DARIAH: LENGGER LANANG ITU
Dariah lahir di desa Somakaton, kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas dengan nama Sadam, berjenis kelamin laki-laki. Ibu bernama Samini dan ayah bernama Kartameja yang hidup sebagai petani kecil. Dariah tidak dapat menyebutkan angka tahun yang pasti tahun berapa Dariah dilahirkan. Namun demikian Dariah menuturkan bahwa kakeknya pernah bercerita dirinya lahir tidak lama setelah Kongres Pemuda (4-4-2001). Dengan demikian diperkirakan Dariah lahir pada akhir tahun 1928 atau awal tahun 1929.
Pada umur 5 tahun Dariah ditinggal mati ayahnya, kemudian Dariah dan ibunya ikut dengan kakeknya, Wiryareja di desa yang sama. Wiryareja adalah juga seorang petani kecil dengan lahan pertanian yang tidak terlalu luas. Bersama kakeknya, Sadam (Dariah) tumbuh sebagai anak desa yang lugu. Dariah menerangkan, “Pada sekitar umur 8 tahun saya dikhitankan oleh kakek Wiryareja. Saya dikhitan sebelum datangnya Jepang, sekitar tahun 1942 (4-4-2001). Dengan asumsi Dariah lahir tahun 1929, maka saat pelaksanaan khitanan terjadi pada tahun 1938.
Pada saat marak-maraknya kathok karung (celana terbuat dari bahan karung) ada seorang pengembara (masyarakat setempat menyebutnya maulana) bernama Kaki Danabau datang ke rumah kakek Wiryareja. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dan dari mana asal Kaki Danabau, sebab nama tersebut lebih terkesan nama samaran. Kata “danabau” berasal dari kata “dana” yang berarti memberi dan “bau” berarti tenaga. “Danabau” berarti memberi bantuan tenaga, artinya Kaki Danabau menyediakan tenaganya guna membantu orang lain yang membutuhkan.
Kaki Danabau berdomisili di desa Somakaton dan bertempat tinggal di rumah Wiryareja. Di rumah kakek Dariah, Kaki Danabau membantu menggarap lahan pertanian, membersihkan kebun, dan membantu pekerjaan rumah tangga yang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Apa yang secara langsung diterima hanyalah makanan pokok yang disantapnya pada saat-saat tertentu saja. Menurut Dariah, Kaki Danabau jarang sekali makan nasi. Kaki Danabau sekedar makan beberapa potong ubi jalar rebus dalam satu hari, selebihnya hanya menghisap rokok klobot (daun jagung) yang dipadu dengan klembak menyan. Pada hari-hari tertentu Kaki Danabau pergi tanpa ada yang tahu ke mana arahnya dan kemudian datang lagi. Hampir satu tahun Kaki Danabau datang dan pergi ke rumah Wiryareja sehingga keberadaannya sudah seperti keluarga sendiri (15-4-2001).
Pada suatu ketika Kaki Danabau mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan sebelumnya. “Wirya, kae putumu si Sadam tah kedunungan indhang lengger. Angger gelem ginau bisa dadi lengger sing misuwur” (Wirya, cucumu si Sadam dirasuki indhang lengger. Kalau mau belajar dapat menjadi lengger yang terkenal), demikian kata Dariah mengenang masa lalunya (15-4-2001). Apa yang dikatakan oleh Kaki Danabau tidak lepas dari kenyataan yang ada. Dariah kecil meskipun berjenis kelamin laki-laki, namun suka lenggak-lenggok seperti seorang lengger dan suka nyindhen (menyuarakan vokal sindhenan) atau melagukan tembang-tembang Jawa. Kegemarannya menari dan menyanyi dilakukan sambil melakukan pekerjaan apa saja. Rengeng-rengeng (menyanyi dengan suara lirih) adalah salah satu kesenangannya selain menari seperti halnya yang dilakukan oleh lengger di atas pentas. Lagi pula di lingkungan keluarga Dariah ada dua orang yang pada masa mudanya menjadi ronggeng, yaitu neneknya yang bernama Mainah dan bibiknya yang bernama Misem. Darah seniman telah mengalir ke dalam dirinya sehingga tidak mustahil bila Dariah sangat calakan (cepat menangkap) tembang-tembang yang pernah didengarnya.
Dariah tidak tahu apakah benar-benar telah kerasukan indhang lengger atau sekedar terimajinasi kata-kata Kaki Danabau. Setelah mendengar kata-kata tersebut dalam diri Dariah yang kala itu masih bernama Sadam terjadi gejolak yang tidak terkendali. Sadam seperti dituntun oleh alam bawah sadar. Tanpa pamit dengan orang-orang tercinta dan tanpa tahu kemana tujuannya, Sadam pergi dari rumah tanpa berbekal apapun kecuali sedikit uang yang dimilikinya. Sadam berjalan sekedar mengikuti langkah kaki. Hal yang masih diingatnya adalah berjalan ke arah timur mengikuti jalan beraspal jalur Banyumas-Banjarnegara, kemudian berbelok ke kiri ke arah Purbalingga. Di daerah Bukateja Sadam sempat berhenti dan diberi air minum oleh warga setempat.
Dariah terus berjalan entah ke mana dan entah berapa hari sudah dilewatinya, hingga akhirnya sampai di sebuah pekuburan tua. Dariah melihat banyak batu lonjong dalam posisi berdiri (menhir) dan ada sebuah arca wanita cantik terbuat dari batu. Dariah belum juga tahu di wilayah mana dirinya berada. Dariah hanya dapat memasrahkan hidup dan matinya kepada Hyang Maha Pencipta, dan memohon kalau memang ditakdirkan menjadi seorang lengger maka dirinya akan menerima dengan sepenuh hati.
Di tempat yang sebelumnya sama sekali tidak dikenalnya, Dariah sama sekali tidak berniat bertapa atau bersemadi, tetapi betapa dirinya merasa tenang dan damai, sehingga merasa betah dalam waktu berhari-hari. Dariah merasa mendapatkan perlindungan dari kekuatan magis yang tidak pernah dimengerti. Dariah tidak dapat mengingat berapa hari dan berapa malam berada di makam tua tanpa makan dan minum. Menurut Dariah peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia atau sekitar tahun 1944 - 1945 (Dariah,15-4-2001).
Setelah berhari-hari Dariah berada di tempat pekuburan tua yang sangat mendamaikan hatinya, selanjutnya mulai terdengar pembicaraan orang-orang yang lewat di jalan yang ada di sisi barat tempat ia bersimpuh. “Kae sapa sih sing lagi tapa nang Panembahan Ronggeng?” (Siapa sih yang sedang bertapa di Panembahan Ronggeng?), tanya seseorang. Yang lain menjawab sekenanya, “Mbuh wong ngendi. Wong nang Panembahan Ronggeng mesthine ya lagi ngudi men bisa dadi ronggeng” (Entah orang mana. Orang di Panembahan Ronggeng mestinya ya sedang memohon agar dapat menjadi ronggeng). Dariah mulai paham bahwa selama beberapa hari ternyata dirinya berada di Panembahan Ronggeng yang merupakan tempat bagi orang memohon kepada Penguasa Alam agar dapat menjadi seorang ronggeng (Dariah,4-4-2001).
Panembahan Ronggeng merupakan tempat bersemadi bagi orang yang menginginkan dirinya menjadi ronggeng atau lengger, terdapat di desa Gandatapa, kecamatan Sumbang, kabupaten Banyumas. Dengan demikian Dariah telah berjalan mengelilingi tiga kabupaten, yaitu kabupaten Banyumas, Banjarnegara, dan Purbalingga, sebelum akhirnya kembali ke wilayah kabupaten Banyumas di lokasi Panembahan Ronggeng. Hingga pelaksanaan penelitian berlangsung, Panembahan Ronggeng masih sering dikunjungi dan dijadikan sebagai tempat semadi oleh anggota masyarakat yang menginginkan dirinya menjadi lengger.
Setelah merasa puas berada di Panembahan Ronggeng, selanjutnya Dariah melanjutkan perjalanan pulang. Untuk menuju ke tempat tinggalnya di Somakaton, Dariah tidak begitu saja tahu jalan yang harus dilalui. Dariah harus banyak bertanya kepada orang yang dijumpainya dalam perjalanan. Akhirnya Dariah sampai di kota Purwokerto. Di Purwokerto Dariah membelanjakan bekal uangnya untuk membeli perlengkapan yang dibutuhkan oleh seorang lengger dalam pementasan. Dariah berambut pendek, dibelinya satu buah gelung brongsong (konde yang dilengkapi semacam ikat kepala sehingga pemakaiannya tinggal diterapkan di kepala). Dariah juga membeli kemben (kain penutup dada), sampur, kain, dan keperluan lain.
Barang-barang hasil belanjaan yang dipersiapkan untuk perlengkapan lengger lalu dibawanya pulang. Dengan berjalan kaki akhirnya Dariah sampai di Somakaton. Betapa gemparnya seluruh keluarga, kerabat dan tetangga-tetangganya demi mengetahui Dariah pulang setelah sekian lama pergi entah kemana tanpa ada seorangpun yang tahu. Sesampainya di rumah Dariah menceritakan semua yang dialami selama kepergiannya. Seluruh keluarga dan kerabat menanggapi positif semua yang terjadi. Semua kerabat menganggap bahwa semua yang telah terjadi merupakan bagian dari proses yang harus dialami oleh Dariah untuk menjadi seorang lengger. Beberapa orang yang memiliki ketrampilan bermain gamelan dikumpulkan untuk berlatih bersama-sama dengan Dariah. Semenjak itulah Dariah menjadi seorang lengger. Menurut Dariah apa yang dialaminya itu terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang kemerdekaan Indonesia (antara tahun 1944 – 1945).
Pada umur 5 tahun Dariah ditinggal mati ayahnya, kemudian Dariah dan ibunya ikut dengan kakeknya, Wiryareja di desa yang sama. Wiryareja adalah juga seorang petani kecil dengan lahan pertanian yang tidak terlalu luas. Bersama kakeknya, Sadam (Dariah) tumbuh sebagai anak desa yang lugu. Dariah menerangkan, “Pada sekitar umur 8 tahun saya dikhitankan oleh kakek Wiryareja. Saya dikhitan sebelum datangnya Jepang, sekitar tahun 1942 (4-4-2001). Dengan asumsi Dariah lahir tahun 1929, maka saat pelaksanaan khitanan terjadi pada tahun 1938.
Pada saat marak-maraknya kathok karung (celana terbuat dari bahan karung) ada seorang pengembara (masyarakat setempat menyebutnya maulana) bernama Kaki Danabau datang ke rumah kakek Wiryareja. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dan dari mana asal Kaki Danabau, sebab nama tersebut lebih terkesan nama samaran. Kata “danabau” berasal dari kata “dana” yang berarti memberi dan “bau” berarti tenaga. “Danabau” berarti memberi bantuan tenaga, artinya Kaki Danabau menyediakan tenaganya guna membantu orang lain yang membutuhkan.
Kaki Danabau berdomisili di desa Somakaton dan bertempat tinggal di rumah Wiryareja. Di rumah kakek Dariah, Kaki Danabau membantu menggarap lahan pertanian, membersihkan kebun, dan membantu pekerjaan rumah tangga yang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Apa yang secara langsung diterima hanyalah makanan pokok yang disantapnya pada saat-saat tertentu saja. Menurut Dariah, Kaki Danabau jarang sekali makan nasi. Kaki Danabau sekedar makan beberapa potong ubi jalar rebus dalam satu hari, selebihnya hanya menghisap rokok klobot (daun jagung) yang dipadu dengan klembak menyan. Pada hari-hari tertentu Kaki Danabau pergi tanpa ada yang tahu ke mana arahnya dan kemudian datang lagi. Hampir satu tahun Kaki Danabau datang dan pergi ke rumah Wiryareja sehingga keberadaannya sudah seperti keluarga sendiri (15-4-2001).
Pada suatu ketika Kaki Danabau mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan sebelumnya. “Wirya, kae putumu si Sadam tah kedunungan indhang lengger. Angger gelem ginau bisa dadi lengger sing misuwur” (Wirya, cucumu si Sadam dirasuki indhang lengger. Kalau mau belajar dapat menjadi lengger yang terkenal), demikian kata Dariah mengenang masa lalunya (15-4-2001). Apa yang dikatakan oleh Kaki Danabau tidak lepas dari kenyataan yang ada. Dariah kecil meskipun berjenis kelamin laki-laki, namun suka lenggak-lenggok seperti seorang lengger dan suka nyindhen (menyuarakan vokal sindhenan) atau melagukan tembang-tembang Jawa. Kegemarannya menari dan menyanyi dilakukan sambil melakukan pekerjaan apa saja. Rengeng-rengeng (menyanyi dengan suara lirih) adalah salah satu kesenangannya selain menari seperti halnya yang dilakukan oleh lengger di atas pentas. Lagi pula di lingkungan keluarga Dariah ada dua orang yang pada masa mudanya menjadi ronggeng, yaitu neneknya yang bernama Mainah dan bibiknya yang bernama Misem. Darah seniman telah mengalir ke dalam dirinya sehingga tidak mustahil bila Dariah sangat calakan (cepat menangkap) tembang-tembang yang pernah didengarnya.
Dariah tidak tahu apakah benar-benar telah kerasukan indhang lengger atau sekedar terimajinasi kata-kata Kaki Danabau. Setelah mendengar kata-kata tersebut dalam diri Dariah yang kala itu masih bernama Sadam terjadi gejolak yang tidak terkendali. Sadam seperti dituntun oleh alam bawah sadar. Tanpa pamit dengan orang-orang tercinta dan tanpa tahu kemana tujuannya, Sadam pergi dari rumah tanpa berbekal apapun kecuali sedikit uang yang dimilikinya. Sadam berjalan sekedar mengikuti langkah kaki. Hal yang masih diingatnya adalah berjalan ke arah timur mengikuti jalan beraspal jalur Banyumas-Banjarnegara, kemudian berbelok ke kiri ke arah Purbalingga. Di daerah Bukateja Sadam sempat berhenti dan diberi air minum oleh warga setempat.
Dariah terus berjalan entah ke mana dan entah berapa hari sudah dilewatinya, hingga akhirnya sampai di sebuah pekuburan tua. Dariah melihat banyak batu lonjong dalam posisi berdiri (menhir) dan ada sebuah arca wanita cantik terbuat dari batu. Dariah belum juga tahu di wilayah mana dirinya berada. Dariah hanya dapat memasrahkan hidup dan matinya kepada Hyang Maha Pencipta, dan memohon kalau memang ditakdirkan menjadi seorang lengger maka dirinya akan menerima dengan sepenuh hati.
Di tempat yang sebelumnya sama sekali tidak dikenalnya, Dariah sama sekali tidak berniat bertapa atau bersemadi, tetapi betapa dirinya merasa tenang dan damai, sehingga merasa betah dalam waktu berhari-hari. Dariah merasa mendapatkan perlindungan dari kekuatan magis yang tidak pernah dimengerti. Dariah tidak dapat mengingat berapa hari dan berapa malam berada di makam tua tanpa makan dan minum. Menurut Dariah peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia atau sekitar tahun 1944 - 1945 (Dariah,15-4-2001).
Setelah berhari-hari Dariah berada di tempat pekuburan tua yang sangat mendamaikan hatinya, selanjutnya mulai terdengar pembicaraan orang-orang yang lewat di jalan yang ada di sisi barat tempat ia bersimpuh. “Kae sapa sih sing lagi tapa nang Panembahan Ronggeng?” (Siapa sih yang sedang bertapa di Panembahan Ronggeng?), tanya seseorang. Yang lain menjawab sekenanya, “Mbuh wong ngendi. Wong nang Panembahan Ronggeng mesthine ya lagi ngudi men bisa dadi ronggeng” (Entah orang mana. Orang di Panembahan Ronggeng mestinya ya sedang memohon agar dapat menjadi ronggeng). Dariah mulai paham bahwa selama beberapa hari ternyata dirinya berada di Panembahan Ronggeng yang merupakan tempat bagi orang memohon kepada Penguasa Alam agar dapat menjadi seorang ronggeng (Dariah,4-4-2001).
Panembahan Ronggeng merupakan tempat bersemadi bagi orang yang menginginkan dirinya menjadi ronggeng atau lengger, terdapat di desa Gandatapa, kecamatan Sumbang, kabupaten Banyumas. Dengan demikian Dariah telah berjalan mengelilingi tiga kabupaten, yaitu kabupaten Banyumas, Banjarnegara, dan Purbalingga, sebelum akhirnya kembali ke wilayah kabupaten Banyumas di lokasi Panembahan Ronggeng. Hingga pelaksanaan penelitian berlangsung, Panembahan Ronggeng masih sering dikunjungi dan dijadikan sebagai tempat semadi oleh anggota masyarakat yang menginginkan dirinya menjadi lengger.
Setelah merasa puas berada di Panembahan Ronggeng, selanjutnya Dariah melanjutkan perjalanan pulang. Untuk menuju ke tempat tinggalnya di Somakaton, Dariah tidak begitu saja tahu jalan yang harus dilalui. Dariah harus banyak bertanya kepada orang yang dijumpainya dalam perjalanan. Akhirnya Dariah sampai di kota Purwokerto. Di Purwokerto Dariah membelanjakan bekal uangnya untuk membeli perlengkapan yang dibutuhkan oleh seorang lengger dalam pementasan. Dariah berambut pendek, dibelinya satu buah gelung brongsong (konde yang dilengkapi semacam ikat kepala sehingga pemakaiannya tinggal diterapkan di kepala). Dariah juga membeli kemben (kain penutup dada), sampur, kain, dan keperluan lain.
Barang-barang hasil belanjaan yang dipersiapkan untuk perlengkapan lengger lalu dibawanya pulang. Dengan berjalan kaki akhirnya Dariah sampai di Somakaton. Betapa gemparnya seluruh keluarga, kerabat dan tetangga-tetangganya demi mengetahui Dariah pulang setelah sekian lama pergi entah kemana tanpa ada seorangpun yang tahu. Sesampainya di rumah Dariah menceritakan semua yang dialami selama kepergiannya. Seluruh keluarga dan kerabat menanggapi positif semua yang terjadi. Semua kerabat menganggap bahwa semua yang telah terjadi merupakan bagian dari proses yang harus dialami oleh Dariah untuk menjadi seorang lengger. Beberapa orang yang memiliki ketrampilan bermain gamelan dikumpulkan untuk berlatih bersama-sama dengan Dariah. Semenjak itulah Dariah menjadi seorang lengger. Menurut Dariah apa yang dialaminya itu terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang kemerdekaan Indonesia (antara tahun 1944 – 1945).
Comments
Post a Comment