POSISI SENI-BUDAYA DALAM INDUSTRI PARIWISATA
Kemampuan Bali menjadi salah satu obyek wisata yang paling diminati di nusantara adalah berkah dari kemampuannya memadukan tiga pilar utama, yakni manusia Bali, tanah Bali dan budaya Bali (Wayan Geriya, 2006). Artinya, daya tarik wisata di Bali tidak semata-mata disebabkan oleh landscape pulau Bali yang indah, tetapi juga kekayaan budaya Bali dan kemampuan masyarakat setempat mengemas kekayaan budaya tersebut menjadi satu daya kekuatan atraksi wisata yang digemari wisatawan.
Pada bagian lain, Wayan Geriya juga menjelaskan bahwa pariwisata unggul setidaknya diindikasikan beberapa hal, antara lain berbasis budaya, ramah lingkungan, mensejahterakan seluruh komponen masyarakat dan—tentu saja—berkelanjutan (Wayan Geriya, 2006). Dengan demikian pembangunan kepariwisataan sesungguhnya cukup kompleks. Selain menjual alam lingkungan sebagai kekuatan daya tarik bagi wisatawan, pembangunan kepariwisataan juga harus berbasis kebudayaan setempat, berwawasan lingkungan, memberikan pengaruh bagi tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar obyek wisata serta berlangsung terus-menerus (berkelanjutan/continuity). Pembangunan kepariwisataan yang hanya menjual satu produk daya tarik, niscaya akan mengakibatkan wisatawan cepat jenuh yang pada akhirnya tidak tertarik untuk datang lagi pada masa-masa yang akan datang.
Dalam konteks industri pariwisata, ragam kebudayaan yang dijual adalah ragam kebudayaan tradisional setempat yang pada umumnya bersumber dari pola kehidupan tradisional-agraris. Ragam kebudayaan yang tumbuh-berkembang di lingkungan masyarakat yang demikian ini, umumnya sangat dekat dengan sistem kepercayaan tradisional. Oleh karena itu aspek-aspek adat dan tradisi yang dijadikan kekuatan pembangunan kepariwisataan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tradisi ritual untuk upacara-upacara ritual dan adat, serta tradisi yang dikemas khusus untuk dinikmati masyarakat luas maupun wisatawan (arts for mart) (Permas, A., C. Hasibuan-Sedyono, L.H. Pranoto, dan T. Saputro, 2003).
Di wilayah Kabupaten Banyumas, kedua bentuk tradisi ini masih ada dan memungkinkan diberdayakan untuk dapat hidup berdampingan. Masing-masing bentuk memiliki habitat, pendukung, dan aturan main sendiri, yang tidak perlu dipertentangkan dan dicampuradukkan. Model kerja seperti ini akan menempatkan kedua tradisi ini secara sinergis untuk menjadi mainstream kehidupan masyarakat Banyumas sekaligus menjadi kekuatan utama pembangunan kepariwisataan.
Ragam seni-budaya yang berorientasi pada pelaksanaan ritual sesuai dengan pandangan tentang ontologis masyarakat Banyumas, hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan pribadi dan kehidupan kelompok masyarakat setempat. Sementara seni-budaya yang berorientasi pada arts for mart, hadir sebagai komoditi (mata dagangan) yang dengan sendirinya harus tunduk pada hukum ekonomi dan bisnis.
Kekuatan sinergis yang dapat dibangun oleh kedua ragam tradisi ini berlangsung ketika keduanya dapat saling mendukung dan memberi peluang untuk eksist sesuai dengan kedudukan, peran dan fungsi masing-masing. Untuk itulah perlu adanya saling memahami satu sama lain dalam konteks kebudayaan secara keseluruhan sebagai mata rantai jaringan makna kemanusiaan. Semua pihak perlu benar-benar memahami proses bisnis pariwisata budaya. Namun demikian, semua pengusaha yang bergerak di bidang industri pariwisata perlu memahami hakekat tradisi yang hidup di masyarakat.
Dalam konteks pelaksanaan industri pariwisata di Banyumas, sejauh ini aneka ragam seni-budaya lokal setempat memang lebih sering diusung ke tempat-tempat tertentu seperti obyek wisata, hotel, rumah makan, dan lain-lain. Aneka ragam karya seni yang diproduksi oleh seniman dijual melalui dan atau oleh travel biro/hotel yang berperan sebagai produser atau event organizer. Mereka menjadi seller (penjual) karya seni tradisi kepada para wisatawan sebagai customer.
Setiap event organizer umumnya berupaya mendesain paket-paket pertunjukan kesenian tradisional sesuai dengan selera wisatawan, lalu melakukan proses pembelian (seleksi, pemesanan, negosiasi, dan kontrak) karya seni tradisi dari para seniman seni tradisi. Disain paket peruntujkan tradisional itu kemudian dipromosikan dan dijual kepada para wisatawan. Proses berikutnya adalah pelaksanaan delivery (penyampaian) paket pertunjukan seni tradisional yang melibatkan para seniman tradisi dengan mengatasnamakan pariwisata budaya.
Seniman atau organisasi seni tradisi berperan sebagai pemasok bagi produser atau event organizer. Dalam situasi seperti ini harga dari seni tradisi yang dihasilkan masyarakat seni tradisi sangat ditentukan posisi tawar (bargaining power) mereka terhadap produser/event organizer yang membeli produknya. Semakin rendah posisi tawar masyarakat seni tradisi tersebut, semakin rendah harga yang mereka terima. Disamping itu dengan semakin rendah posisi tawar, pihak pembeli (produser/event organizer) akan semakin leluasa “mengatur” karya seni dijual masyarakat seni tradisi (Triono Saputro, 2005).
Di pihak lain sesungguhnya pihak produser/event organizer juga menghadapi hal yang sama dengan pembelinya (biro perjalanan atau wisatawan). Mereka masih harus berhadapan dengan produser-produser pesaingnya, dengan pendatang-pendatang baru, dan dengan produk substitusi dari wisata budaya (jenis wisata lain, televisi, internet, CD, kaset, dsb). Semakin tinggi tekanan dan ancaman akan semakin menekan keuntungan yang diperoleh (harga jual atau meningkatkan biaya). Untuk menghadapi tekanan dan ancaman tersebut, mereka dapat dengan terpaksa menurunkan harga jual atau menambah biaya untuk meningkatkan mutu karyanya. Cara kerja seperti ini yang paling dirugikan adalah pihak seniman dan organisasi kesenian.
Posisi tawar masyarakat seni tradisi dalam konteks industri pariwisata pernah diteliti oleh Lembaga Manajemen PPM bekerjasama dengan Yayasan Seni Taratak, Jambi pada bulan Mei-November 2003. Penelitian dilakukan terhadap praktek manajemen di 58 organisasi-organisasi seni di Indonesia dan secara khusus dengan melakukan observasi manajemen terhadap 27 organisasi seni di 10 propinsi di Indonesia (Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Jambi, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jakarta, Jogjakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Sebelum itu, Lembaga Manajemen PPM pada periode tahun 2000-2001 telah melakukan pengamatan mendalam di beberapa organisasi seni tradisi di Bali, Jogjakarta, Solo, Bandung, Jambi, dan Padang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi tawar masyarakat seni tradisi relatif lemah dibandingkan dengan para produser sebagai pembelinya. Hal ini disebabkan beberapa faktor yakni:
1. Jumlah produser relatif sedikit dibandingkan jumlah seniman seni tradisi, dengan kondisi finansial yang umumnya jauh lebih baik dibandingkan seniman seni tradisi;
2. Jumlah seniman atau organisasi seni tradisi banyak dan satu sama lain saling bersaing secara frontal (kurang bersatu dan kurang kompak), bahkan sering bersaing dengan cara banting harga;
3. Karya seni yang dihasilkan oleh seniman atau organisasi seni tradisi pada umumnya relatif sama, sedikit sekali yang memiliki karya sangat unik yang sulit sekali ditiru seniman lain;
4. Produser dengan mudah berpindah dari satu seniman ke seniman lain tanpa mengurangi kualitas paket wisata budaya mereka;
5. Produser memiliki informasi relatif lengkap mengenai seni tradisi di suatu wilayah maupun tentang pasar wisata budaya;
6. Seniman seni tradisi sangat kurang memiliki informasi tentang pasar dan industri pariwisata budaya (Lembaga Manajemen PPM, 2003).
Selain itu seniman atau masyarakat seni tradisi juga kurang mampu bersaing dengan produk-produk substitusinya seperti paket pertunjukan seni populer, pertunjukan dangdut, acara seni tradisi di televisi, CD/VCD/DVD/kaset tentang seni tradisi. Produk substitusi tersebut sering menang bersaing melawan produk seni tradisi, karena lebih market oriented yakni didisain, dikembangkan, dijual, dan disampaikan sesuai dengan kebutuhan dan selera publik yang menjadi pasarnya. Adapun seni tradisi sering tampil sesuai bentuk aslinya atau pun kalau disesuaikan dilakukan dengan seadanya, yang sering tidak cocok dengan kebutuhan dan selera pasar (Lembaga Manajemen PPM, 2003).
Peningkatan posisi tawar dan daya saing menjadi sangat penting bagi eksistensi dan perkembangan seni tradisi dan masyarakat pendukungnya. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, posisi tawar dan daya saing yang tinggi sangat diperlukan oleh masyarakat seni tradisi untuk lebih leluasa menghasilkan produk yang menurut mereka lebih baik dan menangkal upaya eksploitasi, penjarahan, dan pelecehan oleh pihak-pihak yang kurang memiliki kepedulian pada seni tradisi. Dengan posisi tawar yang tinggi, masyarakat seni tradisi memiliki kekuatan untuk “mendidik” para pembeli atau para konsumennya dalam hal apresiasi yang tepat terhadap seni tradisi.
Dari aspek bisnis, ada beberapa pilihan strategi peningkatan posisi tawar dan daya saing bagi masyarakat seni tradisi dalam industri pariwisata budaya antara lain:
1. Mengembangkan dan memasarkan produk sesuai dengan kebutuhan dan selera setiap segmen pasar yang dilayani;
2. Secara kontinyu mengembangkan dan memasarkan produk yang unik dengan fungsi dan manfaat yang sulit ditiru oleh produk-produk substitusi;
3. Meningkatkan pelayanan kepada pembeli atau user, kalau diperlukan diberikan secara customized;
4. Melakukan integrasi ke hilir, yakni menjadi produser atau event organizer;
5. Melakukan kerja sama atau koalisi untuk menghadapi kekuatan pembeli, pemasok, atau produk substitusi (Lembaga Manajemen PPM, 2003).
Salah satu aturan jika sukses dalam bisnis adalah melayani kebutuhan dan selera konsumen konsumen secara lebih baik dibandingkan pesaing, sehingga dapat diperoleh pelanggan yang loyal. Demikian pula, masyarakat seni tradisi perlu mengetahui dan memahami secara jelas mengenai kebutuhan dan selera konsumennya, mengembangkan produk, menyampaikan produk, dan memberikan pelayanan sesuai kebutuhan dan selera konsumen. Jika diperlukan dapat dijual produk dan diberikan pelayanan dengan kualitas yang melebihi harapan konsumen.
Masyarakat seni tradisi juga perlu secara kreatif dan inovatif menghasilkan produk-produk baru berbasis seni tradisi (produk seni tradisi yang benar-benar baru, modifikasi, atau peningkatan dari produk yang ada). Dalam dunia bisnis dikenal hukum law of deminishing return yakni suatu produk makin lama akan makin kurang diminati karena ada perubahan kebutuhan dan selera pasar serta munculnya produk-produk pesaing yang lebih baik. Suatu produk memiliki product life cycle, yakni masa lahir, tumbuh, dewasa, tua, dan mati. Oleh karena itu penting baru masyarakat seni tradisi untuk selalu melakukan inovasi. Seni tradisi itu sendiri dalam sejarah dan kenyataannya memang terus mengalami perubahan. Diyakini bahwa karya seni tradisi saat ini adalah hasil inovasi atau perubahan dari karya seni tradisi sebelumnya.
Banyak pihak-pihak yang berkepentingan terhadap seni tradisi berkeinginan agar seni tradisi tidak sekedar menjadi obyek penderita tapi menjadi subyek bahagia, tidak sekedar pemasok tetapi juga pemilik, produser dan pemasar, tidak menjadi price taker tapi menjadi price maker, dan sebagainya. Hal ini bisa dilakukan jika dari kelompok masyarakat seni tradisi muncul suatu kemampuan untuk melakukan integrasi ke hilir yakni menjadi produser yang handal, sehingga terjalin koordinasi dan integrasi yang kuat antara sektor pasokan dengan sektor produksi maupun sektor pemasaran dan distribusi.
Organisasi-organisasi seni tradisi komersial yang dapat bertahan bahkan berkembang, pada umumnya sedikit banyak telah menerapkan strategi-strategi di atas. Dapat disebut contohnya misalnya Saung Angklung Mang Udjo Bandung, dalang-dalang terkenal di Jawa, grup-grup campursari di Yogyakarta, grup-grup bajidoran dan jaipongan di Jawa Barat dan lain-lain.
Suatu kerja sama atau koalisi dalam bentuk asosiasi atau konsorsium diantara para pelaku bisnis, juga terbukti ampuh untuk meningkatkan posisi tawar dan mendapatkan sinergi. Masyarakat seni tradisi rupanya perlu juga memikirkan untuk bekerja sama, membentuk koalisi, sehingga lebih ada persatuan, lebih kompak, dalam menghadapi pihak-pihak lain.
Strategi-strategi tersebut relatif mudah untuk dipahami dan dibuat action plannya. Namun implementasinya jauh lebih rumit dan sulit sehingga keberhasilannya sangat tergantung pada kondisi dan kemampuan masyarakat seni tradisi untuk berubah. Diperlukan banyak persyaratan untuk dapat menerapkan strategi tersebut, antara lain:
1) Adanya perubahan paradigma berpikir dari production oriented ke market oriented dan service oriented;
2) Adanya upaya untuk menguasai informasi tentang bisnis dalam industri pariwisata budaya;
3) Adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan network dan lobby di industri pariwisata budaya;
4) Adanya komitmen dan kemampuan untuk menerapkan konsep-konsep manajemen profesional (tidak harus manajemen Barat) secara tepat guna;
5) Adanya keinginan yang kuat dan upaya untuk mengikutsertakan SDM yang memiliki kompetensi di bidang bisnis dan manajemen;
6) Munculnya entrepreneur-entrepreneur di bidang seni tradisi, untuk mewujudkan visi pemberdayaan seni tradisi menjadi kenyataan.
Agar beberapa persyaratan tersebut lebih mudah dipenuhi, diperlukan pula dukungan pemerintah dan masyarakat luas untuk menciptakan lingkungan makro (politik, keamanan, regulasi, ekonomi, gaya hidup, sosial budaya, dan teknologi) yang mendukung. Rekayasa-rekayasa kebijakan pemerintah yang melindungi, membela dan mendukung pemberdayaan masyarakat seni tradisi saat ini sangat diperlukan.
a. Mengejar Peluang sebagai Daerah Tujuan Pariwisata
Banyumas dengan segala potensi dan kekayaan yang dimiliki sangat potensial menjadi daerah tujuan wisata (DTW) di Propinsi Jawa Tengah bagian barat. Dengan kekuatan Lokawisata Baturraden yang masih digarap belum maksimal saja, pada tahun 2005 daerah ini mampu meraup retribusi tempat rekreasi sebesar Rp1.638.383.334,00 dengan keseluruhan PAD kepariwisataan sebesar Rp3.302.052.012,00. Ini menunjukkan bahwa Banyumas telah menjadi salah satu pilihan tujuan wisata yang memungkinkan dikembangkan lebih lanjut ke arah yang lebih baik.
Peluang mewujudkan Banyumas sebagai DTW paling tidak didasarakan oleh tiga alasan. Pertama, secara diakronis Kabupaten Banyumas memiliki sejarah kepariwisataan yang panjang, dimulai sejak digunakannya Baturraden sebagai tempat peristirahatan para kolonialis Belanda sekitar tahun 1928. Menurut Sugeng Wiyono dalam wawancara tanggal 19-12-2006 menerangkan:
“Di daerah Surakarta dan Yogyakarta sebenarnya juga terdapat banyak pabrik gula, namun hasilnya dipergunakan untuk kepentingan Kraton Surakarta-Yogyakarta. Sementara hasil yang diperoleh dari pabrik-pabrik gula di Banyumas menjadi penghasilan utama yang dikirim langsung ke negeri Belanda. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda di wilayah Banyumas, termasuk juga gedung eks-karesidenan Banyumas dan pendopo Si Panji Banyumas yang dibangun selain untuk kepentingan pemerintahan setempat, juga untuk kepentingan Belanda.”
Kawasan Banyumas memiliki keterkaitan sejarah yang sangat kuat dengan kolonial Belanda. Sejak abad ke-19, kawasan ini mensuplai kurang lebih sepertiga dari penghasilan jajahan di antara daerah-daerah lain di nusantara. Penghasilan tersebut diperoleh dari gula tebu yang pabriknya banyak dibangun di wilayah Banyumas. Tercatat di daerah ini ada lima pabrik gula, yaitu di wilayah Klampok (Banjarnegara), Kalibagor, Purwokerto (selanjutnya dijadikan gedung Isola), Purbalingga dan Ajibarang. Selain itu daerah ini mensuplai berbagai rempah-rempah seperti cengkih dan pala. Keterkaitan sejarah seperti ini dapat dijadikan sebagai peluang menciptakan link atau jaringan kerja pariwisata dengan negara-negara Eropa.
Kedua, Banyumas memiliki berbagai macam potensi wisata yang dapat dikembangkan menjadi obyek-obyek wisata, baik bertaraf lokal, regional, nasional atau bahkan internasional. Landscape Kabupaten Banyumas yang berada di kaki gunung Slamet serta daerah aliran sungai (DAS) Serayu adalaha kekuatan tersendiri dalam pengembangan kepariwisataan di daerah ini. Namun lebih dari itu, ragam kebudayaan yang ada juga dapat menjadi atraksi dan daya tarik yang tidak kalah pentingnya dengan kekuatan wisata alam Banyumas. Kedua-duanya apabila digarap dengan profesional akan mewujudkan satu kawasan wisata terpadu yang mampu mengundang minat wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara.
Ketiga, di Kabupaten Banyumas telah tersedia sarana wisata yang kian hari kian lengkap. Hingga tahun 2006 di daerah ini terdapat 11 jenis sarana wisata antara lain: (1) hotel dan villa, (2) hiburan umum, (3) Biro Perjalanan Wisata (BPW), (4) angkutan, (5) pramuwisata, (6) desa wisata, (7) homestay, (8) masyarakat sadar wisata, (9) restoran dan rumah makan, (10) cenderamata, dan (11) tanaman hias.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas dalam upaya mencapai visi dan misinya telah menetapkan etos kerja yang dijadikan sebagai ruh atau spirit bagi pelaksanaan pengelolaan obyek-obyek wisata yang ada. Di dalam Rencana Strategis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas Tahun 2002-2006, etos kerja yang dijadikan sebagai pijakan pelaksanaan pencapaian visi dan misi antara lain: (a) memberikan pelayanan prima, (b) efektif dan efisien, (c) akuntabel, (d) bertanggung jawab, (e) terpercaya, dan (f) dari masyarakat untuk masyarakat. Dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas dipengaruhi oleh lingkungan strategis unit kerja berupa lingkungan internal dan eksternal unit kerja yang saling terkait erat dalam proses tertib administrasi kepariwisataan dan kebudayaan. Demi lancarnya pelaksanaan tugas dan fungsinya maka dipandang perlu untuk melakukan analisis lingkungan strategik unit kerja.
Kajian lingkungan strategik mengacu pada Inpres Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dan manajemen strategik yang meliputi visi, misi dan nilai organisasi. Berdasarkan dua hal tersebut kemudian dilakukan analisis lingkungan internal dengan mencermati kekuatan dan kelemahan yang ada serta lingkungan eksternal melalui pencermatan ancaman dan peluang organisasi. Di dalam Rencana Strategis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas Tahun 2002-2006 dilakukan analisis SWOT yang digunakan menentukan asumsi dan faktor penentu keberhasilan pencapaian program. Adapun kajian analisis lingkungan, baik internal maupun eksternal organisasi adalah sebagai berikut:
1) Analisis Lingkungan. Analisis lingkungan adalah suatu bentuk analisis tentang kondisi faktual lingkungan yang menjadi faktor penentu keberhasilan. Teknik analisis ini berupa penggambaran secara realistis tentang keadaan sekarang yang dapat dijadikan sebagai dasar menentukan langkah lebih lanjut dalam rangka pencapaian visi dan misi organisasi. Dalam hal ini analisis dittikberatkan pada analisis lingkungan internal (ALI) dan analisis lingkungan eksternal (ALE) yang secara keseluruhan dapat diuraikan di bawah ini.
2) Analisis lingkungan internal (ALI). Analisis lingkungan strategik internal yang ada di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas dilakukan melalui pencermatan (scaning) lingkungan internal organisasi yang menghasilkan:
a) Kekuatan (strength):
- Tersedianya potensi kepariwisataan dan kebudayaan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah dan kesejahteraan bersama.
- Tersedianya aparatur kepariwisataan dan kebudayaan.
- Tersedianya sarana prasarana kepariwisataan dan kebudayaan.
- Tersedianya mekanisme kerja yang mengatur teknis penggarapan bidang kepariwisataan dan kebudayaan.
b) Kelemahan (weakness):
- Berbagai potensi kepariwisataan dan kebudayaan yang ada belum optimal diberdayakan untuk kepentingan pembangunan daerah dan kesejahteraan bersama.
- Belum optimalnya pemanfaatan aparatur yang ada untuk pelaksanaan pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan.
- Sarana prasarana kepariwisataan dan kebudayaan yang tersedia belum sesuai dengan tuntutan jaman.
- Mekanisme kerja belum berjalan sebagaimana mestinya.
3) Analisis lingkung eksternal (ALE). Analisis lingkung eksternal (ALE) dilakukan melalui pencermatan (scaning) lingkungan eksternal yang meliputi:
a) Peluang (opportunity):
- Semakin meningkatnya minat pihak swasta terhadap pengembangan bidang kepariwisataan.
- Bidang kepariwisataan memiliki kedudukan strategis dalam kehidupan sosial-ekonomi.
- Otonomi daerah memberikan peluang untuk mengelola sektor pariwisata dan kebudayaan secara mandiri dan menyeluruh.
- Semakin meningkatnya pemahaman masyarakat tentang arti pentingnya pengelolaan kebudayaan daerah dalam rangka mewujudkan jatidiri dan kepribadian bangsa.
b) Ancaman (threatment):
- Setiap daerah mulai secara serius mengembangkan sektor kepariwisataan bagi tercapainya peningkatan PAD.
- Semakin meningkatnya tuntutan wisatawan dalam pencapaian kepuasan yang diperoleh melalui perjalanan wisata.
- Pengembangan kepariwisataan membuka peluang bagi timbulnya berbagai macam dampak negatif bagi masyarakat di sekitar obyek-obyek wisata.
- Aspek-aspek kebudayaan lokal semakin tergeser oleh arus budaya asing yang tidak selaras dengan kepribadian bangsa Indonesia.
4) Menetapkan Asumsi. Berdasarkan analisis lingkungan sebagaimana tersebut di atas, lebih lanjut dapat diperoleh asumsi tentang relevansi pelaksanaan pembangunan bidang kepariwisataan dan kebudayaan di Kabupaten Banyumas. Dalam hal ini ada lima asumsi dasar, yaitu:
a) Pemberdayaan potensi kepariwisataan dan kebudayaan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah dan kesejahteraan bersama.
b) Pengembangan obyek dan daya tarik wisata di Kabupaten Banyumas perlu dioptimalkan dengan cara melaksanakan mekanisme kerja secara efektif dan efisien serta melibatkan pihak swasta sebagai satu kekuatan yang sinergis agar mampu bersaing dengan obyek dan daya tarik wisata daerah lain.
c) Pencapaian keberhasilan pembangunan bidang kepariwisataan dan kebudayaan memerlukan pemanfaatan berbagai sumberdaya yang ada secara terencana, efektif dan efisien.
d) Implementasi otonomi daerah diarahkan pada optimalisasi penggarapan bidang kepariwisataan dan kebudayaan guna mewujudkan jatidiri dan kepribadian bangsa.
e) Pengelolaan aspek-aspek kebudayaan lokal perlu lebih dioptimalkan untuk mewujudkan jatidiri bangsa serta menjadi beteng bagi arus budaya asing yang tidak selaras dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Pada bagian lain, Wayan Geriya juga menjelaskan bahwa pariwisata unggul setidaknya diindikasikan beberapa hal, antara lain berbasis budaya, ramah lingkungan, mensejahterakan seluruh komponen masyarakat dan—tentu saja—berkelanjutan (Wayan Geriya, 2006). Dengan demikian pembangunan kepariwisataan sesungguhnya cukup kompleks. Selain menjual alam lingkungan sebagai kekuatan daya tarik bagi wisatawan, pembangunan kepariwisataan juga harus berbasis kebudayaan setempat, berwawasan lingkungan, memberikan pengaruh bagi tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar obyek wisata serta berlangsung terus-menerus (berkelanjutan/continuity). Pembangunan kepariwisataan yang hanya menjual satu produk daya tarik, niscaya akan mengakibatkan wisatawan cepat jenuh yang pada akhirnya tidak tertarik untuk datang lagi pada masa-masa yang akan datang.
Dalam konteks industri pariwisata, ragam kebudayaan yang dijual adalah ragam kebudayaan tradisional setempat yang pada umumnya bersumber dari pola kehidupan tradisional-agraris. Ragam kebudayaan yang tumbuh-berkembang di lingkungan masyarakat yang demikian ini, umumnya sangat dekat dengan sistem kepercayaan tradisional. Oleh karena itu aspek-aspek adat dan tradisi yang dijadikan kekuatan pembangunan kepariwisataan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tradisi ritual untuk upacara-upacara ritual dan adat, serta tradisi yang dikemas khusus untuk dinikmati masyarakat luas maupun wisatawan (arts for mart) (Permas, A., C. Hasibuan-Sedyono, L.H. Pranoto, dan T. Saputro, 2003).
Di wilayah Kabupaten Banyumas, kedua bentuk tradisi ini masih ada dan memungkinkan diberdayakan untuk dapat hidup berdampingan. Masing-masing bentuk memiliki habitat, pendukung, dan aturan main sendiri, yang tidak perlu dipertentangkan dan dicampuradukkan. Model kerja seperti ini akan menempatkan kedua tradisi ini secara sinergis untuk menjadi mainstream kehidupan masyarakat Banyumas sekaligus menjadi kekuatan utama pembangunan kepariwisataan.
Ragam seni-budaya yang berorientasi pada pelaksanaan ritual sesuai dengan pandangan tentang ontologis masyarakat Banyumas, hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan pribadi dan kehidupan kelompok masyarakat setempat. Sementara seni-budaya yang berorientasi pada arts for mart, hadir sebagai komoditi (mata dagangan) yang dengan sendirinya harus tunduk pada hukum ekonomi dan bisnis.
Kekuatan sinergis yang dapat dibangun oleh kedua ragam tradisi ini berlangsung ketika keduanya dapat saling mendukung dan memberi peluang untuk eksist sesuai dengan kedudukan, peran dan fungsi masing-masing. Untuk itulah perlu adanya saling memahami satu sama lain dalam konteks kebudayaan secara keseluruhan sebagai mata rantai jaringan makna kemanusiaan. Semua pihak perlu benar-benar memahami proses bisnis pariwisata budaya. Namun demikian, semua pengusaha yang bergerak di bidang industri pariwisata perlu memahami hakekat tradisi yang hidup di masyarakat.
Dalam konteks pelaksanaan industri pariwisata di Banyumas, sejauh ini aneka ragam seni-budaya lokal setempat memang lebih sering diusung ke tempat-tempat tertentu seperti obyek wisata, hotel, rumah makan, dan lain-lain. Aneka ragam karya seni yang diproduksi oleh seniman dijual melalui dan atau oleh travel biro/hotel yang berperan sebagai produser atau event organizer. Mereka menjadi seller (penjual) karya seni tradisi kepada para wisatawan sebagai customer.
Setiap event organizer umumnya berupaya mendesain paket-paket pertunjukan kesenian tradisional sesuai dengan selera wisatawan, lalu melakukan proses pembelian (seleksi, pemesanan, negosiasi, dan kontrak) karya seni tradisi dari para seniman seni tradisi. Disain paket peruntujkan tradisional itu kemudian dipromosikan dan dijual kepada para wisatawan. Proses berikutnya adalah pelaksanaan delivery (penyampaian) paket pertunjukan seni tradisional yang melibatkan para seniman tradisi dengan mengatasnamakan pariwisata budaya.
Seniman atau organisasi seni tradisi berperan sebagai pemasok bagi produser atau event organizer. Dalam situasi seperti ini harga dari seni tradisi yang dihasilkan masyarakat seni tradisi sangat ditentukan posisi tawar (bargaining power) mereka terhadap produser/event organizer yang membeli produknya. Semakin rendah posisi tawar masyarakat seni tradisi tersebut, semakin rendah harga yang mereka terima. Disamping itu dengan semakin rendah posisi tawar, pihak pembeli (produser/event organizer) akan semakin leluasa “mengatur” karya seni dijual masyarakat seni tradisi (Triono Saputro, 2005).
Di pihak lain sesungguhnya pihak produser/event organizer juga menghadapi hal yang sama dengan pembelinya (biro perjalanan atau wisatawan). Mereka masih harus berhadapan dengan produser-produser pesaingnya, dengan pendatang-pendatang baru, dan dengan produk substitusi dari wisata budaya (jenis wisata lain, televisi, internet, CD, kaset, dsb). Semakin tinggi tekanan dan ancaman akan semakin menekan keuntungan yang diperoleh (harga jual atau meningkatkan biaya). Untuk menghadapi tekanan dan ancaman tersebut, mereka dapat dengan terpaksa menurunkan harga jual atau menambah biaya untuk meningkatkan mutu karyanya. Cara kerja seperti ini yang paling dirugikan adalah pihak seniman dan organisasi kesenian.
Posisi tawar masyarakat seni tradisi dalam konteks industri pariwisata pernah diteliti oleh Lembaga Manajemen PPM bekerjasama dengan Yayasan Seni Taratak, Jambi pada bulan Mei-November 2003. Penelitian dilakukan terhadap praktek manajemen di 58 organisasi-organisasi seni di Indonesia dan secara khusus dengan melakukan observasi manajemen terhadap 27 organisasi seni di 10 propinsi di Indonesia (Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Jambi, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jakarta, Jogjakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Sebelum itu, Lembaga Manajemen PPM pada periode tahun 2000-2001 telah melakukan pengamatan mendalam di beberapa organisasi seni tradisi di Bali, Jogjakarta, Solo, Bandung, Jambi, dan Padang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi tawar masyarakat seni tradisi relatif lemah dibandingkan dengan para produser sebagai pembelinya. Hal ini disebabkan beberapa faktor yakni:
1. Jumlah produser relatif sedikit dibandingkan jumlah seniman seni tradisi, dengan kondisi finansial yang umumnya jauh lebih baik dibandingkan seniman seni tradisi;
2. Jumlah seniman atau organisasi seni tradisi banyak dan satu sama lain saling bersaing secara frontal (kurang bersatu dan kurang kompak), bahkan sering bersaing dengan cara banting harga;
3. Karya seni yang dihasilkan oleh seniman atau organisasi seni tradisi pada umumnya relatif sama, sedikit sekali yang memiliki karya sangat unik yang sulit sekali ditiru seniman lain;
4. Produser dengan mudah berpindah dari satu seniman ke seniman lain tanpa mengurangi kualitas paket wisata budaya mereka;
5. Produser memiliki informasi relatif lengkap mengenai seni tradisi di suatu wilayah maupun tentang pasar wisata budaya;
6. Seniman seni tradisi sangat kurang memiliki informasi tentang pasar dan industri pariwisata budaya (Lembaga Manajemen PPM, 2003).
Selain itu seniman atau masyarakat seni tradisi juga kurang mampu bersaing dengan produk-produk substitusinya seperti paket pertunjukan seni populer, pertunjukan dangdut, acara seni tradisi di televisi, CD/VCD/DVD/kaset tentang seni tradisi. Produk substitusi tersebut sering menang bersaing melawan produk seni tradisi, karena lebih market oriented yakni didisain, dikembangkan, dijual, dan disampaikan sesuai dengan kebutuhan dan selera publik yang menjadi pasarnya. Adapun seni tradisi sering tampil sesuai bentuk aslinya atau pun kalau disesuaikan dilakukan dengan seadanya, yang sering tidak cocok dengan kebutuhan dan selera pasar (Lembaga Manajemen PPM, 2003).
Peningkatan posisi tawar dan daya saing menjadi sangat penting bagi eksistensi dan perkembangan seni tradisi dan masyarakat pendukungnya. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, posisi tawar dan daya saing yang tinggi sangat diperlukan oleh masyarakat seni tradisi untuk lebih leluasa menghasilkan produk yang menurut mereka lebih baik dan menangkal upaya eksploitasi, penjarahan, dan pelecehan oleh pihak-pihak yang kurang memiliki kepedulian pada seni tradisi. Dengan posisi tawar yang tinggi, masyarakat seni tradisi memiliki kekuatan untuk “mendidik” para pembeli atau para konsumennya dalam hal apresiasi yang tepat terhadap seni tradisi.
Dari aspek bisnis, ada beberapa pilihan strategi peningkatan posisi tawar dan daya saing bagi masyarakat seni tradisi dalam industri pariwisata budaya antara lain:
1. Mengembangkan dan memasarkan produk sesuai dengan kebutuhan dan selera setiap segmen pasar yang dilayani;
2. Secara kontinyu mengembangkan dan memasarkan produk yang unik dengan fungsi dan manfaat yang sulit ditiru oleh produk-produk substitusi;
3. Meningkatkan pelayanan kepada pembeli atau user, kalau diperlukan diberikan secara customized;
4. Melakukan integrasi ke hilir, yakni menjadi produser atau event organizer;
5. Melakukan kerja sama atau koalisi untuk menghadapi kekuatan pembeli, pemasok, atau produk substitusi (Lembaga Manajemen PPM, 2003).
Salah satu aturan jika sukses dalam bisnis adalah melayani kebutuhan dan selera konsumen konsumen secara lebih baik dibandingkan pesaing, sehingga dapat diperoleh pelanggan yang loyal. Demikian pula, masyarakat seni tradisi perlu mengetahui dan memahami secara jelas mengenai kebutuhan dan selera konsumennya, mengembangkan produk, menyampaikan produk, dan memberikan pelayanan sesuai kebutuhan dan selera konsumen. Jika diperlukan dapat dijual produk dan diberikan pelayanan dengan kualitas yang melebihi harapan konsumen.
Masyarakat seni tradisi juga perlu secara kreatif dan inovatif menghasilkan produk-produk baru berbasis seni tradisi (produk seni tradisi yang benar-benar baru, modifikasi, atau peningkatan dari produk yang ada). Dalam dunia bisnis dikenal hukum law of deminishing return yakni suatu produk makin lama akan makin kurang diminati karena ada perubahan kebutuhan dan selera pasar serta munculnya produk-produk pesaing yang lebih baik. Suatu produk memiliki product life cycle, yakni masa lahir, tumbuh, dewasa, tua, dan mati. Oleh karena itu penting baru masyarakat seni tradisi untuk selalu melakukan inovasi. Seni tradisi itu sendiri dalam sejarah dan kenyataannya memang terus mengalami perubahan. Diyakini bahwa karya seni tradisi saat ini adalah hasil inovasi atau perubahan dari karya seni tradisi sebelumnya.
Banyak pihak-pihak yang berkepentingan terhadap seni tradisi berkeinginan agar seni tradisi tidak sekedar menjadi obyek penderita tapi menjadi subyek bahagia, tidak sekedar pemasok tetapi juga pemilik, produser dan pemasar, tidak menjadi price taker tapi menjadi price maker, dan sebagainya. Hal ini bisa dilakukan jika dari kelompok masyarakat seni tradisi muncul suatu kemampuan untuk melakukan integrasi ke hilir yakni menjadi produser yang handal, sehingga terjalin koordinasi dan integrasi yang kuat antara sektor pasokan dengan sektor produksi maupun sektor pemasaran dan distribusi.
Organisasi-organisasi seni tradisi komersial yang dapat bertahan bahkan berkembang, pada umumnya sedikit banyak telah menerapkan strategi-strategi di atas. Dapat disebut contohnya misalnya Saung Angklung Mang Udjo Bandung, dalang-dalang terkenal di Jawa, grup-grup campursari di Yogyakarta, grup-grup bajidoran dan jaipongan di Jawa Barat dan lain-lain.
Suatu kerja sama atau koalisi dalam bentuk asosiasi atau konsorsium diantara para pelaku bisnis, juga terbukti ampuh untuk meningkatkan posisi tawar dan mendapatkan sinergi. Masyarakat seni tradisi rupanya perlu juga memikirkan untuk bekerja sama, membentuk koalisi, sehingga lebih ada persatuan, lebih kompak, dalam menghadapi pihak-pihak lain.
Strategi-strategi tersebut relatif mudah untuk dipahami dan dibuat action plannya. Namun implementasinya jauh lebih rumit dan sulit sehingga keberhasilannya sangat tergantung pada kondisi dan kemampuan masyarakat seni tradisi untuk berubah. Diperlukan banyak persyaratan untuk dapat menerapkan strategi tersebut, antara lain:
1) Adanya perubahan paradigma berpikir dari production oriented ke market oriented dan service oriented;
2) Adanya upaya untuk menguasai informasi tentang bisnis dalam industri pariwisata budaya;
3) Adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan network dan lobby di industri pariwisata budaya;
4) Adanya komitmen dan kemampuan untuk menerapkan konsep-konsep manajemen profesional (tidak harus manajemen Barat) secara tepat guna;
5) Adanya keinginan yang kuat dan upaya untuk mengikutsertakan SDM yang memiliki kompetensi di bidang bisnis dan manajemen;
6) Munculnya entrepreneur-entrepreneur di bidang seni tradisi, untuk mewujudkan visi pemberdayaan seni tradisi menjadi kenyataan.
Agar beberapa persyaratan tersebut lebih mudah dipenuhi, diperlukan pula dukungan pemerintah dan masyarakat luas untuk menciptakan lingkungan makro (politik, keamanan, regulasi, ekonomi, gaya hidup, sosial budaya, dan teknologi) yang mendukung. Rekayasa-rekayasa kebijakan pemerintah yang melindungi, membela dan mendukung pemberdayaan masyarakat seni tradisi saat ini sangat diperlukan.
a. Mengejar Peluang sebagai Daerah Tujuan Pariwisata
Banyumas dengan segala potensi dan kekayaan yang dimiliki sangat potensial menjadi daerah tujuan wisata (DTW) di Propinsi Jawa Tengah bagian barat. Dengan kekuatan Lokawisata Baturraden yang masih digarap belum maksimal saja, pada tahun 2005 daerah ini mampu meraup retribusi tempat rekreasi sebesar Rp1.638.383.334,00 dengan keseluruhan PAD kepariwisataan sebesar Rp3.302.052.012,00. Ini menunjukkan bahwa Banyumas telah menjadi salah satu pilihan tujuan wisata yang memungkinkan dikembangkan lebih lanjut ke arah yang lebih baik.
Peluang mewujudkan Banyumas sebagai DTW paling tidak didasarakan oleh tiga alasan. Pertama, secara diakronis Kabupaten Banyumas memiliki sejarah kepariwisataan yang panjang, dimulai sejak digunakannya Baturraden sebagai tempat peristirahatan para kolonialis Belanda sekitar tahun 1928. Menurut Sugeng Wiyono dalam wawancara tanggal 19-12-2006 menerangkan:
“Di daerah Surakarta dan Yogyakarta sebenarnya juga terdapat banyak pabrik gula, namun hasilnya dipergunakan untuk kepentingan Kraton Surakarta-Yogyakarta. Sementara hasil yang diperoleh dari pabrik-pabrik gula di Banyumas menjadi penghasilan utama yang dikirim langsung ke negeri Belanda. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda di wilayah Banyumas, termasuk juga gedung eks-karesidenan Banyumas dan pendopo Si Panji Banyumas yang dibangun selain untuk kepentingan pemerintahan setempat, juga untuk kepentingan Belanda.”
Kawasan Banyumas memiliki keterkaitan sejarah yang sangat kuat dengan kolonial Belanda. Sejak abad ke-19, kawasan ini mensuplai kurang lebih sepertiga dari penghasilan jajahan di antara daerah-daerah lain di nusantara. Penghasilan tersebut diperoleh dari gula tebu yang pabriknya banyak dibangun di wilayah Banyumas. Tercatat di daerah ini ada lima pabrik gula, yaitu di wilayah Klampok (Banjarnegara), Kalibagor, Purwokerto (selanjutnya dijadikan gedung Isola), Purbalingga dan Ajibarang. Selain itu daerah ini mensuplai berbagai rempah-rempah seperti cengkih dan pala. Keterkaitan sejarah seperti ini dapat dijadikan sebagai peluang menciptakan link atau jaringan kerja pariwisata dengan negara-negara Eropa.
Kedua, Banyumas memiliki berbagai macam potensi wisata yang dapat dikembangkan menjadi obyek-obyek wisata, baik bertaraf lokal, regional, nasional atau bahkan internasional. Landscape Kabupaten Banyumas yang berada di kaki gunung Slamet serta daerah aliran sungai (DAS) Serayu adalaha kekuatan tersendiri dalam pengembangan kepariwisataan di daerah ini. Namun lebih dari itu, ragam kebudayaan yang ada juga dapat menjadi atraksi dan daya tarik yang tidak kalah pentingnya dengan kekuatan wisata alam Banyumas. Kedua-duanya apabila digarap dengan profesional akan mewujudkan satu kawasan wisata terpadu yang mampu mengundang minat wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara.
Ketiga, di Kabupaten Banyumas telah tersedia sarana wisata yang kian hari kian lengkap. Hingga tahun 2006 di daerah ini terdapat 11 jenis sarana wisata antara lain: (1) hotel dan villa, (2) hiburan umum, (3) Biro Perjalanan Wisata (BPW), (4) angkutan, (5) pramuwisata, (6) desa wisata, (7) homestay, (8) masyarakat sadar wisata, (9) restoran dan rumah makan, (10) cenderamata, dan (11) tanaman hias.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas dalam upaya mencapai visi dan misinya telah menetapkan etos kerja yang dijadikan sebagai ruh atau spirit bagi pelaksanaan pengelolaan obyek-obyek wisata yang ada. Di dalam Rencana Strategis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas Tahun 2002-2006, etos kerja yang dijadikan sebagai pijakan pelaksanaan pencapaian visi dan misi antara lain: (a) memberikan pelayanan prima, (b) efektif dan efisien, (c) akuntabel, (d) bertanggung jawab, (e) terpercaya, dan (f) dari masyarakat untuk masyarakat. Dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas dipengaruhi oleh lingkungan strategis unit kerja berupa lingkungan internal dan eksternal unit kerja yang saling terkait erat dalam proses tertib administrasi kepariwisataan dan kebudayaan. Demi lancarnya pelaksanaan tugas dan fungsinya maka dipandang perlu untuk melakukan analisis lingkungan strategik unit kerja.
Kajian lingkungan strategik mengacu pada Inpres Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dan manajemen strategik yang meliputi visi, misi dan nilai organisasi. Berdasarkan dua hal tersebut kemudian dilakukan analisis lingkungan internal dengan mencermati kekuatan dan kelemahan yang ada serta lingkungan eksternal melalui pencermatan ancaman dan peluang organisasi. Di dalam Rencana Strategis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas Tahun 2002-2006 dilakukan analisis SWOT yang digunakan menentukan asumsi dan faktor penentu keberhasilan pencapaian program. Adapun kajian analisis lingkungan, baik internal maupun eksternal organisasi adalah sebagai berikut:
1) Analisis Lingkungan. Analisis lingkungan adalah suatu bentuk analisis tentang kondisi faktual lingkungan yang menjadi faktor penentu keberhasilan. Teknik analisis ini berupa penggambaran secara realistis tentang keadaan sekarang yang dapat dijadikan sebagai dasar menentukan langkah lebih lanjut dalam rangka pencapaian visi dan misi organisasi. Dalam hal ini analisis dittikberatkan pada analisis lingkungan internal (ALI) dan analisis lingkungan eksternal (ALE) yang secara keseluruhan dapat diuraikan di bawah ini.
2) Analisis lingkungan internal (ALI). Analisis lingkungan strategik internal yang ada di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas dilakukan melalui pencermatan (scaning) lingkungan internal organisasi yang menghasilkan:
a) Kekuatan (strength):
- Tersedianya potensi kepariwisataan dan kebudayaan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah dan kesejahteraan bersama.
- Tersedianya aparatur kepariwisataan dan kebudayaan.
- Tersedianya sarana prasarana kepariwisataan dan kebudayaan.
- Tersedianya mekanisme kerja yang mengatur teknis penggarapan bidang kepariwisataan dan kebudayaan.
b) Kelemahan (weakness):
- Berbagai potensi kepariwisataan dan kebudayaan yang ada belum optimal diberdayakan untuk kepentingan pembangunan daerah dan kesejahteraan bersama.
- Belum optimalnya pemanfaatan aparatur yang ada untuk pelaksanaan pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan.
- Sarana prasarana kepariwisataan dan kebudayaan yang tersedia belum sesuai dengan tuntutan jaman.
- Mekanisme kerja belum berjalan sebagaimana mestinya.
3) Analisis lingkung eksternal (ALE). Analisis lingkung eksternal (ALE) dilakukan melalui pencermatan (scaning) lingkungan eksternal yang meliputi:
a) Peluang (opportunity):
- Semakin meningkatnya minat pihak swasta terhadap pengembangan bidang kepariwisataan.
- Bidang kepariwisataan memiliki kedudukan strategis dalam kehidupan sosial-ekonomi.
- Otonomi daerah memberikan peluang untuk mengelola sektor pariwisata dan kebudayaan secara mandiri dan menyeluruh.
- Semakin meningkatnya pemahaman masyarakat tentang arti pentingnya pengelolaan kebudayaan daerah dalam rangka mewujudkan jatidiri dan kepribadian bangsa.
b) Ancaman (threatment):
- Setiap daerah mulai secara serius mengembangkan sektor kepariwisataan bagi tercapainya peningkatan PAD.
- Semakin meningkatnya tuntutan wisatawan dalam pencapaian kepuasan yang diperoleh melalui perjalanan wisata.
- Pengembangan kepariwisataan membuka peluang bagi timbulnya berbagai macam dampak negatif bagi masyarakat di sekitar obyek-obyek wisata.
- Aspek-aspek kebudayaan lokal semakin tergeser oleh arus budaya asing yang tidak selaras dengan kepribadian bangsa Indonesia.
4) Menetapkan Asumsi. Berdasarkan analisis lingkungan sebagaimana tersebut di atas, lebih lanjut dapat diperoleh asumsi tentang relevansi pelaksanaan pembangunan bidang kepariwisataan dan kebudayaan di Kabupaten Banyumas. Dalam hal ini ada lima asumsi dasar, yaitu:
a) Pemberdayaan potensi kepariwisataan dan kebudayaan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah dan kesejahteraan bersama.
b) Pengembangan obyek dan daya tarik wisata di Kabupaten Banyumas perlu dioptimalkan dengan cara melaksanakan mekanisme kerja secara efektif dan efisien serta melibatkan pihak swasta sebagai satu kekuatan yang sinergis agar mampu bersaing dengan obyek dan daya tarik wisata daerah lain.
c) Pencapaian keberhasilan pembangunan bidang kepariwisataan dan kebudayaan memerlukan pemanfaatan berbagai sumberdaya yang ada secara terencana, efektif dan efisien.
d) Implementasi otonomi daerah diarahkan pada optimalisasi penggarapan bidang kepariwisataan dan kebudayaan guna mewujudkan jatidiri dan kepribadian bangsa.
e) Pengelolaan aspek-aspek kebudayaan lokal perlu lebih dioptimalkan untuk mewujudkan jatidiri bangsa serta menjadi beteng bagi arus budaya asing yang tidak selaras dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Nice Blog...
ReplyDeleteVisit: http://www.tanahlot.net