KEBIJAKAN PELESTARIAN DAN PEMBINAAN BAHASA JAWA DI KABUPATEN BANYUMAS

Pendahuluan

Dalam konteks perkembangan kebudayaan Jawa, Banyumas seringkali dipandang sebagai wilayah marginal[1] yang berkonotasi kasar, tertinggal dan tidak lebih beradab dibanding dengan wilayah negarigung yang dijiwai oleh konsep adiluhung. Di Banyumas hidup ragam budaya yang berkembang di kalangan rakyat jelata[2] yang jauh dari hingar-bingar kehidupan kraton. Kenyataan demikian menyebabkan kebudayaan Banyumas seringkali disub-kulturkan[3], dianggap kurang bermakna bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Jawa secara keseluruhan.
Di luar pemahaman minir tersebut, Banyumas sesungguhnya memiliki kekayaan khasanah budaya yang tidak ternilai harganya yang terangkum dalam wadah kebudayaan Banyumas. Khasanah budaya itu tumbuh dan berkembang di kampung-kampung, dusun-dusun atau dukuh-dukuh, sebagai wujud local genious dan menjadi bagian integral dari komunitas masyarakat penginyongan.[4] Perkembangannya tidak sekedar di wilayah administratif Kabupaten Banyumas. Di sebelah utara berbatasan dengan kebudayaan pesisir utara, di sebelah selatan mencapai pesisir kidul, di sisi timur berbatasan dengan kebudayaan kedu dan di sisi barat berbatasan dengan kebudayaan Sunda. Keberadaan kebudayaan Banyumas sangat spesifik dan khas, menandai eksistensi masyarakat kecil di antara hegemoni kebudayaan kraton yang berkembang di pusat-pusat kerajaan Jawa.
Keberadaan kebudayaan Banyumas memiliki arti yang sangat penting guna melihat perubahan kebudayaan Jawa dalam skala luas. Salah satu aspek kebudayaan yang dapat menjadi penanda bagi perubahan kebudayaan tersebut adalah dengan menunjuk pada aspek bahasa. Melalui aspek bahasa dapat dilihat gerak perubahan kebudayaan Jawa sejak Jawa Kuno, Jawa Pertengahan hingga Jawa Baru. Hal ini sebagaimana dikemukakan Paul Wilkinson bahwa pergerakan kebudayaan dapat dijadikan sebagai peta khusus yang memungkinkan untuk melihat lagi perubahan yang lebih luas di dalam kehidupan dan berpikir bagi perubahan di dalam bahasa menunjuk dengan jelas.[5] Pada kenyataannya, di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas secara tradisional berkembang dua bahasa, yaitu bahasa Jawa Baru (baku; bandhĂ©k; mengacu pada Surakarta-Yogyakarta) dan bahasa Jawa dialek Banyumasan (bahasa Banyumasan). Bahasa Jawa baru merupakan penanda perubahan kebudayaan dari Jawa lama (Kuno dan Pertengahan) ke arah yang lebih “modern” sebagaimana telah dimulai oleh masa pemerintahan Demak. Pembaruan bahasa Jawa kemudian berkembang pada masa Kasultanan Pajang dan mencapai puncaknya era Amangkurat IV (Mataram) yang terus berlanjut hingga masa pemerintahan Surakarta-Yogyakarta. Pembaruan itu merupakan usaha pihak kraton untuk menciptakan bahasa khusus yang secara tegas memisahkan priyayi dan wong cilik. Sementara bahasa Jawa Banyumasan dapat dijadikan sebagai penanda keberadaan kebudayaan Jawa lama, dan itu masih dapat dengan mudah dijumpai hingga saat sekarang.
Di sisi lain, perkembangan bahasa Jawa di Banyumas menguatkan asumsi tentang kuatnya batas teritorial. Van der Kroef mengajukan pendapat bahwa salah satu ciri pokok budaya masyarakat tradisional adalah kuatnya batas teritorial menyebabkan makin tegasnya batas-batas budaya yang dapat dikenali melalui bahasa.[6] Keberadaan bahasa Jawa (baku) di daerah Banyumas memberikan gambaran tentang batas teritorial perkembangan kebudayaan Jawa yang mencapai secara de facto mencapai wilayah ini. Hal ini terjadi karena paling tidak sejak masa pemerintahan Pajang, Banyumas telah menjadi wilayah kekuasaan kraton Jawa. Dalam lingkup yang lebih kecil, dapat dilihat pula batas teritorial perkembangan kebudayaan Banyumas dengan melihat batas-batas wilayah perkembangan bahasa Banyumasan.
Peristiwa perkembangan dua bahasa semacam ini sangat erat kaitannya dengan aspek-aspek sosial masyarakat Banyumas. Hasil penelitian Levi Strauss di Afrika menunjukkan bahwa struktur bahasa berhubungan dengan struktur sosial.[7] Bahasa sebagai sarana penuangan ide atau gagasan dalam proses komunikasi dan interaksi mencerminkan cara berpikir dan sikap batin masyarakat penggunanya. Dalam kaitannya dengan perkembangan bahasa dalam kehidupan masyarakat Banyumas, keberadaan bahasa Jawa baru dan bahasa Banyumasan yang dapat hidup berdampingan dapat digunakan untuk melihat lebih jauh ide atau gagasan serta karakteristik masyarakat Banyumas dalam konteks jaringan makna dalam kebudayaan.[8]
Seperti diungkapkan Marvin Harris semua bahasa manusia saling dapat diterjemahkan secara timbal balik, apa yang orang-orang pikirkan tentang perilaku dan pemikiran mereka dapat dipelajari melalui pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban.[9] Penterjemahan antara perilaku dan pemikiran tersebut dapat dilakukan melalui kajian secara heuristik dan secara hermeneutik. Pengkajian secara heuristik akan menghasilkan makna kata, fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi. Sedangkan pengkajian secara hermeneutik menghasilkan simbol dan makna yang disimbolkan dalam bahasa. Muaranya adalah diperolehnya pengetahuan yang dihasilkan melalui interpretasi.[10] Dari kedua cara tersebut dapat dilakukan akses kepada realitas kehidupan sosial melalui pemahaman arti bahasa yang bertujuan bagi tercapainya pengembangan inter-subyektivitas.
Dalam konteks manajemen pemerintahan, pemahaman terhadap bahasa dapat digunakan sebagai sarana untuk merealisasikan program yang “membumi”, yang selaras dengan basic thinking masyarakat di lokus-lokus yang menjadi sasaran pembangunan. Pelaksanaan pembangunan daerah dengan melihat aspek kebahasaan memberikan arti bahwa pelaksanaan pembangunan tidak sekedar terfokus pada hal-hal yang bersifat infra struktur. Model pembangunan demikian berkiblat pada tingkat perubahan suprastruktur yang pada akhirnya bermuara pada berbagai dimensi kehidupan, baik secara fisik maupun non-fisik. Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Banyumas tetap memperhatikan perkembangan kebudayaan—termasuk di dalamnya aspek kebahasaan—sebagaimana tertuang di dalam visi dan misi Kabupaten Banyumas, “...tetap mempertahankan kebudayaan Banyumas”.

Perkembangan Bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas

Dalam kehidupan masyarakat Banyumas, bahasa Jawa (baku) dan Bahasa Banyumasan sama-sama dipakai sebagai bagian tak terpisahkan di dalam proses sosial (social process). Bagi orang Banyumas, bahasa Jawa (baku) dimaknai sebagai bahasa yang halus, berbudi, penuh etika dan sopan santun. Sementara bahasa Banyumasan memiliki pengertian sebagai bahasa yang egaliter, sepadha-padha, merakyat dan penuh nuansa kesahajaan. Keduanya berjalan secara sinergis, saling melengkapi satu sama lain. Penggunaan bahasa Jawa tanpa bahasa Banyumasan seakan-akan berada di awang-awang. Sebaliknya, penggunaan bahasa Banyumasan tanpa bahasa Jawa memunculkan penilaian sebagai kurang sopan, kurang beradab.
Bahasa Jawa dan bahasa Banyumasan dalam kehidupan masyarakat Banyumas tidak sekedar berada dalam konteks komunikasi. Kehadiran dua bahasa ini memiliki keterkaitan erat dengan proses membangun sistem sosial, terutama berkaitan dengan konsep rukun dan hormat sebagaimana dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno.[11] Rukun adalah suatu keadaan sosial yang berlangsung tanpa gejolak. Setiap individu dalam lingkungan sosial harus mampu membawa diri senantiasa menghargai hak-hak orang lain. Ungkapan, “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”, memberi makna bahwa hidup rukun akan memberikan kontribusi bagi tercapainya kesentausaan, kekuatan; dan perpecahan akan bermuara pada runtuhnya suatu sistem sosial. Sementara hormat adalah sebuah sikap dan atau keadaan psikologis yang ditunjukkan oleh seorang atau sekelompok orang yang memandang orang atau kelompok lain bernilai, bermakna dan berada dalam posisi tidak lebih rendah dibanding diri dan kelompoknya.
Implikasi konsep rukun dapat dijumpai pada penggunaan bahasa Banyumasan. Pada saat seorang anggota masyarakat Banyumas memandang lawan bicaranya dalam level yang sederajat, maka ia akan menggunakan bahasa Banyumasan. Dengan menggunakan bahasa Banyumasan, komunikasi di antara mereka terasa lebih nyaman, raket (dekat) dan semedulur (penuh nuansa persaudaraan). Mereka dapat berinteraksi secara efektif tanpa adanya perbedaan kasta ataupun strata sosial.
Kecenderungan demikian erat kaitannya dengan keberadaan masyarakat Banyumas yang berada di lokus yang jauh dari pusat-pusat kerajaan Jawa. Mereka umumnya hidup dalam batas-batas gradasi strata sosial yang tidak terlalu jelas. Kecenderungan kehidupan mereka adalah berada dalam suasana egaliter dan kesahajaan. Konsep hidup yang demikian tertuang dalam bahasa yang mereka pakai, yakni bahasa Banyumasan. Menurut Yusmanto, bahasa Banyumasan memiliki ciri-ciri antara lain: (1) berkembang secara lokal hanya di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas, (2) memiliki karakter lugu dan terbuka, (3) tidak terdapat banyak gradasi, (4) digunakan sebagai bahasa ibu oleh sebagian besar masyarakat Banyumas, (5) mendapat pengaruh bahasa jawa kuno, Jawa tengahan dan bahasa Sunda, (6) pengucapan konsonan di akhir kata dibaca dengan jelas (selanjutnya sering disebut ngapak-ngapak), dan (7) pengucapan vokal a, i, u, e, o dibaca dengan jelas.[12] Dalam percaturan sosial yang lebih luas, ciri-ciri semacam ini telah menjadi salah satu penanda yang dapat dengan mudah dikenali oleh kelompok masyarakat lain.
Konsep hormat dijalankan oleh masyarakat Banyumas pada saat menggunakan bahasa Jawa (baku) dalam proses komunikasi. Kalangan penginyongan di Banyumas sadar betul bahwa di lingkungan sosial terdapat individu ataupun kelompok yang memiliki strata sosial yang lebih tinggi. Kelompok terakhir ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari trah kraton dan pegawai pemerintah (ambtenaar) yang selanjutnya lazim disebut dengan istilah priyayi.[13] Mereka wajib dihormati. Dan, salah satu wujud penghormatan itu adalah melalui penggunaan bahasa Jawa (baku).
Usaha penghormatan kepada kalangan priyayi sepertinya mutlak adanya. Setiap pribadi masyarakat yang berasal dari kalangan penginyongan berusaha sekuat-kuatnya untuk dapat basa (berkomunikasi dengan bahasa baku). Apa saja di-basa-kan, termasuk nama-nama tempat yang semestinya tidak diucapkan dalam bahasa baku. Sehingga muncullah bahasa baku desa seperti dijumpai pada kata “Toya Jene” (Banyumas), “Sokaraos” (Sokaraja), “Lepen Segawon Kendel” (Kalisuren), dan lain-lain. Meskipun ditinjau dari sisi tata bahasa hal itu salah, pada kenyataannya kosa kata semacam ini masih terus hidup dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan masyarakat pedesaan.

Kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas di Bidang Kebahasaan

Kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas di bidang kebahasaan menjadi bagian dari kebijakan di bidang kebudayaan yang meliputi aspek-aspek antara lain: (1) kesejarahan, (2) nilai tradisional, (3) kepercayaan terhadap Tuhan YME, (4) kesenian, (5) permuseuman, (6) kepurbakalaan, (7) kebahasaan dan (8) kesusastraan. Pemilahan kebudayaan menjadi delapan aspek ini sebenarnya lebih berorientasi pragmatis untuk memudahkan pelaksanaan program di lapangan, sehingga berbeda dengan pembagian kebudayaan menurut kajian ilmu pengetahuan.[14] Secara teknis, Dinas yang secara khusus memiliki tugas pokok dan fungsi di bidang kebudayaan adalah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Sesungguhnya ada pula Dinas lain yang memiliki kedekatan tugas dengan bidang kebudayaan, yaitu Dinas Pendidikan yang memiliki tugas pokok dan fungsi di bidang pendidikan. Namun apabila jangkauan pembatasan kebudayaan dilakukan secara makro, pada prinsipnya setiap Dinas/Badan atau lembaga pemerintah lainnya dapat diasumsikan memiliki keterkaitan dengan kebudayaan. Karena pada dasarnya kebudayaan meliputi keseluruhan daya-upaya manusia dalam mensiasati dan mengaktualisasikan hidupnya.
Substansi kebijakan pelestarian bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas diarahkan pada dua hal, yaitu:
1. Pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa (baku). Program pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas dilaksanakan dalam kerangka mendukung program pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah Propinsi Jawa Tengah. Hal ini sejalan dengan usaha yang dilakukan oleh Propinsi Jawa Tengah, sebagai pusat persebaran kebudayaan Jawa yang hingga saat ini secara terus-menerus melaksanakan program pembangunan di bidang kebudayaan yang salah satu perwujudannya adalah melalui pelestarian dan pembinaan kebahasaan. Kabupaten Banyumas sebagai salah satu bagian dari wilayah Propinsi Jawa Tengah merasa wajib turut aktif memberikan kontribusi bagi kesuksesan program ini.
2. Pelestarian dan pembinaan bahasa Banyumasan. Program pelestarian dan pembinaan bahasa Banyumasan dilaksanakan dalam kerangka pelestarian warisan budaya, menciptakan kekhasan, spesifikasi dan karakter masyarakat Banyumas di tengah pergulatan sosial dalam skala luas. Program ini berorientasi pada usaha mengukuhkan identitas Banyumas. Artinya, tolok ukur keberhasilan program pelestarian dan pembinaan bahasa adalah terciptanya masyarakat Banyumas yang memiliki identitas yang dijiwai oleh ragam kebudayaan lokal warisan leluhur.
Pelaksanaan kebijakan pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas dilaksanakan melalui berbagai dimensi, baik yang dilaksanakan secara formal maupun non-formal. Pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa yang dilaksanakan secara formal meliputi berbagai program kegiatan kebahasaan yang dilaksanakan oleh dinas dan lembaga Pemerintah yang membidangi permasalahan kebahasaan. Adapun secara non-formal berupa usaha memberikan motivasi atau dorongan dan fasilitasi kegiatan kebahasaan yang dilaksanakan oleh individu atau kelompok masyarakat.

1. Program Kebahasaan
Program kebahasaan merupakan bagian tugas dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Banyumas yang secara teknis ditangani oleh Bidang Kebudayaan, khususnya pada Seksi Kesenian dan Sastra. Acuan utama dari pelaksanaan program kebahasaan adalah Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten Banyumas yang disusun untuk jangka waktu lima tahunan. Pada saat sekarang ini, Renstra Kabupaten Banyumas telah dimulai sejak tahun 2002 dan akan selesai pada akhir tahun anggaran 2006 yang visi-misinya secara tegas mencantumkan usaha pelestarian kebudayaan Banyumas.
Wujud keseriusan Pemerintah Kabupaten Banyumas terhadap penanganan kebahasaan adalah tertuangnya secara eksplisit persoalan pelestarian kebudayaan lokal. Keberhasilan program kebahasaan sebagai bagian integral dari pelaksanaan program di bidang kebudayaan tentu saja menjadi salah satu jangkauan yang ingin dicapai hingga akhir tahun 2006 nanti. Tolok ukur keberhasilan program ini adalah apabila hingga akhir tahun 2006 kebudayaan Banyumas—termasuk bidang kebahasaan—terus berlangsung secara kontinyu sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat Banyumas.
Dasar pemikiran dari pelaksanaan program ini adalah keinginan untuk mencapai kehidupan masyarakat Banyumas yang dinamis dan memiliki identitas di tengah arus globalisasi yang terjadi sekarang ini. Langkah demikian ternyata juga dilakukan oleh negara-negara lain yang menginginkan terciptanya identitas nasional mereka. Misalnya di Jepang, desakan untuk moderenisasi sebagai suatu Westernisasi menimbulkan tiga tanggapan yang ditandai dengan munculnya isu-isu seperti kokuminsei (karakter nasional), kokusui (inti sari nasional), kokutai (struktur nasional), dan bahkan kokugaku yang mempunyai pengertian fraksi kanan, konservatif atau seorang reaksioner.[15] Semua ini memberikan petunjuk bahwa dalam wacana modernisasi yang sering diartikan sebagai Westernisasi, perlu ada usaha konkret guna menciptakan ketahanan budaya tanpa harus steril dari pengaruh asing. Apabila modernisasi berjalan begitu saja tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lokal, niscaya perubahan yang terjadi akan tercerabut dari akar budaya masyarakatnya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Banyumas yang tidak mungkin lepas dari pengaruh Westernisasi tetap dapat berlangsung dengan lancar dengan diimbangi kesadaran budaya masyarakatnya. Semua ini merupakan tuntutan yang mengharuskan adanya respon positif dari semua pihak. Persoalannya adalah bahwa keberhasilan pembangunan di bidang kebudayaan tidak dapat diukur secara fisik seperti membangun gedung, jalan atau jembatan. Pembangunan di bidang kebudayaan juga tidak dapat diukur dengan seberapa besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masuk dari sektor ini. Ukuran keberhasilan pembangunan di bidang kebudayaan lebih pada suprasutruktur yang kemudian secara sekunder berimbas pada infrastruktur. Otak manusia Banyumaslah yang digarap melalui program ini. Sehingga ukuran keberhasilan program kebudayaan adalah ketika manusia Banyumas lebih berbudaya, lebih beradab, lebih bermartabat serta memiliki kesadaran budaya untuk terus-menerus secara positif mambangun karakter pribadi dan kelompoknya di tengah perkembangan jaman yang mengarah pada multifaset seperti sekarang ini.

2. Pendidikan
Di sektor pendidikan, pelaksanaan pelestarian dan pembinaan bahsa Jawa sangat mungkin dilaksanakan secara efektif. Melalui sekolah-sekolah dapat diajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya pengetahuan tentang bahasa Jawa. Semua itu dapat berlangsung dengan dukungan instrumen-instrumen yang ada di dalam pelaksanaan pendidikan, mulai dari kurikulum, perangkat hukum yang mengatur pengelolaan pendidikan, media belajar, guru, hingga fasilitas yang tersedia di setiap lembaga pendidikan/sekolah.
Pada kenyataannya, di Kabupaten Banyumas bahasa Jawa diajarkan mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga SLTA. Pada level SD dan SMP, bahasa Jawa diajarkan dalam dua mata pelajaran. Pada pelajaran Bahasa Daerah diajarkan bahasa Jawa baku. Siswa selain diarahkan untuk mendalami bahasa Jawa dari sudut ilmu bahasa, juga dituntut untuk mampu berbahasa Jawa (baku) dengan baik. Di sisi lain, pemelajaran bahasa Jawa juga dilakukan melalui pelajaran Muatan Lokal (Mulok) Budaya Banyumasan. Pada pelajaran ini, secara praktek diajarkan bahasa Banyumasan yang diarahkan untuk dipergunakan sebagai bahasa ibu. Dengan cara demikian, diharapkan kontinuitas bahasa Banyumasan akan terus terjaga.
Pemerintah Kabupaten Banyumas juga memberikan fasilitas bagi perorangan ataupun kelompok organisasi yang menyelenggarakan pelatihan kebahasaan. Sebagai contoh, di Kabupaten Basnyumas terdapat Yayasan Papan Mas, sebuah yayasan yang menghimpun para panatacara basa Jawi yang lazim digunakan pada upacara-upacara pernikahan. Yayasan ini secara aktif turut serta dalam pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa baku, khususnya yang berkaitan dengan ke-panatacara-an dengan cara menyelenggarakan kursus panatacara. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Banyumas telah memberikan fasilitasi dan keleluasaan bagi yayasan tersebut untuk menyelenggarakan usahanya itu. Cara demikian mengandung maksud agar pertumbuhan dan perkembangan bahasa Jawa dapat terus berlanjut dalam kehidupan sosial masyarakat Banyumas.

3. Kehidupan sosial
Dalam kehidupan sosial, kegiatan pelestarian dan pembinaan kebahasaan dilakukan melalui berbagai cara, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas maupun oleh masyarakat secara mandiri. Kegiatan pelestarian dan pembinaan kebahasaan yang dilakukan oleh Pemerintah dapat dilihat melalui Program Kebahasaan pada Bidang Kebudayaan Disparbud Kabupaten Banyumas. Selama lima tahun (2002-2006), di lembaga ini telah dilaksanakan berbagai kegiatan, antara lain:
a. Pembinaan kebahasaan di kecamatan-kecamatan dengan melibatkan lembaga bahasa, organisasi kesenian dan organisasi kebudayaan di masyarakat, dilaksanakan setiap tahun anggaran.
b. Lomba Kakang-Mbekayu Banyumas, diselenggarakan setiap tahun anggaran.
c. Penyusunan dan penerbitan ungkapan tradisional Banyumas, tahun 2002.
d. Lomba Lawak Banyumasan, tahun 2004.
e. Penyusunan dan penerbitan parikan di Banyumas, tahun 2004.
f. Penyusunan dan penerbitan wangsalan Banyumasan, tahun 2005.
Adapun kegiatan pelestarian dan kebahasaan yang dilaksanakan oleh masyarakat antara lain:
a. Maraknya persebaran organisasi macapatan/muyen di setiap lokus daerah.
b. Maraknya persebaran panatacara mantenan yang menggunakan bahasa Jawa standar.
c. Pembacaan buku Banyumasan yang dilaksanakan oleh RRI Purwokerto setiap Rabu malam.
d. Lomba Lawak Banyumasan oleh Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas, tahun 2006.
e. Mulai tumbuhnya lembaga-lembaga bahasa di berbagai wilayah kecamatan.
f. Terjaganya kontinuitas bahasa Banyumasan sebagai sarana penuangan ide-ide estetik. Misalnya: teks syair pada pertunjukan kesenian, puji-pujian di langgar/masjid, sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan keseharian, teks karya sastra, cerita lisan dan lain-lain.

Orientasi ke depan

Kebijakan pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas masih akan terus berlanjut, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Cita-cita yang hendak dijangkau oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas di masa depan adalah bahasa Banyumasan diharapkan dapat menjadi spirit/ruh bagi pelaksanaan kegiatan ekonomi, politik dan sosial-budaya masyarakat Banyumas secara keseluruhan. Adapun bahsa Jawa (baku) diharapkan akan terus berkembang secara natural sebagai implikasi dari prinsip hormat yang menjadi salah satu ciri masyarakat Banyumas. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, arah ke depan kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas di bidang kebahasaan meliputi:
1. Struktural dan Nonstruktural. Pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa akan dilaksanakan di tingkat struktural dan nonstruktural di lingkungan pemerintahan Kabupaten Banyumas. Di tingkat struktural, peran lembaga pemerintah di bidang kebahasaan perlu lebih diefektifkan lagi, mulai dari perencanaan program, pelaksanaan program, evaluasi pelaksanaan program hingga dampak dari pelaksanaan program. Cara demikian diarahkan untuk menciptakan program-program pembangunan yang sinergis antara bidang yang satu dengan bidang yang lain, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi ego-sektoral antar dinas/instansi. Sementara secara non-struktural, perlu lebih ditingkatkan lagi peran lembaga atau organisasi informal di bidang kebahasan yang ada di masyarakat. Dalam hal ini peran Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas dan lembaga-lembaga bahasa yang ada perlu ditingkatkan.
2. Regulasi. Untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan bahasa Jawa (baku) dan bahasa Banyumasan yang kondusif perlu adanya regulasi dari Pemerintah melalui program kebahasaan. Regulasi tersebut mencakup kebijakan di bidang kebahasan serta pendanaan berbagai kegiatan kebahasaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan peluang secara nyata bagi kontinuitas pertumbuhan dan perkembangan bahasa daerah (Jawa dan Banyumasan) yang diarahkan sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat Banyumas. Adapun di bidang pendanaan, perlu dilakukan terobosan bagi kucuran dana yang dialokasikan untuk kegiatan pelestarian dan pembinaan bahasa daerah, baik dari APBD Kabupaten, Propinsi, Pusat maupun dari bantuan luar negeri.
3. Pelayanan Umum. Pemerintah Kabupaten Banyumas akan terus berupaya meningkatkan pelayanan umum kepada masyarakat yang hendak memberikan andil di bidang kebahasan, khususnya yang ditujukan untuk pelestarian dan pembinaan bahasa daerah (Jawa dan Banyumasan). Substansi pelayanan umum tersebut adalah meningkatkan pemberian fasilitasi dan keleluasan bagi setiap anggota masyarakat dan atau kelompok sosial yang akan melaksanakan program pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa.
4. Pemberdayaan. Pada masa mendatang perlu lebih digalakkan upaya pemberdayaan bahasa Jawa, baik bahasa Jawa baku maupun bahasa Banyumasan. Pemberdayaan bahasa Jawa baku yang selama ini telah dilakukan oleh sebagian masyarakat yang berprofesi sebagai panatacara, perlu lebih ditingkatkan variasinya sehingga memungkinkan merambah bidang-bidang profesi lain, seperti di bidang kesenian, komunikasi, publikasi dan lain-lain. Demikian pula, bahasa Banyumasan perlu lebih diberdayakan bagi berbagai kegiatan profesi seperti sastra, musik, lawak, dan lain-lain. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Banyumas mendukung sepenuhnya kepada Ahmad Tohari yang telah berhasil menerbitkan novel Ronggeng Dukuh Paruk dalam versi bahasa Banyumasan.

Kesimpulan

Dengan membaca keseluruhan isi tulisan ini maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas ternyata tidak lepas dari persoalan kehidupan sosial secara utuh. Persoalan bahasa tidak sekedar persoalan komunikasi. Bahasa adalah sarana penyampaian ide atau gagasan yang berkaitan erat dengan pola pikir dan pola masyarakat penggunanya. Pemahaman terhadap keberadaan bahasa Jawa dan bahasa Banyumasan dalam kehidupan orang Banyumas memberikan arti bahwa selain masyarakat Banyumas memiliki kekayaan ragam budaya, juga memiliki konsep hidup yang sangat selaras dengan perkembangan jaman. Pemahaman tentang hal ini, dalam konteks pemerintahan dapat digunakan sebagai salah satu acuan di dalam melaksanakan pembangunan daerah.
Pelaksanaan kebijakan pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa tidak mungkin hanya diserahkan kepada Pemerintah saja. Dalam hal ini, peran serta masyarakat akan memberikan kontribusi yang cukup nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas, yang meliputi bahasa Jawa halus dan bahasa Banyumasan. Oleh karena itu, agar program ini dapat dilaksanakan dengan lancar dan mencapai target sasaran yang direncanakan, perlu adanya kerjasama secara sinergis, antara Pemerintah, organisasi dan atau lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan masyarakat selaku stakeholders di bidang kebahasaan.

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Tohari, 2005, “Andai Tidak Disubkulturkan”, dimuat dalam Kolom Pringgitan Lembar Sang Pamomong Harian Umum Suara Merdeka, Semarang, Tahun ke-56 Nomor 69 tanggal 24 April 2005.

Bellah, Robert M., 1999, Cultural Identity and Asian Modernization, Kokugakuin University: Institute for Japanese Culture and Classics.

Geertz, Clifford, 1973, The Interpretation of Culture, New York: Basic Book.

_____, 1973, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.

Harris, Marvin, 1979, Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture, New York: Random House.

Kleden, Ignas, 1988, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Cetakan Kedua, Jakarta: LP3ES.

Koentjaraningrat, 1984, Manusia dan Kebudayaan, Seri Etnografi, Jakarta: Pustaka Jaya.

Kroef Jm., Van der, 1956, Indonesia in the Modern World, Bandung: Masa Baru Ltd.

Levi-Strauss, C., 1967, Structural Anthropology, New York: Basic Book.

Lindsay, Jennifer, 1991, Klasik, Kitsch, dan Kontemporer, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Magnis Suseno, Franz, 1993, Etika Jawa, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Rencana Strategis Kabupaten Banyumas 2002-2006.

Wilkinson, Paul, 1971, Key Consepts in Political Science, Social Movement, London: Pall Mall Press Ltd.

Yusmanto, 2004, “Strategi Kebudayaan, Orientasi Praktis Penanganan Kebudayaan Banyumas”, makalah disajikan pada Sarasehan Peningkatan Profesionalisme Pamong Budaya yang diselenggarakan oleh Paguyuban Semar, bertempat di Disparbud Kabupaten Banyumas, 2 Januari 2004.

_____, 2005, “Spirit Panginyongan di Tengah Hegemoni Kebudayaan Kraton”, Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
[1] Baca Koentjaraningrat, 1984, Manusia dan Kebudayaan, Seri Etnografi, Pustaka Jaya, Jakarta.
[2] Lindsay, Jennifer, 1991, Klasik, Kitsch, dan Kontemporer, Gajahmada University Press, Yogyakarta, hal. 46, menyatakan bahwa istilah rakyat mempunyai pengertan yang dianggap rendah. Istilah istana mengandung pengertian sesuatu yang dianggap bagus, utama, indah, agung dan hebat yang sering diidentikkan dengan kata adiluhung.
[3] Ahmad Tohari, 2005, “Andai Tidak Disubkulturkan”, dimuat dalam Kolom Pringgitan Lembar Sang Pamomong Harian Umum Suara Merdeka, Semarang, Tahun ke-56 Nomor 69 tanggal 24 April 2005 hal.19.
[4] Yusmanto, 2005, “Spirit Panginyongan di Tengah Hegemoni Kebudayaan Kraton”, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Surakarta, menyatakan bahwa penginyongan adalah sebuah konsep hidup yang berisi cara berpikir orang Banyumas di tengah kehidupan sosial budaya yang heterogen dan campur aduk. Ada dua sikap dasar di balik makna kata penginyongan. Pertama, sikap merendah, tidak ngungkul-ungkuli dan sikap semadya. Kedua, sikap jujur, mengakui kekurangan maupun kelebihan yang ada di dalam dirinya.
[5] Paul Wilkinson, 1971, Social Movement, Key Consepts in Political Science, London: Pall Mall Press Ltd. p. 11.
[6] Van der Kroef Jm., 1956, Indonesia in the Modern World, Masa Baru Ltd., Bandung hal. 198-210.
[7] Levi-Strauss, C., 1967, Structural Anthropology, Basic Book, New York.
[8] Clifford Geertz, 1973, The Interpretation of Culture, Basic Book, Onc., Publishers, New York, p. 5
[9] Marvin Harris, 1979, Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture, Random House, New York, p. 29.
[10] Ignas Kleden, 1988, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Cetakan Kedua, LP3ES, Jakarta.
[11] Franz Magnis Suseno, 1993, Etika Jawa, Tiara Wacana, Yogyakarta.
[12] Yusmanto, 2004, “Strategi Kebudayaan, Orientasi Praktis Penanganan Kebudayaan Banyumas”, makalah disajikan pada Sarasehan Peningkatan Profesionalisme Pamong Budaya yang diselenggarakan oleh Paguyuban Semar, bertempat di Disparbud Kabupaten Banyumas, 2 Januari 2004.
[13] Baca Clifford Geertz, 1973, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Balai Pustaka, Jakarta.
[14] Baca Clifford Geertz, 1973, The Interpretation of Culture, Basic Book, Onc., Publishers, New York; juga Koentjaraningrat, 1979, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta.
[15] Robert M. Bellah, 1999, Cultural Identity and Asian Modernization, Institute for Japanese Culture and Classics, Kokugakuin University.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS SEBAGAI KEKUATAN PARIWISATA