PROSES KREATIF RASITO DI TENGAH KEHIDUPAN KARAWITAN DI BANYUMAS: IDEALISME VS PASAR

Pendahuluan

Dalam wacana pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan, Banyumas menunjuk lokus perkembangan kebudayaan di wilayah Propinsi Jawa Tengah bagian barat daya, berbatasan dengan wilayah perkembangan budaya Sunda meliputi Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Pemalang bagian selatan, Brebes bagian selatan serta Kebumen bagian barat4.

Budaya Banyumasan termasuk sub kultur kebudayaan Jawa dengan ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan dari budaya induknya. Beberapa ciri khusus budaya Banyumasan5 antara lain: (1) Berlangsung dalam pola kesederhanaan, dilandasi oleh semangat kerakyatan, cablaka (transparency), dibangun dari kehidupan masyarakat yang berpola tradisional-agraris, (2) Secara normatif merupakan perpaduan antara kebudayaan Jawa lama (Jawa kuno dan pertengahan termasuk di dalamnya kebudayaan animisme, dinamisme dan kebudayaan Hindu-Budha) dan lokalitas pola kehidupan masyarakat setempat yang dipengaruhi kultur Islam dan Barat (kolonial), (3) Mendapat pengaruh dari dua kutub budaya besar, yaitu budaya Jawa kraton (Surakarta dan Yogyakarta) dan budaya Sunda, dan (4) Pemahaman tentang ketuhanan dibingkai dalam nuansa budaya lokal atau budaya membingkai agama.

Di wilayah sebaran budaya Banyumasan berkembang seni karawitan gagrag Banyumasan yang lebih dijiwai oleh latar belakang budaya masyarakat setempat. Seni karawitan gagrag Banyumasan secara umum memiliki ciri kesederhanaan dengan gendhing-gendhing yang bernuansa gembira, semangat dan dinamis. Gendhing-gendhing Banyumasan biasanya disajikan melalui perangkat gamelan ageng6, gamelan ringgeng7, bendhe8 dan calung9.

Dalam perkembangannya, keberadaan karawitan gagrag Banyumasan hidup berdampingan dengan karawitan Jawa gaya Surakarta dan Yogyakarta. Dalam pergelaran seni karawitan, seniman di daerah ini biasa menyajikan gendhing-gendhing gaya Surakarta, Yogyakarta dan Banyumas secara bergantian. Hal tersebut justru pada akhirnya telah menjadi kekayaan repertoar gendhing yang menjadikan seni karawitan di Banyumas mampu eksis di tengah terpaan budaya asing yang kian deras seiring dengan perjalanan waktu.

Eksistensi seni karawitan di Banyumas dari waktu ke waktu telah melahirkan beberapa pengrawit yang cukup diperhitungkan dalam kancah kehidupan seni karawitan, antara lain Rasito, S.Bono, Parta, Suryati, Kunes, Suyoto dan lain-lain. Di antara pengrawit tersebut Rasito terbilang memiliki eksistensi paling menonjol. Rasito selain sebagai seniman penyaji dengan instrumen favorit kendhang, juga hadir sebagai komposer yang telah melahirkan gendhing-gendhing, lagu-lagu gendhing dan garap gendhing yang telah mewarnai kehidupan seni karawitan di daerah Banyumas.

Riwayat Singkat Proses Keseniman Rasito

Rasito memiliki nama lengkap Rasito Purwopangrawit10. Nama “Purwopangrawit” merupakan bentuk pendeklarasian dirinya sebagai seorang pengrawit profesional yang secara serius menggeluti bidang seni karawitan serta menggantungkan hidupnya dari hasil menekuni cabang musik tradisional yang satu ini sebagai lahan profesinya. Rasito lahir di Purwokerto, 23 Maret 1949 sebagai anak tunggal dari pasangan suami istri Rustamaji-Damini. Ayahnya adalah seorang pengrawit candhakan11 yang dalam sajian karawitan biasanya memegang instrumen siter, gender penerus, gambang atau balungan.

Pada masa kanak-kanak, Rasito hanya mengenyam pendidikan hingga bangku Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), yaitu sekolah kejuruan ekonomi setingkat SLTP di Purwokerto. Diakibatkan kurangnya biaya, proses pendidikan Rasito di SMEP tidak sampai selesai. Dengan demikian Rasito praktis hanya mendapat bekal pendidikan formal setingkat Sekolah Rakyat (SR) yang berhasil diselesaikan pada tahun 1961.

Sebagai sekedar pengrawit candhakan, Rustamaji beranggapan bahwa berprofesi sebagai seniman karawitan tidak dapat memberikan kesejahteraan hidup. Hal ini terbukti bertahun-tahun hidup sebagai pengrawit, Rustamaji tetap saja hidup melarat. Hasil yang diperoleh setiap tanggapan tidak cukup untuk menopang ekonomi keluarga. Oleh karena itu ia selalu berpesan agar Rasito kecil untuk tidak mengikuti jejak ayahnya terjun di dunia seni karawitan. Namun demikian semenjak kecil Rasito telah berapresiasi dengan seni karawitan. Setiap ayahnya melaksanakan pementasan karawitan (pentas mandiri atau mengiringi wayang), Rasito selalu ikut serta. Di belakang ayahnya yang sedang menabuh instrumen gamelan tertentu, Rasito dapat menyimak teknik garap tiap instrumen yang sedang membangun sajian musikal berbagai macam gendhing. Dari situlah rupanya yang menjadi titik awal yang sangat menentukan dalam kehidupan karier kesenimanan Rasito.

Dengan hanya belajar kupingan12, Rasito mampu memainkan beberapa instrumen gamelan seperti balungan, bonang dan kendhang. Proses selanjutnya memupuk keberanian di dalam dirinya untuk menerapkan kemampuan menabuh yang dimiliki dengan cara terjun langsung dalam pementasan-pementasan kethoprak tobong dari Yogyakarta yang mengadakan pementasan di daerahnya. Berangsur-angsur kemampuan menabuh Rasito semakin meningkat, sehingga selain ikut serta dalam pementasan kethoprak tobong, ia juga memberanikan diri menjadi pengendhang pada pementasan lengger. Beberapa lengger yang pernah diikuti di antaranya adalah Zaenab dari Pancurawis, Karti dari Tinggarjaya dan Kunes dari Sokaraja.

Pada pertengahan tahun 1960-an Rasito mulai bekerja di Komando Resimen (Korem) 071 Wijayakusuma yang memiliki wilayah kerja Karesidenan Banyumas dan Pekalongan. Rasito bekerja sebagai staf URIL (Urusan Moril) dan URHIJAH (Urusan Hiburan dan Kesejahteraan) yang mengurusi kegiatan sosial budaya masyarakat, termasuk di dalamnya kegiatan berkesenian. Dalam bidang kesenian, dikembangkan ragam seni tradisi seperti seni karawitan, seni tari, kethoprak, wireng dan lain-lain. Pada saat itu URIL dan URHIJAH dalam pelaksanaan program-programnya lebih diarahkan terbentuknya pola kehidupan masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai tradisi yang adiluhung, yang dipenetrasikan melalui pengembangan ragam kesenian Jawa (kraton). Oleh karena itu hasil kerja kedua organisasi bentukan Korem 071 ini lebih didominir oleh bentuk pelestarian dan pengembangan seni tradisi kraton.

Dalam posisinya sebagai staf URIL dan URHIJAH, Rasito ditempatkan di Kabupaten Tegal. Di daerah ini Rasito melaksanakan pementasan-pementasan karawitan, baik untuk keperluan sajian mandiri maupun untuk keperluan iringan kethoprak dan wayang kulit purwa. Di sini Rasito bertemu dengan seniman dari berbagai daerah seperti dari Surakarta, Semarang, Yogyakarta dan daerah lain. Dari sekian banyak seniman yang menjadi koleganya dalam berkiprah dalam dunia seni karawitan, ada seorang yang paling berpengaruh yaitu R.S. Pandiyo, pegawai Kantor Inspeksi Daerah Kebudayaan (IDAKEB) Kabupaten Tegal pada tahun 1966. R.S. Pandiyo yang berasal dari Wonogiri dan alumnus Konservatori Karawitan Surakarta memiliki pengetahuan yang cukup dalam bidang seni karawitan sehingga dapat memberikan kritikan sehat kepada Rasito yang terbukti telah memacu motivasi berprestasi seniman yang satu ini. Pegawai IDAKEB itu mengatakan bahwa Rasito memiliki kebukan (pukulan) kendhang yang bagus, tetapi sayang tidak sesuai dengan notasi tabuhan yang benar. R.S. Pandiyo selanjutnya bahkan memberikan copy kendhangan gaya Surakarta yang kemudian menjadi bahan belajar bagi Rasito. Demikian tekunnya Rasito mempelajari teknik dan pola kendhangan pemberian R.S. Pandiyo sehingga akhirnya mampu menjadi pengendhang hebat hingga saat sekarang.

Kemampuan Rasito dalam menabuh berbagai macam instrumen gamelan semakin ditempa dengan didirikannya Badan Kerjasama (Bakerma) Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Daerah oleh Pemerintah Daerah Tingkai I Propinsi Jawa Tengah pada awal dekade tahun 1970-an. Pendirian BAKERMA dilakukan dengan melibatkan berbagai unsur, antara lain unsur pemerintah, perguruan tinggi, Angkatan Bersenjata dan elemen masyarakat lain. Bakerma ini juga lebih berorientasi pada pengembangan seni tradisi Jawa (kraton) sehingga hasilnya pun berupa pelestarian dan pengembangan kesenian Jawa (kraton) di daerah-daerah di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Sebagai salah satu utusan dari Kabupaten Banyumas, Rasito berkesempatan bertemu dengan lebih banyak seniman kondang dari berbagai daerah yang membawa dampak positif bagi peningkatan kualitas dirinya di bidang seni karawitan Jawa.

Pada akhir dekade tahun 1960-an hingga awal dekade tahun 1970-an, Rasito menjadi pengrawit wayang dengan dhalang Ki Sugito Purbocarito. Ia berhenti menjadi pengrawit dhalang Gito (sebutan untuk Ki Sugito Purbocarito) karena diminta oleh dhalang Gino (Ki Sugino Siswocarito) untuk berperan sebagai pengendhang pada setiap pementasannya. Sejak itulah Rasito menjadi pengrawit dhalang Gino. Karawitan iringan wayang yang dilakukan oleh Dhalang Gino pada tahun 1974 ditetapkan dengan nama Perkumpulan Karawitan Purba Kencana dengan pemimpin grup Rasito.

Berdirinya Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Pemda Banyumas pada tahun 1978 memberikan pengaruh positif bagi Rasito. Sebagai seniman non akademik ia diangkat sebagai guru tetap di sekolah seni itu dan dipercaya mengampu bebeberapa mata pelajaran seperti Praktek Karawitan Bersama (PKB) Gaya Surakarta, Praktek Karawitan Bersama (PKB) Gaya Banyumas, PRAKTEK Individual Instrumen Pokok (PIIP) ricikan kendhang gaya Surakarta, Praktek Karawitan Bersama (PKB) Iringan Wayang, Vokal serta Praktek Pergelaran Karawitan.

Kesenimanan Rasito semakin mencuat ke permukaan dengan diangkat sebagai tenaga pengajar tidak tetap di Akademi Seni Karawitan Indonesia (sekarang STSI) Surakarta sejak tahun 1980 dan pada tahun 1983 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Golongan I-a dengan tugas diperbantukan pada SMKI Pemda Banyumas. Atas kerjasama STSI Surakarta dengan Pemerintah Amerika Serikat, sejak tahun 1993 Rasito juga berhasil dipercaya sebagai tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi seperti University of Michigan, University of Wisconsin dan University of Texas at Austin, University of California Riverside.

Motivasi Rasito dalam Melakukan Proses Kreatif

Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan13. Melalui motivasi maka seseorang akan tekun dalam tugas, ulet menghadapi kesulitan, menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah, bekerja mandiri, kreatif, dan mampu memecahkan setiap masalah yang dihadapi.

Sebagai seorang pengrawit yang hidup di tengah hegemoni budaya asing yang merambah ke segala bidang kehidupan, di dalam diri Rasito terdapat motivasi yang begitu kuat dengan tujuan mengangkat martabat seni karawitan di mata masyarakat pendukungnya. Rasito sadar bahwa seni karawitan sedang mengalami masa-masa sulit, mulai tergeser oleh ragam budaya asing yang dibungkus dalam kemasan-kemasan “modern” yang mengakibatkan masyarakat pendukungnya berangsur-angsur mulai meninggalkannya. Dalam keadaan seperti ini diperlukan sikap mental dan perilaku yang menunjukkan profesionalisme guna menguatkan kembali posisi seni karawitan di mata pendukungnya.

Dalam kehidupan seni karawitan di Banyumas dan sekitarnya banyak dijumpai sikap mental dan perilaku seniman yang ceroboh baik di dalam maupun di luar panggung. Kecerobohan-kecerobohan itu antara lain sikap mental tidak disiplin dalam melaksanakan tugas, merendahkan martabat seniman melalui kebiasaan membawa pulang makanan yang disajikan di panggung (mbrekat), korup dalam pembagian fee (honor), berkata-kata kurang sopan di panggung, tidak berupaya meningkatkan kemampuan diri dalam bermain gamelan, dan lain-lain. Semua ini telah merendahkan martabat diri seorang seniman yang berarti pula merendahkan karawitan yang menjadi lahan profesinya.

Bisa dibayangkan ketika seorang calon penanggap datang ke rumah seorang dhalang, maka ia akan mengatakan, “Mugi Panjenengan kersa tirakatan wonten panggenan kula” (semoga Anda bersedia tirakatan di tempat saya) yang berarti orang tersebut menganggap sajian wayang dan karawitan bermakna sebagai doa. Pada saat digelar wayang, tuan rumah menyediakan perjamuan yang diada-adakan demi kepuasan kru wayang dengan harapan dapat menyajikan petunjukan kesenian yang sehebat mungkin. Di sisi lain, sering dijumpai pengrawit yang tidak hafal gendhing, tidak menguasai teknik garap, di panggung mengantuk serta sikap dan perilaku tidak profesional lainnya. Kondisi semacam ini sungguh merupakan titik balik bagi kemunduran atau bahkan keruntuhan seni tradisi yang sering dikatakan sebagai sesuatu yang adiluhung.

Melihat kondisi semacam ini, Rasito berusaha menempa dirinya untuk membangun sikap mental dan perilaku profesional di panggung dan di luar panggung. Sikap mental dan perilaku profesional dianggapnya sebagai cerminan kualitas diri yang akan meningkatkan harga diri seorang seniman yang lebih jauh berpengaruh terhadap eksistensi seni karawitan yang menjadi sumber rejeki dalam hidupnya.

Dalam pelaksanaan pergelaran, membangun sajian karawitan tidak ubahnya sebagai upaya mencari sesuatu barang yang tidak tampak, yaitu rasa. Setiap diri seorang seniman harus mampu menyajikan tabuhan instrumen dan vokal yang kompak dan kepenak (enak) dalam tataran rasa. Apabila setiap seniman sudah mampu membangun kekompakan dan rasa kepenak dalam setiap sajian, maka tanpa latihan bersama-samapun mereka akan dapat menyajikan gendhing yang berkualitas dan enak didengar. Sebagai contoh ketika seorang pengrebab melakukan pathetan sanga wantah14, maka gendhing yang akan akan disajikan pasti gendhing pathet sanga. Setelah pathetan, apabila buka gendhing didahului dengan bawa15, maka setiap pengrawit perlu mendengarkan jatuhnya nada akhir (seleh) dari bawa tersebut. Apabila bawa tersebut jatuh pada nada 5 (ma), maka beberapa kemungkinan gendhing yang akan disajikan adalah Gambirsawit, Pangkur, Onang-onang dan sejenisnya. Di sini seorang pengrawit dapat niteni (melakukan indikasi sesuai kebiasaan) jenis bawa tertentu biasanya digunakan untuk mengawali sajian gendhing tertentu pula. Dengan demikian tanpa melakukan dialog verbal, pathetan dan bawa sudah merupakan bentuk dialog musikal yang bisa dipahami oleh setiap pengrawit.

Di sisi lain, kaitannya dengan istilah tirakatan dalam tradisi masyarakat Banyumas ketika akan mengundang grup karawitan dan atau wayang untuk melakukan pementasan, Rasito menganggap bahwa orang menabuh gamelan tidak ubahnya dengan berdoa atau dzikir. Apabila seorang pengrawit tidak dapat melakukan sajian gendhing secara khusuk dan berkualitas baik atau tidak bisa membuat puas penonton, ini dapat dianggap sebagai perbuatan dosa.

Sikap mental dan perilaku profesional juga ditunjukkan oleh Rasito dengan kejujuran dan kesabaran. Sikap mental dan perilaku pengrawit tradisional umumnya bersikap sok kuasa (kumawasa) pada saat menjadi pemimpin grup dan suka protes pada saat menjadi anggota biasa. Sebagai pemimpin grup, Rasito senantiasa menerapkan ati segara (sesabar-sabarnya) dalam memimpin seluruh anggota grupnya. Cara seperti ini sangat penting untuk membangun tim yang solid, kompak dan berkualitas serta dalam usahanya mensejahterakan setiap pribadi anggota.

Sebagai seniman yang menggantungkan hidupnya dari seni karawitan, Rasito telah berhasil menjadikan seni musik Jawa ini sebagai sumber mencari penghasilan hidup. Berkat sikap mental dan perilaku profesional yang selalu ditunjukkan di dalam setiap pementasan, Rasito berangsur-angsur mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai seorang pengrawit unggulan dengan spesialisasi instrumen kendhang. Kehebatan Rasito bukan saja diakui oleh sesama seniman, melainkan juga oleh masyarakat awam. Pertunjukan dhalang Gino tidaklah lengkap tanpa kehadiran Rasito. Tanpa Rasito, dhalang Gino bukanlah apa-apa. Di setiap pementasan pakeliran wayang kulit purwa yang dilaksanakan oleh Sugino, penonton tidak sekedar menunggu suguhan sajian wayang oleh sang dhalang. Penonton juga sangat menunggu ketrampilan dan kehebatan Rasito dalam memainkan instrumen kendhang pada sajian gendhing-gendhing klenengan maupun iringan wayang.

Pengakuan dan penghargaan masyarakat kepada Rasito telah memberikan motivasi tersendiri bagi seniman yang satu ini untuk meningkatkan citra dirinya sebagai pengendhang hebat. Rasito pun mulai mengembangkan ide-ide orsinilnya dengan memunculkan warna dan kekuatan sajian melalui garap kendhang dan vokal di dalam iringan wayang kulit dhalang Gino. Rasito mulai memasukkan unsur-usur kendhangan jaipong dan Cirebonan di dalam gendhing-gendhing Banyumasan, memberi warna vokal senggak yang dilakukan oleh sindhen (vokal tunggal putri) pada ibingan (jogetan) buta (raksasa), memasukkan instrumen-instrumen garap untuk menciptakan garap rempeg pada sajian gendhing Banyumasan, dan lain-lain. Penerapan ide semacam ini terbukti telah menjadikan pakeliran dhalang Gino semakin anget (meriah) dan disukai penonton. Keduanya (Gino dan Rasito) menjadi dwi tunggal kekuatan dalam pergelaran wayang kulit Banyumasan yang sangat terkenal dan disukai penonton di wilayah Banyumas dan sekitarnya.

Pada awal dekade tahun 1970-an, beberapa perusahaan mulai melirik keberadaan sajian wayang kulit oleh dhalang Gino dengan pengendhang Rasito. Sejak awal dekade ini Enggal Jaya Record Semarang mulai dilakukan perekaman sajian wayang kulit oleh dhalang Gino dan dipasarkan meluas di Banyumas dan luar Banyumas. Untuk keperluan rekaman, Rasito mensuplai energi dirinya dengan motivasi berprestasi yang kuat yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk garapan iringan pakeliran yang dinamis, meriah dn enak dinikmati.

Rekaman pertama meledak di pasaran, lalu disusul rekaman berikutnya. Setiap rekaman hampir pasti meledak di pasaran. Pihak perusahaan rekaman yang mulai melihat kapasitas dan kapabilitas Rasito dalam berkesenian kemudian memintanya untuk melaksanakan rekaman gendhing-gendhing Banyumasan. Rasito menerima tawaran tersebut dan memanfaatkan anggota Grup Karawitan Purba Kencana untuk menggarap gendhing-gendhing yang direkam. Tidak tanggung-tanggung, sekali produksi pihak produser meminta 10 kaset. Apabila satu kaset diisi antara enam hingga tujuh gendhing, maka untuk keperluan rekaman 10 kaset dibutuhkan antara 60-70 gendhing.

Untuk keperluan rekaman ini, Rasito kembali dituntut untuk melakukan proses kreatif. Langkah yang dilakukan antara lain: (1) mengadakan survei ke pengrawit sepuh untuk mengumpulkan gendhing-gendhing Banyumasan, (2) melakukan tafsir garap gendhing-gendhing Banyumasan yang terkumpul, dan (3) memberikan sindhenan16 dan gerongan17 pada gendhing-gendhing Banyumasan yang akan disajikan. Pada waktu itu seniman kondang Ki Nartosabdo sudah mendahului menggarap beberapa gendhing­ Banyumasan dengan cara membuat tafsir garap tertentu serta memberikan sindhenan dan gerongan pada gendhing-gendhing tersebut. Rasito pada dasarnya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Ki Nartosabdo.

Tidak berbeda dengan rekaman wayang oleh dhalang Gino, rekaman gendhing Banyumasan oleh Grup Karawitan Purba Kencana pimpinan Rasito mendapat sambutan positif dari masyarakat. Hal ini telah menarik perhatian perusahaan rekaman lain untuk melakukan hal serupa. Paling tidak ada 15 perusahaan rekaman yang sejak awal dekade tahun 1970-an hingga awal dekade tahun 1990-an, antara lain: (1) Enggal Jaya Record Semarang, (2) Borobudur Recording Semarang, (3) Hidup Baru (HIBA) Record Purwokerto, (4) Semi Record Semarang, (5) Nusa Indah Record Semarang, (6) FM Record Jakarta, (7) Dahlia Record Semarang, (8) Fajar Record Semarang, (9) Kusuma Record Klaten, (10) Lokananta Record Surakarta, (11) Cakra Record Semarang, (12) Ira Record Semarang, (13) Wisanda Record Semarang, (14) Pusaka Record Semarang, dan (15) Singo Barong Record Semarang.

Begitu banyaknya permintaan dari perusahaan rekaman untuk memproduksi sajian karawitan garapan Grup Karawitan Purbakencana pimpinan Rasito. Hal ini telah menjadi permasalahan tersendiri bagi seniman yang sekarang tengah menjadi kandidat profesor di University of California Riverside Amerika Serikat. Oleh karena itu selain menggubah gendhing-gendhing yang sudah ada, Rasito juga mulai menciptakan gendhing-gendhing baru. Dalam penciptaan gendhing Rasito lebih berorientasi pada pasar, tidak lagi berorientasi pada bentuk-bentuk gendhing Banyumasan yang menjadi basik kulturalnya. Gendhing-gendhing yang diciptakan umumnya berupa bentuk lancaran dan ketawang yang digarap secara tradisi, kreasi baru dan langgam. Cara demikian dimaksudkan agar gendhing-gendhing ciptaannya dapat dinikmati bukan hanya oleh masyarakat Banyumas saja, melainkan juga oleh unsur masyarakat lain penikmat karawitan Jawa.

Perkembangan selanjutnya, dalam kedudukannya sebagai guru di SMKI Pemda Banyumas, Rasito juga semakin dituntut untuk terus melakukan proses kreatif dalam bidang seni karawitan. Keberadaan SMKI yang diharapkan dapat menjadi lembaga pelestari dan pengembang seni tradisi telah menempatkan lembaga pendidikan ini sebagai laboratorium hidup dalam pelestarian dan pengembangan seni tradisi melalui pembelajaran seni karawitan dan seni tari. SMKI sering menjadi duta Kabupaten Banyumas dalam misi kesenian ke berbagai daerah baik bersifat regional maupun nasional. Untuk keperluan ini SMKI harus mempersiapkan diri dengan melakukan penggarapan tari dan karawitan. Di sini peran Rasito sangat diperlukan untuk melakukan proses kreatif berupa penggarapan bentuk-bentuk karawitan iringan tari dan atau sendratari. Dalam penggarapan iringan, Rasito banyak melakukan modifikasi garap gendhing-gendhing yang sudah ada serta menciptakan lagu dan gendhing baru. Karya-karya hasil kreasi Rasito selanjutnya digunakan untuk keperluan pertunjukan dan juga sebagai bahan ajar di SMKI Pemda Banyumas.

Ragam Hasil Proses Kreatif Rasito di Dunia Seni Karawitan

Proses kreatif penciptaan di dalam dunia karawitan sebenarnya diawali Rasito sejak tahun 1972 setelah mengikuti kegiatan Sarasehan Komponis Musik Indonesia di Sasana Mulya ASKI Surakarta yang melibatkan beberapa seniman diantaranya Panuju dan Cipto Suwarso. Hasil dari sarasehan itu antara lain adalah seniman harus berani melangkah, tidak terkungkung tradisi.

Proses kreatif yang dilakukan Rasito di dalam dunia seni karawitan dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (1) Penciptaan gendhing, (2) Penciptaan lagu gendhing, dan (3) Penciptaan garap gendhing. Secara keseluruhan pembahasan mengenai proses penciptaan tersebut dapat dipaparkan di dalam uraian berikut.

Penciptaan gendhing

Selama menekuni kariernya sebagai kreator dalam bidang seni karawitan, Rasito telah berhasil menciptakan karya-karya musikal berupa gendhing-gendhing baru yang tidak sedikit jumlahnya. Rasito menerangkan bahwa karena tidak melakukan dokumentasi, banyak diantara gendhing ciptaannya yang hilang. Dari sekian banyak gendhing yang berhasil diciptakan, Rasito masih mampu mengingat 20 nama gendhing antara lain: (1) Gunung Tugel, (2) Gunung Slamet, (3) Kuntilanak, (4) Nasib, (5) Ireng Manis, (6) Tlaga Ranjeng, (7) Digunani, (8) Srundeng Toya, (9) Prasetyamu, (10) Dwi Satya Dwi Dharma, (11) Banyumas Satria, (12) Banyumas Koek, (13) Gudel Mele, (14) Suka Balen, (15) Tembang Pangkur Nasib, (16) Sinom Ngudarasa, (17) Pangkur Ndhong Ding, (18) Asmaradana Suka Balen, (19) Celeng Mogok, dan (20) Udang Dhuwit.

Keduapuluh gendhing ini diciptakan sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1993 (sebelum Rasito menjadi pengajar di beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat). Gendhing-gendhing karya Rasito secara umum bercerita tentang (1) manusia dengan segala permasalahannya, (2) tugas manusia dalam menjalani hidupnya, dan (3) alam semesta beserta keagungannya.

Gendhing-gendhing yang menceritakan manusia dengan segala permasalahannya dapat dijumpai pada gendhing Kuntilanak, Nasib, Ireng Manis, Digunani, Prasetyamu, Gudel Mele, Suka Balen, Tembang Pangkur Nasib, Sinom Ngudarasa, Pangkur Ndhong Ding, Asmaradana Suka Balen dan Udan Duwit. Penggambaran tentang permasalahan hidup manusia ini diungkapkan melalui karakter lagu dan teks syair yang bersifat verbal dan mudah ditangkap oleh segala lapisan masyarakat.

Gendhing-gendhing yang menceritakan tugas manusia dalam menjalani hidupnya dapat dijumpai pada gendhing Dwi Satya Dwi Dharma, Srundeng Toya, dan Banyumas Satria. Melalui ketiga gendhing ini Rasito berusaha mengungkapkan tugas-tugas manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, termasuk dalam kedudukannya sebagai warga negara dalam rangka pencapaian tatanan kehidupan yang harmonis, adil dan sejahtera.

Gendhing-gendhing yang menceritakan alam semesta beserta keagungannya dapat dijumpai pada Gunung Tugel, Gunung Slamet, Tlaga Ranjeng, Banyumas Koek dan Celeng Mogok. Di dalam gendhing-gendhing jenis ini Rasito mengungkapkan perihal alam semesta, alam lingkungan dan kejadian-kejadian spesial yang terjadi di alam semesta. Teknik pengungkapannya tidak jauh berbeda dengan penciptaan gendhing-gendhing lain, yaitu mengemas teks cakepan (syair).

Cerita tentang keindahan alam di Tlaga Ranjeng yang berlokasi di Kaligua, Kabupaten Brebes sangat informatif karena dapat dengan mudah dipahami melalui teks syair gerongan. Kemudahan pemahaman melalui teks ini semakin didukung oleh alur kalimat lagu yang mengalir, dinamis dan prenes. Dengan demikian penikmat lagu ini dapat dengan cepat membayangkan keindahan alam Tlaga Ranjeng yang hening dan sejuk dihuni puluhan atau bahkan ratusan ribu ikan lele lokal yang hidup lestari hingga sekarang.


Penciptaan lagu gendhing

Selain menciptakan gendhing-gendhing baru, Rasito juga menciptakan lagu-lagu gendhing berupa gerongan pada gendhing-gendhing Banyumasan maupun non Banyumasan. Di dalam tradisi gendhing Banyumasan tidak pernah dijumpai vokal jenis gerongan. Yang ada hanya berupa vokal jenis sindhenan dan senggakan yang memiliki warna jauh berbeda dengan vokal jenis gerongan. Dengan demikian pemberian gerongan di dalam gendhing Banyumasan merupakan sesuatu yang baru. Sebenarnya upaya memasukkan vokal gerongan di dalam gendhing Banyumasan telah didahului oleh Ki Nartosabdo seperti yang dijumpai pada gendhing Ricik-ricik dan Gudril. Namun demikian upaya Rasito telah lebih memberikan warna yang lebih semarak bagi perkembangan gendhing-gendhing Banyumasan untuk hadir dalam posisi setara dengan gendhing-gendhing gaya Surakarta dan Yogyakarta.

Setidaknya ada enam gendhing yang telah berhasil diberi vokal gerongan antara lain: (1) Eling-eling, (2) Ricik-ricik, (3) Senggot, (4) Lambang Sari Kenyol, (5) Pacul Gowang, dan (6) Pangkur Glidhig. Pemberian vokal gerongan ini juga telah berpengaruh terhadap garap gendhing dan garap ricikan (instrumen) sehingga keberadaan gendhing Banyumasan terasa lebih bervariasi. Dalam penciptaan vokal gerongan dapat dilihat dari dua sisi sekaligus. Pertama, lagu vokal yang diciptakan Rasito dilakukan dengan cenderung bebas, tidak terlalu terikat pada alur lagu vokal yang sudah ada di dalam gendhing tersebut melainkan lebih mengacu pada alur lagu balungan gendhing18.

Kedua, teks syair yang diciptakan umumnya berupa teks verbal dengan bahasa sehari-hari yang dapat dengan mudah dicerna oleh audience/apresiator. Teks syair dibuat dengan menggunakan bahasa Jawa pada umumnya atau bahasa Jawa dialek Banyumasan. Hal ini sangat bergantung pada konteks gagasan isi yang ingin diungkapkan. Kalau gagasan isi berupa sesuatu hal yang diharapkan dapat ditangkap oleh masyarakat yang lebih luas, maka teks syair yang digunakan menggunakan bahasa Jawa. Namun demikian apabila gagasan isi diharapkan dinikmati oleh masyarakat Banyumas, bahasa yang digunakan pun bahasa Jawa dialek Banyumasan.

Penciptaan garap gendhing

Dalam hal penciptaan garap gendhing, Rasito memiliki kekayaan gagasan garap untuk menjadikan suatu sajian gendhing mampu mengungkapkan suasana yang berbeda dibandingkan dengan garap konvensional yang sudah ada. Ragam garap hasil kreativitas Rasito digunakan untuk mewarnai sajian garap gendhing yang disajikan dalam sajian mandiri (lenengan) dan untuk keperluan iringan (iringan wayang kulit, iringan tari dan atau sendratari). Gendhing-gendhing tertentu yang telah diberi warna melalui diciptakannya gerongan secara otomatis berdampak pada perubahan garap, baik dalam hal garap gendhing, garap instrumen maupun garap vokal. Untuk keperluan iringan, penciptaan variasi garap dapat dengan mudah dijumpai pada iringan wayang kulit oleh Ki Sugino Siswocarito. Pada bagian-bagian tertentu dapat dilihat adanya variasi garap yang bertujuan untuk membangun dan atau menguatkan suasana adegan. Sebagai contoh pada adegan jogetan tokoh buta (raksasa) disajikan garap kendhangan jenis kiprahan yang dipadu dengan senggakan yang dilakukan oleh vokal sindhen secara bersama.

Di dalam penyusunan iringan tari dan sendratari, Rasito cukup memiliki pengalaman. Pada awal dekade tahun 1980-an Rasito dipercaya menyusun iringan Sendratari Kamandaka yang menggunakan vokabuler dan idiom garap Banyumasan. Karya ini bahkan dua kali keluar sebagai penyaji terbaik pada Festival Sendratari Tingkat Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah pada festival yang dilaksanakan di Surakarta (1985) dan di Purworejo (1986). Dalam penciptaan karya tari garapan baru gagrag Banyumas, Rasito juga telah melakukan aransemen gendhing iringan tari antara lain tari Gambyong Banyumasan, Cepet-cipit, Baladewan, Surung Dayung, Lenggeran, Banceran, Pasihan dan Karonsihan. Penyusunan gendhing-gendhing iringan tari ini dilakukan sejak tahun 1979 sampai dengan 1992.

Pengembangan Proses Kreatif: Idealisme vs Pasar

Rasito seperti dilahirkan oleh alam sebagai seniman. Tanpa memiliki guru atau pelatih yang secara khusus membimbing pencapaian kualitas garap tertentu ataupun mengenyam pendidikan formal kesenian, ia mampu mewujudkan dirinya sebagai maestro dalam seni karawitan. Bukan hanya sebagai seniman penyaji, melainkan juga hadir sebagai kreator gendhing dan garap musikal yang patut diperhitungkan. Pada prinsipnya Rasito adalah tipikal seniman yang dilahirkan di daerah pinggiran. Dua kutub budaya hadir mewarnai kehidupannya sebagai seorang seniman. Di satu sisi kesenimanan Rasito sangat dipengaruhi oleh eksistensi seni karawitan Jawa gaya Surakarta, sementara di sisi lain basik kultural Banyumas melekat erat sebagai satu-kesatuan kehidupan pribadinya sebagai “wong Banyumas”. Dalam perkembangan proses kesenimanannya, Rasito juga mendapat pengaruh karawitan gaya Sunda dan Cirebonan. Hal ini karena dua daerah gaya ini berada di lokus berada di titik singgung dengan kultur Banyumas. Dalam sajian-sajiannya sebagai pengendhang, banyak diantara kendhangan gaya Sunda dan Cirebonan yang masuk dalam ragam garap dan karakter tabuhan di dalamnya.

Sementara itu seperti daerah-daerah lain di Indonesia, perkembangan seni “pop” (lagu-lagu pop, rock, blues, dangdut dan sejenisnya) umumnya sangat marak dan mampu merebut perhatian hampir semua elemen masyarakat. Seni “pop” menyuguhkan daya tarik dengan tampil dalam berbagai wujudnya yang bersifat glamour, praktis, instan dan temporer. Dengan penampilan seperti itu seni “pop” tidak sekedar tampil sebagai warna baru dalam blantika dunia kesenian, tetapi lebih dari itu telah memberikan dampak yang cukup serius bagi pertumbuhan dan perkembangan seni tradisi. Dalam hal ini proses kreatif Rasito dalam dunia seni karawitan juga sangat dipengaruhi oleh seni “pop”.

Seperti disinggung di depan, dalam penciptaan gendhing-gendhing Rasito tidak terlalu memikirkan warna Banyumasan ataupun non Banyumasan, tetapi lebih berorientasi pada pasar. Rasito selalu mengatakan bahwa dalam proses penciptaan gendhing-gendhing yang terpenting dapat dinikmati oleh masyarakat luas setelah dilempar ke pasaran oleh produsen-produsen rekaman kaset. Oleh karena itu keseluruhan karya-karya Rasito dapat dibedakan menjadi:

1. Karya bermotif gaya Banyumas, seperti dapat dijumpai pada gendhing-gendhing: Gunung Tugel, Gunung Slamet, Kuntilanak, Prasetyamu, Banyumas Satria, Banyumas Koek, Suka Balen, Sinom Ngudarasa, Asmaradana Suka Balen, Celeng Mogok, Eling-eling, Pacul Gowang, iringan wayang kulit, iringan tari dan iringan sendratari.

2. Karya bermotif gaya Surakarta-Yogyakarta, seperti dapat dijumpai pada gendhing-gendhing: Pangkur Ndhong Ding, Ricik-ricik, Senggot, Lambang Sari Kenyol dan Pangkur Glidhig.

3. Karya bermotif langgam, seperti dapat dijumpai pada gendhing-gendhing: Nasib, Ireng Manis, Srundeng Toya dan Pangkur Nasib.

4. Karya bermotif dangdutan, seperti dapat dijumpai pada gendhing-gendhing: Tlaga Ranjeng, Digunani, Dwi Satya Dwi Dharma, Gudel Mele dan Udang Dhuwit.

Pada saat menciptakan gendhing, Rasito selalu ingin bersikap idealis. Ia memotivasi dirinya untuk mampu menciptakan karya-karya terbaik yang dapat diterima oleh masyarakat luas sehingga seni karawitan yang menjadi lahan profesinya terangkat dari keterpurukan akibat ketidakmampuannya bersaing dengan cabang-cabang seni kemas (kitch) yang semakin menjamur di masyarakat. Oleh karena itu dalam rangka menciptakan karya-karya yang segar dan tidak terjadi duplikasi dengan karya-karya yang sudah ada, selama dalam proses penciptaan karya seni Rasito selalu berusaha tidak mengingat seniman-seniman lain yang juga bekerja sebagai pencipta lagu/gendhing. Yang diperlukan adalah kegelisahan yang berguna untuk memunculkan ide-ide orisinil untuk diungkapkan melalui karya-karyanya.

Rasito selalu berusaha menciptakan lagu atau gendhing yang berbeda atau belum ada di pasaran. Melakukan duplikasi adalah pantangan baginya. Apabila lagu atau gendhing ciptaannya ternyata mirip atau bahkan sama dengan lagu yang lain, maka ia segera melakukan perubahan-perubahan untuk menghindari terjadinya duplikasi. Untuk menciptakan sebuah gendhing, Rasito tidak memiliki perilaku khusus. Kadang-kadang cukup hanya tiduran di balai-balai rumahnya, berjalan di malam hari atau pergi ke tempat tertentu yang menjadi obyek dalam penciptaan. Sebagai contoh ketika menciptakan lagu Tlaga Ranjeng, Rasito menyempatkan diri menginap beberapa hari di Kaligua, desa yang menjadi lokasi keberadaan telaga tersebut. Sebaliknya ketika menciptakan lagu Banyumas Satria, ia cukup tiduran di balai-balai rumah sambil mengembangkan imajinasinya tentang lagu yang sedang disusun.

Pengembangan idealisme Rasito melalui penciptaan karya-karya lagu, gendhing atau garap-garap musikla tertentu ternyata juga tidak lepas dari faktor-faktor eksternal yang memacu motivasi di dalam dirinya. Menurut Rasito, hal yang paling memacu adalah permintaan rekaman dari berbagai produsen rekaman kaset yang menawarkan finansial dalam jumlah-jumlah tertentu yang menggiurkan. Semakin banyak permintaan dari produser rekaman, maka Rasito semakin produktif mengembangkan gagasan-gagasan musikalnya melalui penciptaan karya musikal. Hal ini dapat dimengerti karena ia tidak menginginkan terjadi pengulangan rekaman gendhing-gendhing yang sudah direkam sebelumnya. Untuk mengatasi permasalahan ini Rasito dituntut untuk mampu menciptakan gendhing-gendhing baru atau mengaranser ulang dan menggubah lagu-lagu tertentu untuk keperluan sajian gendhing-gendhing tertentu yang sudah pernah direkam.

Dalam diri Rasito tidak terlalu mempermasalahkan persoalan sejauhmana kualitas gendhing hasil kreasinya. Yang terpenting adalah ia sudah mampu memunculkan keberanian untuk memberikan warna yang berbeda bagi pertumbuhan dan perkembangan seni karawitan yang menjadi lahan profesinya. Rasa percaya diri yang terus dipupuk dengan motivasi tinggi, rasa pengabdian dan konsistensi terhadap bidang profesinya terbukti telah menempatkan Rasito dalam jajaran pengrawit unggulan yang sangat diakui eksistensinya.

Kesimpulan

Sebagai seorang seniman pengrawit Rasito telah mencoba berbuat yang terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan seni karawitan di daerah Banyumas dan sekitarnya. Selama menjalani profesinya, Rasito telah mendasari segala gerak langkahnya dengan sikap mental dan perilaku yang menunjukkan dirinya sebagai seniman profesional. Hal ini telah dibuktikan melalui sikap mental dan perilaku di dalam maupun di luar panggung. Selama di dalam panggung Rasito berusaha mengoptimalkan segala kemampuan dirinya untuk mampu menyajikan sajian gendhing yang memberikan kepuasan kepada penonton. Ia selalu berusaha memberikan contoh yang baik bagi sesama pengrawit di lingkungannya agar mampu menjaga harkat, martabat dan kewibawaan dirinya sebagai seorang pengrawit. Dengan cara demikian diharapkan selain dapat mengangkat hara dirinya sebagai manusia profesi, juga dapat mengangkat citra seni karawitan sebagai sajian musikal yang elegan dan layak mendapat penghargaan sebagaimana mestinya.

Di luar panggung Rasito telah banyak menciptakan gendhing, lagu gendhing dan garap gendhing yang terbukti telah mendapat pengakuan dari berbagai pihak. Konsep idealisme sebagai seniman telah ia tunjukkan melalui penciptaan berbagai bentuk aransemen musikal yang ditunjukkan melalui penciptaan gendhing baru, lagu-lagu dari gendhing yang sudah ada dan garap gendhing yang diperuntukkan bagi sajian karawitan mandiri (klenengan) serta untuk keperluan berbagai iringan seperti iringan wayang kulit, tari dan sendratari.

Sebagai seniman yang hidup bergantung pada profesinya, salah satu hal yang mempengaruhi produktivitas Rasito dalam menciptakan berbagai ragam aransemen musikal permintaan produsen rekaman kaset. Begitu banyak produsen yang tertarik pada sajian karawitan yang dilakukan oleh Rasito dan kelompoknya. Semakin banyak permintaan maka semakin banyak pula kebutuhan ragam gendhing yang akan direkam. Oleh karena itu satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah menciptakan gendhing-gendhing baru dan mengaransir ulang gendhing-gendhing yang sudah ada.

***




4 Bambang Widodo, “Pengkajian Unsur Budaya Banyumasan”, Laporan Penelitian. Purwokerto, Kerjasama antara Bappeda Tingkat I Jawa Tengah dan Badan Pengkajian Kebudayaan Ps. Sosiologi dan Ilmu Administrasi Negara Fakultas hukum Universitas Jendral Soedirman Purwokerto, 1999, hal.46.

5 Yusmanto, “Penanganan Kebudayaan Lokal dan Efek Strategis dalam rangka Pembangunan Kepariwisataan di Kabupaten Banyumas, makalah disajikan pada Workshop Peningkatan Usaha Atraksi Wisata diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Tengah bertempat di Gedung Kesenian Suteja Purwokerto pada tanggal 29 Juni 2004, hal. 4.

6 Gamelan ageng adalah jenis gamelan Jawa lengkap.

7 Gamelan ringgeng adalah jenis gamelan tidak lengkap dengan ciri khusus berupa bonang renteng (disebut ringgeng) mirip bilah slenthem, tidak berupa pencon seperti instrumen bonang dalam perangkat gamelan Jawa.

8 Bendhe adalah perangkat gamelan tidak lengkap dengan ciri khusus terdapat instrumen bendhe (mirip dengan kempul dalam gamelan Jawa) dan biasanya digunakan sebagai musik pengiring pertunjukan kesenian ebeg (kuda kepang).

9 Calung adalah jenis perangkat musik pentatonik terbuat dari bambu yang cara penyajiannya dengan cara dipukul. Calung biasanya digunakan sebagai musik pengiring pertunjukan lengger (tarian rakyat khas Banyumas).

10 Rasito, wawancara tanggal 3 Oktober 2004.

11 Istilah pengrawit candhakan di sini dapat diartikan sebagai pengrawit yang tidak memiliki instrumen tetap yang selalu ditabuh pada setiap pementasan.

12 Belajar kupingan adalah cara belajar karawitan dengan cara mendengarkan dan menirukan pengrawit yang sedang menyajikan instrumen gamelan, sehingga merupakan proses belajar secara mandiri tanpa bimbingan seorang guru atau pelatih.

13 Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1986, hal. 71.

14 Pathetan adalah sajian pendahuluan yang dilakukan oleh instrumen rebab, gender barung, gambang dan suling yang menunjukkan jenis pathet yang akan disajikan. Pathetan sangat wantah merupakan salah satu jenis pathetan pada laras slendro dengan durasi relatif panjang.

15 Bawa adalah jenis vokal tunggal yang dilakukan oleh wiraswara (vokal putra) yang mengawali sajian gendhing.

16 Sindhenan adalah vokal tunggal wanita dengan tempo ritmis berlaras slendro/pelog di dalam sajian karawitan Jawa.

17 Gerongan adalah vokal pria bersama dengan tempo metris berlaras slendro/pelog di dalam sajian karawitan Jawa.

18 Balungan gendhing adalah kerangka dasar gendhing yang menjadi acuan pengrawit dalam melakukan garap gendhing.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS SEBAGAI KEKUATAN PARIWISATA