PROFIL TOKOH BAWOR

A. Pendahuluan
Bawor adalah nama tokoh panakawan tokoh-tokoh ksatria dalam cerita yang disajikan melalui pertunjukan wayang kulit purwa gagrag Banyumas. Di dalam keluarganya, ia digambarkan sebagai anak tertua dari Kyai Lurah Semar dengan dua orang adik bernama Nala Gareng dan Petruk. Istilah panakawan yang disandang oleh Bawor—bersama Semar, Gareng dan Petruk—berasal dari kata “pana” yang berarti mengetahui dengan jelas dan “kawan” yang berarti teman atau sahabat. Panakawan diartikan sebagai seorang sahabat yang mengetahui dengan jelas tentang kelebihan dan kelemahan orang yang diikutinya.

Di dalam epos Ramayana, keempat panakawan ini mengabdi kepada Ramawijaya, seorang raja dari negeri Pancawati. Pada cerita Arjuna Sasrabahu, mereka mengabdi kepada Raden Sumantri. Sedangkan pada epos Mahabharata mereka mengabdi kepada Raden Harjuna. Keempat tokoh ini digambarkan sebagai lurah yang mengabdi kepada darah ksatria yang dalam hidupnya memiliki dharma membasmi watak angkara murka dari muka bumi.

Dalam pelaksanaan pemerintahan di Kabupaten Banyumas, tokoh Bawor dijadikan sebagai maskot. Bagi sebagian warga masyarakat Banyumas, dijadikannya tokoh Bawor sebagai maskot disebabkan tokoh ini dianggap sebagai tokoh wayang khas gagrag Banyumas yang merupakan penggambaran masyarakat Banyumas yang hidup dalam alur budaya tradisional-kerakyatan yang berada di luar kehidupan budaya negarigung yang berkembang di lingkungan pusat-pusat kerajaan Jawa di masa lalu. Suka atau tidak suka, tokoh memang dalam pergelaran wayang kulit purwa gagrag Banyumas sangat mewakili komunitas wong cilik di Banyumas yang merelakan dirinya bertampang jelek, rela menjadi dhagelan, hidup dalam kebodohan dan kesederhanaan, alur logika yang cenderung bertolak belakang dengan para priyayi di lingkungan kerajaan, lugu, glogok soar (mengemukakan apa saja yang diketahui tanpa menimbang efek positif/negatifnya), jujur, nrima ing pandum, cablaka (transparency).

Profil tokoh Bawor yang demikian memang dapat menjadi gambaran watak khas masyarakat pedesaan di Banyumas. Sisi positif tokoh ini adalah sifat dasar yang jujur, nrima ing pandum dan cablaka. Di sisi lain terdapat sisi negatif tokoh ini yaitu merelakan diri bertampang jelek, rela menjadi dhagelan, hidup dalam kebodohan dan kesederhanaan, lugu dan glogok soar (mengemukakan apa saja yang diketahui tanpa menimbang efek positif/negatifnya). Persoalan alur logika yang cenderung bertolak belakang dengan para priyayi di lingkungan kerajaan, dapat dinilai positif maupun negatif, tergantung pada konteks permasalahannya.

B. Nama
Nama “bawor” memiliki akar kata “wor” yang berarti “campur”. Biasanya tokoh Bawor dilengkapi menjadi “carub bawor”. Kata “carub” dan “bawor” memiliki makna yang sama, yaitu “campur”. Apabila kedua kata ini dimaknai sebagai jarwo dhosok maka dapat diartikan bercampur menjadi satu-kesatuan yang tidak terpisahkan.

Makna kata “bawor” atau “carub bawor” yang demikian dalam konteks pergelaran wayang kulit purwa gagrag Banyumas menunjukkan terjadinya asimilasi budaya yang sangat kental antara berbagai gaya dalam pertumbuhan seni wayang kulit purwa di Banyumas yang meliputi gaya Surakarta, Yogyakarta (Mataraman), Kedu, Pasisiran, Sunda, Lor Gunung dan Kidul Gunung. Hal ini menunjukkan pakeliran wayang kulit purwa gagrag Banyumas merupakan perpaduan dari berbagai gaya yang kemudian dituangkan kembali dalam bentuk yang berbeda yang dijiwai oleh latar belakang budaya Banyumasan yang bersumber dari pola kehidupan masyarakat petani.

Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan, Banyumas juga merupakan lokus budaya tersendiri yang dapat dibedakan dari budaya induknya; budaya Jawa. Kebudayaan Banyumas merupakan percampuran yang sangat kental antara budaya Jawa dan Sunda yang sangat dipengaruhi oleh masuknya kebudayaan Hindu-Budha, Islam dan budaya Barat. Dalam wacana cultural encounter, berbagai kutub budaya tersebut telah saling bertemu di wilayah Banyumas yang merupakan daerah marginal survival. Oleh karena itu budaya Banyumas hadir dalam nuansa kerakyatan yang memiliki warna-warna tertentu di dalamnya seperti warna Jawa, Sunda, Hindu-Budha, Islam dan Barat.

C. Tekstur Tubuh
Tekstur tubuh tokoh Bawor adalah berbadan tambun, bermata besar (melotot), bermulut lebar dan berjudat nonong. Tekstur tubuh yang demikian merupakan penggambaran warga masyarakat pedesaan yang bertampang jelek, namun umumnya lugu dan jujur. Dalam dunia pakeliran wayang purwa, tekstur tubuh yang dimiliki oleh Bawor adalah untuk membedakannya dengan tokoh bendara yang digambarkan sebagai priyayi yang berpendidikan, berpengalaman, kaya dan ningrat. Dengan tekstur tubuh seperti ini maka penonton wayang dengan mudah membedakan mana tokoh bendara dan mana tokoh kawula.

Dalam konteks perkembangan kebudayaan, tekstur tubuh tokoh Bawor memberikan makna bahwa seorang kawula atau batur seolah-olah memang dilahirkan dengan tampang jelek yang tidak mungkin lebih cakap dibanding dengan bendara atau tuannya. Keadaan fisik yang demikian selanjutnya akan mempengaruhi pola perilaku, sikap dan tindakan serta pola pikir dalam kehidupannya baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari komunitas sosial di lingkungannya.

D. Asal-usul
Asal-usul tokoh Bawor tidak jelas. Hal ini disebabkan tokoh ini merupakan tokoh rekaan yang bersifat lokalitas Banyumas. Tokoh ini dalam pakeliran wayang kulit gaya Surakarta-Yogyakarta dinamai Bagong (anak bungsu Kyai Lurah Semar), sedangkan di Sunda disebut Cepot atau Kacepot. Sama halnya dengan di Banyumas, baik di Surakarta, Yogyakarta maupun di Sunda, tokoh ini juga tidak jelas asal-usulnya.

Menurut cerita gotek (dari mulut ke mulut), tokoh Bawor hadir di dunia bukan dilahirkan melainkan diciptakan. Ketika Sanghyang Ismaya turun ke dunia dengan menjelma menjadi Semar, dunia masih awang-uwung, belum ada satupun makhluk hidup di dalamnya. Oleh karena itu kemudian Sanghyang Wenang menciptakan bayangan Semar menjadi sesosok manusia dengan postur tubuh yang relatif sama. Sosok manusia itu kemudian diberi nama Bawor yang bertugas menemani Semar. Atas dasar dari kejadian itu, kemudian Bawor diakui sebagai anak tertua dari tokoh Semar. Anak kedua dan ketiga adalah Nala Gareng dan Petruk.

E. Watak
Watak dasar tokoh Bawor pada dasarnya adalah lugu dan jujur. Namun demikian, sebenarnya keluguan dan kejujuran Bawor disebabkan oleh--jika dibandingkan dengan kaum bendara--tingkat pengetahuannya yang rendah. Ini terbukti dalam pergelaran wayang kulit gagrag Banyumas sering digambarkan akal-akalan yang dilakukan oleh Bawor ketika tokoh ini memiliki pengetahuan tertentu yang belum dimiliki oleh sesama panakawan atau bahkan bendara-nya. Tingkat pengetahuan yang rendah ini tidak identik dengan tingkat IQ maupun EQ yang rendah. Rendahnya tingkat pengetahuan tokoh Bawor lebih diakibatkan oleh karena tokoh ini lebih mewakili wong cilik yang dalam kehidupannya tidak mendapat pengalaman pengetahuan cukup dibanding dengan para priyayi di kota-kota kerajaan.

Tingkat pengetahuan yang rendah ini pula yang menyebabkan tokoh Bawor memiliki kebiasaan glogok soar dalam kehidupannya. Apa yang diketahuinya, biasanya akan dikabarkan kepada orang lain tanpa memperhitungkan untung-ruginya. Kebiasaan demikian sering kali telah menimbulkan efek yang tidak menguntungkan baik bagi dirinya maupun orang lain. Namun demikian, dengan keluguan, kesederhanaan dan kejujuran yang dimilikinya, Bawor selalu dapat dipercaya oleh saudara-saudaranya mupun para bendara-nya.

F. Spirit

Tokoh Bawor adalah gambaran masyarakat pedesaan di Banyumas dengan sifat dasar yang sangat dipengaruhi oleh kondisi kehidupan masyarakat yang miskin harta dan miskin informasi. Spirit Bawor adalah spirit jujur, lugu, nrima ing pandum dan cablaka. Namun demikian, spirit Bawor adalah spirit tampang jelek, dhagelan, hidup dalam kebodohan dan kesederhanaan, alur logika yang cenderung bertolak belakang dengan kehidupan kekinian, dan glogok soar.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS SEBAGAI KEKUATAN PARIWISATA

PRODUKSI BATIK BANYUMASAN