LENGGER KAMPI MENGUBAH CITRA LENGGER DARI “LENG SING MARAHI GEGER” MENJADI MEDIA EKSPRESI ESTETIS YANG MENGAGUMKAN

Pedahuluan
Kampi adalah nama yang sangat dikenal oleh masyarakat di daerah Banyumas dan sekitarnya sebagai seorang lengger populer. Popularitas itu bukan saja karena kecantikannya, tetapi juga daya tarik panggung yang dimilikinya berupa kualitas gerak tarian dan olah vokal yang dapat membuat decak kagum bagi siapapun yang menikmatinya. Dalam perjalanan kariernya sebagai seorang lengger, Kampi telah berhasil mengentaskan seni lengger dari sisi gelapnya yang selalu dikaitkan dengan nafsu birahi lelaki hidung belang, bahkan prostitute terselubung. Dengan virtousitasnya pula, Kampi telah menempatkan seni tari rakyat ini sebagai cabang kesenian yang pantas dihargai sebagai sajian karya seni.
Kampi adalah generasi kesekian dari perjalanan tradisi lengger di Banjarwaru yang berhasil keluar dari bayang-bayang popularitas Kunes1) yang telah terlebih dahulu dikenal meluas oleh masyarakat Banyumas dan sekitarnya. Kampi dan Kunes memang berasal dari dua tempat yang berbeda. Kampi berasal dari Desa Banjarwaru, Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap, sementara Kunes pada masa jayanya bertempat tinggal di Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Namun demikian harus disadari bahwa wilayah sebaran kesenian lengger tidaklah dibatasi oleh wilayah administratif. Lengger hidup dan berkembang di wilayah sebaran budaya Banyumas yang meliputi wilayah administratif Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara serta bagian barat Kabupaten Kebumen, bagian selatan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Pemalang dan bagian barat Kabupaten Wonosobo. Bahkan dalam skala lebih luas wilayah sebaran budaya Banyumas mencakup pula daerah Jawa Barat bagian timur dan tenggara. Dengan demikian kedua lengger popular ini praktis memiliki modus operandi yang sama dalam meniti kariernya.
Daya tarik Kampi dalam setiap pementasannya telah memberikan andil yang cukup positif bagi eksistensi kesenian lengger di masyarakat. Pada masa lalu, lengger selalu dikaitkan dengan kasukan2) seperti halnya dijumpai pada marungan3), banceran4) maupun ombyok5). Pada acara-acara seperti itu, penari lengger lebih dominan sebagai obyek pemuas hasrat kelaki-lakian, sehingga kehadirannya lebih mementingkan fisik tubuh dibanding tingkat kualitas kemampuan beraktivitas seni. Lengger seringkali dimaknai sebagai jarwo dhosok (penggabungan dua kata atau lebih yang memiliki pengertian baru) yang berarti leng sing gawe geger (lubang yang membuat geger). Di sini nampak sekali adanya sinisme yang bahwa penari lengger tidak ubahnya seorang prostitute6) yang senantiasa menjadi sumber pertengkaran atau perpecahan rumah tangga. Trade mark demikian sangat masuk akal mengingat dalam pertunjukan-pertunjukan lengger pada masa lalu biasanya disertai adanya marungan, banceran maupun ombyok.
Pengertian yang tidak kalah sinisnya tentang lengger berkembang pula di daerah Jawa Barat bagian timur. Di daerah Tasikmalaya dan sekitarnya dikenal istilah “lengger” yang berarti seseorang (pria ataupun wanita) yang sudah berkeluarga, tetapi masih suka mencari-cari pasangan lain di luar nikah. Ada kesamaan nilai rasa antara istilah “lengger” di Banyumas maupun di Tasikmalaya, yaitu suatu bentuk perilaku seseorang yang berkaitan dengan nafsu syahwat. Adanya kesamaan nilai rasa tersebut bukan tidak mungkin ada benang merah di dalamnya yang mengarah pada citra negatif dari seni joget khas Banyumas ini. Dalam perspektif ini, lengger sangat dekat dengan kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan menarik simpati lawan jenis dan bermuara pada transaksi seksual.
Kampi dalam menjalani profesi lengger tidaklah demikian. Dalam pementasannya, ia lebih mengandalkan kemampuan berkesenian, baik melalui olah vokal maupun kemampuan menjoget sesuai dengan irama gendhing yang mengiringinya. Kemampuan olah vokal yang dimilikinya dapat dilihat dengan seringnya lengger ini mengadakan rekaman komersial bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan rekaman seperti Hidup Baru (HIBA) Record, Borobudur Recording dan Nusa Indah Record mulai tahun 1977 sampai dengan 1985 dan hasilnya tersebar luas di pasaran. Pada masa keemasan lengger ini memang belum populer adanya perekaman komersial dalam bentuk audio visual sehingga tidak dijumpai hasil rekaman jenis ini di pasaran. Namun demikian ukuran kualitas sajian tariannya dapat dikaji dari banyaknya penonton yang menyaksikan pada setiap pementasannya.
Mulai masa keemasan Kampi inilah citra lengger lambat laun berubah dari yang semula dikenal sebagai sumber kemaksiatan ke arah seni pertunjukan rakyat. Dengan adanya perubahan citra ini maka cara penikmatannya pun berubah. Dalam kapasitasnya sebagai leng sing marahi geger (lubang yang membuat geger) pertunjukan lengger lebih disaksikan dari sisi erotisme tarian yang disajikan oleh penarinya, sedangkan sebagai seni pertunjukan maka kehadiran lengger lebih dimaknai sebagai sajian estetis yang penikmatannya ditujukan ke arah terpenuhinya kebutuhan estetis dan timbulnya pencerahan (renisance).
Kondisi faktual pada pertunjukan lengger yang dilakukan oleh Kampi tersebut adalah fenomena yang sangat menarik bagi pertumbuhan dan perkembangan lengger di Banyumas. Dalam hal ini R. Anderson Sutton7) (1991:71) menangkap sinyal perkembangan kesenian di Banyumas sebagai berikut:

While this qualities would have made it difficult for Banyumas music and other arts to gain prestige during the centuries of court supermacy, the modern democratic era has at least provided an atmosphere more consutive to the wide acceptance of arts seen by some as “folk”. …, but it is important to note here that Banyumas tradition is seen by many to be flourishing in the 1980s.


Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa tradisi di Banyumas kelihatan maju mulai tahun 1980. Pada dekade ini disebutnya sebagai era demokrasi modern, setidak-tidaknya memberi suasana yang kondusif bagi dukungan terhadap kesenian rakyat. Kemajuan tersebut mampu mengangkat Banyumas dari kategori “rakyat” dan mampu berdiri sederajat dengan seni istana. Dalam konteks ini eksistensi Kampi dapat dimaknai sebagai salah seorang agent of change dari pertumbuhan dan perkembangan seni lengger di Banyumas. Sejak awal tahun 1970-an Kampi telah menempatkan lengger sebagai seni pertunjukan yang layak mendapat penghargaan, tidak saja oleh masyarakat pedesaan yang menjadi basis perkembangannya melainkan terbukti masyarakat kotapun mulai menyukainya.

Riwayat Kehidupan Pribadi

1. Latar Belakang Keluarga
Kampi lahir 46 tahun yang lalu di desa Banjarwaru, kecamatan Nusawungu, kabupaten Cilacap. Sebagai orang desa, Kampi tidak memiliki catatan resmi tentang kapan tepatnya ia dilahirkan. Pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) tertulis lahir tanggal 31 Desember 1956, tetapi ini jelas tidak sesuai dengan kenyataan. Hal seperti itu diperkirakan hanya kelaziman bagi Kantor Catatan Sipil untuk menuliskan tanggal lahir 31 Desember untuk mereka yang tidak diketahui secara pasti data mengenai kelahirannya. Kampi hanya mengetahui lahir pada hari Jumat Manis tahun 1956 yang diperoleh dari orang tua dan kerabat dekatnya. Ayahnya bernama San Astra dan ibu bernama Kartem.
Di keluarganya, Kampi adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Secara keseluruhan Kampi bersaudara terdiri atas tiga laki-laki dan enam perempuan, antara lain: (1) San Kardi (2) Nadem, (3) Tiem, (4) Rawen, (5) Darwen, (6) Kardem (alm), (7) Gito, (8) Kasut, dan (9) Kampi. Dari kesembilan bersaudara ini, yang menekuni di bidang seni lengger ada tiga orang, yaitu San Kardi yang berprofesi sebagai penabuh calung dan pelatih lengger, Darwen (lengger), dan Kampi sendiri yang juga berprofesi sebagai lengger.
Kampi lahir di lingkungan keluarga seniman lengger. Semasa hidupnya, San Astra, ayah Kampi adalah seorang pengrawit calung. Demikian juga leluhurnya dari garis ayah ada dua orang diantaranya yang berprofesi sebagai lengger, yaitu nenek buyutnya yang bernama Ladem dan neneknya, Simen. Selain itu selama Kampi menjadi lengger ada pula anggota keluarganya yang menekuni seni lengger, yaitu Kami yang tidak lain anak San Kardi, kakaknya. Dalam perjalanan kariernya, Kami bahkan pernah menjadi unthil8) Kampi selama kurang lebih satu tahun pada tahun 1981. Dalam kondisi kehidupan keluarga yang demikian, semenjak kecil Kampi telah mengenal dari dekat kehidupan berkesenian lengger, baik di dalam maupun di luar panggung. Hal demikian merupakan proses apresiasi sangat penting yang telah memberikan impresi bagi kehidupan pribadi dan telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi kehidupan masa depan Kampi dalam kaitannya dengan profesi sebagai penari lengger.
Kehidupan keluarga Kampi pada masa lalu adalah kehidupan masyarakat pedesaan pada umumnya yang religius, sederhana, lugu, egaliter dan miskin pengalaman. Sebagai orang desa, mereka—seperti masyarakat pedesaan di Banyumas pada umumnya—sangat fleksibel dalam kehidupan sosial sebagaimana ungkapan populer sing lemesa kaya tali kakua kaya pikulan (lentur seperti tali kaku seperti pikulan). Artinya sebagai sosok pribadi maupun bagian dari lingkungan sosialnya, dia harus mampu bersikap fleksibel dengan diri dan lingkungannya, namun pada saat yang lain harus mampu bersikap tegas dalam menentukan keputusan hidup.
Pandangan tentang ketuhanan dapat diketahui melalui ungkapan populer yaitu bahwa urip ana sing nguripi, gulu bolong ana sing mbolongi (hidup ada yang menghidupi, leher berlubang ada yang melubangi—Tuhan). Hidup dipahami sebagai suatu keniscayaan yang harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Manusia lir wayang saumpamane (ibarat wayang) yang tinggal menjalankan lakon yang harus dimainkan. Kebahagiaan tidaklah diukur dari seberapa besar materi yang dimiliki, melainkan bagaimana seseorang dapat ngreksa (merawat) jagad gedhe (macro cosmos) dan jagad cilik (micro cosmos) sesuai dengan kadiwasaning pribadi (kemampuan pribadi) masing-masing.
Dari lingkungan keluarga seperti itulah Kampi telah belajar bagaimana menjalani hidup, bagaimana mendudukkan diri pribadinya sebagai individu sekaligus bagian dari lingkungan sosialnya, bagaimana komunikasi dengan alam sekitar yang menaunginya hingga apa yang harus dilakukan kepada Sang Penguasa Alam Semesta, termasuk dalam memilih profesi yang dijalaninya. Kehidupan keluarganya yang lekat dengan alam pedesaan adalah sumber dari imajinasi, intuisi dan kreativitas yang dijalani sebagai sosok pribadi maupun sebagai bagian dari lingkungan sosial. Keputusan dirinya berprofesi menjadi penari lengger adalah sebuah pilihan hidup. Namun demikian hal ini bukanlah semata-mata untuk kepentingan pribadinya, malainkan didasari oleh motivasi agar dirinya memiliki andil dalam perjalanan tradisi yang telah berurat-berakar di dalam kehidupan masyarakat di lingkungannya. Dalam hal ini orang tua dan sanak saudaralah yang paling berpengaruh terhadap diri Kampi yang menguatkan motivasi pengambilan keputusannya itu.

2. Latar Belakang Pendidikan
Pada masa kecilnya, Kampi hidup layaknya anak-anak lain di desanya yang lugu, sederhana, tidak neka-neka. Sebagai anak yang lahir dari keluarga yang berpola pikir sederhana, Kampi hanya menempuh jenjang pendidikan formal di bangku Sekolah Dasar (SD). Setelah lulus SD tidak terpikir baginya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Terlebih lagi lingkungan tradisi setempat tidak terlalu mendukung bagi anak perempuan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Pemahaman tradisional menempatkan dirinya untuk tidak merasa perlu bersekolah yang tinggi, toh sebagai wong wadon (perempuan) akhirnya akan bermuara di pawon (dapur). Terlebih lagi apabila berpikir tentang besarnya biaya pendidikan, seorang anak desa macam Kampi menjadi kian mustakhil untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi dari Sekolah Dasar.
Jenjang pendidikan yang dialami oleh Kampi memang relatif rendah, namun demikian proses belajar tidaklah semata-mata harus ditempuh melalui jalur pendidikan formal. Proses belajar yang dilakukan oleh Kampi berlangsung bersama-sama dengan proses bersosialisasi, baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya. Cara belajar demikian menurut Jung termasuk bentuk pendidikan paling tua dan merupakan bentuk pendidikan yang paling efektif (Jung dalam Sumanto,1990:23). Seseorang akan mencontoh atau meniru perilaku atau kebiasaan orang lain, kemudian membedakan antara baik dan buruk berdasarkan tata nilai yang dianut secara umum di lingkungan sosialnya.
Salah satu contoh kasus proses belajar yang dialami oleh Kampi adalah ketika bermaksud menjadi seorang lengger, ia tidak serta merta belajar secara khusus di sanggar, padepokan ataupun sekolah seni. Kampi lebih banyak melakukan proses imitatif dari gerak-gerak tarian lengger maupun olah vokal sindhenan yang dipadu dengan hasil latihan dengan Hadi Buang (seorang penari badhud di desanya) dan San Kardi, kakaknya yang telah terlebih dahulu mengenyam pengalaman di dunia seni lengger ini. Kemampuan teknisnya kemudian ditingkatkan melalui pengalaman panggung setelah ia mulai melaksanakan pementasan-pementasan.
Model belajar secara terapan seperti ini dilakukan pada setiap aspek kehidupan yang dialami dalam hidup dan kehidupanya. Demikianlah proses belajar yang Kampi lakukan adalah dengan dihadapkan secara langsung dengan permasalahan-permasalahan dan cara pemecahannya sehingga memiliki memori yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan lain yang sejenis. Semakin sering ia dihadapkan dengan berbagai kasus maka semakin kaya pula pengalaman yang didapatkannya. Dengan kekayaan pengalaman hidup yang dimilikinya itulah, ia kemudian tumbuh sebagai manusia dewasa yang mengerti baik dan buruk, salah dan benar, derita dan bahagia serta memiliki kemampuan untuk memecahkan persoalan yang menimpa hidup dan kehidupannya.

3. Riwayat Perkawinan
Selama hidupnya Kampi pernah menikah tiga kali. Suami pertama yang dinikahinya bernama Rasmin, seorang pemuda di desa yang sama dan bekerja sebagai sopir bus di Jakarta. Kampi menikah dengan Rasmin pada tahun 1972 pada saat ia sudah menjadi lengger yang cukup terkenal. Sebagai seorang sopir dan tinggal di Jakarta, Rusmin tidak menghendaki Kampi menjadi lengger. Rusmin menginginkan Kampi ikut dengannya ngumbara (berkelana) di ibukota. Sebagai seorang istri yang memiliki kewajiban berbakti kepada suami, Kampi pun bersedia ikut tinggal di Jakarta dengan konsekuensi meninggalkan profesi sekaligua hobbynya sebagai penari lengger.
Hidup dengan Rasmin tak ubahnya belenggu bagi karier kesenimanan dalam diri Kampi. Ia harus melupakan kenangan-kenangan indah menari dan nyindhen di atas panggung diiringi perangkat musik calung, dielu-elukan penonton layaknya artis terkenal, hingga sapaan mata-mata nakal penonton ketika ia berada di atas panggung. Semua itu hanyalah kenangan-kenangan manis yang seolah hanya sekedar menjadi bagian masa lalu yang tidak mungkin terulang kembali.
Selama kurang lebih dua tahun Kampi hidup di hidup Jakarta dalam statusnya sebagai ibu rumah tangga. Ini merupakan masa-masa sulit bagi Kampi. Ia masih selalu teringat dengung suara calung, kibasan sampur maupun aroma kembang setaman dan minyak wangi duyung yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sesaji dalam setiap pementasannya. Bukan saja penghasilan suami yang pas-pasan, tetapi juga minat dan bakatnya di bidang seni lengger yang tidak tersalurkan.
Pada suatu ketika, dengan berat Kampi menyampaikan keinginannya untuk pulang ke Banjarwaru dan kembali berprofesi menjadi lengger. Rusmin tetap pada pendiriannya, bahwa Kampi tidak diijinkan untuk kembali menjadi penari lengger. Percekcokan antara keduanya pun tidak terelakkan. Rasmin mengancam apabila Kampi nekad pulang kampung untuk menjadi lengger, maka ia akan menceraikannya. Namun demikian dengan didasari dua alasan tersebut, Kampi tetap menyatakan tekadnya untuk pulang kampung dan kembali pada profesi seni yang telah digeluti selama dua tahun itu.
Tahun 1974 Kampi berkeputusan meninggalkan suaminya dan pulang ke Banjarwaru. Di kampungnya Kampi kembali bergabung dengan rekan sejawat dalam grup lengger yang telah membesarkannya. Saat itu Kampi menjadi lengger utama dan lengger yunior yang menjadi unthil adalah Suminah berasal dari desa Kemojing. Sebagai protes atas kenekadan Kampi, kemudian Rusmin melaksanakan ancamannya yaitu menceraikan Kampi tahun 1974.
Bertahun-tahun Kampi hidup menjanda sambil terus menekuni profesi sebagai penari lengger. Banyak pemuda yang berkeinginan menjadikan Kampi sebagai istrinya, tetapi janda muda itu masih trauma atas kegagalan yang dialaminya dalam menempuh hidup bersama dengan Rasmin. Kampi khawatir kalau menikah lagi, suami barunya itu memiliki perwatakan yang tidak berbeda dengan suami pertama. Itu pasti menyakitkan, bukan saja untuk dirinya tetapi juga bagi para penggemar yang masih menginginkan dirinya selalu siap tampil berlenggang-lenggok di atas panggung sambil menyuarakan vokal-vokal sindhenan sesuai irama gendhing.
Setelah hidup menjanda bertahun-tahun, akhirnya pada tahun 1979 Kampi menerima lamaran Sumardi yang menjabat sebagai Kepaa Desa Banjarwaru. Bagaikan tumbu olih tutup (klop, mau sama mau), pada tahun itu juga Kampi menikah dengan Sumardi. Pernikahan dengan suami keduanya ini dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Budi Wahyono. Dibanding dengan suami pertamanya, Sumardi lebih demokratis dalam menyikapi profesi istrinya. Sumardi memberikan kebebasan kepada Kampi untuk tetap menekuni profesi sebagai penari lengger. Satu pesannya yang selalu diwanti-wanti (harus dilaksanakan) adalah dalam menjalani profesi sebagai seniman, istrinya jangan sampai terlibat perselingkuhan dengan lelaki lain. Kalau sampai terjadi perselingkuhan maka Sumardi tidak akan memaafkan Kampi dan hal itu akan menjadi alasan terjadinya perpisahan.
Ternyata maghligai perkawinan Kampi-Sumardi tidak abadi. Tahun 1985 Kampi terpikat Nislam, seorang lelaki yang sudah memiliki anak dan istri. Sepandai-pandainya membungkus, barang bau tetap berbau juga. Hubungan Kampi dan Nislam akhirnya diketahui oleh Sumardi. Demi mendengar peristiwa tersebut Sumardi tidak dapat mengendalikan emosinya. Percekocokan rumah tangga tidak terelakkan lagi dan puncaknya adalah pada tahun 1985 Sumardi menceraikan Kampi.
Selepas dari rengkuhan Sumardi, Kampi benar-benar memutuskan untuk hidup bersama dengan lelaki idamannya. Pada tahun itu pula (1985), Kampi menikahi Nislam. Pernikahan dengan Nislam dikaruniai satu anak perempuan yang diberi nama Titis. Namun demikian kebahagiaan kehidupan berkeluarga yang dirajut bertahun-tahun, akhirnya rantas pula. Pada tahun 1991 karena alasan tertentu Kampi memutuskan untuk pisah ranjang dengan Nislam. Setelah tiga tahun berpisah, kemudian pada tahun 1994 keduanya sepekat untuk bercerai. Nislam kembali ke istri pertamanya dan Kampi tetap menetap di rumahnya di Banjarwaru. Setelah perceraiannya dengan Nislam, Kampi tidak berniat untuk menikah lagi dan ia masih terus menjanda hingga sekarang.

Proses Kesenimanan

1. Proses Belajar
Keputusan untuk menjadi lengger dalam diri Kampi bukanlah keputusan yang instan. Sejak kecil minat dan bakatnya dalam bidang seni lengger sudah dapat dilihat dalam diri Kampi. Ia sangat gemar menirukan gerakan-gerakan tari yang lazim dilakukan oleh penari lengger di panggung. Ia juga gemar nembang dan nyindhen layaknya seorang lengger. Selain itu ia juga memiliki wajah yang menarik dan gandar yang cukup sebagai modal menjadi seorang lengger. Hadi Buang yang berprofesi sebagai badud dalam pementasan lengger Darwen (salah seorang kakak Kampi) dan bertempat tinggal tidak jauh dari rumah Kampi melihat potensi yang ada di dalam dirinya. Badhud bersedia melatih Kampi sebatas kemampuan yang dimilikinya.
Pada awal tahun 1970 Hadi Buang mulai melatih Kampi gerakan-gerakan tari sederhana dan sindhenan-sindhenan yang dapat dijadikan modal ikut dalam pementasan. Awal proses kesenimanannya itu terjadi pada saat Kampi berumur 14 tahun. Ada alasan yang sangat mendasar mengapa Hadi Buang bersedia melatih Kampi. Padawaktu itu di Banjarwaru dapat dikatakan tidak ada lengger yang eksis. Kakak Kampi yang saat itu berprofesi sebagai lengger tidak mampu muncul ke permukaan sebagai lengger populer. Sementara Kampi memiliki segalanya seperti wajah yang menarik, gandar yang agus untuk ukuran seorang penari lengger, kecakapan gerak dan olah vokal sindhenan serta kemauan keras untuk belajar.
Bagi Kampi, Hadi Buang adalah pelatih yang memiliki kebiasaan keras dalam melatih. Apabila Kampi melakukan kesalahan gerak maka tidak sungkan-sungkan Badud itu akan memukul anggota badan yang dianggapnya melakukan kesalahan gerak. Mendapat perlakukan seperti itu, semangat Kampi tidak kendur melainkan justru kian bertambah kuat untuk melakukan teknik-teknik gerak yang baik sesuai dengan arahan pelatih agar tidak lagi mendapat pukulan saat berlatih.
Setelah beberapa waktu berlatih dengan Hadi Buang, salah seorang kakak Kampi yang bernama San Kardi bersedia pula melatih adiknya itu. Ia sebagai seorang pengrawit calung yang sudah lama malang-melintang di dunia hiburan rakyat itu merasa mampu melatih Kampi untuk menjadi seorang lengger yang baik. Oleh karena itu waktu selanjutnya Kampi dilatih oleh San Kardi.
Setelah dianggap memiliki modal untuk menjadi lengger, Kampi harus melakukan kegiatan mbarang9). Kegiatan mbarang merupakan bagian dari laku yang harus dijalani oleh calon lengger sebelum menjadi lengger yang sesungguhnya. Laku mbarang ini pada dasarnya merupakan teknik publikasi tradisional yang dilakukan oleh seni pertunjukan tradisional di daerah Banyumas sebelum mengukuhkan dirinya sebagai grup yang profesional. Melalui kegiatan mbarang Kampi dapat belajar sambil melakukan pementasan-pementasan sekaligus melakukan publikasi agar dikenal meluas di masyarakat. Namun demikian dalam pandangan masyarakat tradisional Banyumas tidaklah demikian. Mbarang adalah bagian dari laku yang harus dilaksanakan oleh seorang calon seniman panggung yang bertujuan untuk menghilangkan sebel puyeng atau sambekala (segala bentuk godaan yang dating dari kekuatan gaib) sehingga akan selamat dalam menempuh profesi sebagai seniman panggung. Kru yang terlibat waktu itu antara lain Si Sum yang menduduki posisi sebagai pengendhang, Maryono (gambang barung), Si Kam (gambang penerus), Yasmudi (dhendhem), Margo (kenong), Bandi (gong) dan Hadi Buang (badhud).
Setelah selesai melaksanakan mbarang, selanjutnya Kampi melaksanakan pentas gebyagan atau digebyagna, yaitu pentas pertama kali yang bertujuan untuk mengukuhkan dirinya sebagai lengger. Melihat penampilan pertama Kampi, banyak orang meramalkan pada saatnya Kampi akan menjadi lengger ternama di daerahnya. Ternyata ramalan tersebut menjadi kenyataan. Ketika pertama kali ia muncul di panggung pementasan, penonton sangat menyukainya. Setelah pementasan pertamanya itu ia mendapat tanggapan enam panggung. Ini merupakan sesuatu yang luar biasa dan jarang dialami oleh lengger manapun. Setelah menyelesaikan enam pementasan tanggapan, saat berikutnya secara rutin Kampi mendapatkan tawaran tanggapan lain di berbagai tempat hingga jadilah ia lengger terkenal.

2. Proses Laku Batin
Sebagai pelaku di dalam kesenian tradisional, Kampi tidak lepas dari proses laku batin. Cara demikian biasanya ditujukan untuk nggayuh indhang (mendatangkan roh pemberi spirit dalam berkesenian), berupaya mencari kelarisan dan membetengi diri dari serangan kekuatan-kekuatan gaib yang datang dari kekuatan supranatural. Untuk itu melakukan harus melakukan kegiatan-kegiatan laku batin tertentu.
Pertama, madhang longan turu longan (mengurangi makan dan tidur). Kegiatan ini berupa kegiatan yang bersifat menyiksa diri dengan cara mengurangi makan dan tidur. Ada banyak cara untuk melakukannya seperti puasa, mutih, ngrowot, ngolong, pati geni dan lain-lain. Semua itu adalah kegiatan mengurangi makan dari tingkat yang paling ringan hingga ke tingkat yang paling berat. Selain itu ia juga harus melakukan kegiatan berjaga (tidak tidur) pada malam hari. Pada tengah malam melakukan kegiatan mandi di sumur pitu (sumur tujuh).
Kedua, merapal doa-doa. Ada doa-doa tertentu yang harus dirapal pada saat-saat tertentu pula. Ddoa-doa tersebut ditujukan kepada Sang Penguasa Alam Semesta dengan berbagai macam tujuan seperti agar dikaruniai kekuatan, kecantikan, kelarisan dan lain-lain.
Ketiga, nepi (bertapa) dan atau ngalap berkah di panembahan. Ada satu panembahan (makam leluhur) yang menjadi spirit dalam perjalanan Kampi sebagai seorang lengger, yaitu makam Nyi Larik yang dikenal sebagai pangembahan lengger. Makam itu berlokasi di desa Banjarwaru, tidak jauh dari rumah Kampi. Nyi Larik diyakini sebagai cikal-bakal lengger di Banjarwaru10). Di panembahan itu terdapat empat makam tua. Makam utama adalah makam Nyi Larik, sedangkan tiga makam yang lain adalah makam ketiga anaknya, yaitu Kanthul, Serit dan Medhok. Ketiga anak Nyi Larik ini juga menjadi lengger semasa hidupnya.
Selain ketiga laku batin tersebut, biasanya lengger juga melengkapi diri dengan jimat tertentu. Jimat berupa barang-barang tertentu yang memiliki tuah atau kekuatan gaib dan berpengaruh positif bagi pemiliknya. Misalnya: wesi kuning (besi kuning) digunakan untuk kekebalan tubuh, susuk untuk penglarisan atau kecantikan. Dalam hal ini untuk kelanjutan profesinya, Kampi diberi empat macam jimat oleh Darwen yang diperolehnya di sebuah goa di daerah Jatijajar. Keempat macam jimat itu antara lain: keris, cemara, cundhuk jungkat.
Dengan berbagai macam laku batin tersebut maka seorang lengger akan merasa tegar dan kuat sekalipun harus melakukan pementasan setiap malam dari panggung ke panggung. Ketegaran dan kekuatan itu bias jadi karena sugesti ataupun benar-benar dating dari kekuatan supranatural yang berhasil diperoleh melalui kegiatan laku batin yang dijalaninya. Dalam menjalani profesi lengger, Kampi pun tidak lepas dari kegiatan-kegiatan laku batin tersebut. Ia senantiasa melakukan kegiatan ­madhang longan turu longan pada hari-hari tertentu seperti hari baik (Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon) maupun menjelang weton (hari kelahirannya). Kampi juga melengkapi diri dengan mantra-mantra dan jimat-jimat tertentu yang berguna untuk daya tahan fisik dan penglarisan.
Kunjungan ke makam Nyi Larik dilakukan pada malam-malam tertentu, yaitu pada malam kelahirannya. Di makam itu dilakukan prosesi ritual berupa doa-doa tertentu dan pementasan lengger dengan kostum lengger seperti halnya pada saat melakukan pertunjukan. Semua itu ditujukan kepada arwah Nyi Larik dengan tujuan bersedia menjadi indhang yang mengayomi dirinya yang menjadi seorang lengger. Ada beberapa persyaratan yang harus dilaksanakan dalam rangka sowan (menghadap) ke makam Nyi Lurik.
Pertama, dalam keadaan suci, yaitu Kampi tidak sedang menstruasi atau habis melakukan hubungan seksual. Kedua, membawa sesaji. Sesaji yang dibutuhkan untuk keperluan itu antara lain: kembang telon (bunga tiga macam), pisang raja atau pisang ambon, rokok, pupur, minyak wangi, kinang dan kemenyan. Ketiga, melaksanakan pergelaran dengan kostum lengkap seperti halnya pada saat pementasan. Dalam hal ini ada beberapa gendhing yang disajikan untuk keperluan sesaji, antara lain: gendhing Pacul Gowang, Gunung Sari, Eling-eling, Renggong Lor dan Blendrong Kulon.
Ada kepercayaan yang tidak boleh dilanggar selama dia ngalap berkah di panembahan Nyi Larik, yaitu selama menjalani profesi sebagai lengger tidak diperbolehkan melakukan perselingkuhan. Apabila hal ini dilanggar maka ada konsekuensi yang diterimanya, yaitu kekuatan yang dimilikinya akan tambar (hilang) sehingga tidak laku di pasaran. Ini merupakan satu hal yang berbeda dari pandangan umum tentang pelaku lengger yang dianggap sebagai wanita tuna susila. Selama Kampi ngalap berkah di panembahan Nyi Larik, ia justru mendapat larangan melakukan hubungan sex di luar nikah. Hal inilah yang menjadikan motivasi bagi dirinya untuk menggeluti kemampuan olah tarian dan olah vokal agar menarik minat masyarakat menonton pertunjukan-pertunjukannya.
Ada satu peristiwa yang hingga kini masih dirasakan dalam kehidupan Kampi adalah masa surutnya dimulai sejak hubungan asmaranya dengan Nislam pada tahun 1985. Akibat dari hubungan asmara tersebut, tiba-tiba tanggapan Kampi kian lama kian merosot. Sejak peristiwa hubungan asmara itu, masa keemasannya hanya mampu bertahan selama kurang lebih dua tahun. Mulai tahun 1987 Kampi merasakan masa keemasannya benar-benar sudah berakhir. Menyadari adanya sibat (peristiwa negatif sebagai akibat dari hasil perbuatan yang melanggar aturan) tersebut, maka hingga saat ini Kampi masih terus melaksanakan laku-laku tertentu yang bertujuan untuk menebus semua kesalahan yang pernah dilakukannya.

3. Masa Keemasan
Masa keemasan Kampi berlangsung semenjak perceraiannya dengan suami pertama yaitu pada tahun 1974. Sebagai janda, Kampi dapat bebas bergerak kemanapun ia suka dalam kaitannya dengan perjalanan profesinya sebagai lengger. Pada bulan-bulan ramai orang punya khajat (bulan Jawa Jumadilakir dan Besar) bisa terjadi ia dan rombongannya terus-menerus melakukan pementasan tanggapan selama sebulan penuh, bahkan seringkali terpaksa menolak permintaan tanggapan karena pada hari yang direncanakan oleh si penanggap sudah terisi tanggapan di tempat lain.
Sejak tahun 1977 Kampi mulai memasuki dunia rekaman kaset. Untuk pertama kalinya tawaran rekaman dating dari perusahaan rekaman Hidup Baru (HIBA) Record. Nilai kontrak yang pertama kali diterima cukup besar untuk ukuran waktu itu, yaitu sebesar 600 ribu rupiah. Rekaman pertama dilakukan bersama dengan lengger Kartisah yang menjadi unthil-nya pada saat itu. Di antara lagu-lagu yang direkam pada waktu itu antara lain lagu Baturaden, Putri Gunung dan Malem Minggu. Kontrak rekaman dengan HIBA Record berlangsung selama dua tahun mulai tahun 1977 sampai dengan 1979.
Pada tahun 1979 dimulai kontrak rekaman dengan perusahaan rekaman Borobudur Recording. Kontrak rekaman dengan perusahaan ini sebanyak 10 kaset dengan materi berupa gendhing-gendhing Banyumasan dan lagu-lagu kreasi baru. Setelah menyelesaikan kontrak rekaman dengan Borobudur Recording, Kampi kembali mendapat tawaran rekaman dari Nusa Indah Record. Kontrak dengan perusahaan rekaman yang terakhir ini berlangsung mulai akhir tahun 1979 hingga tahun 1985.
Selama menekuni profesi sebagai seniman, Kampi pernah sekali didaulat mengikuti festival seni tingkat nasional yaitu Festival Seni Tradisional Tingkat Nasional Tahun 1984 yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat. Kampi beserta rombongan mewakili Propinsi Jawa Tengah dan berhasil keluar sebagai Juara I. Ini merupakan prestasi terbesar dari Kampi selama menjalani profesinya sebagai penari lengger.
Dalam menjalani profesi lengger, Kampi mengalami beberapa kali ganti pasangan bermain (unthil). Unthil yang pertama kali ikut dengannya adalah Suminah yang berasal dari desa Kemojing. Dengan Suminah ia bertahan selama kurang lebih tiga tahun mulai tahun 1974 sampai dengan 1976. Pada tahun 1976 memutuskan hubungan kerja dengan Kampi dan mendirikan grup lengger sendiri. Sepeninggal Suminah berturut-turut unthil yang bergabung bersama Kampi adalah Surtinah (1976-1977), Kartisah (1977-1978), Adminah (1978-1980), Nastiti (1980-1981) dan Kami (1981). Pergantian pasangan dalam pementasan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami ketika dengan Suminah, yaitu para unthil mendirikan bendera grup lengger di daerahnya dan bersaing dalam merebut pasaran.
Mulai tahun 1981 hingga masa surutnya Kampi berganti-ganti unthil antara lain Karsih, Nastiti dan Ratisem. Ketiga nama terakhir ini tidak selalu bersama-sama karena mereka juga memiliki grup sendiri-sendiri. Cara yang dilakukan adalah menghubungi atau mengajak salah satu di antara ketiga lengger ini untuk menjadi unthil apabila ada tanggapan.

Bentuk Sajian

1. Sajian Barangan
Sajian lengger barangan bersifat sederhana, apa adanya dan tidak memiliki persiapan khusus. Untuk keperluan mbarang biasanya Kampi sudah berdandan dari rumah lengkap dengan rias dan kostum sebagaimana ketika melaksanakan pentas tanggapan. Dalam melakukan perjalanan, Kampi berjalan pada posisi paling depan, kemudian diikuti pengrawit lain yang berjalan beriringan di belakang sang lengger. Salah seorang di antara pengrawit bertugas memikul alat musik. Perjalanan biasanya diarahkan ke arah komunitas masyarakat yang berpenghasilan memadai atau ke daerah-daerah yang tengah mengalami panen raya.
Dalam perjalanan Kampi dan seluruh pengrawit biasanya berhenti di perempatan-perempatan atau tempat-tempat ramai sambil menunggu seseorang yang tertarik untuk menanggap. Apabila ada yang tertarik maka dilakukan tawar-menawar harga terlebih dahulu sebelum dilaksanakan pementasan. Setelah disepakati barulah disajikan gending-gending tertentu untuk mengiringi tarian lengger. Satu kali sajian gending disebut satu babak. Penanggap membayar ongkos dengan hitungan per babak. Penanggap berhak meminta gendhing-gendhing kegemarannya untuk disajikan dengan dibarengi gerak tarian tertentu. Dengan adanya permintaan gendhing-gendhing maka para pengrawit harus hafal berbagai macam gendhing, terutama gending-gending populer yang biasanya disukai penanggap.
Sajian lengger barangan dilakukan pada siang hari dengan ukuran waktu mulai saat istirahat siang sampai menjelang terbenamnya matahari. Pada saat mbarang, durasi sajian tidak tentu, sangat bergantung si penanggap. Bila penanggap menginginkan satu babak (satu kali sajian gending) maka Kampi dan kawan-kawan hanya menyajikan satu buah gending. Demikian pula apabila penanggap menginginkan disajikan lebih dari satu babak, maka Kampi akan melayaninya. Banyak sedikitnya babak pada sajian barangan berkaitan dengan uang yang disediakan untuk tiap babak. Adapun besarnya biaya yang harus disediakan setiap satu babak didasarkan atas negosiasi antara pihak penanggap dengan Kampi selaku pelaksana pementasan.

2. Sajian Tanggapan
Sajian untuk keperluan tanggapan lazim dilakukan oleh penduduk pedesaan yang memiliki khajat tertentu, misalnya: khitanan, pernikahan, dan kaul. Berkaitan dengan khajat-khajat tersebut biasanya diramaikan dengan tontonan-tontonan tertentu yang salah satunya adalah tontonan lengger. Untuk keperluan tanggapan, lengger disajikan pada malam hari, mulai sekitar pukul 20.00 sampai dengan 04.00.
Sajian lengger dibagi menjadi lima bagian yaitu pengoregan, gambyongan, badhudan dan baladewan. Bagian pertama, pengoregan adalah sajian gending-gending tertentu yang digunakan untuk mengundang penonton. Gending yang digunakan untuk pengoregan biasanya terdiri atas gending-gending yang memiliki suasana gagah dan gembira. Disajikannya gending-gending yang memiliki suasana demikian dengan tujuan agar terdengar oleh masyarakat di sekitar tempat pementasan sehingga mengetahui akan ada tontonan dan tertarik untuk menontonnya. Pada saat pengoregan semua garapan gending dilakukan oleh pengrawit tanpa peran serta sindhen. Oleh karena itu biasanya para pengrawit selain bertugas menabuh, juga berperan ganda sebagai vokalis baik dalam bentuk gerongan (vokal bersama) maupun sindhenan (vokal tunggal oleh sinden).
Bagian kedua, gambyongan. Pada sekitar pukul 21.00 lengger memasuki arena pementasan dengan diiringi gendhing Sekar Gadhung, Eling-eling dan Ricik-ricik yang disajikan secara berturutan. Saat mulai keluar dari ruang ganti biasanya lengger memakai kebaya. Setelah sampai di arena pementasan, kebaya tersebut dilepas dan diletakkan di atas instrumen kendhang dan mulailah ia menari sesuai dengan irama gendhing. Ini merupakan saat paling awal pertunjukan lengger oleh Kampi.
Setelah sajian ketiga gendhing tersebut berhenti, selanjutnya disajikan gendhing gaya Surakarta untuk mengiringi tari gambyong, yaitu tari penyambut tamu. Gendhing-gendhing yang digunakan untuk mengiringi tari ini bermacam-macam seperti Pangkur, Ayun-ayun dan Gambirsawit. Sebagai tari penyambut tamu, tari gambyong memiliki suasana yang segar dan ceria.
Selesai gambyongan biasanya dilanjutkan tari-tari lain yang bersifat mengikuti gending-gending yang disajikan, baik gending Banyumasan, gendhing wetanan (gaya Surakarta dan Yogyakarta), gendhing kulonan (gaya Sunda) maupun lagu-lagu kreasi baru, pop dan dangdut. Dalam hal ini bukan gendhing mengikuti tari, melainkan tari mengikuti sajian gendhing. Dengan demikian yang terjadi adalah pola-pola gerak pematut (improvisasi) yang disesuaikan dengan pola kendhangan pada gendhing yang disajikan. Di sini Kampi melakukan gerak-gerak tarian yang mengundang kekaguman penonton seperti bentuk-bentuk gerak erotis, gembira, sigrak, kenes, yang kesemuanya ditujukan agar penonton gemas menyaksikannya. Sambil melakukan gerak tarian Kampi juga melagukan vokal sindenan sesuai dengan gending yang disajikan. Bentuk-bentuk gerak tarian seperti inilah yang menjadi menu utama dalam pementasan lengger oleh Kampi sepanjang malam, sehingga penonton merasa betah menyaksikan pertunjukannya.
Bagian ketiga, badhudan. Pada bagian ini badhud (penari berparas lucu) masuk ke arena pementasan untuk menari bersama dengan lengger. Badhud adalah penari improvisasi yang seringkali diarahkan untuk menggoda lengger baik dengan kata-kata maupun bentuk gerakan. Godaan dalam bentuk kata-kata, misalhnya: lenggere esih seger, jan nyamleng banget (lengger-nya masih segar, terasa nikmat sekali). Adapun godaan dalam bentuk gerak tari biasanya berupa pola-pola gerakan mengejek, merayu atau ingin mendekat kepada lengger yang disesuaikan dengan pola kendangan. Pada saat badhud melakukan gerakan-gerakan menggoda, biasanya lengger memberi respon menolak atau mengimbangi keinginan badhud dengan tujuan agar suasana tampak segar dan menggemaskan.
Bagian keempat, baladewan. Pada bagian baladewan Kampi menari bentuk tarian gagah yang menggambarkan Prabu Baladewa, raja Mandura dalam pewayangan. Gerak tarian Baladewan gagah, meskipun tetap memakai kostum wanita. Pada saat baladewan Kampi telah berganti kostum tari gagah. Tari Baladewan merupakan tari penutup seluruh rangkaian sajian pertunjukan lengger.

Pandangan Kampi terhadap Eksistensi Kesenian Lengger

1. Pandangan Kampi pada Awal Karier
Pandangan negatif masyarakat terhadap lengger sudah dipahami oleh Kampi jauh sebelum dirinya memutuskan untuk terjun dalam kancah kesenian ini. Sebagai seorang remaja yang lahir dan dibesarkan di tengah masyarakat pendukung kesenian lengger tentu saja ia telah telah mendengar cerita-cerita seputar dunia hitam yang dialami para penari lengger mulai dari sekedar tatapan penuh nafsu hingga ajakan untuk bermain sex. Namun demikian motivasi Kampi terjun ke dunia hiburan rakyat ini sama sekali tidak bermaksud untuk menyediakan dirinya sebagai pemuas nafsu lelaki hidung belang. Sebagai remaja belia, Kampi saat itu justru belum mengerti betul apa yang sesungguhnya terjadi. Ia pun belum tahu apa arti tatapan mata jalang yang mengikuti kemanapun arah gerak tubuh penari lengger. Yang ia tahu hanyalah begitu banyak mata tanpa berkedip seolah sedang menelanjangi setiap lekuk liku si penari di atas panggung. Sungguh ia merasa risih atau bahkan benci apabila mendapati berpasang-pasang mata memandangi bagian-bagian tubuh tertentu yang dianggapnya vital.
Dalam pandangan Kampi, berprofesi menjadi penari lengger adalah media ekspresi seni yang menyenangkan. Melalui pementasan-pementasannya, seorang lengger dapat mengekspresikan rasa seninya dalam bentuk tarian dan olah vokal sesuai dengan irama gendhing. Hasil ekspresi seni yang dilakukannya dapat diikmati oleh orang lain dan ia akan dapat mengaktualisasikan dirinya menjadi figur yang digandrungi dan dikagumi oleh masyarakat pendukungnya. Persoalan adanya cerita tentang praktek-praktek prostitusi yang dilakukan oleh sebagian penari lengger, itu harus dipahami sebagai peristiwa yang kasuistis sehingga tidak dapat digeneralisasikan bahwa semua penari lengger pasti melakukan praktek-praktek seperti itu. Dalam dirinya ia berpikir, “Kalau aku tidak mau, siapa yang akan memaksa?”
Dalam menjalani profesi sebagai lengger, Kampi benar-benar hanya dimotivasi oleh minat dan bakatnya dalam tari-menari dan olah vokal sindhenan. Dalam pengakuannya, tidak sedikitpun dalam diri Kampi terbersit niat untuk menjual diri melalui profesinya sebagai penari. Dalam usianya yang baru 14 tahun Kampi bahkan belum mengerti tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seksual. Saat-saat awal terjun ke dunia seni lengger, bahkan Kampi masih suka bermain pasaran bersama teman-teman sebayanya di kebun belakang rumah di bawah gubuk bleketepe (anyaman dari janur) yang menjadi tempatnya bercanda riang.
Dua tahun Kampi menekuni profesi lengger, ia dilamar oleh Rasmin yang kemudian menjadi suaminya yang pertama. Saat itulah Kampi mulai mengetahui tentang segala hal yang dilakukan oleh pria-wanita dalam menjalin hubungan asmara. Sajak itu pula ia mulai memahami apa yang dimaksud dengan dunia hitam yang menyelimuti kehidupan seni lengger yang selama ini banyak dibicarakan orang. Ia bersyukur tidak terjebak dalam dunia hitam itu.
Dalam menjalani profesinya itu, Kampi tetap mampu mempertahankan diri dari ajakan lelaki hidung belang untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan etika. Hal ini terutama selain kekuatan mental untuk mempertahankan diri juga disebabkan oleh aturan main yang berlaku di panembahan tempat ia ngalap berkah. Di panembahan Nyi Larik, kesucian adalah hal yang sangat penting. Bagi siapapun yang ngalap berkah di tempat itu harus mampu mempertahankan kesucian agar apa yang dicita-citakan dapat terkabul. Oleh karena itu hingga mencapai masa keemasannya, Kampi tidak tergoda oleh bujuk rayu yang mengarah pada perbuatan-perbuatan asusila.

2. Pandangan Kampi Setelah Mancapai Masa Keemasan
Setelah mencapai masa keemasannya, Kampi memiliki motivasi yang agak berbeda degan awal perjalanan kariernya sebagai penari lengger. Kalau pada awalnya ia berpikir menjadi lengger lebih sekedar sebagai sarana menuangkan minat dan bakat menari dan menyanyi (nyindhen), kini paling tidak ada tiga motivasi yang ada di dalam dirinya. Pertama, baginya berkesenian lengger adalah sarana ekspresi estetis yang hasilnya diharapkan dapat dinikmati oleh orang lain. Oleh karena itu apapun yang dilakukan di atas panggung haruslah mencapai standar kualitas yang tinggi dan mampu mengundang decak kagum penonton.
Sebagai konsekuensi dari motivasi ini, Kampi senantiasa berusaha tampil prima dalam setiap pementasannya. Ia kemudian mulai berupaya meningkatkan kualitas sajian meliputi teknik tarian, teknik vokal, rias, kostum, tata panggung, teknik iringan hingga pemanfaatan sarana pendukung seperti lighting dan sound sysem. Hampir semua aspek yang mendukung pementasan ia benahi dengan tujuan dapat tampil prima. Dengan cara demikian Kampi senantiasa mendapat tempat di hati penonton sekalipun tidak memasukkan unsur-unsur praktek prostitusi di dalamnya. Cara demikian justru dianggapnya lebih berhasil karena penampilannya dapat diterima oleh hampir seluruh lapisan masyarakat baik di desa maupun di kota, kaya maupun miskin, terpelajar maupun terbelakang. Dilakukannya kontrak produksi dengan tiga perusahaan rekaman membuktikan tingkat kualitas sajian seni telah diakui oleh masyarakat.
Kedua, Kampi memandang bahwa kesenian lengger adalah salah satu lahan profesi yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menggantungkan hidup. Pementasan tanggapan yang selama ini dilakukannya terbukti telah memberikan kontra produksi berupa finansial yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Honor yang diperoleh pada setiap pementasan dikumpulkan dan kemudian dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti membuat rumah permanen yang cukup representatif, perhiasan, berbagai macam peralatan elektronik, kendaraan bermotor dan berbagai jenis kebutuhan rumah tangga lainnya. Dengan kata lain melalui profesinya sebagai penari lengger, Kampi dapat meraih segala macam kebutuhan dan keinginan yang sebelumnya hanya sekedar sebuah impian.
Perubahan cara pandang Kampi terhadap kesenian lengger yang menempatkan kesenian ini sebagai seni pertujukan rakyat yang memiliki kekuatan yang mampu menyedot animo penonton untuk menyaksikan terbukti telah memberikan dampak yang cukup positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesenian ini. Cara pandang yang demikian telah menuntun adanya perubahan-perubahan dan pembenahan-pembenahan pola pertunjukan ke arah yang lebih menarik untuk dinikmati berbagai kalangan masyarakat. Hal demikian telah memberikan andil bagi eksistensi kesenian lengger itu sendiri.
Keuntungan yang didapat dari dilakukannya perubahan dan pembenahan pola pertunjukan lengger paling tidak dapat dilihat dari sisi internal dan ekstern. Dari sisi internal, kesenian lengger mendapat keuntungan pengayaan-pengayaan pola pertunjukan sehingga mampu tampil lebih elegan di masyarakat pendukungnya. Dari sisi eksternal, dapat dilihat perubahan pandangan masyarakat yang sebelumnya memandang lengger sebagai kesenian yang dilumuri kemaksiatan, lambat laun berbalik ke arah yang lebih positif yang memandang kesenian ini sebagai sajian estetis yang layak dinikmati oleh siapapun. Perubahan pandangan masyarakat ini telah memberikan feed back positif bagi seniman yang bergelut di bidang seni lengger. Para seniman pada akhirnya diakui martabat, kehormatan dan eksistensinya serta dihargai layaknya seniman pada cabang seni lain.
Motivasi ketiga dari Kampi dalam menjalani profesinya sebagai penari lengger adalah dalam upaya mengaktualisasikan diri di lingkungan sosialnya. Melalui media kesenian lengger ia bukan saja dapat mengekspresikan rasa keindahan dan mendapatkan uang dari pementasannya, tetapi juga mendapat kesempatan yang lebih banyak mengaktualisasikan dirinya menjadi seorang public figure. Sebagai seorang lengger terkenal, Kampi benar-benar telah mampu memanfaatkan cabang seni yang digelutinya itu sebagai sarana aktualisasi diri secara efektif. Masa lalu Kampi hanyalah seorang anak desa yang jauh dari keramaian kota. Tidak terbersit sedikitpun saat itu bahwa ia akan menjadi orang demikian terkenal di seantero Banyumas. Semua ini disebabkan selama menjadi seorang lengger ia senantiasa mersudi (selalu berusaha) agar dapat mencapai virousitas semaksimal mungkin sehingga mencapai derajat mengagumkan bagi siapapun yang menyaksikan pertunjukannya.

Kesimpulan
Dengan membaca keseluruhan isi tulisan ini dapat disimpulkan bahwa dalam perjalanan kariernya sebagai seorang lengger, Kampi telah berhasil memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesenian yang menjadi lahan profesinya itu. Seni lengger yang pada masa lalu identik dengan praktek-praktek prostitusi terselubung, di tangan Kampi berubah menjadi media ekspresi estetis yang mengagumkan. Kampi telah menjadi dalah seorang agent of change yang mampu membalikkan pandangan masyarakat dari sisi negatif ke sisi positif.
Kemampuan Kampi melakukan perubahan dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung antara lain: (1) besarnya minat dan bakat, (2) wajah yang menarik dan gandar yang cukup untuk menjadi lengger, (3) lingkungan keluarga yang menekuni profesi di bidang seni lengger, dan (4) tingkat apresiasi yang tinggi dalam diri Kampi karena pada masa kecilnya kesenian lengger cukup berkembang pesat di daerahnya. Keempat faktor ini telah menjadi modal awal yang sangat penting bagi Kampi untuk meniti profesinya sebagai penari lengger. Dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya Kampi telah berhasil mengubah pola pertunjukan lengger menjadi seni pertunjukan ansich yang tidak dibumbui praktek-praktek prostitusi layaknya yang dilakukan oleh sebagian lengger pada masa lalu.
Keberhasilan Kampi melakukan perubahan image masyarakat terhadap eksistensi lengger tidak lepas dari motivasi yang ada dalam dirinya dalam meniti profesi sebagai penari lengger. Motivasi awal Kampi terjun menjadi lengger adalah untuk menyalurkan minat dan bakatnya dalam bidang seni tari dan olah vokal. Pada saat itu Kampi masih berusia remaja (14 tahun) dan sebagai seorang anak yang hidup di daerah pedesaan ia belum memiliki pengalaman tentang perilaku seksual yang menjadi bagian dari sajian lengger di masa lalu. Secara kebetulan, panembahan yang menjadi tempatnya ngalap berkah (Panembahan Nyi Lurik) memiliki prasyarat bagi peziarah berupa kesucian lahir dan batin untuk dapat tercapai keinginannya. Dengan demikian pada kelanjutan kariernya, Kampi tidak memiliki kesempatan untuk melakukan praktek prostitusi ataupun “sekedar” melakukan hubungan seksual yang dilandasi suka sama suka. Profesinya sebagai lengger kemudian selalu berlangsung dalam situasi yang lebih mengedepankan kekuatan dan daya tarik keindahan melalui pementasan-pementasannya.
Setelah Kampi menuai kesuksesan sebagai seorang lengger, perubahan motivasi pun terjadi. Namun demikian di dalamnya dirinya tidak pernah timbul niat ataupun rencana untuk menjual diri berselubung kesenian. Motivasi Kampi dalam melanjutkan kariernya di bidang seni lengger ada tiga macam, yaitu (1) menjadikan kesenian lengger sebagai sarana ekspresi estetis yang mengagumkan, (2) menjadikan profesi lengger sebagai sarana memeroleh penghasilan materi guna mencukup kebutuhan hidupnya, dan (3) menjadikan kesenian lengger sebagai sarana aktualisasi dirinya dalam kehidupan sosial. Dengan ketiga motivasi ini, Kampi semakin getol meningkatkan skillnya hingga mampu mempertahankan eksistensinya sebagai lengger dan hingga kini namanya belum pudar di hati para penggemarnya.

1) Kunes adalah seorang penari lengger yang sangat terkenal di daerah Banyumas dan sekitarnya. Kunes berasal dari Jatilawang, Kabupaten Banyumas dan pada masa tuanya bertempat tinggal di Desa Sokaraja Lor, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas. Popularitas lengger Kunes berlangsung semenjak tahun 1960-an hingga akhir dekade tahun 1980-an.
2) Kasukan adalah kegiatan bersenang-senang dan atau bersuka ria yang dilakukan oleh seorang individu atau kelompok elite class di masyarakat.
3) Merungan adalah bentuk kegiatan kasukan berupa kegiatan minum-minum (minuman keras), bersenda gurau atau bermain kartu yang dilakukan oleh para priyayi di daerah Banyumas dan sekitarnya. Untuk memeriahkan acara ini biasanya mereka menanggap lengger barangan (mengamen) yang kebetulan lewat atau berada di sekitar tempat itu. Lengger ditanggap semalam suntuk dan di tengah-tengah sajian lengger, para priyayi menari bersama-sama dengan penari lengger.
4) Banceran adalah saat dimana seorang penonton menari bersama-sama dengan penari lengger dengan terlebih dahulu memberikan bill berupa uang. Dalam memberikan bill biasanya pembancer memasukkan uang ke dalam kemben penari atau menaruh di dalam tenong (alat tradisional untuk menyimpan makanan) yang sudah disediakan.
5) Ombyok adalah saat dimana seorang yang sedang mempunyai khajat (atau dikhajati) menari bersama dengan penari lengger. Acara ini mirip dengan banceran. Perbedaannya adalah pada ombyok, si empunya khajat tidak perlu membayar bill karena kewajiban pembayaran sudah termasuk pada biaya tanggapan.
6) Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, p. 214.
7) Sutton, R. Anderson, 1991, Traditions of Gamelan Music in Java: Musical Pluralism and Region Identity. New York: Cambridge University Press, P. 71.

8) Dalam tradisi lengger di Banyumas seseorang yang ingin belajar menjadi seorang penari lengger tidak belajar di padhepokan atau sekolah formal, melainkan dengan cara menjadi unthil (ada yang menyebut dengan istilah unthal atau unthul) yaitu calon lengger ikut pentas bersama lengger senior dan meniru teknik berkesenian yang dilakukan pada saat pementasan dari panggung ke panggung. Seorang unthil meniru teknik gerak, teknik vokal, rias dan kosum, bahkan kehidupan keseharian lengger senior yang diikutinya. Sambil terus mengikuti seniornya, ia biasanya juga mencoba mengembangkan kreasi sesuai dengan rasa seni yang dimilikinya sehingga pada akhirnya kualitas kesenimanan yang dimiliki akan berbeda dengan senior yang diikutinya. Apabila ia sudah memiliki kualitas yang memadai ada dua kemungkinan; terus bergabung dengan lengger senior yang diikutinya atau melepaskan diri untuk kemudian mendirikan grup tersendiri. Saat itulah seorang lengger yunior sudah memiliki jati diri.
9) Dalam tradisi lengger di Banyumas, seorang calon lengger harus bersedia mbarang (mengamen). Ini merupakan salah satu cara publiksasi seniman tradisional di Banyumas agar dikenal meluas oleh masyarakat.
10) Wawancara dengan Partadikarya, juru kunci makam Nyi Larik, tanggal 14 Oktober 2002.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS SEBAGAI KEKUATAN PARIWISATA

PRODUKSI BATIK BANYUMASAN