Geliat Kebudayaan Pinggiran

Dalam konteks perkembangan kebudayaan Jawa, Banyumas seringkali dipandang sebagai wilayah marginal (Koentjaraningrat, 1984) yang berkonotasi kasar, tertinggal dan tidak lebih beradab dibanding dengan kebudayaan yang berkembang wilayah negarigung (pusat kekuasaan kraton) yang dijiwai oleh konsep adiluhung.[1] Kebudayaan Banyumas atau sering pula disebut budaya Banyumasan[2] hadir sebagai kebudayaan rakyat yang berkembang di kalangan rakyat jelata[3] yang jauh dari hegemoni kehidupan kraton. Akhiran “an” pada kata “Banyumas” menunjukkan lokalitas atau kekhususan, seperti pada kata “Semarangan”, “Jawa Timuran”, “Surabayan”, “Magelangan” dan lain-lain. Rene T.A. Lysloff berpendapat bahwa penggunaan akhiran “an” pada kata-kata semacam ini berkaitan dengan pandangan cenderung dimaksudkan untuk mengecilkan tradisi dan berhubungan dengan persoalan “gaya” (Rene T.A. Lysloff, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa budaya Banyumasan merupakan unsur lokal di dalam satu lingkup yang lebih besar; kebudayaan Jawa.

Memang, kebudayaan Banyumas pada prinsipnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Jawa. Namun demikian dikarenakan kondisi dan letak geografis yang jauh dari pusat kekuasaan kraton serta latar belakang kehidupan dan pandangan hidup masyarakat Banyumas yang dijiwai oleh semangat kerakyatan, mengakibatkan pada berbagai sisi budaya Banyumas dapat dibedakan dari budaya induknya. Jiwa dan semangat kerakyatan kebudayaan Banyumas telah membawanya pada penampilan yang—apabila dilihat dari sudut pandang kebudayaan kraton—terkesan kasar dan rendah. Kenyataan demikian menyebabkan kebudayaan Banyumas seringkali disub-kulturkan (Ahmad Tohari, 2005), dianggap kurang bermakna bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Jawa secara keseluruhan.
Kebudayaan Banyumas terbentuk dari perpaduan antara unsur-unsur kebudayaan Jawa lama dengan pola kehidupan masyarakat setempat. Dalam perjalanannya kebudayaan Banyumas dipengaruhi oleh kultur Jawa baru, kultur Sunda, kultur Islami, dan kultur Barat. Unsur-unsur kebudayaan Jawa lama (Jawa Kuno dan Pertengahan) dipengaruhi kebudayaan India (Hindu-Budha) yang sejak lama telah disebarkan oleh seorang pendeta bernama Aji Saka (Sudiono,2006). Khasanah budaya ini tumbuh berkembang di kampung-kampung, dusun-dusun atau dukuh-dukuh, sebagai wujud local genious dan menjadi bagian integral dari kehidupan komunitas wong cilik.

Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, dilandasi oleh semangat kerakyatan, cablaka (transparency), exposure (terbuka) dan dibangun dari masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan demikian terutama disebabkan oleh karena wilayah Banyumas merupakan wilayah pinggiran dari kerajaan-kerajaan besar tempo dulu. Perkembangan kebudayaan di daerah ini secara umum berlangsung lebih lambat dibanding dengan kebudayaan yang hidup di lingkungan kraton sebagai pusat kekuasaan raja.

Kandungan unsur-unsur kebudayaan Jawa lama di dalam kebudayaan Banyumas terutama tercermin pada bahasa dan sistem kepercayaan. Di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas selain berkembang bahasa Jawa baku—sering disebut dengan istilah bahasa bandhek[4]—juga berkembang bahasa Jawa dialek Banyumas atau bahasa Banyumasan. Bagi masyarakat di daerah ini, bahasa Banyumasan merupakan bahasa ibu yang hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Bahasa Banyumasan diyakini sebagai peninggalan dari bahasa Jawa lama (bahasa Jawa Kuno dan Tengahan) yang masih bisa dijumpai hingga sekarang (Ahmad Tohari,1999). Dengan demikian bahasa Banyumasan dapat digunakan untuk mengintip pertumbuhan bahasa Jawa lama yang berkembang sebelum lahirnya bahasa Jawa baru.[5]

Bahasa Banyumasan memiliki spesifikasi dan/atau ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan dengan bahasa Jawa baru (standar). Beberapa ciri khusus tersebut antara lain: (1) berkembang secara lokal hanya di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas; (2) memiliki karakter lugu dan terbuka; (3) tidak terdapat banyak gradasi unggah-ungguh; (4) digunakan sebagai bahasa ibu oleh sebagian besar masyarakat Banyumas; (5) mendapat pengaruh bahasa Jawa kuno, Jawa tengahan, dan bahasa Sunda; (6) pengucapan konsonan di akhir kata dibaca dengan jelas (selanjutnya sering disebut ngapak-ngapak), dan (7) pengucapan vokal a, i, u, e, o dibaca dengan jelas (Yusmanto, 2004-a). Dalam percaturan sosial yang lebih luas, ciri-ciri semacam ini telah menjadi salah satu penanda yang dapat dengan mudah dikenali oleh kelompok masyarakat lain.

Pengaruh kebudayaan India (Hindu-Budha) terhadap kebudayaan Banyumas dapat dilihat artefak peninggalan sejarah dan sistem kepercayaan masyarakat Banyumas yang dekat dengan sistem kepercayaan pada kedua agama tersebut. Di daerah ini banyak dijumpai artefak sejarah seperti lingga, yoni, arca prasejarah dan benda-benda lain yang merupakan peninggalan persebaran kebudayaan Hindu.[6] Di wilayah Banyumas juga diyakini terdapat sebuah kadipaten yang berkembang pada masa pra Islam, yaitu Kadipaten Pasirluhur (Sugeng Priyadi,2004).[7] Ini membuktikan Banyumas pernah menjadi salah satu basis yang kuat bagi persebaran agama Hindu.

Dalam hal sistem kepercayaan, pengaruh Hindu-Budha tercermin pada kuatnya kepercayaan animisme, dinamisme, totemisme, dewa-dewi serta kekuatan-kekuatan supranatural yang datang dari alam dan roh nenek-moyang. Di daerah ini terdapat berbagai macam ritual yang dilakukan secara berkala yang dihitung berdasarkan kalender Jawa maupun pranata mangsa.[8] Misalnya: ritual ruat bumi dan Suran pada bulan Sura, penjamasan pusaka pada setiap bulan Mulud, Sadranan dan unggah-unggahan pada bulan Sadran, udhun-udhunan pada bulan Syawal serta cowongan, ujungan dan baritan yang dilaksanakan setiap mangsa Kapat dan Kelima.[9] Kegiatan ritual semacam ini masih terus dilaksanakan oleh masyarakat Banyumas hingga sekarang.
Hingga awal dekade tahun 1990-an masih banyak dijumpai kegiatan ritual yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas pada setiap malam hari kelahiran dengan cara membakar kemenyan atau dupa serta beberapa properti sesaji seperti kembang telon (bunga tiga macam) dan bubur merah putih yang diperuntukkan bagi sedulur tua-sedulur nom (saudara tua dan saudara muda).[10] Di sisi lain, peninggalan agama Budha masih dapat dilihat pada masih tersisanya persebaran agama Budha di daerah pegunungan Kendheng, yaitu pegunungan yang membelah wilayah sebaran kebudayaan Banyumas, membujur dari arah barat hingga ke timur.

Persebaran agama Islam di Banyumas telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan kebudayaan di daerah itu. Agama Islam mulai menyebar di wilayah Banyumas berlangsung sejak era Demak, yaitu pada saat wilayah ini di bawah kekuasaan Kadipaten Pasir. Pembawa ajaran agama Islam adalah Makdum Wali, yang berhasil mengislamkan Adipati Banyak Blanak, penguasa Pasir. Bahkan, Adipati Banyak Blanak kemudian turut berperan mengislamkan berbagai wilayah, antara lain wilayah Banyumas, Jawa Barat dan wilayah Ponorogo dan sekitarnya. Atas peran sertanya itu, Raja Demak memberikan beberapa hadiah kepada Adipati Banyak Blanak, antara lain: (1) Kadipaten Pasir lestari menjadi wilayah perdikan (tidak berkewajiban atur pisungsung/pajak kepada Demak); (2) Kadipaten Pasir diberi wilayah mulai dari Tugu Mangangkang (lereng gunung Sindoro-Sumbing) hingga Udhug-udhug Karawang; dan (3) Adipati Banyak Blanak diangkat senapati bergelar Kanjeng Adipati Mangku Bumi (Budiono, t.th:11). Sejak itu pula agama Islam menggantikan posisi agama-agama yang berkembang sebelumnya (Hindu-Budha) sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Banyumas.

Persebaran Islam di Banyumas tidak serta-merta menghilangkan kepercayaan lama yang telah berurat-berakar dalam kehidupan masyarakat di wilayah ini. Islam yang dikembangkan di wilayah ini berupa Islam Abangan (Clifford Geertz,1989) yang tetap memberikan peluang bagi berkembangnya kepercayaan animisme-dinamisme bagi pemeluknya. Pemahaman tentang ketuhanan berlaku kebiasaan “budaya membingkai agama”. Aspek-aspek kebudayaan berperan lebih dominan dalam kehidupan sosial, ngemuli (menyelimuti) dan membingkai ajaran-ajaran Islam. Pemahaman tentang ketuhanan dibingkai dalam nuansa budaya lokal seperti dapat dijumpai dalam ragam kesenian, ungkapan tradisional, folklore, kepercayaan tradisional dan lain-lain. Ini berbeda dengan kebudayaan pesisir (utara) yang lebih cenderung mengembangkan Islam puritan dalam bentuk “agama membingkai budaya”.
Perkembangan kebudayaan Banyumas tidak sekedar di wilayah administratif Kabupaten Banyumas. Di sebelah utara berbatasan dengan kebudayaan pesisir utara, di sebelah selatan mencapai pesisir kidul, di sisi timur berbatasan dengan kebudayaan Kedu, dan di sisi barat berbatasan dengan kebudayaan Sunda. Keberadaan kebudayaan Banyumas sangat spesifik dan khas, menandai eksistensi masyarakat kecil di antara hegemoni kebudayaan kraton yang berkembang di pusat-pusat kerajaan Jawa.

Letak geografis Banyumas yang berada di daerah perbatasan sebaran budaya Jawa dan Sunda telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan kebudayaan Banyumas. Kedua kebudayaan ini mengalami akulturasi yang demikian kental yang bermuara pada terbentuknya ragam budaya tersendiri yang justru berbeda dengan kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda yang notabene adalah kebudayaan induknya. Pada berbagai aspek dapat dilihat dengan jelas lekatnya percampuran antara kedua kutub budaya tersebut di dalam budaya Banyumas. Contoh konkretnya adalah mitos dua leluhur yang demikian kuat dalam masyarakat Banyumas. Mereka percaya bahwa leluhur Banyumas merupakan percampuran antara Majapahit dan Pajajaran. Raden Baribin, salah seorang adik dari Brawijaya IV telah menikah dengan salah seorang putri Pajajaran. Keduanya kemudian dikaruniai keturunan bernama Raden Joko Kahiman yang menjadi Adipati Banyumas pertama bergelar Adipati Warga Utama II atau Adipati Mrapat (Sugeng Priyadi,1998). Kenyataan demikian menggambarkan betapa dari sisi historis sekalipun dapat dilihat kuatnya percampuran Jawa-Sunda dalam ranah kebudayaan Banyumas.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat Banyumas akrab sekali dengan folklor yang sangat dipengaruhi oleh ajaran kepercayaan animisme-dinamisme dan perkembangan Islam abangan. Kepercayaan terhadap takhayul, kekuatan-kekuatan supranatural yang melingkupi hidup manusia dan kepercayaan tentang ketuhanan menggambarkan percampuran antara sistem kepercayaan animisme-dinamisme dengan ajaran Islam Abangan. Contoh konkret dapat dijumpai pada mantra-mantra tradisional. Seseorang yang berjalan tepat pada tengah hari di tempat-tempat yang dianggap angker (dihuni makhluk ghaib) akan mengucapkan mantra tradisional-Islami “Millah bedhug”[11] atau mengucapkan “Bismillah, kyaine, putune ajeng liwat”[12]. Pada dunia kanak-kanak pun banyak dijumpai mantra sejenis ini. Seorang anak yang mencari capung akan mengucapkan mantra “Kemalo-kemalo goletna kinjeng kebo ora nyandhang ora nganggo, nganggoa welulang kebo”.

Model mantra-mantra seperti ini dilakukan untuk hal-hal yang serius maupun sekedar main-main. Ucapan, “Millah bedhug” atau “Bismillah, kyaine, putune ajeng liwat” adalah contoh sesuatu yang dianggap serius. Masyarakat daerah ini percaya bahwa di tempat-tempat tertentu dihuni oleh roh halus, baik yang berkelakuan baik ataupun jahat. Sikap kehati-hatian mereka ditunjukkan melalui kalimat-kalimat mantra semacam ini. Adapun dalam konteks main-main, mantra yang diucapkan oleh anak-anak penangkap capung menggambarkan betapa dalam diri mereka terdapat keyakinan atau sugesti, bahwa dengan mengucap mantra tersebut maka capung akan menjadi jinak. Sebaliknya, agar capung tersebut tidak jinak maka mantra tersebut ditangkal dengan mantra yang lain, ndhuling, ndhuling, mburimu ana maling (ndhuling, ndhuling, belakangmu ada maling).

Dalam konteks kesenian, local genius masyarakat Banyumas telah banyak menghasilkan ragam kesenian tradisional yang bernafas kerakyatan seperti lengger, bongkel, jemblung, calung, angklung, dan lain-lain. Aneka ragam kesenian ini dibangun dari kultur kerakyatan. Mereka memiliki standar estetik yang berbeda dengan ragam kesenian kraton yang dijiwai oleh konsep adiluhung. Berkesenian dalam konteks kebudayaan Banyumas adalah sarana ekspresi totalitas pengalaman masyarakat yang hidup dalam komunitas alam pedesaan, jauh dari hegemoni kraton, kultur tradisional-agraris dan kepekaan sosial yang mencerminkan gerak kehidupan keseharian mereka.
Di sisi lain, kehidupan kebudayaan Banyumas sangat dipengaruhi oleh tradisi lisan. Sebagai daerah yang relatif tertinggal dalam perkembangan budaya di masa lalu, budaya tulis di daerah ini relatif berkembang lebih lambat dibanding dengan pusat-pusat kerajaan. Imbas dari semua ini telah memekarkan tradisi lisan sebagai salah satu bagian terpenting dari hidup mereka. Masyarakat di daerah ini memiliki teknik-teknik mengingat peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Banyumas. Seorang warga yang buta huruf di Banyumas dapat bercerita dengan jelas tentang sejarah Banyumas, babad Pasirluhur atau peristiwa Banjir Banyumas. Demikian pula masyarakat di daerah ini memiliki cara untuk mengingat hari, pasaran dan tanggal tahun dalam waktu sewindu hanya dengan hitungan jari.
Kebudayaan Banyumas juga dipengaruhi oleh kultur Barat (kolonial) seperti tercermin dalam berbagai ragam tradisi masyarakatnya. Tradisi marungan yang berupa kebiasaan para priyayi di daerah pedesaan melakukan kasukan (bersukaria) dengan minum-minum (minuman keras) sambil main kartu dan menyaksikan pertunjukan tarian rakyat lengger, disinyalir merupakan pengaruh kolonialisme Belanda yang demikian lama menguasai Indonesia. Pertunjukan tunil yang berupa pethilan (potongan) dari sandiwara diyakini berasal dari istilah toneel dalam kosa kata dalam bahasa Belanda. Demikian pula kostum yang dikenakan pada kesenian dhames dan angguk juga merupakan pengaruh kostum yang dikenakan para serdadu kolonial Belanda. Di sisi lain, pengaruh kolonial juga dijumpai pada model-model bangunan. Rumah potong sedhan adalah salah satu bentuk bangunan hasil pengaruh masa kolonial.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tohari, 1999, “Sumbangan Kebudayaan Lokal terhadap Pengembangan Kepariwisataan di Kabupaten Banyumas”, makalah disampaikan pada Seminar Membangun Kepariwisataan Banyumas, diselenggarakan oleh Pusat Pariwisata (Puspar) Unsoed Purwokerto, bertempat di Gedung Soemarjito Purwokerto, 27 September 1999.

_____, 2005, “Andai Tidak Disubkulturkan”, dimuat dalam Kolom Pringgitan Lembar Sang Pamomong Harian Umum Suara Merdeka, Semarang, Tahun ke-56 Nomor 69 tanggal 24 April 2005 hal.19.

Budiono, t.th. “Babad Pasir II”, Naskah Ketikan.

Geertz, Clifford, 1973, The Interpretation of Culture, New York: Basic Book, Onc., Publishers.

Koentjaraningrat, 1984, Manusia dan Kebudayaan, Seri Etnografi, Jakarta: PN Balai Pustaka.

Lysloff, Rene T.A., 1992, “Innovation and Tradition: Calung Music in Banyumas”, makalah disampaikan dalam Festival of Indonesia Conference Summaries: Indonesian Music 20th Century Innovation and Tradition, New York: Festival of Indonesia Foundation.

Sudiono, 2006, “Teks Santapan Rokhani Hindu”, disampaikan dalam rangka Peringatan Tahun Baru Çaka 1927 (tahun 2006 M), di RRI Surakarta, tanggal 4 April 2006.
Sugeng Priyadi, 1998, “Meninjau Kembali Hari Jadi Kabupaten Banyumas”, makalah dipresentasikan pada Rapat Dinas yang diselenggarakan oleh Setda Kabupaten/Dati II Banyumas pada tanggal 28 Mei 1998.

Yusmanto, 2004, “Strategi Kebudayaan, Orientasi Praktis Penanganan Kebudayaan Banyumas”, makalah disajikan pada Sarasehan Peningkatan Profesionalisme Pamong Budaya yang diselenggarakan oleh Paguyuban Semar, bertempat di Disparbud Kabupaten Banyumas, 2 Januari 2004.



[1] Sumarsam (1992) menyatakan bahwa istilah adiluhung merupakan model pendekatan Eropa yang digunakan oleh intelektual Jawa untuk menjelaskan kesenian istana Jawa sebagai kesenian tinggi.
[2] Di dalam visi dan misi Kabupaten Banyumas sebagaimana tercantum di dalam Rencana Strategis Kabupaten Banyumas Tahun 2002-2006 disebutkan, “…tetap mempertahankan budaya Banyumasan”.
[3] Jennifer Lindsay (1991) menyatakan bahwa istilah rakyat mempunyai pengertan yang dianggap rendah. Istilah istana mengandung pengertian sesuatu yang dianggap bagus, utama, indah, agung dan hebat yang sering diidentikkan dengan kata adiluhung.
[4] Menurut keterangan Gito Sewojo (wawancara,4-7-2005 di Banyumas), masyarakat Banyumas menyebut bahasa Jawa baku dengan istilah bahasa bandhek. Istilah “bandhek” diperkirakan berasal dari kata “gandhek” yang berarti utusan. Ini berkaitan dengan kebiasaan para gandhek dari pusat-pusat kerajaan Jawa yang ketika datang ke wilayah Banyumas menggunakan bahasa yang halus, berbeda dengan bahasa yang mereka gunakan sehari-hari.
[5] Ahmad Tohari menjelaskan bahwa bahasa Jawa baru (standar) dikembangkan sejak era kekuasaan Pajang dan berlangsung hingga Mataram dan mencapai puncak pada era Surakarta-Yogyakarta. Bahasa Jawa yang demikian ini dikembangkan dalam pola-pola yang halus dan bertujuan untuk menciptakan garis yang tegas guna membedakan kraton dan rakyat, gusti dan kawula (wawancara: 4-7-2006 di Tinggarjaya, Jatilawang).
[6] Artefak peninggalan masa Hindu dapat dijumpai di seputar wilayah Banyumas. Misalnya: Situs Lembu Nandi di Sumbang; Batu Lumpang di Kemawi, Somagede; Watu Gathél di Baturraden. Hingga saat ini masyarakat Banyumas juga masih percaya bahwa DAS Serayu memiliki mitos-mitos yang berhubungan dengan keluarga Pendawa dan Astina.
[7] Baca juga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981, Babad Pasirluhur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta.
[8] Pranata mangsa merupakan kalender yang menggunakan dasar perputaran bumi ke matahari, seperti digunakan dalam perhitungan pada tarikh masehi. Ini berbeda dengan kalender Jawa (Çaka) yang didasarkan pada perputaran bulan ke bumi.
[9] Dalam kalender Jawa, urut-urutan nama bulan dimulai dari bulan Sura, dilanjutkan Sapar, Mulud, Rabimulakhir, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rajab, Sadran, Puasa, Syawal, Apit dan Besar. Sedangkan pranata mangsa dimulai dari Kasa, Karo, Katelu, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Dasa, Sadda dan Dhesta.
[10] Dalam sistem kepercayaan masyarakat Banyumas, setiap bayi lahir ke dunia selalu bersama dengan dua saudara yaitu air ketuban (disebut sedulur tua) dan ari-ari atau placenta (disebut sedulur nom). Oleh karena itu kedua saudara ini disebut juga kakang kawah adhi ari-ari. Keduanya diyakini selalu ikut bersama jabang bayi hingga tumbuh dewasa, bahkan sampai meninggal dunia.
[11] Maksudnya adalah lafal basmallah yang diucapkan pada tengah hari, ketika matahari tepat berada di atas kepala.
[12] Ucapan ini dikandung maksud pengucapan lafal basmallah dengan tetap menunjukkan rasa hormat kepada roh leluhur (kyaine). Di sini, diri sendiri diposisikan sebagai putu (cucu).

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA SIMBOLIK PADA PROPERTI BEGALAN

KONSEP KARYA TARI SELIRING GENTING

PRODUKSI BATIK BANYUMASAN