Posts

Showing posts from March, 2008

EBEG

Image
Ebeg merupakan seni pertunjukan yang menggunakan tarian sebagai media eksprisinya. Penari dalam pertunjukannya membawakan gerak tari gagah dengan menunggang kuda-kudaan terbuat dari anyaman bambu yang lazim disebut dengan Ebeg. Iringan Ebeg adalah alat musik bendhe yang merupakan perangkat musik tradisional khas Banyumas yang khusus digunakan untuk mengiringi pertunjukan Ebeg. Para pemain atau penari menggambarkan prajurit berkuda di bawah pimpinan Prabu Klana dalam cerita Panji. Sebagai bentuk kesenian tradisional, Ebeg telah berkembang secara turun-temurun sebagai warisan nenek moyang yang masih lestari hingga saat sekarang. Kehidupan masyarakat Banyumas saat ini memang telah mengikuti perkembangan jaman. Dari yang semula berlangsung dalam pola tradisional-agraris, kini berganti ke arah modern-teknologis. Sungguh pun demikian, ragam peninggalan masa lalu bukan berarti harus ditinggalkan. Khasanah kesenian lokal semacam ebeg, harus terus diuri-uri dan dijaga kelestariannya. Hal ini

KEBIJAKAN PELESTARIAN DAN PEMBINAAN BAHASA JAWA DI KABUPATEN BANYUMAS

Pendahuluan Dalam konteks perkembangan kebudayaan Jawa, Banyumas seringkali dipandang sebagai wilayah marginal [1] yang berkonotasi kasar, tertinggal dan tidak lebih beradab dibanding dengan wilayah negarigung yang dijiwai oleh konsep adiluhung. Di Banyumas hidup ragam budaya yang berkembang di kalangan rakyat jelata [2] yang jauh dari hingar-bingar kehidupan kraton. Kenyataan demikian menyebabkan kebudayaan Banyumas seringkali disub-kulturkan [3] , dianggap kurang bermakna bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Jawa secara keseluruhan. Di luar pemahaman minir tersebut, Banyumas sesungguhnya memiliki kekayaan khasanah budaya yang tidak ternilai harganya yang terangkum dalam wadah kebudayaan Banyumas. Khasanah budaya itu tumbuh dan berkembang di kampung-kampung, dusun-dusun atau dukuh-dukuh, sebagai wujud local genious dan menjadi bagian integral dari komunitas masyarakat penginyongan. [4] Perkembangannya tidak sekedar di wilayah administratif Kabupaten Banyumas. Di sebelah uta

PORNOGRAFI DAN ANCAMAN MORALITAS BANGSA

Pendahuluan Moral telah lama dibicarakan dalam ranah filsafat, yaitu melalui filsafat moral yang lazim disebut ethica yang diindonesiakan menjadi etika. Di dalamnya dipertanyakan persoalan nilai sebagai sesuatu yang diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman dalam hidup manusia. Melalui filsafat moral dipertanyakan sejauh mungkin tentang nilai kemanusian, nilai hidup, yang ditujukan agar manusia menjadi lebih manusia, hidup lebih bernilai. Tinggi-rendahnya nilai moral yang ada di dalam diri manusia kemudian disebut sebagai moralitas yang secara normatif diukur berdasarkan nilai yang dianut bersama-sama oleh suatu kelompok masyarakat. Meskipun filsafat moral atau etika diusahakan untuk melakukan generalisasi pada setiap manusia di dunia, namun dalam penerapannya selalu terjadi local ethic atau etika lokal yang hanya berlaku dalam lingkup lokal suatu kelompok masyarakat. Ini seperti tercermin pada sikap, tingkah laku, tutur kata dan cara hidup, yang memungkinkan terjadinya perbedaan stand

MENUMBUHKAN KESADARAN BUDAYA BANYUMAS UNTUK SONGSONG PEMBAHARUAN

Pertanyaan yang pertama kali muncul ketika membaca topik yang disodorkan oleh Panitia adalah, “Apakah yang dimaksud dengan Banyumas?” Apakah berarti wilayah? Apakah berati manusia? Apakah berarti pemerintahan? Setelah melewati saat-saat merenung, saya menemukan jawaban yang menurut saya paling tepat. Banyumas adalah imajinasi yang diawali oleh ide atau gagasan yang datang dari dalam otak manusia. Artinya, pokok pangkal ada atau tidak ada Banyumas ternyata bersumber dari otak manusia. Berawal dari otak inilah kemudian muncul gagasan tentang wilayah, tentang manusia, tentang peradaban, tentang nilai, tentang kebudayaan. Semua itu kemudian terangkum menjadi kekuatan cipta, rasa dan karsa dalam bentuk imajinasi, yang kemudian direpresentasikan melalui berbagai ragam perilaku dengan sentuhan nilai etik, nilai estetik dan nilai kemanusiaan yang berlaku secara lokal dan terbatas. Maka, kemudian lahirlah kebudayaan Banyumas yang bersumber dari tata nilai dan kebiasaan-kebiasaan hidup sebagaima

MENCARI (CARI) MAKNA JUMENENGAN JOKO KAHIMAN

Tanggal 27 Romadhon memiliki makna yang sangat penting bagi sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tanggal itu kurang lebih 424 tahun yang lalu konon Sultan Hadiwijaya di Negeri Pajang mengangkat Joko Kahiman menjadi Adipati Wirasaba, menggantikan mertuanya, Kanjeng Adipati Warga Utama I yang telah wafat pada peristiwa Sabtu Pahing. Joko Kahiman yang ‘hanya’ anak menantu dinobatkan menjadi penguasa Wirasaba dengan bergelar Kanjeng Adipati Warga Utama II. Dan, dengan bijaksana ia kemudian membagi Wirasaba menjadi empat kadipaten, yakni Wirasaba, Banjarpetambakan, Banyumas. Atas inisiatif itulah, kemudian Joko Kahiman juga diberi julukan Adipati Mrapat. Pada saat ini peristiwa jumenengan Joko Kahiman tidak banyak dikenal, bahkan oleh masyarakat Banyumas sendiri. Kenyataan demikian tidak sepenuhnya salah. Karena peristiwa pengangkatan founding father-nya rakyat Banyumas tidak masuk dalam catatan sejarah. Bahkan karena itu pula, hingga saat ini masih terjadi silang pendapat mengenai Hari Jadi Ka

KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN KESENIAN GUNA MEMBANGUN IDENTITAS BUDAYA BANYUMAS

Mengukuhkan Identitas Kebudayaan Banyumas Pembangunan kebudayaan lokal dewasa ini telah menjadi gejala yang semakin nyata, di berbagai belahan dunia. Pada umumnya, pembangunan kebudayaan lokal diarahkan bagi tercapainya identitas suatu komunitas masyarakat atau bangsa. Misalnya di Jepang, desakan untuk moderenisasi sebagai suatu Westernisasi menimbulkan tiga tanggapan yang ditandai dengan munculnya isu-isu seperti kokuminsei (karakter nasional), kokusui (inti sari nasional), kokutai (struktur nasional), dan bahkan kokugaku yang mempunyai pengertian fraksi kanan, konservatif atau seorang reaksioner. [1] Semua ini merupakan suatu bentuk sintesa dalam wacana modernisasi yang sering diartikan sebagai Westernisasi akan perlunya usaha konkret guna menciptakan ketahanan budaya tanpa harus steril dari pengaruh asing. Apabila modernisasi berjalan begitu saja tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lokal, niscaya perubahan yang terjadi akan tercerabut dari akar budaya masyarakatnya. Di Jawa Tengah,