AKTUALISASI NILAI ESTETIK DALAM KONTEKS FUNGSI SOSIAL BERKESENIAN DI BANYUMAS

Kesenian merupakan bagian dari kebudayaan yang berkaitan erat dengan cita rasa dan merupakan hasil budidaya manusia sesuai dengan kodratnya yang hidup dengan selalu mengenal keindahan. Ernst Cassirer (1987:240) menyatakan bahwa seni merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling hakiki yang menjadikan manusia merasa lebih hidup. Oleh karena itu karya cipta seni sebagai perwujudan gagasan dan pengalaman estetis tidak dapat dibendung oleh kekuatan politik, tirani kekuasan, ekonomi maupun keadaan fisik pelakunya.
Berbagai ragam kesenian itu tumbuh berkembang secara turun-temurun secara berulang dengan pola-pola yang mengikat. Edi Sedyawati (1981:48) menyebut pertumbuhan kesenian yang demikian, “Menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya”. Sebagai sebuah tradisi, ragam kesenian itu diolah berdasarkan cita rasa masyarakat Banyumas dalam pengertian luas, termasuk nilai kebudayaan tradisi, pandangan hidup, pendekatan, falsafah, rasa etis serta estetis yang kemudian diterima dan diwariskan oleh angkatan tua kepada angkatan muda. Oleh karena itu dalam studi antropologis, melihat sebuah penampilan seni pertunjukan tradisional sama halnya dengan melihat isi otak pemilik kesenian tersebut.
Soedarsono (1972:88) mengungkapkan bahwa di dalam kesenian tradisional terkandung nilai-nilai yang berkaitan dengan masyarakat pendukungnya dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan masyarakat pendukungnya serta selama pandangan hidup pemiliknya tidak berubah. Nilai-nilai yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang bersifat ideal dan dianggap sebagai kebenaran hakiki yang menjadi acuan dalam hidup. Dan, cita rasa—sebagaimana dijelaskan Edi Sedyawati—merupakan perwujudan dari nilai tersebut. Dengan demikian segala bentuk, wujud, kekhasan dan spesifikasi yang dijumpai di dalam berbagai ragam kesenian tradisional di Banyumas lebih merupakan persoalan cara ungkap. Di balik semua itu terdapat wewaton (aturan dan/atau konvensi) hidup yang diyakini dan dianut bersama oleh setiap pribadi maupun kelompok masyarakat Banyumas.
Kessing yang berkesimpulan bahwa kesenian memiliki delapan fungsi sosial yaitu: (1) sarana kesenangan, (2) hiburan santai, (3) aktualisasi diri atau pernyataan jatidiri, (4) integratif, (5) terapi atau penyembuhan, (6) pendidikan, (7) pemulihan ketertiban, dan (8) sarana simbolik yang mengandung kekuatan magis (dalam S. Budhisantoso,1994:8). Kedelapan fungsi sebagaimana dijelaskan Kessing, masing-masing memiliki kontribusi bagi terbangunnya sebuah identitas kebudayaan. Demikian pula dalam konteks kehidupan masyarakat Banyumas, kedelapan fungsi tersebut telah mewujudkan suatu ragam identitas yang dapat membedakannya dengan kelompok masyarakat lain di luar wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. Dalam konteks bangunan identitas kebudayaan Banyumas, berbagai ragam kesenian yang ada dapat dibedakan ke dalam tiga fungsi, yaitu fungsi hiburan santai, fungsi ritual keagamaan, dan fungsi komersial.
Hiburan santai. Hampir semua jenis kesenian yang hidup di wilayah Banyumas memiliki fungsi sebagai sarana hiburan santai. Aspek logis pada fenomena demikian adalah kondisi masa lalu di Banyumas yang kehidupan masyarakatnya berpola tradisional-agraris. Hiburan santai merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat yang berpola kehidupan demikian. Menikmati pertunjukan kesenian adalah sarana melepas rasa penat di antara rutinitas mengolah sawah atau ladang warisan nenek-moyang yang telah berlangsung turun-temurun. Mereka memiliki cukup waktu pada malam hari. Saat itulah mereka melakukan berbagai aktivitas seni. Mereka bisa berperan sebagai pelaku atau sekedar penikmat.
Penikmatan seni untuk keperluan hiburan santai sangat erat hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan kesenangan. Dalam hal ini Sigmud Freud dengan tegas menjelaskan bahwa manusia melepaskan dorongan-dorongan libidonya bertransformasi melalui ego melalui berkesenian. Dalam proses transformasi ini terjadi sublimasi melalui pengerahan energi naluriah berupa dorongan egoistik intrinsik dari tujuan-tujuan seksual ke tujuan-tujuan yang lebih tinggi yang mempunyai kemanfaatan secara sosial serta sesuai dengan kegiatan, pikiran dan cita-cita yang disepakati bersama (Sigmud Freud,1986:33). Dengan demikian penikmatan seni tidak ubahnya pernyataan libido seksual. Untuk dapat menikmatinya, mereka dirangsang oleh imajinasi keindahan, adanya tindakan melepaskan dorongan libido, lalu terjadi pencapaian katarsis yang tidak lain adalah pelepasan emosi sehingga menyebabkan orang menjadi lega.
Pendapat Freud di atas didukung oleh pernyataan Herbert Read bahwa pencapaian kepuasan estetik dalam penikmatan karya seni dilakukan melalui proses eksternalisasi dorongan nafsu libido melalui sublimasi dengan perantara tindakan-tindakan estetik. Dorongan nafsu libido ini akan sampai pada titik klimaks sexual orgasm yang mengakibatkan terjadinya pelepasan emosi yang menyebabkan timbulnya rasa lega bagi pelakunya (H. Read, 1970:176-181). Rasa lega dan/atau puas inilah yang diperoleh ketika seseorang menikmati sajian kesenian. Kelelahan fisik akibat bekerja seharian tidak menjadi alasan untuk menolak kehadiran kesenian. Oleh karena itu sekalipun akitivitas keseharian telah menyedot sebagian besar energi fisik, mereka tetap menyempatkan diri untuk hadir ketika pada malam harinya terjadi pertunjukan kesenian. Melalui wahana hiburan santai seperti ini mereka mendapatkan kesenangan dan kepuasan batin yang hanya dapat diperoleh melalui jagad kesenian.
Ada banyak ragam kesenian yang lazim ditampilkan pada malam hari. Aneka ragam kesenian seperti aksimudha, angguk, rodat, dhames, calung, jemblung, lengger, munthiet dan slawatan Jawa adalah jenis-jenis kesenian yang tampil pada malam hari. Ragam kesenian yang ditampilkan pada malam hari umumnya menggunakan arena pentas berupa panggung yang dipersiapkan khusus, di teras rumah atau di balai-balai rumah. Hal tersebut dimaksudkan agar dengan mudah dapat dinikmati oleh semua yang hadir di tempat pementasan. Pertunjukan yang memiliki jumlah penonton banyak seperti aksimudha, angguk, rodat, dhames, dan lengger, umumnya dipentaskan di atas panggung model arena sehingga dapat ditonton dari berbagai penjuru. Sementara pertunjukan yang memiliki penonton terbatas seperti , calung jemblung, munthiet, ringgeng dan slawatan Jawa, umumnya dipentaskan di teras atau balai-balai rumah.
Pada siang hari terdapat pula pertunjukan kesenian yang biasanya ditanggap untuk keperluan-keperluan hajatan dan ritual-ritual tertentu. Beberapa pertunjukan pada siang hari yang lazim terjadi di Banyumas antara lain ebeg, lais, buncis, dan ujungan. Ragam kesenian ini biasanya dipentaskan di halaman rumah si penanggap yang dapat disaksikan oleh setiap warga masyarakat di sekitar tempat pertunjukan. Sementara untuk keperluan ritual, pertunjukan dilakukan di tempat-tempat terbuka seperti lapangan, sawah atau tegalan.
Melalui pertunjukan hiburan santai semacam ini, setiap pribadi masyarakat Banyumas berkesempatan mengaktualisasikan diri pribadinya. Seorang penari lengger berkesempatan menjadi seorang pujaan masyarakat karena paras wajahnya yang aduhai, tubuhnya yang menarik serta kemampuannya menari di atas panggung. Demikian pula, hal semacam ini sangat mungkin dialami oleh seorang pemain ebeg, badhud, penabuh kendhang, gambang dan lain-lain. Aktualisasi diri melalui jagad kesenian semacam ini telah digambarkan oleh Ahmad Tohari melalui novel Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari,1986). Di dalam novel tersebut dikisahkan Srintil, seorang ronggeng dari Dukuh Paruk telah berhasil merebut hati setiap penontonnya sehingga mampu menjadi ronggeng pujaan di Pecikalan. Bukan itu saja, penonton pun berkesempatan merepresentasikan dirinya ketika ia melakukan tindakan mbancer[1] pada pertunjukan lengger atau mendem atau wuru dalam pertunjukan ebeg, aplang, angguk dan buncis[2].
Pertunjukan rakyat di Banyumas juga berfungsi sebagai sarana integrasi sosial dan usaha pemulihan ketertiban sosial. Pertunjukan ujungan di daerah Gumelem, Banjarnegara, adalah salah satu contoh kasus aktivitas estetik yang digunakan untuk sarana integrasi sosial dan usaha pemulihan ketertiban sosial.[3] Pertunjukan ujungan—lebih mirip dengan olahraga saling adu pukul dengan menggunakan sebatang rotan—di Gumelem pada awalnya digunakan sebagai ajang adu kekuatan secara resmi yang diselenggarakan oleh pemuka adat sebagai akibat perebutan air irigasi antara warga Panerusan dan Gumelem. Melalui adu pukul rotan ini pihak yang kalah harus bersedia mengakui pihak yang menang untuk melakukan pembagian air irigasi secara adil. Dengan cara demikian, ternyata masyarakat Gumelem dan Panerusan tidak lagi berebut air. Mereka secara adil membagi air irigasi. Setiap datang musim kemarau panjang, acara ujungan selalu dilaksanakan untuk mencari pemenang pertandingan yang selanjutnya berhak melakukan pembagian air irigasi untuk sawah mereka.
Bagi setiap pribadi masyarakat Banyumas, pertunjukan kesenian juga dapat dijadikan sebagai sarana belajar. Kesenian adalah sarana pendidikan tentang hidup. Melalui simbol-simbol yang dipresentasikan melalui pertunjukan kesenian, penonton akan belajar tentang makna dari nilai-nilai hidup yang dianut bersama dalam kehidupan sosial. Kesenian laksana bahasa menjadi sarana untuk mengkomunikasikan ide-ide atau gagasan-gagasan seseorang kepada orang lain melalui media-media tertentu (J. Shepherd, et al., 1977). Melalui aspek komunikasi inilah, masyarakat dapat menangkap isyarat-isyarat simbolik yang tertuang melalui pertunjukan seni dan kemudian menemukan makna-makna tertentu yang disampaikan.
Ritual Keagamaan. Dalam konteks ritual keagamaan, aktivitas estetik dalam kehidupan masyarakat Banyumas banyak di antaranya yang dipergunakan untuk keperluan simbolik yang mengandung kekuatan magis. Edi Sedyawati menyatakan bahwa awalnya seni tradisi sebagai proses kebutuhan ritual dengan upacara-upacara tertentu saja, bahkan munculnya seni tradisi dari eksploitasi jiwa masyarakat yang sedang melakukan upacara ritual, sehingga pola-pola dan vokabuler yang terangkai sangat sederhana tanpa konsep ataupun terkomposisi terlebih dahulu (Edi Sedyawati, 1986:5). Bahkan Curt Sach dengan tegas membedakan fungsi tari secara garis besar menjadi dua macam, yaitu magis dan sebagai tontonan (Curt Sach, 1963:49). Berbagai ragam pertunjukan seperti ujungan, cowongan dan baritan, secara khusus dilaksanakan untuk keperluan ritual yang berhubungan dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat. Ketiga jenis pertunjukan ini merupakan sarana upacara minta hujan yang dilaksanakan pada setiap terjadi kemarau panjang.
Dalam fungsinya sebagai sarana ritual keagamaan, kesenian semacam ini memungkinkan berfungsi ganda yaitu sebagai sarana magi simpatetik dan magi proteksi (Mircea Eliade,1974). Namun demikian, di Banyumas hampir tidak pernah dijumpai model-model magi simpatetik melalui pertunjukan kesenian. Yang terjadi umumnya berupa magi proteksi, yaitu kegiatan magis religius yang melibatkan kesenian yang bertujuan untuk melindungi diri dari kekuatan alam dan/atau roh jahat yang dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia. Ritual semacam ini lebih diperuntukkan untuk tujuan penyuwunan (permohonan kepada Tuhan) untuk tujuan keselamatan, termasuk di dalamnya usaha terapi atau penyembuhan.
Kebutuhan komersial. Kesenian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan komersial sudah lama melekat dalam kehidupan masyarakat Banyumas. Pada masa lalu setiap kelompok kesenian yang baru berdiri, terlebih dahulu harus melakukan mbarang (mengamen). Dalam tradisi masyarakat setempat, mbarang merupakan laku yang harus dijalankan sebelum benar-benar go public ke dalam kancah profesional. Melalui laku mbarang ini sesungguhnya terdapat dua maksud yang sangat penting bagi kelompok kesenian yang bersangkutan. Pertama, melalui kegiatan mbarang, sebuah kelompok kesenian akan melakukan promosi dan publikasi. Pementasan yang dilakukan dari rumah ke rumah, di perempatan atau di tempat keramaian lainnya, membuka peluang bagi kelompok kesenian tersebut untuk dikenal oleh masyarakat. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, sebuah kelompok kesenian yang belum melakukan kegiatan mbarang dianggap belum serius, sehingga tidak mendapat permintaan pentas (tanggapan) dari masyarakat. Minimal, mereka harus mau melakukan pementasan gratis atau berbiaya murah di rumah kerabat keluarga yang memiliki hajat tertentu.
Kedua, melalui kegiatan mbarang, sebuah kelompok kesenian mendapatkan uang atau bahan pangan. Uang dan/atau bahan pangan yang telah terkumpul kemudian digunakan sebagai sarana upacara slametan. Saat itulah mereka menobatkan diri sebagai sebuah kelompok kesenian yang siap memenuhi permintaan tanggapan dari masyarakat.
Ketiga, melalui kegiatan mbarang, sebuah kelompok kesenian sesungguhnya sedang mempersiapkan mental mereka untuk menjadi tontonan. Bagi seorang warga masyarakat pedesaan, berdiri di atas pentas dengan disaksikan oleh puluhan atau bahkan ratusan pasang mata membutuhkan kesiapan tersendiri. Tanpa adanya kesiapan maka mereka akan nervous atau grogi yang menjadikan pertunjukan tidak mencapai tingkat kualitas yang diinginkan untuk mampu memenuhi selera estetik masyarakat pendukungnya.
Namun demikian, kegiatan mbarang ternyata tidak melulu dilakukan sebagai bagian dari laku yang harus dijalani untuk menuju ke arah profesional. Banyak di antara kelompok kesenian seperti lengger, ebeg, buncis dan lain-lain melakukan kegiatan mbarang pada saat musim paceklik (kelangkaan bahan makanan). Ini umumnya terjadi pada saat terjadinya kemarau panjang. Pada saat itulah kelompok-kelompok kesenian tersebut mendatangi daerah-daerah subur untuk melakukan kegiatan mbarang. Mereka mendapat bayaran setiap babak dalam pertunjukannya. Bayaran yang mereka terima dapat berbentuk uang, beras atau bahan pangan lainnya. Dengan cara demikian mereka mendapat uang atau bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya.
Kesenian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan komersial pada dasarnya adalah usaha memanfaatkan kesenian sebagai sarana ngupaya upa (mencari pangan) dan/atau ngupaya arta (mencari uang). Melalui berkesenian, minimal seseorang dapat ngupaya upa melalui kesenian yang menjadi lahan profesinya. Akan lebih baik apabila melalui kegiatan berkesenian, mereka tidak sekedar ngupaya upa, tetapi juga mencapai tataran ngupaya arta. Hal inilah yang kemudian menuntut personal yang terlibat di dalamnya untuk mampu menyajikan ragam kesenian yang memberikan kepuasan kepada penonton. Untuk itu, mereka meningkatkan kualitas sajian dari yang semula bersifat santai menjadi lebih serius, dari yang semula sederhana diarahkan ke tingkat yang lebih perfect.
Sebuah pertunjukan lengger barangan tentu memiliki tingkat kualitas sajian yang berbeda dengan kelompok lengger tanggapan. Apabila lengger barangan cukup melakukan pementasan dari rumah ke rumah, di perempatan jalan atau paling hebat ditanggap untuk keperluan marungan, maka lengger tanggapan hadir dalam acara khusus sebagai suguhan dalam hajatan. Dalam posisi demikian sebuah kelompok seni pertunjukan harus mampu memuaskan dan menciptakan rasa bangga si penanggap dan penontonnya. Oleh karena itu sangat masuk akal apabila pada masa lalu, seorang istri merasa bangga ketika suaminya mbancer bersama lengger pujaannya.
Kesenian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan komersial di Banyumas menapak mencapai puncaknya ketika bertebaran industri rekaman yang memasarkan hasil rekaman pertunjukan rakyat di Banyumas dalam bentuk kaset. Industri rekaman telah memberikan berkah tersendiri bagi kelompok-kelompok kesenian. Melalui pemasaran produk rekaman, kelompok-kelompok kesenian ini terangkat nilai jualnya. Sebuah kelompok kesenian yang berhasil memasuki industri rekaman, maka serta merta akan semakin digemari masyarakat. Dan, dengan demikian harga jual mereka di pasaran terangkat menjadi lebih tinggi.
---***---

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Tohari, 1986, Ronggeng Dukuh Paruk, Jakarta: PT Gramedia.

Budhisantoso, S., 1994, “Kesenian dan Kebudayaan”, dalam Wiled, Jurnal Seni STSI Surakarta, Tahun I, Juli 1994.

Cassirer, Ernst, 1987, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia, Jakarta: Gramedia.

Edi Sedyawati, 1981, Tari, Jakarta: Pustaka Jaya.

_____ et al, 1986, Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah tari, Jakarta: Direktorat Pengembangan Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Eliade, Mircea, 1974, Shamanism: Archaic Techniques of Ecstasy, Bollingen Series LXXVI, Translated from tha French by Willard R. Trask, Second Printing, Princeton: Princeton University Press.

Freud, Sigmud, 1986, Sekelumit Sejarah Psikoanalisa, terjemahan K. Bertens, Jakarta: PT. Gramedia.

Read, H., 1970, Education through Art, London: Faber and Faber.

Sach, Curt, 1963, World History of The Dance, terjemahan Bessie Sconberg, New York: WW. Norton and Company.

Shepherd, J., et al., 1977, Whose Music?: A Sociological of Musical Languages, London: Latimer.
Soedarsono, RM, 1972, Jawa dan Bali Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia, Yogyakarta: Gajahmada University Press.
[1] Mbancer adalah tindakan ngibing atau menari bersama penari lengger di atas panggung pertunjukan dengan syarat terlebih dahulu membayarkan sejumlah uang kepada penari lengger dengan cara menyematkannya di kemben yang dipakai atau di bokor/tenong yang sudah dipersiapkan.
[2] Di dalam pertunjukan ebeg, aplang, angguk dan buncis biasanya terdapat sesi mendem atau wuru, yaitu saat-saat para pemain kerasukan indhang (roh leluhur). Mereka melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam keadaan tidak sadar, misalnya: berlaku seperti kera, memakan kaca, tiduran di atas duri salak dan lain-lain. Pada sesi ini, para penonton sering kali ikut mendem bersama dengan pemain. Pada kesempatan itulah mereka juga berkesempatan ujuk kebolehan melakukan tarian-tarian dan atraksi-atraksi spontan yang tidak dapat dilakukan dalam keadaan sadar.
[3] Pertunjukan semacam ujungan juga dijumpai di Sumenep (Madura) dan Jawa Barat. Meskipun demikian kemiripan ini tidak dapat begitu saja dikatakan sebagai sebuah proses saling pengaruh-mempengaruhi antara yang satu dan yang lain.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS SEBAGAI KEKUATAN PARIWISATA