tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk setiap penampilan musik thek-thek. Setiap grup dapat melakukan penampilan yang berbeda-beda sesuai dengan daya kreativitasnya.
Teknik Sajian. Teknik sajian musik thek-thek juga sangat variatif sesuai dengan daya kreativitas masing-masing grup. Biasanya dalam suatu pertunjukan thek-thek disajikan berbagai macam lagu baik lagu-lagu yang bernuansa tradisional, modern maupun “pop”, termasuk di antaranya lagu-lagu nasional. Sajian lagu-lagu tersebut dipimpin oleh seorang mayoret dan digunakan untuk mengiringi tarian para penari maupun badut. Penyajian musik thek-thek tidak memerlukan tempat-tempat yang harus dipersiapkan secara khusus. Pada umumnya musik ini disajikan di tempat-tempat terbuka seperti di jalan-jalan desa, lapangan atau halaman yang luas.
Dampak Perubahan Sosial
Modernisasi yang tengah melanda kehidupan masyarakat Banyumas saat ini merupakan sebuah proses perubahan yang belum selesai. Proses ini akan terus berlanjut hingga menemukan bentuk sebagaimana yang diinginkan oleh setiap anggota masyarakat yang bermukim di daerah ini. Agus Salim7 mengungkapkan bahwa kematangan masyarakat menuju masyarakat industri, memiliki bentuk transisi yang cukup panjang dan lama dalam bentuk orientasi sekarang (present oriented). Dalam masyarakat transisi bentuk rasionalitas yang didambakan belum muncul sebagai potensi utama, karena modernisasi baru direspon sebagai ‘kekaguman’ bentuk luar dari kebudayaan Barat. Hal ini sebagaimana diungkapkan Selo Sumarjan bahwa masyarakat akan mengalami tahap-tahap modernisasi yang terjadi di hadapannya, yaitu taraf yang paling rendah ke tingkat yang paing tinggi, meliputi: (1) modernisasi tingkat alat, (2) modernisasi tingkat lembaga, (3) modernisasi tingkat individu, dan (4) modernisasi tingkat inovasi8.
Aspek paling spektakuler dari modernisasi adalah penggantian teknik-teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern. Kenyataan ini terjadi hampir pada setiap bidang kehidupan manusia dewasa ini, tidak terkecuali bidang-bidang yang tradisional sekalipun9. Kenyataan dapat dilihat dalam kehidupan ragam kesenian di Banyumas. Dewasa ini berbagai ragam kesenian tradisional yang sebelumnya menjadi bagian dari perjalanan tradisi masyarakat setempat, banyak diantaranya yang tergeser oleh ragam kesenian modern. Ragam kesenian tradisional seperti angguk, aksimuda, aplang, bongkel, krumpyung, buncis dan sejenisnya, sekarang hampir tidak pernah terdengar lagi hadir dalam bentuk sajian bagi masyarakat pendukungnya. Jenis-jenis kesenian semacam ini telah digantikan oleh produk seni lain yang dianggap sepadan dengan kebutuhan estetis masyarakat setempat.
Ada tiga jenis kesenian tradisional khas Banyumas yang hingga kini masih mampu bertahan dalam kancah persaingan dengan cabang-cabang seni modern, yaitu wayang kulit, ebeg dan lengger Banyumasan. Semenjak dekade tahun 1970-an dan 1980-an ketiga jenis kesenian ini telah menjadi semacam trade mark bagi eksistensi kebudayaan Banyumas dan masih berlanjut hingga sekarang. Nampaknya berdasarkan perkembangan ketiga jenis ini kemudian R. Anderson Sutton menyebut era tahun 1980-an sebagai era demokrasi modern bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Banyumas10.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui telah terjadi kemajuan pesat yang mampu mengangkat Banyumas dari kategori “rakyat” dan mampu berdiri sederajat dengan seni istana. Mulai tahun 1980 disebutnya sebagai era demokrasi modern, setidak-tidaknya memberi suasana yang kondusif bagi dukungan terhadap kesenian rakyat. Ini berbeda dengan pada masa masa-masa kerajaan yang telah menempatkan seni-seni istana memegang supermasi dalam kehidupan sosial. Sungguh pun demikian sebenarnya pernyataan Sutton tidak berlaku bagi beberapa ragam kesenian seperti disebut pertama, yang dewasa ini dapat dikatakan telah mengalami kepunahan.
Tarik-ulur antara tradisi dan modern dalam pertumbuhan dan perkembangan kesenian di Banyumas ternyata telah mempu melahirkan ragam kesenian baru yang merupakan perpaduan dari keduanya. Lahirnya musik kenthongan di Banyumas sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat setempat. Hal ini sebagaimana dikatakan Arnold Hauser dalam kutipan berikut:
This is in spite of fact that art both influences and is influenced by social changes, that it initiates social changes while itself changing within them. Art and society are not monolithically related; each of them can be object as well as subject. The influence of art on society is not even the more dominant or significant force in this mutual relationship. The influence that starts in society and is directed toward art determines the nature of the relationship more than reserve, where a form of art—already characterized by interpersonal relationships—reacts upon society11.
Pernyataan Arnold Hauser membuktikan bahwa keberadaan kesenian dalam konteks perubahan sosial merupakan dua hal yang saling berhubungan satu sama lain. Keberadaan kesenian sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial, demikian pula perubahan sosial mendapat pengaruh dari keberadaan suatu bentuk kesenian di lingkungan sosial masyarakat yang bersangkutan. Kesenian dan masyarakat sama-sama memungkinkan menjadi obyek sekaligus subyek yang saling berpengaruh terhadap perubahan bagi keduanya. Pengaruh seni terhadap masyarakat tidak selalu memiliki kekuatan yang lebih dominan atau signifikan. Pengaruh yang berawal di dalam masyarakat dan ditujukan terhadap seni menentukan hubungan yang alami lebih dari sekedar reserve, di mana sebuah bentuk seni—dicirikan oleh hubungan antar personal—bereaksi terhadap masyarakat.
Proses perubahan semacam ini terjadi pada konteks perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Banyumas yang saat ini tengah menuju ke arah modernisasi. Keberadaan musik kenthongan di Banyumas tidak lepas dari perubahan sosial masyarakat di daerah itu. Dalam hal ini perubahan sosial dimungkinkan telah memicu kelahiran musik kenthongan yang saat ini perkembangannya tengah mengalami booming. Namun demikian kelahiran musik ini berpotensi memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial bagi masyarakat setempat. Dilihat dari sisi banyaknya jumlah anggota tim (mencapai 40-65 orang per grup), kesenian ini berpotensi memberikan pengaruh bagi tumbuhnya jiwa corsa, kesatuan dan kebersamaan antar individu di dalam kehidupan sosial mereka. Demikian juga dari sisi pertunjukan yang menyajikan perpaduan antara tradisi-modern memungkinkan menuntun kehidupan mereka pada arus modernisasi yang tetap mempertahankan tradisi masa lalu.
Dalam konteks pembentukan musik kenthongan Roy Bhaskar12 menyatakan bahwa perubahan sosial biasanya terjadi secara wajar (naturaly), gradual, bertahap serta tidak pernah terjadi secara radikal atau revolusioner. Proses perubahan sosial meliputi proses reproduction dan proses transformation. Proses reproduction adalah proses mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang kita sebelumnya. Proses transformation adalah suatu proses penciptaan hal yang baru (something new) yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (tool and technologies), yang berubah adalah aspek budaya yang bersifat material, sedangkan yang sifatnya norma dan nilai sulit sekali diadakan perubahan (bahkan ada kecenderungan untuk dipertahankan).
Kelahiran musik kenthongan pastilah merupakan rangkaian mata rantai perjalanan kesenian di Banyumas yang telah bersimbiosis dengan perubahan sosial yang terjadi terus-menerus. Di tengah perubahan sosial inilah musik kenthongan lahir sebagai lokal genius masyarakat Banyumas. Musik kenthongan atau thek-thek lahir sebagai kesenian alternatif yang dapat mewadahi kebutuhan masyarakat Banyumas akan hadirnya bentuk sajian seni yang digunakan sebagai sarana ekspresi sekaligus pemenuhan kebutuhan estetis dalam dirinya. Musik ini selanjutnya berkembang mengarah pada bentuk entartaiment melibatkan dua hal selama ini banyak dikontradiksikan; tradisi-modern. Namun demikian hadirnya kedua warna ini justru membuktikan bahwa masyarakat Banyumas yang saat ini tengah berjalan di rel modernisasi tidak sepenuhnya meninggalkan kehidupan masa lalu mereka yang berakar dari kerakyatan. Warna tradisional di dalam pertunjukan kenthongan adalah ekstrak atau kristalisasi dari produk kebudayaan lama yang masih dipertahankan dalam mewujudkan bentuk kreativitas seni. Oleh karena itu pada banyak segi di dalamnya merupkan bentuk imitasi dari ragam kesenian yang sudah ada sebelumnya.
Banyumas yang kaya akan bambu telah melahirkan berbagai jenis musik tradisional seperti calung, angklung, krumpyung, gondoliyo/bongkel. Jenis musik ini sama-sama memiliki instrumen terbuat dari bambu wulung. Ketersediaan bahan baku yang melimpah di daerah ini memungkinkan melahirkan daya kreativitas masyarakatnya. Bambu-bambu itu dibuat menjadi bilah-bilah nada yang dilaras sesuai dengan keperluan sajian musik. Ada yang dibuat model nada-nada yang dirangkai dalam satu rancakan dan teknik menabuhnya dengan cara dipukul; maka jadilah calung. Ada pula bilah-bilah nadanya yang digantung sehingga teknik menabuhnya dengan cara digoyang; maka jadilah angklung, krumpyung dan bongkel. Dari keempat jenis musik ini, yang paling populer adalah calung yang biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan lengger.
Dilihat dari sisi organologis, secara fisik instrumen kenthongan merupakan bentuk metamorfosis dari alat-alat musik tersebut di atas. Romantisme masyarakat Banyumas terhadap masa lalu yang melekat pada pertunjukan-pertunjukan rakyat seperti calung, angklung, krumpyung, gondoliyo/bongkel—semua alat musik bambu—yang berpadu dengan nuansa kekinian telah melahirkan ide-ide kreatif melalui musik kenthongan. Sebagai sebuah metamorfosis, di dalam proses penciptaan musik kenthongan tentu saja terjadi proses imitasi terhadap ragam alat musik yang sudah ada sebelumnya.
Proses imitasi tersebut tidak sekedar dalam bentuk “fotocopy” belaka, tetapi juga melakukan inovasi dengan memasukkan unsur-unsur “baru” mulai dari ragam dan bentuk alat musik (organologi), lagu-lagu yang disajikan, ragam tarian, jumlah personal, rias-busana, aksesories pertunjukan dan lain-lain. Proses imitasi dan inovasi seperti ini semakin lama semakin mewujudkan suatu bangunan musik yang lengkap dan semakin menarik ditonton sehingga semakin banyak masyarakat yang menyukai maka semakin bermunculaan kelompok-kelompok musik kenthongan.
Bagaikan gayung bersambut karena begitu banyak bermunculan kelompok-kelompok musik kenthongan dan banyaknya penonton pada setiap penampilannya, berbagai macam organisasi formal maupun informal kemudian mengadakan lomba dan atau festival kenthongan yang bertujuan untuk mencari kelompok-kelompok musik kenthongan terbaik. Menurut pengamatan penulis selama lima tahun terakhir lomba dan atau festival musik kenthongan di Kabupaten Banyumas dilakukan lebih dari 10 kali dalam setahun yang diselenggarakan oleh organisasi/lembaga yang berbeda-beda.
Sebagai bentuk produk lokal, musik kenthongan memungkinkan berkembang pada dua arah, yaitu (1) sebagai bagian dari tradisi masyarakat Banyumas, dan (2) sebagai produk budaya temporer. Untuk dapat menjadi bagian dari tradisi sebuah masyarakat, maka musik kenthongan masih akan terus “diuji” melalui perjalanan waktu yang cukup lama. Musik ini harus melewati perubahan-perubahan sehingga akan terjadi kristalisasi nilai dan bentuk. Kristalisasi nilai berkaitan dengan isi yang terkandung di dalamnya. Nilai apa yang terkandung di dalam musik ini berkaitan dengan pola pikir, pandangan hidup, ideologi dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat.
Kemungkinan kedua tentang hadirnya musik kenthongan sebagai kesenian temporer, berkaitan dengan rentang waktu. Sebagai musik temporer, musik ini lebih sekedar sebagai trend perkembangan masyarakat selaras dengan perjalanan jaman yang akan terus berubah. Dulu calung, sekarang kenthongan, besok ganti lagi dengan bentuk yang lain.
Kesimpulan
Musik kenthongan yang perkembangannya tengah mengalami booming dewasa ini lahir di tengah perubahan sosial yang terjadi hampir di segala kehidupan masyarakat Banyumas. Kehidupan masyarakat Banyumas yang terus berubah searah dengan perkembangan jaman telah menghasilkan musik alternatif yang memadukan konsep tradisi-modern di dalamnya. Ciri utama dari musik ini adalah pola garapan yang bebas, tidak terikat pada pola aturan baku yang membelenggu kreativitas. Hal ini menyebabkan setiap grup kenthongan tampil dengan ciri khas masing-masing. Hal demikian terjadi karena budaya Banyumas adalah ragam kebudayaan yang cenderung terbuka bagi masuknya unsur-unsur budaya asing di dalamnya. Berbagai unsur kebudayaan telah turut berperan membentuk kebudayaan Banyumas hingga seperti wujudnya yang dapat dijumpai sekarang ini. Lahirnya musik kenthongan yang terjadi pada era modernisasi telah memberikan pengaruh tersendiri bagi musik ini yang tersaji dalam bentuk perpaduan tradisi-modern.
Lahirnya musik kenthongan tidak lepas dari ketersediaan bahan baku berupa bambu jenis bambu wulung. Melimpahnya bambu jenis ini terbukti telah memberikan daya kreatif bagi masyarakat setempat yang mampu menciptakan berbagai alat musik seperti calung, angklung, krumpyung dan gondolio/bongkel. Dilihat dari sisi organologis, alat musik kenthongan juga merupakan metamorfosisi dari berbagai ragam alat musik tradisional yang ada di daerah ini.
Dalam wacana perubahan sosial, lahirnya musik kenthongan sangat dipengaruhi oleh arus budaya massa yang telah menghasilkan budaya “pop”. Bentuk musikal dan pertunjukannya yang mencirikan adanya perpaduan tradisi-modern membuktikan lekatnya unsur budaya “pop” di dalam musik yang satu ini. Namun demikian apabila dirunut lebih jauh, maka lahirnya musik kenthongan tidak lepas dari pengaruh komunikasi lintas budaya yang telah terjadi jauh sebelum masuknya arus budaya modern ke wilayah Banyumas.
Pada masa yang akan datang terjadi dua kemungkinan kelanjutan perkembangan musik kenthongan, yaitu sebagai bagian dari tradisi masyarakat Banyumas, dan sebagai produk budaya temporer. Kedua kemungkinan ini sama besar peluangnya dan masing-masing akan menjadi kenyataan sesuai dengan kehendak masyarakat Banyumas selaku pendukung kesenian ini. Apabila perkembangan musik kenthngan terus berlanjut dengan mengalami pengkristalan, bukan tidak mungkin kesenian ini akan menjadi bagian dari perjalanan tradisi masyarakat Banyumas. Namun demikian apabila kehadiran kenthongan lebih sekedar sebagai trend, maka pada akhirnya musik ini akan tergeser oleh ragam kesenian yang datang kemudian sebagai trend perkembangan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim, 2002, Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Babad Banyumas, manuskrip, t.th.
Babad Kamandaka, 1972, Balai Pustaka, Jakarta.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2004, “Data Kesenian Kabupaten Banyumas 2004”, Purwokerto: Disparbud.
Gere, David (ed.), 1992, Looking Out Perspektives on Dance and Criticism in Multicultural World, New York: Schrimer Brooks An Imprint of Simon & Schuster Macmillan.
Hauser, Arnold, 1974, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J. Northcott, Chicago and London: The University of Chicago Press.
Heddy Shri Ahimsa Putra, 2000, Ketika Orang Jawa Nyeni, Yogyakarta: Galang Press.
Koentjaraningrat, 1990, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat.
Lauer, Robert H., 1989, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Edisi II, terjemahan Aliumadan, Jakarta: Bina Aksara Baru.
Parsudi Suparlan, 1988, Kebudayaan dan Pebangunan, Jakarta: MGMP Sosiologi dan Antropologi.
Redfield, Robert, 1969, The Little Community Pleasant Society and Culture, London, Chicago: The Univesity of Chicago Press.
Schrool, J.W., 1988, Modernisasi Pengantar Sosial Pembanguna Negara-negara Sedang Berkembang, Jakarta: Gramedia.
Selo Sumarjan, 1986, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Sjafri Sairin, 1997, Transmisi Nilai Budaya dalam Dinamikan Perubahan dalam Humaniora, buletin Universitas Gadjah Mada No. VI Oktober-November 1997.
Sutton, R. Anderson, 1991, Traditions of Gamelan Music in Java: Musical Pluralism and Region Identity, New York: Cambridge University Press.
1 Sairin, Sjafri, 1997, Transmisi Nilai Budaya dalam Dinamikan Perubahan dalam Humaniora, buletin Universitas Gadjah Mada No. VI Oktober-November 1997, hal. 2
2 Redfield, Robert, 1969, The Little Community Pleasant Society and Culture, The Univesity of Chicago Press, London, Chicago, p. 42-43.
3 Suparlan, Parsudi, 1988, Kebudayaan dan Pebangunan, Jakarta: MGMP Sosiologi dan Antropologi, hal. 9. (Lihat juga Koentjaraningrat, 1990, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta, hal. 108-109; Robert H. Lauer, 1989, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Edisi II, terjemahan Aliumadan, Jakarta: Bina Aksara Baru, hal. 227).
4 Lihat “Babad Banyumas”, manuskrip, t.th.
5 Babad Kamandaka, 1972, Balai Pustaka, Jakarta. Cerita tentang Kamandaka juga berkembang meluas di kalangan masyarakat Banyumas dalam bentuk cerita tutur.
6 Heddy Shri Ahimsa Putra, 2000, Ketika Orang Jawa Nyeni, Galang Press, Yogyakarta, hal. 407.
7 Agus Salim, 2002, Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, PT Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 72.
8 Selo Sumarjan, 1986, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gajahmada University Press, Yogyakarta.
9 Schrool, J.W., 1988, Modernisasi Pengantar Sosial Pembanguna Negara-negara Sedang Berkembang, Gramedia, Jakarta, hal. 1.
10 Sutton, R. Anderson, 1991, Traditions of Gamelan Music in Java: Musical Pluralism and Region Identity, Cambridge University Press, New York, P. 71.
11 Arnold Hauser, 1974, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J. Northcott, The University of Chicago Press, Chicago and London, p. 89.
12 Roy Bhaskar dalam, Agus Salim, 2002, op cit hal. 20-21.
Kebudayaan Banyumas yang semula berkembang di lingkungan masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris, pada gilirannya tidak lepas dari perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan jaman yang mengarah pada pola modern-teknologis. Proses perubahan semacam ini menurut Parsudi Suparlan terjadi melalui substitusi (penggantian unsur-unsur yang lama oleh unsur-unsur yang baru secara fungsional dapat diterima oleh unsur-unsur lainnya) atau hilangnya unsur atau seperangkat unsur tanpa ada gantinya. Perubahan juga dapat terjadi melalui penambahan unsur-unsur baru dalam kebudayaan tanpa menghilangkan unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaan tersebut3.
Perubahan sosial di daerah Banyumas telah memberikan imbas terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakatnya, tidak terkecuali di bidang kesenian. Akhir-akhir ini di Banyumas tengah terjadi booming perkembangan musik kenthongan. Pada mulanya kenthongan dalam kehidupan masyarakat tradisional merupakan alat atau sarana komunikasi. Kini alat tradisional ini telah menjadi salah satu bentuk musik alternatif yang sangat digemari oleh hampir semua kalangan, baik tua maupun muda. Musik kenthongan yang sering juga disebut dengan istilah musik thek-thek dan atau themling tumbuh di hampir setiap desa, bahkan RW (Rukun Warga), dalam bentuk-bentuk perkumpulan dengan anggota antara 40-65 orang tiap grup.
Data Kesenian Kabupaten Banyumas Tahun 2004 pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas menyebutkan bahwa pada tahun 2004 perkumpulan kenthongan di daerah ini berjumlah 368 grup. Dengan rasio jumlah kecamatan di Kabupaten Banyumas sebanyak 27 buah, maka setiap kecamatan hampir mencapai lebih dari 13,6 grup. Apabila dibanding dengan jumlah desa/kelurahan di daerah ini yang berjumlah 330 desa, maka ada 1,1 grup kenthongan di setiap desa. Sesungguhnya tidak setiap desa/kelurahan ada grup-grup kenthongan, tetapi ada desa/kelurahan yang memiliki perkumpulan kenthongan tiga atau empat grup.
Keberadaan musik kenthongan di Banyumas tidak lepas dari kecenderungan perubahan masyarakat setempat yang hidup dalam era transisi budaya. Pada situasi demikian, unsur-unsur budaya lama yang berpola tradisional-agraris tidak begitu saja tergantikan oleh unsur-unsur baru yang modern teknologis. Demikian pula berbagai aturan tradisi yang cenderung mengikat sebagai bentuk kristalisasi nilai-nilai yang telah berlangsung turun-temurun, tidak begitu saja tergantikan oleh unsur-unsur baru yang berorientasi praktis-pragmatis. Hal demikian nampak sekali dalam wujud sajian musik kenthongan yang mencerminkan adanya penggabungan kedua unsur tersebut.
Pada satu sisi musik ini merupakan bentuk reproduksi dari berbagai ragam seni pertunjukan yang sudah ada sebelumnya. Di dalam musik kenthongan terdapat unsur musik tradisional calung, angklung, tari tradisional Banyumasan dan kostum yang bercorak tradisional. Namun demikian di dalamnya dapat dengan mudah dijumpai ciri-ciri tertentu yang mencerminkannya sebagai produk seni masa kini, misalnya hadirnya warna musik “pop”, modern dance dan marching band. Selain itu di dalamnya juga senantiasa dilakukan usaha-usaha inovasi yang bertujuan untuk “mempercantik diri” agar penampilannya tampak lebih menarik dan memiliki kekhasan tersendiri. Hal terakhir ini telah menyebabkan setiap grup kenthongan senantiasa berusaha tampil dengan warna penampilan yang berbeda-beda antara satu grup dan grup yang lain.
Banyumas; Open Culture
Dalam konteks kebudayaan, Banyumas bukan sekedar wilayah administratif yang dipimpin oleh seorang Bupati. Banyumas adalah wilayah kebudayaan dari suatu komunitas masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris yang telah menjadi muara berbagai ragam kebudayaan. Perjalanan kebudayaan Banyumas tidak lepas dari komunikasi lintas budaya yang melibatkan unsur-unsur budaya asing ke dalam kebudayaan masyarakat setempat. Unsur-unsur budaya asing yang telah mewarnai pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Banyumas adalah sebagaimana terpapar dalam uraian berikut.
Dua kutub budaya besar: Jawa-Sunda. Letak geografis Banyumas berada di daerah antara dua kutub budaya besar yaitu budaya Jawa dan budaya Sunda. Sebagai daerah yang berada di wilayah marginal survival, keberadaan kebudayaan Banyumas tidak lepas dari pengaruh dua kutub budaya tersebut. Pengaruh Jawa-Sunda di daerah ini dapat dijumpai pada hampir segala aspek kehidupan, terutama pada pemahaman tentang leluhur, kesenian dan bahasa.
Masyarakat Banyumas dikenal memiliki dua leluhur yang berasal dari dua alur sejarah yang berbeda, yakni Majapahit dan Pajajaran4. Raden Baribin yang dianggap menurunkan adipati-adipati Banyumas adalah adik dari Brawijaya V dari Majapahit yang menikah dengan Retna Pamekas, salah seorang putri Pajajaran. Keyakinan tentang keterkaitan Banyumas dengan Sunda bahkan sudah ada sebelum itu. Di dalam Babad Kamandaka5 disebutkan bahwa Putri Bungsu Ciptoroso, anak terakhir dari Adipati Kandandaha dari Kadipaten Pasirluhur telah menikah dengan Raden Kamandaka yang merupakan salah seorang anak Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.
Dalam bidang kesenian, di Banyumas berkembang berbagai macam kesenian yang sangat dipengaruhi oleh kultur Jawa-Sunda. Kesenian lengger yang berkembang di wilayah sebaran budaya Jawa dengan istilah tayub, di Banyumas disebut juga dengan istilah ronggeng. Kesenian ronggeng adalah salah satu jenis seni pertunjukan tradisional yang berkembang di Jawa Barat yang notabene merupakan wilayah perkembangan budaya Sunda. Demikian pula dalam seni karawitan gagrag Banyumas dapat dijumpai ragam komposisi musikal (gendhing) yang memiliki pola balungan dan garap dari kedua kutub budaya ini.
Bahasa yang berkembang di Banyumas juga mencirikan adanya pertautan antara Jawa-Sunda di dalamnya. Bahasa Banyumasan yang sangat dipengaruhi oleh bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan juga sangat dipengaruhi oleh bahasa Sunda. Pengaruh Sunda di sini dapat dilihat baik pada ragam kosa kata maupun aspek langue (bahasa) dan aspek parole (tuturan). Kosa kata dalam bahasa Banyumasan banyak di antaranya yang merupakan kosa kata dalam bahasa Sunda. Misalnya: penggunaan kata “ci” yang berarti sungai pada nama-nama tempat di Banyumas seperti Cilongok, Ciberem, Cionje, Cisalak dan lain-lain. Langue adalah aspek sosial bahasa meliputi tata-bahasa atau “aturan-aturan” yang ada pada ranah fonologis, morfemis, sintaksis, dan semantis. Adapun aspek parole merupakan aspek individual atau statistikal yang berkaitan dengan “gaya” atau “style” seorang individu6. Pengaruh Jawa-Sunda pada bahasa Banyumasan dibatasi oleh aliran Sungai Serayu. Di sebelah selatan dan timur aliran sungai Serayu berkembang pengaruh bahasa Jawa, sedangkan di sisi utara dan barat dipengaruhi oleh bahasa Sunda.
Kebudayaan Hindu-Budha. Kebudayaan Hindu-Budha telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Banyumas. Pengaruh ini dapat dilihat dari sisi fisik dan non-fisik. Pengaruh kebudayaan fisik dapat dilihat pada artefak-artefak yang dapat ditemukan di berbagai tempat di wilayah Banyumas dalam bentuk arca, lingga/palus, yoni dan lain-lain. Adapun pengaruh non fisik dapat dijumpai pada pemahaman terhadap kekuatan ghaib yang datang dari dewa-dewi.
Kebudayaan Islam. Agama Islam yang telah dianut oleh sebagian besar warga masyarakat Banyumas telah memberikan pengaruh yang begitu kuat terhadap perjalanan kebudayaan Banyumas. Di daerah ini diketahui berkembang varian Islam abangan yang umumnya berkembang di daerah-daerah pedesaan. Kuatnya pengaruh Islam abangan di daerah ini dapat dilihat pada aspek kebudayaan yang bercirikan ‘budaya membingkai agama’. Pemahaman tentang ketuhanan biasanya dibingkai dalam berbagai bentuk perilaku budaya. Selain itu, di daerah ini banyak berkembang ragam kesenian yang bernafas islami seperti dijumpai pada slawatan, angguk, aksimudha, aplang, tunil dan rodat.
Kebudayaan Kolonial. Kolonialisme Barat (baca: Belanda) yang begitu lama bercokol di Banyumas telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap eksistensi kebudayaan Banyumas. Pada berbagai aspek kebudayaan Banyumas dapat dijumpai kuatnya pengaruh kebudayaan kolonial. Contoh konkret untuk hal terakhir ini dapat dilihat pada kebiasaan minum (minuman keras) sebagai kelengkapan pertunjukan kesenian yang lazim disebut marungan.
Kebudayaan Barat Modern. Modernisasi yang datang dari negara-negara Barat telah memberikan pengaruh pada dinamika perkembangan kebudayaan Banyumas. Arus budaya massa sebagai bagian dari pengaruh globalalisasi telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan pola pikir, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dampaknya dapat dirasakan pada hampir segala aspek kehidupan. Dalam bidang kesenian dapat dirasakan melalui perkembangan kesenian tradisional yang banyak menggunakan peralatan-peralatan modern dan unsur-unsur modern lainnya sebagai bagian dari kelengkapan pertunjukan. Selain itu telah lahir dan muncul ragam kesenian tandingan yang memadukan tradisi-modern di dalamnya.
Musik Kenthongan di Banyumas
Siapa mengira kenthongan akan menggegerkan masyarakat Banyumas? Dulu kenthongan hanyalah sekedar jenis peralatan tradisional bergelantungan di pos-pos ronda atau teras rumah penduduk. Kini alat ini telah berubah menjadi sarana pertunjukan yang cukup menghebohkan. Bukan hanya setahun-dua tahun. Semenjak kelahirannya sekitar tahun 1986 perkembangan musik kenthongan musik tidak surut. Pertumbuhannya kian merebak ke seluruh pelosok desa di Kabupaten Banyumas hingga mencapai kurang lebih 368 grup pada tahun 2004.
Musik kenthongan di Banyumas telah lahir dan berkembang menjadi musik yang begitu atraktif dan bergairah. Setiap grup dapat menampilkan kreativitasnya masing-masing secara bebas, tanpa aturan-aturan baku yang mengekang kreativitas. Kebebasan kreativitas inilah yang menjadi salah satu daya tarik dari musik ini. Setiap grup bisa menyederhanakan atau merumitkan teknik permainan musik sesuai dengan kemampuan dan keinginan mereka. Setiap individu bisa mengekspresikan pengalaman estetis dalam wadah pertunjukan musik yang dipadu dengan tari-tarian, atraksi badut atau bahkan cheers leader dan marching band. Benar-benar bebas, enjoy.
Musik kenthongan di Banyumas sebenarnya sudah dapat dijumpai pada awal dekade tahun 1970-an. Di wilayah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas (kurang lebih 10 km di sebelah barat Kota Purwokerto) dijumpai ada sekelompok masyarakat yang mengembangkan alat-alat kenthongan menjadi semacam perangkat musik. Caranya adalah membuat alat kenthongan dalam jumlah banyak kemudian ditabuh bersama-sama. Pada waktu itu ada yang mencoba memasukkan alat musik mirip dengan angklung yang cara membunyikannya adalah dengan memukul bilah-bilah nada di dalamnya. Selanjutnya jadilah aransemen musikal dari alat kenthongan yang dilengkapi dengan alat musik mirip angklung.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, musik kenthongan mulai tumbuh subur diawali sejak digalakkannya kegiatan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) oleh jajaran Kepolisian tahun 1986. Untuk mengefektifkan program Kamtibmas, jajaran Kepolisian Daerah Jawa Tengah mewajibkan setiap rumah tangga memiliki alat kenthong yang digunakan untuk komunikasi apabila sewaktu-waktu terjadi peristiwa tertentu yang membutuhan bantuan orang lain. Pada malam hari digalakkan pula kegiatan ronda dengan istilah Siskamling (sistem keamanan lingkungan). Pada saat ronda malam, para petugas ronda membunyikan kenthongan secara terorganisir sehingga menjadi jalinan komposisi musikal yang bersifat metris tanpa melodi dengan tujuan agar tidak jenuh dalam melaksanakan jaga malam. Komposisi musikal sederhana ini lalu dijadikan sebagai sarana mengiringi berbagai nyanyian yang mereka hafal. Demikianlah setiap malam para petugas ronda melaksanakan jaga malam keliling kampung sambil bernyanyi sekenanya dengan iringan aransemen musikal yang dihasilkan oleh kenthongan yang mereka bawa.
Jajaran Kepolisian di Kabupaten Banyumas kemudian menangkap kebiasaan bermain musik para petugas ronda itu melalui lomba thek-thek kamling yang dimulai pada level antar kampung di tingkat desa, tingkat kecamatan dan berakhir di tingkat Kabupaten. Setiap peserta lomba diwajibkan membawakan lagu-lagu tertentu yang berisi pesan-pesan keamanan dan ketertiban lingkungan. Pada waktu itu, ada satu grup yang hampir selalu menjuarai lomba thek-thek Kamling di tingkat Kabupaten, yaitu grup musik kenthongan dari Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas.
Keberhasilan grup musik thek-thek asal Kalisalak menjuarai setiap perlombaan telah menumbuhkan motivasi bagi grup-grup musik kenthongan lain di Kabupaten Banyumas. Sejak itulah musik kenthongan kemudian berkembang di berbagai penjuru wilayah Kabupaten Banyumas sebagai ragam musik alternatif yang bukan saja digunakan untuk siskamling (ronda) melainkan juga untuk keperluan hiburan bagi warga masyarakat di sekitar grup-grup itu berada.
Hingga saat ini musik thek-thek masih terus tumbuh subur hampir di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas. Masyarakat umumnya merasa “enjoy” dengan musik tersebut. Perasaan senang umumnya timbul disebabkan oleh kemudahan cara menyajikan, tersalurnya kreativitas seni yang dimilikinya serta sifat sajian yang bebas sehingga setiap orang dapat datang dan main tanpa dibatasi oleh jumlah pemain, keterbatasan alat maupun hal-hal lain yang bersifat teknis sajian. Pada kenyataannya siapapun dapat mengambil peran sebagai penabuh, penari, badut, semacam mayoret, dan lain-lain. Kebebasan kreativitas inilah salah satu daya tarik dari musik thek-thek.
Alat musik. Sebagai penggabungan dari berbagai varian musik, maka hingga saat ini tidak ada pembakuan di dalam sajian kenthongan. Setiap orang atau kelompok masyarakat dapat menciptakan berbagai bentuk alat musik yang berbeda-beda baik dalam hal bentuk maupun fungsi dalam sajian musikal sesuai dengan daya kreativitas masing-masing. Sejauh ini di dalam perangkat musik thek-thek dapat dijumpai alat-alat sebagai berikut:
a. Kenthongan dengan nada besar
b. Kenthongan dengan nada sedang
c. Kenthongan dengan nada kecil
d. Instrumen melodi mirip calung
e. Instrumen melodi mirip angklung
f. Alat musik mirip gendang/bass
g. Tepak, instrumen mirip drum
h. Alat musik mirip simbal
i. Seruling atau sejenisnya
j. Bilah bambu tanpa nada untuk bunyi “tek-tek”
k. Lain-lain alat musik yang umumnya perkusi
Pemain. Pemain thek-thek dapat dilakukan oleh pria, wanita atau gabungan pria dan wanita dengan jumlah tidak terbatas. Dalam satu grup musik thek-thek memungkinkan dilakukan oleh sedikit atau banyak pemain bergantung pada keikut sertaan anggota masyarakat pada saat berlangsungnya pertunjukan. Oleh karena itu dalam satu sajian dan sajian lain memungkinkan jumlah pemain yang berbeda.
Para pemain musik thek-thek secara umum dapat dibagi dalam berbagai peran antara lain:
a. Penabuh, yaitu pemain yang bertugas menabuh atau membunyikan alat-alat musik.
b. Mayoret, yaitu pemain yang bertugas mengatur barisan seperti layaknya mayoret pada drum band.
c. Penari, yaitu pemain yang bertugas membawakan ragam tarian tertentu yang diiringi oleh lagu-lagu tertentu yang disajikan.
d. Badut, yaitu pemain yang memakai kostum-kostum lucu sebagai salah satu daya tarik sajian.
Rias dan Busana. Rias-busana dalam pertunjukan musik kenthongan tidak ada ketentuan khusus. Pada umumnya para penabuh mengenakan kostum yang lazim dipakai pada saat melaksanakan siskamling, yaitu celana komprang, baju potong Jawa, iket dan sarung. Mayoret dan penari yang biasanya dilakukan oleh wanita mengenakan pakaian berupa baju kebaya dan jarit. Dijumpai pula penari yang mengenakan berbagai macam aksesories panggung. Rias yang diterapkan biasanya ala kadarnya dengan basis rias ayu. Adapun badut mengenakan kostum yang lucu-lucu. Namun demikian yang harus diketahui adalah bahwa rias kostum tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk setiap penampilan musik thek-thek. Setiap grup dapat melakukan penampilan yang berbeda-beda sesuai dengan daya kreativitasnya.
Teknik Sajian. Teknik sajian musik thek-thek juga sangat variatif sesuai dengan daya kreativitas masing-masing grup. Biasanya dalam suatu pertunjukan thek-thek disajikan berbagai macam lagu baik lagu-lagu yang bernuansa tradisional, modern maupun “pop”, termasuk di antaranya lagu-lagu nasional. Sajian lagu-lagu tersebut dipimpin oleh seorang mayoret dan digunakan untuk mengiringi tarian para penari maupun badut. Penyajian musik thek-thek tidak memerlukan tempat-tempat yang harus dipersiapkan secara khusus. Pada umumnya musik ini disajikan di tempat-tempat terbuka seperti di jalan-jalan desa, lapangan atau halaman yang luas.
Dampak Perubahan Sosial
Modernisasi yang tengah melanda kehidupan masyarakat Banyumas saat ini merupakan sebuah proses perubahan yang belum selesai. Proses ini akan terus berlanjut hingga menemukan bentuk sebagaimana yang diinginkan oleh setiap anggota masyarakat yang bermukim di daerah ini. Agus Salim7 mengungkapkan bahwa kematangan masyarakat menuju masyarakat industri, memiliki bentuk transisi yang cukup panjang dan lama dalam bentuk orientasi sekarang (present oriented). Dalam masyarakat transisi bentuk rasionalitas yang didambakan belum muncul sebagai potensi utama, karena modernisasi baru direspon sebagai ‘kekaguman’ bentuk luar dari kebudayaan Barat. Hal ini sebagaimana diungkapkan Selo Sumarjan bahwa masyarakat akan mengalami tahap-tahap modernisasi yang terjadi di hadapannya, yaitu taraf yang paling rendah ke tingkat yang paing tinggi, meliputi: (1) modernisasi tingkat alat, (2) modernisasi tingkat lembaga, (3) modernisasi tingkat individu, dan (4) modernisasi tingkat inovasi8.
Aspek paling spektakuler dari modernisasi adalah penggantian teknik-teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern. Kenyataan ini terjadi hampir pada setiap bidang kehidupan manusia dewasa ini, tidak terkecuali bidang-bidang yang tradisional sekalipun9. Kenyataan dapat dilihat dalam kehidupan ragam kesenian di Banyumas. Dewasa ini berbagai ragam kesenian tradisional yang sebelumnya menjadi bagian dari perjalanan tradisi masyarakat setempat, banyak diantaranya yang tergeser oleh ragam kesenian modern. Ragam kesenian tradisional seperti angguk, aksimuda, aplang, bongkel, krumpyung, buncis dan sejenisnya, sekarang hampir tidak pernah terdengar lagi hadir dalam bentuk sajian bagi masyarakat pendukungnya. Jenis-jenis kesenian semacam ini telah digantikan oleh produk seni lain yang dianggap sepadan dengan kebutuhan estetis masyarakat setempat.
Ada tiga jenis kesenian tradisional khas Banyumas yang hingga kini masih mampu bertahan dalam kancah persaingan dengan cabang-cabang seni modern, yaitu wayang kulit, ebeg dan lengger Banyumasan. Semenjak dekade tahun 1970-an dan 1980-an ketiga jenis kesenian ini telah menjadi semacam trade mark bagi eksistensi kebudayaan Banyumas dan masih berlanjut hingga sekarang. Nampaknya berdasarkan perkembangan ketiga jenis ini kemudian R. Anderson Sutton menyebut era tahun 1980-an sebagai era demokrasi modern bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Banyumas10.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui telah terjadi kemajuan pesat yang mampu mengangkat Banyumas dari kategori “rakyat” dan mampu berdiri sederajat dengan seni istana. Mulai tahun 1980 disebutnya sebagai era demokrasi modern, setidak-tidaknya memberi suasana yang kondusif bagi dukungan terhadap kesenian rakyat. Ini berbeda dengan pada masa masa-masa kerajaan yang telah menempatkan seni-seni istana memegang supermasi dalam kehidupan sosial. Sungguh pun demikian sebenarnya pernyataan Sutton tidak berlaku bagi beberapa ragam kesenian seperti disebut pertama, yang dewasa ini dapat dikatakan telah mengalami kepunahan.
Tarik-ulur antara tradisi dan modern dalam pertumbuhan dan perkembangan kesenian di Banyumas ternyata telah mempu melahirkan ragam kesenian baru yang merupakan perpaduan dari keduanya. Lahirnya musik kenthongan di Banyumas sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat setempat. Hal ini sebagaimana dikatakan Arnold Hauser dalam kutipan berikut:
This is in spite of fact that art both influences and is influenced by social changes, that it initiates social changes while itself changing within them. Art and society are not monolithically related; each of them can be object as well as subject. The influence of art on society is not even the more dominant or significant force in this mutual relationship. The influence that starts in society and is directed toward art determines the nature of the relationship more than reserve, where a form of art—already characterized by interpersonal relationships—reacts upon society11.
Pernyataan Arnold Hauser membuktikan bahwa keberadaan kesenian dalam konteks perubahan sosial merupakan dua hal yang saling berhubungan satu sama lain. Keberadaan kesenian sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial, demikian pula perubahan sosial mendapat pengaruh dari keberadaan suatu bentuk kesenian di lingkungan sosial masyarakat yang bersangkutan. Kesenian dan masyarakat sama-sama memungkinkan menjadi obyek sekaligus subyek yang saling berpengaruh terhadap perubahan bagi keduanya. Pengaruh seni terhadap masyarakat tidak selalu memiliki kekuatan yang lebih dominan atau signifikan. Pengaruh yang berawal di dalam masyarakat dan ditujukan terhadap seni menentukan hubungan yang alami lebih dari sekedar reserve, di mana sebuah bentuk seni—dicirikan oleh hubungan antar personal—bereaksi terhadap masyarakat.
Proses perubahan semacam ini terjadi pada konteks perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Banyumas yang saat ini tengah menuju ke arah modernisasi. Keberadaan musik kenthongan di Banyumas tidak lepas dari perubahan sosial masyarakat di daerah itu. Dalam hal ini perubahan sosial dimungkinkan telah memicu kelahiran musik kenthongan yang saat ini perkembangannya tengah mengalami booming. Namun demikian kelahiran musik ini berpotensi memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial bagi masyarakat setempat. Dilihat dari sisi banyaknya jumlah anggota tim (mencapai 40-65 orang per grup), kesenian ini berpotensi memberikan pengaruh bagi tumbuhnya jiwa corsa, kesatuan dan kebersamaan antar individu di dalam kehidupan sosial mereka. Demikian juga dari sisi pertunjukan yang menyajikan perpaduan antara tradisi-modern memungkinkan menuntun kehidupan mereka pada arus modernisasi yang tetap mempertahankan tradisi masa lalu.
Dalam konteks pembentukan musik kenthongan Roy Bhaskar12 menyatakan bahwa perubahan sosial biasanya terjadi secara wajar (naturaly), gradual, bertahap serta tidak pernah terjadi secara radikal atau revolusioner. Proses perubahan sosial meliputi proses reproduction dan proses transformation. Proses reproduction adalah proses mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang kita sebelumnya. Proses transformation adalah suatu proses penciptaan hal yang baru (something new) yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (tool and technologies), yang berubah adalah aspek budaya yang bersifat material, sedangkan yang sifatnya norma dan nilai sulit sekali diadakan perubahan (bahkan ada kecenderungan untuk dipertahankan).
Kelahiran musik kenthongan pastilah merupakan rangkaian mata rantai perjalanan kesenian di Banyumas yang telah bersimbiosis dengan perubahan sosial yang terjadi terus-menerus. Di tengah perubahan sosial inilah musik kenthongan lahir sebagai lokal genius masyarakat Banyumas. Musik kenthongan atau thek-thek lahir sebagai kesenian alternatif yang dapat mewadahi kebutuhan masyarakat Banyumas akan hadirnya bentuk sajian seni yang digunakan sebagai sarana ekspresi sekaligus pemenuhan kebutuhan estetis dalam dirinya. Musik ini selanjutnya berkembang mengarah pada bentuk entartaiment melibatkan dua hal selama ini banyak dikontradiksikan; tradisi-modern. Namun demikian hadirnya kedua warna ini justru membuktikan bahwa masyarakat Banyumas yang saat ini tengah berjalan di rel modernisasi tidak sepenuhnya meninggalkan kehidupan masa lalu mereka yang berakar dari kerakyatan. Warna tradisional di dalam pertunjukan kenthongan adalah ekstrak atau kristalisasi dari produk kebudayaan lama yang masih dipertahankan dalam mewujudkan bentuk kreativitas seni. Oleh karena itu pada banyak segi di dalamnya merupkan bentuk imitasi dari ragam kesenian yang sudah ada sebelumnya.
Banyumas yang kaya akan bambu telah melahirkan berbagai jenis musik tradisional seperti calung, angklung, krumpyung, gondoliyo/bongkel. Jenis musik ini sama-sama memiliki instrumen terbuat dari bambu wulung. Ketersediaan bahan baku yang melimpah di daerah ini memungkinkan melahirkan daya kreativitas masyarakatnya. Bambu-bambu itu dibuat menjadi bilah-bilah nada yang dilaras sesuai dengan keperluan sajian musik. Ada yang dibuat model nada-nada yang dirangkai dalam satu rancakan dan teknik menabuhnya dengan cara dipukul; maka jadilah calung. Ada pula bilah-bilah nadanya yang digantung sehingga teknik menabuhnya dengan cara digoyang; maka jadilah angklung, krumpyung dan bongkel. Dari keempat jenis musik ini, yang paling populer adalah calung yang biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan lengger.
Dilihat dari sisi organologis, secara fisik instrumen kenthongan merupakan bentuk metamorfosis dari alat-alat musik tersebut di atas. Romantisme masyarakat Banyumas terhadap masa lalu yang melekat pada pertunjukan-pertunjukan rakyat seperti calung, angklung, krumpyung, gondoliyo/bongkel—semua alat musik bambu—yang berpadu dengan nuansa kekinian telah melahirkan ide-ide kreatif melalui musik kenthongan. Sebagai sebuah metamorfosis, di dalam proses penciptaan musik kenthongan tentu saja terjadi proses imitasi terhadap ragam alat musik yang sudah ada sebelumnya.
Proses imitasi tersebut tidak sekedar dalam bentuk “fotocopy” belaka, tetapi juga melakukan inovasi dengan memasukkan unsur-unsur “baru” mulai dari ragam dan bentuk alat musik (organologi), lagu-lagu yang disajikan, ragam tarian, jumlah personal, rias-busana, aksesories pertunjukan dan lain-lain. Proses imitasi dan inovasi seperti ini semakin lama semakin mewujudkan suatu bangunan musik yang lengkap dan semakin menarik ditonton sehingga semakin banyak masyarakat yang menyukai maka semakin bermunculaan kelompok-kelompok musik kenthongan.
Bagaikan gayung bersambut karena begitu banyak bermunculan kelompok-kelompok musik kenthongan dan banyaknya penonton pada setiap penampilannya, berbagai macam organisasi formal maupun informal kemudian mengadakan lomba dan atau festival kenthongan yang bertujuan untuk mencari kelompok-kelompok musik kenthongan terbaik. Menurut pengamatan penulis selama lima tahun terakhir lomba dan atau festival musik kenthongan di Kabupaten Banyumas dilakukan lebih dari 10 kali dalam setahun yang diselenggarakan oleh organisasi/lembaga yang berbeda-beda.
Sebagai bentuk produk lokal, musik kenthongan memungkinkan berkembang pada dua arah, yaitu (1) sebagai bagian dari tradisi masyarakat Banyumas, dan (2) sebagai produk budaya temporer. Untuk dapat menjadi bagian dari tradisi sebuah masyarakat, maka musik kenthongan masih akan terus “diuji” melalui perjalanan waktu yang cukup lama. Musik ini harus melewati perubahan-perubahan sehingga akan terjadi kristalisasi nilai dan bentuk. Kristalisasi nilai berkaitan dengan isi yang terkandung di dalamnya. Nilai apa yang terkandung di dalam musik ini berkaitan dengan pola pikir, pandangan hidup, ideologi dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat.
Kemungkinan kedua tentang hadirnya musik kenthongan sebagai kesenian temporer, berkaitan dengan rentang waktu. Sebagai musik temporer, musik ini lebih sekedar sebagai trend perkembangan masyarakat selaras dengan perjalanan jaman yang akan terus berubah. Dulu calung, sekarang kenthongan, besok ganti lagi dengan bentuk yang lain.
Kesimpulan
Musik kenthongan yang perkembangannya tengah mengalami booming dewasa ini lahir di tengah perubahan sosial yang terjadi hampir di segala kehidupan masyarakat Banyumas. Kehidupan masyarakat Banyumas yang terus berubah searah dengan perkembangan jaman telah menghasilkan musik alternatif yang memadukan konsep tradisi-modern di dalamnya. Ciri utama dari musik ini adalah pola garapan yang bebas, tidak terikat pada pola aturan baku yang membelenggu kreativitas. Hal ini menyebabkan setiap grup kenthongan tampil dengan ciri khas masing-masing. Hal demikian terjadi karena budaya Banyumas adalah ragam kebudayaan yang cenderung terbuka bagi masuknya unsur-unsur budaya asing di dalamnya. Berbagai unsur kebudayaan telah turut berperan membentuk kebudayaan Banyumas hingga seperti wujudnya yang dapat dijumpai sekarang ini. Lahirnya musik kenthongan yang terjadi pada era modernisasi telah memberikan pengaruh tersendiri bagi musik ini yang tersaji dalam bentuk perpaduan tradisi-modern.
Lahirnya musik kenthongan tidak lepas dari ketersediaan bahan baku berupa bambu jenis bambu wulung. Melimpahnya bambu jenis ini terbukti telah memberikan daya kreatif bagi masyarakat setempat yang mampu menciptakan berbagai alat musik seperti calung, angklung, krumpyung dan gondolio/bongkel. Dilihat dari sisi organologis, alat musik kenthongan juga merupakan metamorfosisi dari berbagai ragam alat musik tradisional yang ada di daerah ini.
Dalam wacana perubahan sosial, lahirnya musik kenthongan sangat dipengaruhi oleh arus budaya massa yang telah menghasilkan budaya “pop”. Bentuk musikal dan pertunjukannya yang mencirikan adanya perpaduan tradisi-modern membuktikan lekatnya unsur budaya “pop” di dalam musik yang satu ini. Namun demikian apabila dirunut lebih jauh, maka lahirnya musik kenthongan tidak lepas dari pengaruh komunikasi lintas budaya yang telah terjadi jauh sebelum masuknya arus budaya modern ke wilayah Banyumas.
Pada masa yang akan datang terjadi dua kemungkinan kelanjutan perkembangan musik kenthongan, yaitu sebagai bagian dari tradisi masyarakat Banyumas, dan sebagai produk budaya temporer. Kedua kemungkinan ini sama besar peluangnya dan masing-masing akan menjadi kenyataan sesuai dengan kehendak masyarakat Banyumas selaku pendukung kesenian ini. Apabila perkembangan musik kenthngan terus berlanjut dengan mengalami pengkristalan, bukan tidak mungkin kesenian ini akan menjadi bagian dari perjalanan tradisi masyarakat Banyumas. Namun demikian apabila kehadiran kenthongan lebih sekedar sebagai trend, maka pada akhirnya musik ini akan tergeser oleh ragam kesenian yang datang kemudian sebagai trend perkembangan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim, 2002, Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Babad Banyumas, manuskrip, t.th.
Babad Kamandaka, 1972, Balai Pustaka, Jakarta.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2004, “Data Kesenian Kabupaten Banyumas 2004”, Purwokerto: Disparbud.
Gere, David (ed.), 1992, Looking Out Perspektives on Dance and Criticism in Multicultural World, New York: Schrimer Brooks An Imprint of Simon & Schuster Macmillan.
Hauser, Arnold, 1974, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J. Northcott, Chicago and London: The University of Chicago Press.
Heddy Shri Ahimsa Putra, 2000, Ketika Orang Jawa Nyeni, Yogyakarta: Galang Press.
Koentjaraningrat, 1990, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat.
Lauer, Robert H., 1989, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Edisi II, terjemahan Aliumadan, Jakarta: Bina Aksara Baru.
Parsudi Suparlan, 1988, Kebudayaan dan Pebangunan, Jakarta: MGMP Sosiologi dan Antropologi.
Redfield, Robert, 1969, The Little Community Pleasant Society and Culture, London, Chicago: The Univesity of Chicago Press.
Schrool, J.W., 1988, Modernisasi Pengantar Sosial Pembanguna Negara-negara Sedang Berkembang, Jakarta: Gramedia.
Selo Sumarjan, 1986, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Sjafri Sairin, 1997, Transmisi Nilai Budaya dalam Dinamikan Perubahan dalam Humaniora, buletin Universitas Gadjah Mada No. VI Oktober-November 1997.
Sutton, R. Anderson, 1991, Traditions of Gamelan Music in Java: Musical Pluralism and Region Identity, New York: Cambridge University Press.
1 Sairin, Sjafri, 1997, Transmisi Nilai Budaya dalam Dinamikan Perubahan dalam Humaniora, buletin Universitas Gadjah Mada No. VI Oktober-November 1997, hal. 2
2 Redfield, Robert, 1969, The Little Community Pleasant Society and Culture, The Univesity of Chicago Press, London, Chicago, p. 42-43.
3 Suparlan, Parsudi, 1988, Kebudayaan dan Pebangunan, Jakarta: MGMP Sosiologi dan Antropologi, hal. 9. (Lihat juga Koentjaraningrat, 1990, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta, hal. 108-109; Robert H. Lauer, 1989, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Edisi II, terjemahan Aliumadan, Jakarta: Bina Aksara Baru, hal. 227).
4 Lihat “Babad Banyumas”, manuskrip, t.th.
5 Babad Kamandaka, 1972, Balai Pustaka, Jakarta. Cerita tentang Kamandaka juga berkembang meluas di kalangan masyarakat Banyumas dalam bentuk cerita tutur.
6 Heddy Shri Ahimsa Putra, 2000, Ketika Orang Jawa Nyeni, Galang Press, Yogyakarta, hal. 407.
7 Agus Salim, 2002, Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, PT Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 72.
8 Selo Sumarjan, 1986, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gajahmada University Press, Yogyakarta.
9 Schrool, J.W., 1988, Modernisasi Pengantar Sosial Pembanguna Negara-negara Sedang Berkembang, Gramedia, Jakarta, hal. 1.
10 Sutton, R. Anderson, 1991, Traditions of Gamelan Music in Java: Musical Pluralism and Region Identity, Cambridge University Press, New York, P. 71.
11 Arnold Hauser, 1974, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J. Northcott, The University of Chicago Press, Chicago and London, p. 89.
12 Roy Bhaskar dalam, Agus Salim, 2002, op cit hal. 20-21.
Comments
Post a Comment